01. Swiss dan perpisahan
Tuhan, Zeemart adalah perpisahan terhebat dan mungkin awal yang buruk untuk kehidupanku selanjutnya. Titip dia yang pernah singgah sebagai poros hidupku walau sebentar - Swiss, 06 Januari 2017
Tertanda, Jazmin Andara.
Rangkaian bunga di tangannya kian layu atau bahkan akan jatuh berguguran seiring kepercayaan itu dikhianati dengan kekecewaan.
"Kau menghancurkan semuanya, Aksa. Sekarang, Swiss menjadi negara terburuk yang pernah aku singgahi." Wanita itu meluruhkan air matanya. Memang, sedari tadi matanya terus menjadi atensi dari pria yang tengah berdiri di hadapannya, berkaca-kaca penuh dengan luka.
"Jazmin …," lirih pria itu dan berusaha meraih pergelangan tangan Jazmin yang begitu kecil karena tubuhnya yang kurus.
Jazmin menolak dan menjauhkan diri dengan cara memundurkan kakinya beberapa kali. "Kau membohongiku, Aksa. Aku sudah tahu semuanya. Kau tunangan dari wanita lain dan aku hanya sebagai benalu dalam kehidupanmu," lontar Jazmin dengan penuh penekanan. Detak jantungnya begitu tidak karuan karena Aksa yang tidak kunjung paham dengan perkataannya.
"M-maaf …." Itulah satu kata yang mampu Aksa ucapkan saat ini. Bahkan, rangkaian bunga yang ada di tangannya terjatuh begitu saja karena sudah tidak ada harapan lagi. Seiring waktu terus berlalu, warna langit berubah menjadi senja yang penuh dengan keindahan.
Jazmin terkekeh kecil dan terkesan remeh. Ya, dia menertawakan dirinya sendiri yang terlalu bodoh karena jatuh cinta pada laki-laki asing yang ia temui di Swiss. Awalnya, ia datang ke Swiss untuk mengunjungi salah satu kota Zermatt sebelum ia memutuskan untuk bunuh diri. Tapi, dia bertemu sosok Aksa yang membuat semua rencananya berubah total.
"Aku sangat kecewa padamu, Aksa," ungkapnya sembari mempertemukan obsidian mereka yang begitu kelam dan cantik di saat bersamaan. "Aku merubah jalan hidupku hanya karena dirimu. Di saat aku menjadikanmu pusat kehidupanku, kau juga membuatku seperti objek yang lebih buruk dari bangkai."
"Jazmin, tidak seperti itu. Kau tidak tahu apa yang terjadi padaku dan kehidupanku. A-aku mencintaimu … tolong pahami aku." Aksa berusaha membela diri dan berharap Jazmin setidaknya mendengarkan alasan dirinya berbohong tentang pertunangan tersebut.
Jazmin semakin menusuk Aksa dengan tatapan tajamnya yang begitu mematikan. "Omong kosong. Jika kau mencintaiku, kau tidak akan tega menyakitiku dengan cara seperti ini. Kau egois, Aksa!" berang Jazmin dengan tangan yang mengepal kuat. Lalu, dia berjalan meninggalkan Aksa begitu saja. Melewati pria itu tanpa mau menoleh sedikitpun. Hati Jazmin terlanjur rapuh dan hancur.
Aksa pun membuntuti gadis itu dari belakang, membiarkan sosok yang dicintainya itu melangkah untuk membuat hatinya stabil kembali. Aksa berjanji, akan menjaganya dari jarak yang sedekat ini.
Jazmin berhenti dan membalikkan tubuhnya karena risih dengan kehadiran Aksa di belakangnya. "Berhenti mengikutiku. Aku tidak ingin lagi bersamamu. Sudah ku katakan, aku ingin putus. Aku tidak ingin lagi melihat wajahmu, Aksa!" Hampir, Jazmin menunjuk-nunjuk Aksa dengan kasar.
"Aku mencintaimu."
"Bullshit!!!" teriak Jazmin, hingga pita suaranya hampir musnah karena tak sanggup bertahan.
"Aku menyayangimu!" tegas Aksa sambil menarik lengan Jazmin dengan kuat. Alhasil, Jazmin tenggelam dalam dekapan erat sang kekasih yang sebentar lagi akan menjadi mantan (?)
"Lepaskan! Lepaskan aku, Aksa!" Gadis itu terus berteriak sembari memukul bagian bidang Aksa dengan sekuat tenaganya. "Kau sudah akan beristri dan tidak baik menahan perempuan lain untuk tetap disisimu! Apa kau gila! Hah!" Teriakan Jazmin begitu nyaring hingga Aksa tidak tega mendengarnya. Perlahan, laki-laki itu melepaskan pelukannya pada tubuh Jazmin.
