BAGIAN 10

982 Kata
Pada hakikatnya Materi bukanlah satu-satunya jalan untuk hidup berbahagia. •||• Satu minggu terlewat. Selama satu minggu ini pula, Revan sudah merubah sikapnya pada sang anak sulung—Erlangga. Revan membiasakan dirinya untuk berdekatan dengan Erlangga dan memenuhi permintaan Safina. Revan tidak punya alasan untuk menolak hal tersebut. Erlangga pun sudah mulai mau membuka dirinya dengan Revan. Seperti, makan ditemani Revan, Revan yang menemani dia belajar, hingga membacakan buku sebelum tidur. Seperti saat ini. Revan sedang membacakan satu buah buku bacaan tentang Kisah 25 Nabi dan Rasul. "Jadi, Nabi Muhammad itu udah nggak punya ayah sejak lahir ya, Pa?" tanya Erlangga. Revan mengangguk. Ia mencium puncak kepala Erlangga dengan penuh kasih sayang. "Iya. Beliau udah nggak punya ayah sejak lahir, bahkan sejak masih di dalam kandungan." "Kalau Ibunya, Pa?" Tangan Erlangga memainkan lingkar kaus putih Revan sambil mengusap rahang Papanya. "Ibunya meninggal kapan?" "Ibunya meninggal waktu beliau umur 6 tahun," jawab Revan. "6 tahun?" "Iya." "Berarti Nabi udah nggak punya ayah dan ibu dong, Pa?" Erlangga bertanya. Matanya menatap Revan dengan nanar. Revan mengangguk, lalu mengusap dagu anaknya. "Iya, Nabi udah nggak punya ayah dan ibu. Tapi kamu tahu nggak, kalau Nabi itu spesial?" "Spesial kayak gimana, Pa?" Revan lagi-lagi tersenyum. "Nabi itu, satu-satunya makhluk Allah yang paling sabar," kata Revan. "Sabar gimana, Pa?" "Ya sabar. Beliau itu selalu mendapat cobaan. Kayak tadi contohnya. Waktu masih didalam kandungan, udah ditinggal ayahnya. Terus umur 6 tahun ditinggal ibunya. Sedih, kan? Coba deh, sekarang Papa tanya, misal Langga kayak gitu, Langga sedih nggak?" Erlangga mengangguk, "Sedih, Pa." "Nah di sana letak kesabarannya beliau. Beliau sedih, tapi beliau nggak ngeluh." Erlangga menganggukkan kepala. "Jadi, kita harus tiru Nabi ya, Pa?" "Iya sayang. Nabi itu suri tauladan bagi manusia," Revan mendekap Erlangga di dadanya. "Ibu sering bacain shalawat setiap Langga mau bobo, Pa. Kata ibu, shalawatan bisa menghantarkan hati kita untuk mencintai Nabi. Bener, Pa?" "Bener, dong, kapan sih ibu bohong?" Safina datang dari kamar mandi dan langsung menyela pertanyaan Erlangga. Wanita berumur 30 tahun itu naik ke atas ranjang disisi kiri Erlangga dan memeluknya. Posisi mereka saat ini, Safina di ujung kiri, sementara Revan di ujung kanan dan Erlangga berada ditengah-tengah mereka. "Ibu!" Erlangga memeluk erat Safina dan menciumi d**a ibunya. Membuat Safina terkikik geli. "Langga lagi dibacain apa sih hm? Kok kayanya seru banget?" "Papa lagi bacain Kisah 25 Nabi dan Rasul, Bu. Kisahnya Baginda Nabi Muhammad SAW." Safina melirik ke arah Revan yang sedang menatap mereka. "Oh ya?" "Iya Bu! Kata Papa kita harus tiru Nabi, karena Nabi itu suri tauladan buat kita. Bener Bu?" "Bener dong," Safina mengusap rambut Erlangga yang sudah mulai panjang. "Langga mau ibu bacain Asmaul Husna?" "Mau, Bu, mau!" "Okaay," Safina memeluk Erlangga semakin erat. Tangannya mengusap belakang kepala Erlangga dan punggungnya. Lalu bibirnya mulai melantunkan Asma Allah. Revan hanya terdiam ketika melihat pemandangan ibu dan anak itu. Sejak pertama kali Safina menunjukan testpack bergaris dua