Jatuh cinta itu tentang bahagia
Jatuh cinta itu tentang luka
Jatuh cinta itu...
Kamu.
Happy reading!
•||•
Jakarta, 9 tahun yang lalu
Safina meringis pelan sambil mengusap perutnya dengan sebelah tangan. Ia melirik pergelangan tangannya yang tergantung sebuah jam di sana. Ia menggigit bibir bawahnya.
Sakit di perutnya sudah berasa sejak 10 menit yang lalu. Awalnya Fina pikir ini hanya kontraksi palsu sama seperti biasanya. Tapi ternyata tidak. Kontraksi itu semakin sering terjadi. Dan membuat Fina panik.
"Mas Revan.... Please angkat...." lirih Fina. Di genggamnya telepon di tangan. Menunggu jawaban dari seberang.
Sepuluh menit terlewat tapi Revan tetap tidak mengangkat teleponnya. Safina menarik napas lelah. Ia berusaha berjalan keluar. Ia tidak tahu harus menghubungi siapa. Ia berdiri bersandar di pintu rumah sambil merapal doa agar anaknya tidak kenapa-kenapa.
Tin tin!
Safina menoleh dan mendapati sosok laki-laki berjaket abu-abu dengan mobil Pajero hitam berhenti di depan pagar rumahnya.
"Mbak kenapa mbak?"
Safina terdiam tapi bibirnya tetap mengeluarkan rintihan pelan. Rumah sederhana berlantai satu itu terlihat asri di penglihatan si laki-laki. Dengan banyak tanaman-tanaman di sana.
"Mbak nggak papa? Mbak mau melahirkan?"
Safina mengangguk pelan. "Iya, saya mau melahirkan. Kamu bisa tolong bantu saya nggak?"
"Bisa, Mbak, bisa!" Si lelaki turun dari mobilnya lantas menghampiri Safina. Tanpa ragu laki-laki itu menggendong Safina dan membawanya ke mobilnya sendiri.
"Tahan sebentar ya, Mbak!"
Si lelaki memutari mobil dan masuk ke sana. Pikirannya berkecamuk. Pasalnya ia tidak ingin ada wanita-wanita yang nasibnya sama seperti mendiang istrinya.
Di perjalanan menuju rumah sakit, Safina hanya mampu menggigit bibir bawah sambil mengusap-usap perutnya. Air ketubannya sudah pecah. Bahkan merembes hingga ke jok mobil laki-laki yang tidak ia kenali itu.
"Saya ngotorin jok kamu, maaf ya." kata Fina.
Matanya menatap penuh rasa penyesalan ke arah lelaki itu. Si lelaki tersenyum tipis dan mengusap kepalanya. "Nggak papa, Mbak. Biar saya yang bersihkan."
Safina hanya meringis tidak enak. Beberapa saat kemudian, mereka sampai di pelataran rumah sakit. Laki-laki berjaket abu-abu itu turun dengan Safina di gendongannya. Para suster berbondong-bondong berlari ke arahnya dan beberapa saat kemudian Safina sudah digiring ke ruang bersalin oleh para suster.
Laki-laki itu duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan perasaan cemas. Matanya terpejam. Takut terjadi sesuatu dengan wanita yang baru saja ia antar ke rumah sakit ini.
"Dok?"
Si lelaki menoleh dan mendapati suster yang tadi membawa pergi Safina datang ke arahnya.
"Pasien tadi atas nama siapa, dok?"
Si lelaki terdiam. Tidak tahu siapa nama wanita itu. Tapi sedetik kemudian.
"Tulis saja, ny. Iqbal Ardian."
Iqbal tersenyum tidak jelas ketika mengingat kapan pertama kali ia bertemu dengan Fina. Saat itu, Iqbal tidak menyangka jika wanita itu adalah Fina.
Iqbal semakin menghisap dalam-dalam rokok di tangannya. Bibirnya terukir sebuah senyuman yang belum pernah ia tunjukkan kepada siapapun kecuali mendiang istri dan anaknya.
