Happy reading!
•||•
"Tapi aku nggak janji bisa dateng, Ma. Hasna lagi hamil. Aku nggak mau ambil risiko dengan dateng ke acara om Adi," Revan mendesah panjang sambil memijit pangkal hidungnya. Mamanya menelepon dan memberi tahu Revan bahwa adiknya-paman Revan-mengadakan acara tasyakuran anak pertama mereka. Well, ya, om Adi memang sedikit telat menikah.
"Masa kamu bener-bener nggak bisa dateng sih, Van? Mama nggak enak sama om Adi. Atau nggak kamu dateng sama si kampungan itu aja, deh." balas Mama Revan dari seberang.
Revan menarik napas. Mamanya tidak berubah sejak dulu. Safina tidak pernah dianggap menantu oleh sang Mama. Hanya Papanya yang menganggap Safina bagian dari keluarga mereka.
"Nggak bisa juga, Ma. Aku juga nggak mau ngerepotin dia."
"Ngerepotin apa sih? Kamu kan suaminya dia. Masa iya kamu ngerepotin dia! Istri macam apa dia!"
"Ma.... Bukan gitu maksudnya Revan, Ma. Revan cuma...." Revan menggigit samar kukunya. "Revan cuma nggak terbiasa."
"Pokonya Mama nggak mau tahu. Kamu harus datang!"
Revan mendesah pasrah kala telepon tersebut dimatikan secara sepihak. Dia beranjak dari kursi makan lalu naik ke atas dan pergi ke kamar Safina. Tangannya membuka knop pintu dan menemukan Safina yang sedang membaca sebuah buku kesehatan yang akhir-akhir ini dibacanya.
"Fin...."
"Iya, Mas?" Safina menutup buku tersebut dan menaruhnya diatas nakas.
"Tadi Mama telepon, katanya om Adi ngadain tasyakuran anaknya. Aku disuruh dateng tapi Hasna nggak bisa karena dia lagi hamil. Kamu gantiin dia, ya." pinta Revan.
"Apa?"
"Kamu gantiin dia. Besok sore."
"Besok sore?" tanya Fina. Revan mengangguk. "Harus besok sore banget, Van?" tanya Fina lagi.
"Iya emang besok. Acaranya kan besok. Kenapa emang? Ada acara kamu?"
Safina menggeleng. Besok adalah jadwal kemoterapinya yang pertama dengan dokter Iqbal. Tapi Revan memintanya untuk menemani ke acara om Adi. "Nggak ada kok. Besok jam berapa?"
Salahkan Safina yang tidak memberi tahu Revan mengenai jadwal kemoterapinya.
"Jam 4. Nanti kita berangkat dari sini jam 3."
•||•
"Langga mau ikut ibu?" tanya Fina ketika ia melihat Erlangga yang menatapnya penuh harap. Erlangga mengangguk pelan. "Kalau boleh, Langga mau, Bu." Jawabnya.
"Boleh," jawab Fina. "Tapi mandi dulu, biar bersih, oke?"
"Oke!"
Setelah mengacungkan jempol ke arah Ibunya, Langga bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sedangkan Safina menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Tidak mengerti kenapa anaknya se-excited itu, padahal semua keluarga Revan kurang ada yang menyukainya. Setelah 10 menit terlewat, Erlangga keluar dari kamar mandi dengan celana pendek dan kaus polos berwarna biru dongker.
"Kakek Wira ikut kan Bu?"
"Ibu nggak tahu, sayang. Coba tanya Papa. Kenapa emang?" tanya Safina. Tangannya dengan cekatan meraih satu celana Chino berwarna cokelat s**u dan kaus panjang berwarna hitam.
"Nggak papa, Bu. Langga kangen sama kakek." Jawabnya begitu Safina membalikan tubuh tepat ke arahnya.
Tangan Langga menggapai celana dan baju yang disodorkan Ibu dan memakainya. Dirinya benar-benar bersemangat sekarang. Sebab, kemungkinan besar kakek Wira datang ke acara itu membuat Erlangga seperti dihujani banyak kupu-kupu di perutnya. Bukan tanpa sebab dirinya begitu mencari kakek Wira disetiap acara keluarga. Kakek Wira adalah satu-satunya orang yang sangat baik pada Langga selain Ibu. Kakek Wira juga yang mengajarinya menggambar. Selain itu, kakek Wira punya segudang pengetahuan tentang apapun yang Erlangga ingin ketahui.
"Coba nanti tanya Papa aja. Bima ikut, kan?" tanya Fina.
Erlangga menoleh lalu menggeleng sebagai jawaban. "Nggak, Bu. Bima katanya mau ikut Mama Hasna."
"Ikut Mama Hasna?"
"Iya," jawab Langga. Anak laki-laki itu menarik sisir dan mulai menyisir rambutnya. "Bima mau ikut ke rumah Oma nenek, Bu. Jadinya Bima nggak ikut Papa."
Oma Nenek adalah sebutan Erlangga untuk nenek bima dari-orang tua Hasna- . Oma Nenek cukup baik pada dirinya. Hanya saja Erlangga pernah berpikir bahwa Ibu mungkin saja pernah melukai hati Oma Nenek sehingga Oma Nenek tidak pernah berbaik hati pada Ibu.
Ah ya, persetan dengan Bima yang akan Oma Nenek. Erlangga lebih bersemangat hati jika bertemu kakek Wira.
•||•
Revan Arsyad
Sayang
Hati-hati di jalan.
Jangan kencang-kencang, ya.
Aku cinta kamu.
Sent.
Revan menghela napas berat saat jarinya sudah menekan tombol send untuk yang kesekian kali. Hasna pergi ke rumah orang tuanya dengan mengajak serta Sabima karena Hasna merasa bahwa keputusan Revan membawa Safina untuk ikut ke rumah om Adi sangatlah melukai hatinya. Bagaimanapun juga, Hasna berpikir bahwa orang yang pantas menemani Revan hanya dirinya. Apalagi sekarang ia sedang mengandung.
Malam hari sebelum sore ini.
"Na... Aku minta maaf. Tapi emang kamu nggak bisa ikut ke sana. Kamu lagi hamil, sayang. Aku nggak bisa bawa kamu pergi jauh-jauh naik mobil." Revan masih terus memberi pengertian pada Hasna yang sejak tadi mendiaminya.
Hasna menarik napas. Wajahnya ia buang ke samping tanpa mau menatap suaminya yang duduk diatas lantai lengkap dengan kedua tangan yang berusaha menggapai tangannya. "Kamu keterlaluan, Van. Kamu kenapa sih? Aku nggak ngerti beneran sama kamu. Maksud aku, sejak kamu rutin ke kamar Fina dan membacakan anak itu cerita, kamu jadi lebih care ke dia. Kamu kenapa sih?"
Revan terdiam. Dan itu semakin memancing Hasna untuk berkata yang tidak-tidak.
"Gila kamu, ya? Kamu nggak lupa sama janji kamu untuk nggak cinta sama dia kan, Van?" Tangan Hasna menarik ujung kaus di lengan Revan. Lalu menggoyang-goyangkan lengan itu dengan penuh emosi. "Van jawab aku!"
"Aku...."
"Aku apa?!"
"Aku nggak tahu, Sayang. Aku nggak tahu sama perasaanku sendi-"
Plak!
"b******k kamu! Aku pikir kamu hanya membagi tubuh kamu aja sama si jalang itu! Tahunya apa?! Kamu bahkan lebih dari sekadar membagi tubuh huh?!"
Hasna berdiri dari ranjang tanpa memperdulikan Revan yang masih duduk diatas lantai. "b******n kamu!"
Bugh!
Hasna melempar kosmetiknya ke arah Revan yang dengan sigap berdiri dan memeluk Hasna. "Sayang hei sayang!" Revan berseru sambil mencoba memeluk Hasna yang meronta-ronta dipelukannya. "Sayang dengerin aku, oke? Aku ajak murni karena Mama yang maksa aku datang. Aku nggak bisa bawa kamu karena kamu hamil. Hamil anakku. Aku nggak mau kamu sampai kecapekan sama seperti kehamilan pertama kamu dulu. Aku nggak mau sayang."
"Tapi kenapa kamu ajak Fina?! Kamu nggak mikirin perasaanku?!"
"Sayang hei... Aku nggak akan macam-macam sama Safina, oke? Aku ajak dia murni karena Mama. Kalau bukan karena Mama, aku nggak akan mungkin ajak dia."
Hasna terdiam dipelukan Revan. Air mata masih mengalir dari sana. "Soal perasaan kamu sama dia?" tanya Hasna lirih.
Untuk yang satu itu, Revan tidak bisa menjawabnya. Hatinya abu-abu. Dan Revan tidak pernah tahu ada apa dengan hatinya saat ini.
Tok tok tok!
"Papa!"
"Paaa!"
Lamunan Revan tentang bayangan pertengkarannya semalam buyar ketika suara Erlangga menginterupsinya. Pria itu berdiri lalu membuka pintu. Senyumnya terbit. Baju yang dikenakan mereka sama.
"Eh, bajunya samaan, Pa!" kata Langga.
Revan tertawa lalu memeluk Erlangga erat. "Iya ya sama. Kok bisa sayang?"
"Langga nggak tahu, ibu yang pilih, Pa." jawabnya. Erlangga melepaskan pelukan Revan ditubuhnya. "Kata ibu, ibu udah siap, Pa. Kita berangkat jam berapa?"
Revan melirik pergelangan tangan kirinya. 10.30 pagi. "Setengah jam lagi kita berangkat sayang. Bilang sama ibu gih!"
•||•
Hasna menangis dipelukan sang Mama yang serta merta memeluknya ketika ia sampai dirumah. Mama Hasna - Reffa - menarik napas samar. Pagi tadi Hasna pergi dari Jakarta ke Bogor tanpa ditemani Revan. Membuat Reffa menggelengkan kepala dengan perasaan tidak terima.
"Nana nggak tahu kenapa Revan bisa berubah, Ma. Nana nggak siap. Nana nggak siap sama kenyataan kalau seandainya Revan beneran cinta sama jalang itu!" Hasna mencengkram blouse yang digunakan Reffa dengan kuat. "Nana nggak mau, Ma. Revan nggak boleh cinta sama perempuan itu. Perempuan itu nggak pantes buat Revan, Ma. Nana nggak terima!"
"Sutsss sayang tenang...." bisik Reffa.
"Mana bisa aku tenang, Ma? Sementara aku nggak tahu perasaan suamiku sendiri!"
Reffa menangkup wajah cantik Hasna dan mengusap pipinya lembut. "Sayang dengar Mama. Revan itu mencintai kamu. Sangat mencintai kamu. Nggak mungkin Revan mencintai perempuan itu, sayang. Percaya sama Mama!" kata Reffa. Tangannya mengusap perut besar Hasna dengan lembut. "Apalagi Bima akan mempunyai adik. Revan akan lebih bangga dan cinta sama kamu."
"Nana takut, Ma."
"Nggak usah takut, sayang. Ada Mama. Ada Papa. Kamu jangan takut."
Dan Hasna hanya mengangguk sebagai jawaban.
•||•
Pukul setengah satu, Revan, Safina beserta Erlangga sampai di Bandung-tepatnya dirumah om Adi. Revan turun dari mobil sambil menggandeng tangan Safina dan menggendong Erlangga. Salah satu hal yang belum pernah dilakukannya secara bersamaan-menggandeng Fina dan menggendong Langga. Semua keluarga melihat ke arah mereka dengan pandangan takjub. Baru kali ini Revan sudi mengajak Fina serta anak sulungnya ke Bandung. Lebih tepatnya, ke acara keluarganya.
"Ma," sapa Revan pada sang Mama yang sudah datang lebih dulu.
Ressie-Mama Revan- berdiri lalu menyambut anaknya. "Hai sayang! Apa kabar?" Ressie bertanya sambil mencium pipi kanan dan kiri Revan bergantian.
"Baik, Ma. Mama apa kabar?" tanya Revan.
"Baik, sayang." Mama Revan melirik sinis ke arah Safina yang tersenyum manis ke arahnya. Menantu-oh bahkan Ressie malas menyebut Safina sebagai menantunya. "Kamu ajak dia kesini, Van?" tanya Ressie.
"Iya, Ma."
"Hasna kemana?" tanya Ressie. Dirinya masih berharap bahwa Hasna akan datang hari ini. Sebab, ada banyak agenda yang sudah Ressie buat untuk dirinya dan Hasna. "Kamu beneran nggak ajak dia?"
"Bukan aku yang nggak ngajak, Ma. Dia lagi hamil. Aku nggak mau ada apa-apa sama calon anakku."
Mama Ressie melengos setelah mendengar perkataan Revan. "Masuk sana kamu! Kasih selamat dulu sama om Adi!"
Setelah mengangguk, dan berpamitan, Revan mengajak Safina serta Erlangga masuk ke dalam. Di sana sudah ramai keluarganya. Ada Tante, Om, bahkan sepupu-sepupunya.
Erlangga langsung meloncat turun dari gendongan Revan ketika ia melihat sosok kakek Wira sedang berdiri diujung tangga dengan sepiring cake ditangannya. Sedangkan Revan mulai menyapa sepupunya tanpa memperdulikan Safina di sana. Membuat Safina merasa asing bahkan tidak tahu harus berbuat apa di depan keluarga suaminya sendiri. Hingga satu tepukan dan suara yang sangat ia kenali menginterupsinya.
"Bu Fina?"
"Dokter Iqbal?"
•••••