kepadanya, Revan tak pernah ada untuk Erlangga dan Safina. Dan ini adalah kali pertama bagi mereka. Sempat Revan berpikir bahwa Safina adalah Ibu yang buruk karena gagal menjadikan Erlangga sebagai anak yang pandai ilmu dunia. Tapi Revan lupa. Bahwa ada satu ilmu yang harus dan wajib manusia ketahui dan pahami. Ilmu agama. Ya. Safina sukses mendidik anaknya. Dunia dan akhirat. •||• "Kamu lama banget sih, Van." Keluh Hasna pada Revan yang baru saja memasuki kamar mereka. Revan tersenyum tipis. Ia duduk di pinggir ranjang lalu mendekati Hasna. "Maaf ya. Tadi Langga minta dibacain cerita kayak biasanya. Terus yaudah aku bacain." "Yakin kamu bacain cerita aja? Nggak main yang macem-macem sama Fina?" Revan tertawa. Ia menarik pinggang Hasna mendekat ke arahnya. Bibirnya mencium pipi Hasna dan mengusap perut besarnya. "Jangan bercanda, sayang. Aku nggak akan mungkin macem-macem lah. Kan ada Langga." "Oh jadi kalau ada Langga kamu mau gitu? Kamu tuh, ya!" Hasna memukul d**a Revan. Lalu membuang wajah. Demi apapun, Hasna tidak sudi Revan melakukan hal macam-macam dengan Fina. Sekalipun Fina adalah istrinya juga. "Aku nggak suka, ya. Terserah kamu kalau kamu masih mau macem-macem sama dia!" "Macem-macem apa sih sayang hm?" "Ya macem-macem! Masa kamu nggak tahu! Aku nggak sudi tahu, nggak?!" "Sayang, hei, dengerin ya. Aku tadi cuma nemenin Erlangga, terus bacain dia buku, setelah itu udah. Aku emang agak telat buat balik ke kamar karena aku nunggu dia tidur." Hasna mendengus. "Manja." "Heei sayang!" Revan menarik wajah Hasna menghadap ke arahnya. Ia mengecup kening Hasna dengan penuh kasih sayang. "Langga itu anakku. Kalau dia manja, ya mungkin karena dia seneng aku bisa baik sama dia. Dia itu anak-anak, sayang. Sama seperti Bima." "Dia nggak kayak Bima! Dia beda!" "Hei, apanya yang beda?" "Ya dia beda! Kamu pikir anak kita bisa disamain sama dia? Nggak, Van! Dia disleksia sedangkan Sabima nggak! Kamu nggak mikir apa kerjaan anak itu sehari-hari cuma menggambar, menggambar, coret-coret buku. Kamu pikir itu keren? Nggak!" "Hasna...." lirih Revan. "Apa? Mau marah kamu anak kamu aku bilang disleksia?! Itu kenyataannya, Revan! Selama ini anak itu baca selalu pake kaca! Kamu pikir itu keren? Nggak!" "Hasna...cukup!" "Apa?! Kamu mau marah, iya?! Silahkan, Van! Aku nggak peduli!" "Hasna, aku tahu kamu marah sama aku karena aku terlalu lama di sana. Tapi kamu juga nggak pantas menghina anak Fina kayak gitu. Dia normal, Sayang." "Nggak ada yang bilang dia nggak normal, Van." "Ya tapi kamu bilang dia berbeda!" "Ya emang beda! Kamu ini maunya apa sih?!" Hasna memukul d**a Revan lalu memerintahkannya untuk pergi dari sana. "Pergi sana kamu! Aku muak lihat kamu!" "Na...." "Apa lagi sih?!" "Sorry." Hasna diam. Sedangkan Revan tidak beranjak dari kasur. Ia mendekati Hasna dan memeluknya. Wanita itu menangis. Menangis di d**a Revan. "Aku nggak suka kamu membela anak itu, Van. Aku nggak suka. Aku terlalu takut kamu nggak adil sama aku. Dulu aku emang bisa berusaha selalu biar kamu adil sama Fina juga. Tapi aku sakit, Van. Berbagi itu sakit. Aku nggak bisa." "Maaf," bisik Revan. Hasna terdiam. Dan malam itu dihabiskan mereka untuk saling menangis. •••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN