Jazmin dan Aksa telah datang ke klinik Gumilar dan sekarang mereka telah duduk berhadapan dengan dokter Anita Gumilar, seorang dokter kandungan yang sangat terkenal akan keteladanannya dalam bekerja.
Anita memperhatikan Jazmin cukup lama sebelum ia berbicara dengan gadis itu. Sedangkan Aksa, dia hanya sibuk membaca lembaran kertas yang menjelaskan bagaimana proses kehamilan dengan cara inseminasi buatan atau intrauterine insemination (IUI).
"Berapa umurmu?"
"26 tahun ini, Dok," jawab Jazmin dengan sopan dan menatap Anita dengan tatapan yang begitu ramah. Berbeda dengan Anita, wanita itu memasang ekspresi dengan penuh tanda tanya terhadap Jazmin.
"Perlu berapa lama sampai wanita ini mengandung anakku, Dok?" Itu Aksa yang menimbrung percakapan antara dokter Anita dan juga Jazmin.
"Setelah dilakukan penempatan langsung sel cairan laki-laki ke dalam sel telur wanita. Seperti pada umumnya, kita akan mengetahui gejala kehamilannya tiga sampai empat minggu. Cara seperti ini hampir sama dengan proses bayi tabung. Tidak akan ada jaminan dalam percobaan pertama akan berhasil. Seharusnya, jika tidak ada masalah dalam pihak keduanya, berhubungan badan secara langsung lebih memiliki peluang yang besar."
"Uhuk!" Aksa terbatuk mendengar penjelasan akhir dari dokter Anita. Memang benar melakukannya secara langsung lebih tepat, tapi itu tidak mungkin karena Mika tidak akan setuju.
Jazmin pun berusaha menahan perasaan canggung mati-matian dengan cara menautkan jari-jarinya dan berusaha bersikap senatural mungkin.
"Ya, aku tahu karena itu tidak mungkin akan terjadi karena kalian bukan sepasang suami istri. Aku akan memberikan resep vitamin dan makanan apa yang akan dikonsumsi Jazmin selama satu minggu kedepan. Pastikan Jazmin memakan makanan sehat dan menghabiskan vitaminnya," titah Anita dan mulai mencatat apa-apa saja yang harus dilakukan Jazmin sebelum proses inseminasi dilakukan.
Jazmin sedikit memajukan tubuhnya untuk lebih dekat dengan Anita. "Apa setelah aku melakukan kehamilan dengan cara inseminasi ini tidak apa-apa? Maksudku, apa aku setelahnya bisa hamil dengan normal seperti pada umumnya?" Jazmin berharap jawaban Anita bisa membuatnya lega.
Anita tersenyum tipis sebelum menjawabnya. "Kau salah satu wanita beruntung yang bisa hamil dengan normal. Tidak perlu khawatir, di masa depan ketika kau sudah menikah dengan pasanganmu, kau bisa mendapatkan bayimu dengan cara yang normal," jawabnya dengan bahasa yang halus dan mudah dimengerti oleh Jazmin.
Terlihat, Jazmin bernafas lega dan memegangi dadanya yang sejak tadi berdetak tidak karuan. "Syukurlah jika begitu. Aku sangat puas dengan jawaban dokter."
Berbeda dari Aksa yang kini menatapnya dengan tatapan sedikit kacau. Dia jadi sedikit kesal dengan jawaban Anita dan sorot wajah Jazmin yang terlihat lega. Dengan siapa wanita itu akan menikah nantinya? Pria mana yang akan menjaganya dan ada apa dengan perasaan Aksa? Jazmin bukan miliknya dan kenapa ada perasaan tidak suka? Bukankah seharusnya dia biasa saja dan tidak peduli pada kehidupan Jazmin kedepannya?
"Untuk Pak Aksa aku juga menyarankan hal yang sama seperti Jazmin. Bapak juga harus memperhatikan kesehatan dan makanan Bapak karena itu akan mempengaruhi cairan yang akan Bapak keluarkan nantinya. Dalam kasus ini, tentu keduanya harus bekerja sama untuk hasil yang memuaskan," ujar Anita.
Aksa mengangguk setuju dan menerima lembaran yang diberikan oleh Anita. "Berarti satu minggu lagi proses inseminasi dilakukan, kan?"
Anita mengangguk sebagai jawaban. "Benar, nanti dokter Gumilar sendiri yang akan turun langsung dalam proses inseminasinya."
Aksa mengangguk-ngangguk paham dan mengecek jam tangannya. Sudah dua jam mereka berada disana dan jadwal konsul tersisa beberapa menit saja dan mereka harus segera ke tahap selanjutnya, proses pengecekan kesehatan di laboratorium klinik tersebut.
"Sekarang, Pak Aksa dan Jazmin akan diantar oleh perawat kami ke laboratorium untuk memeriksakan kesehatan. Hasilnya akan keluar hari ini juga dan akan saya kirimkan lewat email Bapak."
"Baik, terima kasih ya, Dokter."
Bertepatan dengan hal itu, seorang perawat masuk ke dalam ruangan dokter Anita dan bersiap menuntun Aksa dan Jazmin ke ruangan laboratorium. Aksa pun berdiri dan diikuti oleh Jazmin.
Sebelum benar-benar pergi, Jazmin membungkuk hormat pada Anita. "Terima kasih Dokter untuk hari ini."
Anita juga membalas dengan senyuman yang lebar. "Sama-sama, Jazmin. Jangan mengkhawatirkan yang belum terjadi, aku percaya kau bisa menjalaninya dengan baik nanti." Ada sedikit pesan tersirat dari perkataan Anita. Bisa diartikan proses kehamilannya atau dia tengah memberi semangat pada Jazmin untuk kehidupannya yang berantakan dan berakhir menerima tawaran menjadi ibu pengganti untuk mengandung?
Setelah itu, mereka benar-benar keluar dari ruangan dokter Anita. Aksa pun menunggui Jazmin yang jalannya sangat lambat. Wanita itu memiliki banyak pikiran dan ketegangan saat ini.
"Selepas nanti, kita akan ke minimarket untuk membeli makanan dan buah-buahan sesuai saran dokter Anita," ucap Aksa dengan suaranya yang terdengar dingin lebih dari biasanya.
Jazmin pikir, mood dari seorang Aksa hari ini menghilang. Jazmin pun tidak ambil pusing dan memilih mengiyakan saja.
"Baiklah, aku mengikuti apa katamu saja."
Tidak ada lagi percakapan di antara mereka berdua hingga proses pengecekan di laboratoroum selesai.
***
"Katamu, kita akan membeli makanan dan buah-buahan yang sehat. Kenapa kesini? Kau ingin membeli baju?"
Aksa menggeleng dan menarik lengan Jazmin untuk ikut masuk ke dalam butik yang berada di sebuah mall. "Aku akan membelikan untukmu. Maaf atas ucapanku kemarin yang meremehkan cara berpakaianmu. Sebagai gantinya, kau bebas memilih apa saja."
"Tidak perlu. Bajuku masih banyak dan mas-"
"Pilih saja," potong Aksa dengan cepat.
Jazmin pun tersentak karena Aksa memaksanya secara begitu. "O-oke," jawab Jazmin dan matanya mulai mengamati satu persatu pakaian yang ada disana.
dari price tag yang terpasang, tidak murah dan mungkin Jazmin akan memilih satu saja. Kebetulan ia kekurangan baju tidur dan hendak berencana membeli baru.
"Aku ambil yang ini saja sepertinya. Kebetulan aku ingin baju tidur yang baru."
Aksa menoleh pada baju yang ada di tangan Jazmin. "Hanya itu?"
Jazmin mengangguk dengan mantap tanpa ada keraguan. "Iya, aku mau baju tidur saja."
Aksa pun memanggil pelayan butik tersebut dan menyuruhnya mengambil beberapa baju yang warnanya berbeda dari yang dipegang Jazmin.
"Aku pilih model yang seperti ini dan mengambil semua warna yang ada," tukasnya memerintah pegawai butik tersebut.
"Baik, Pak." Pegawai butik tersebut mengambil baju yang ada di tangan Jazmin. "Permisi, Bu ... biar saya ambilkan yang seperti ini lagi dengan berbeda warna."
Jazmin pun terdiam karena masih belum sadar dengan yang diucapkan Aksa barusan. Tanpa aba-aba, pria itu membelikan Jazmin banyak baju tidur.
"Aksa?" Jazmin memanggil Aksa yang masih berdiri di hadapannya dengan memilih beberapa dress yang mungkin akab ia belikan untuk istrinya, yaitu Mika.
"Hum? Apa?"
"Kenapa banyak sekali baju tidurnya? Aku keberatan."
"Tidak apa. Agar anakku nanti bisa merasa nyaman karena ibunya memakai baju yang nyaman dan berkualitas."
Lagi, setiap dia melakukan sesuatu selalu diimingkan seolah-olah hanya karena si kecil yang bahkan prosesnya belum dibuat.
"Kalau begitu aku akan menunggu di kasir saja."
"Aku akan membelikan kau dress yang ini." Aksa menunjukkan satu dress santai yang berwarna kemerahan pada Jazmin. Dia rasa, dress itu sangat cocok dipakai oleh Jazmin.
"Kau akan membelikanku yang itu juga? Kenapa kau tidak membelikan istrimu saja?"
"Istriku? Tidak akan mungkin membeli disini. Pakaiannya jauh lebih mahal 10 kali lipat dari yang ini."
Jazmin pun terdiam dan menyesali ucapannya yang tadi karena membuat dirinya terlihat semakin miskin. Padahal butik ini menurut Jazmin sudah berkelas dengan harga yang sangat mahal untuknya.
"Y-ya terserah padamu saja." Enggan memperpanjang obrolan, Jazmin memilih untuk menunggu di kasir saja sampai Aksa selesai dengan pilihannya.
Setelah dari butik, mereka ke lantai dasar untuk memenuhi tujuan awal membeli makanan. Ketika sedang asik memilih buah, Jazmin teringat sesuatu dan dia langsung menoleh pada Aksa.
"Apa nanti kau akan langsung ke kantor?"
"Apa urusanmu bertanya seperti itu?"
Jazmin meneguk ludahnya dengan kasar. Kenapa Aksa terlihat lebih menjengkelkan dari biasanya. Sungguh, Jazmin tidak mengerti.
"Aku ingin meminta bantuan memasang lampu kamar mandi. Tapi, jika tidak bisa ya tidak masalah, aku akan meminta bantuan petugas kebersihan di keber-"
"Aku yang akan memasangnya nanti," balas Aksa lagi dengan memotong ucapan Jazmin. Tidak akan ia biarkan orang lain ataupun petugas kebersihan memasuki apartemen Jazmin dan membiarkan wanita itu sendirian.
"Oke. T-tapi lampunya bel-"
"Aku juga yang akan membelinya," potongnya dengan cepat. Sepertinya Aksa hobi memotong ucapan Jazmin, seperti tahu saja apa yang dibicarakan oleh gadis itu.
Jazmin pun menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal. Dia keheranan dengan sikap Aksa yang seperti itu. Aksa itu cuek, tapi sebenarnya perhatian. Atau bagaimana, sih? Jazmin sulit memahami.
"Terima kasih jika begitu." Itulah kalimat akhir yang Jazmin katakan. Tidak lagi, dia mengiyakan saja apa yang dikatakan Aksa setelahnya.
***
Jazmin tengah membantu Aksa memasang lampu dengan bantuan tangga khusus dua kaki. Sejak tadi Aksa sedikit kesulitan namun dapat teratasi.
"Sinikan bola lampunya." Tangan Aksa terulur ke bawah tepat di depan wajah Jazmin.
"Ini," ucap Jazmin sembari meletakkan bola lampu tersebut ke telapak tangan Aksa. "Hati-hati," sambungnya lagi karena tangga yang dipakai sedikit longgar dan mudah jatuh jika tidak dipegangi.
"Hum."
Setelah selesai memasang lampunya dengan benar, Aksa hendak turun dan meminta bantuan Jazmin.
"Apa perlu bantuan?" Jazmin menawari lebih dulu karena dia juga khawatir pada tangga yang longgar tersebut.
"menurutmu?"
Jazmin buru-buru memegangi tangga dan Aksa turun perlahan-lahan. Pada anak tangga terakhir Aksa sedikit terpeleset namun tidak jatuh. Ketika dia berbalik badan, tepat saat itu berhadapan dengan Jazmin yang juga sama terkejutnya dengannya.
Mereka berdua benar-benar menempel, bahkan hampir terputus jarak 1 cm. Lama saling bertatapan, membuat Jazmin buru-buru melepaskan pegangannya pada tangga.
Tinggi badan Jazmin sebatas dagu Aksa, tentu membuat mereka saling bisa merasakan nafas satu sama lain.
"Euh-" Jazmin memundurkan langkahnya karena merasa canggung dengan situasi ini. Apalagi tatapan Aksa yang tidak pernah lepas mendalami obsidian hitam miliknya.
Sret.
Aksa menahan lengan Jazmin dengan tiba-tiba dan mencengkramnya lebih erat.
"K-kau-"
"A-aku hanya ingin menolongmu tadi. Bukan maksud apa-apa," ungkap Jazmin dengan mengklarifikasi kejadian tadi. Dia tidak ingin Aksa salah paham pada tindakan Jazmin.
"Aku tidak ingin gagal pada percobaan pertama. Anak itu harus ada dan itu tanggung jawabmu."