Cup!
"Papa lagi mikirin apa sih?!"
Refleks, Iqbal membuang rokok yang masih tersisa setengah dari filternya ke tanah dan menginjaknya. Ia menoleh kaget dan tertawa melihat putri kecilnya. Putri kecilnya yang sudah beranjak remaja.
"Taya? Ngapain ke sini sayang?"
Iqbal menarik putrinya mendekat dan mendakapnya penuh sayang. "Diluar dingin, lho. Kok Taya bisa belum bobo?"
Taya-Rataya Ardian- anak satu-satunya dari mendiang istrinya yang lahir 12 tahun yang lalu. Taya mengerucutkan bibir lucu. Ia balas mendekap sang Papa dengan erat.
"Papa juga masih di luar. Taya kangen sama Papa, makanya Taya mau diluar."
Kontan, Iqbal tersenyum mendengarnya. "Kangen sama Papa?"
Taya mengangguk. "Kangen banget," katanya dengan suara manja.
"Papa juga kangen Taya. Kangen banget."
"Kalau sama Mama?"
Iqbal terdiam beberapa saat. Mama, ya? Berarti mendiang istrinya. Tiba-tiba saja Iqbal merasa tertampar. Sudah berapa lama ia tidak merindukan mendiang istrinya? 6 tahun? 7 tahun? 8 tahun? 9 tahun?
Iqbal tidak tahu.
Tapi demi menyenangkan putrinya, Iqbal mengangguk dan semakin mempererat pelukannya.
"Kangen banget, sayang. Papa kangen banget sama Mama."
•||•
"Revan?"
Revan mengusap air matanya dan menatap Safina dengan lembut. "Hm? Kenapa Fin?" tanya Revan dengan suara serak. Khas seperti orang yang baru saja menangis.
Safina tersenyum lucu. Ia menjalankan tangannya untuk mengusap pipi Revan yang basah dengan air mata. "Kamu kok bisa di sini?"
Revan melihat ke sekeliling dan tersadar. Ia tidak lagi berada di ruang kerja, melainkan di kamar Safina. Menangis tersedu sambil memeluk istrinya dengan erat.
"Aku tadi pindah," jawab Revan.
Tangannya semakin erat memeluk tubuh kurus Safina.
"Mbak Hasna nggak cariin kamu?"
Revan terdiam sesaat. Kemudian ia menggeleng dan tersenyum tipis. "Nggak kok. Aku udah bilang sama Hasna kalau malam ini aku tidur sama kamu."
"Tapi di sini sempit. Ada Erlangga soalnya."
"Nggak papa. Biarin aku tidur di sini, ya?" pinta Revan. Matanya menatap Safina dengan pandangan memohon.
Safina tertawa kecil. "Ya udah nggak papa, Van. Tapi maaf kalau sempit."
•||•
Untuk sejenak, Revan hanya bisa menghela napas kasar. Di depannya ada Dimas yang sedang menunggunya untuk mengutarakan apa yang ingin Revan utarakan.
"Lo kenapa sih, Van?"
Revan hanya menatap sekilas pada Dimas lalu kembali berkutat dengan perasannya sendiri.
"Van," tegur Dimas.
Dari wajahnya, Revan bisa menyimpulkan bahwa Dimas memang benar-benar jengah pada dirinya. Pasalnya, mereka sudah berada di kafe ini sejak 30 menit yang lalu dan Revan sama sekali belum berbicara apapun.
Hal itu benar-benar membuat Dimas gondok setengah mati pada Revan.
"Kalau lo tetep diem terus, gue balik deh, Van. Kerjaan gue banyak."
Dimas akan bangkit, tapi suara Revan berhasil membuatnya berhenti.
"Gue udah nggak cinta Hasna, Dim. Sekarang gue nggak tahu harus ngapain. Gue cinta Fina, tapi gue juga nggak bisa ngebiarin Hasna gitu aja."
•••••