"Aku tidak mencintai dia. Aku hanya memenuhi keinginan orang tuaku. Sebelum ibuku meninggal, dia ingin aku menikah dengan gadis pilihannya. M-maafkan aku, Jazmin."
"Lalu, kenapa kau menjalin hubungan dengan wanita lain? Kau menyakiti tiga wanita sekaligus, Aksa! Ibumu, dia dan juga aku! Aku tidak ingin lagi bersamamu! Kita putus! Kau pembohong!" Jazmin terus memaki Aksa dengan perasaan yang bergemuruh hebat. Dia mencintai Aksa, tapi semesta tidak mendukung.
"Jazmin. Kau tidak memahami posisiku, aku tidak ingin kehilanganmu. Aku tidak sanggup jika kau bersama dengan pria lain. Tolong, mengertilah dengan keadaanku." Aksa membuat suaranya begitu lembut, tidak ingin melukai hati dari Jazmin. Dia terlalu mencintai Jazmin dan tidak ingin gadis itu pergi dari hidupnya.
Obsidian Jazmin mendadak sayu, tatapannya semakin dalam menyimpan banyak luka. Pertama, luka dari ayahnya dan yang kedua adalah luka dari pria yang begitu ia cintai. Sekarang, apakah Jazmin benar-benar tidak pantas untuk dicintai oleh seorang laki-laki? Dia terlalu lelah untuk semua hal.
"Lantas, apa yang ingin kau lakukan sekarang? Mempertahankanku atau tetap melanjutkan permintaan ibumu?" tanya Jazmin dengan harapan setidaknya Aksa memilihnya. Tatapannya juga menghardik Aksa untuk tidak dapat membela diri.
Namun, Aksa tidak dapat menjawab pertanyaan yang terlontar dari bibir Jazmin. Dia tidak berada dalam pilihan yang tepat karena dirinya terlanjur menerima permintaan sang ibu untuk menikah dengan wanita yang sudah dipilih untuknya.
"Kamu ga punya pilihan, kan? Aku juga tidak bisa mempertahankan hubungan yang akan menyakiti salah satunya. Aku punya hak untuk meninggalkanmu lebih dulu, Aksa."
"Jazmin itu sulit …." Aksa semakin terlihat lemah karena dia juga tidak bisa mempertahankan keinginannya untuk membuat Jazmin tetap tinggal di sisinya.
Jazmin menarik nafas dalam-dalam, berupaya menahan diri agar tidak kembali meluapkan tangisannya. Rasa sesak di dadanya tidak bisa dipungkiri sekaligus menyakitinya sendiri.
"Jujur, aku memang tidak bisa mengingkari janjiku pada ibuku. Tapi, aku tetap ingin mempertahankanmu. Kita bisa melewatinya, Jazmin."
Jazmin menggeleng kencang, itu sangat mustahil untuk dipertahankan. "Apa aku akan menjadi simpananmu saja setelah ini? Apa aku tidak boleh memamerkan pasanganku nantinya? Apa aku akan menjadi istri dari seorang suami? Apa kau tega melakukan itu padaku? Secara tersirat kau akan membuatku menjadi wanita tidak terhormat, Aksa."
"J-jazmin … maaf," lirihnya lagi, memang itu satu-satunya cara agar hubungan mereka tetap terjadi dan dipertahankan.
"Engak, Aksa. Itu nggak mungkin. Memang ini takdirnya. Aku bukan semestamu dan kau juga bukan pusat kehidupanku. Terima kasih telah membuat Swiss menjadi tempat terjahat untukku. D-disini …. " Jazmin menghapus air matanya yang bercucuran membasahi kedua pipi mulusnya. "Di Zermatt adalah awal dari pertemuan kita dan akhir dari kita berdua. Aku tidak ingin bertemu lagi denganmu atau sekedar mengenal dirimu. Aku sendiri dengan jalan hidupku. Ini k-keputusanku. Aku pergi." Tanpa banyak basa basi, Jazmin segera melangkahkan kakinya dengan buru-buru karena rasa mual di perutnya begitu mendominasi. Membiarkan Aksa yang termangu dengan ribuan pikiran yang bercabang-cabang.
Aksa tidak ingin lagi menahan Jazmin karena perkataan gadis itu sendiri. Benar, bagaimana kedepannya jika Aksa memaksakan diri pada Jazmin? Apa dia akan terus mengurung Jazmin dan tidak bisa dengan bebas membawa Jazmin untuk ditunjukkan sebagai wanitanya?
Yap, Jazmin yang harus tersakiti disini. Tidak apa-apa, kan? Setidaknya, hanya satu wanita yang tersakiti di kasus ini.
"Maafkan aku yang sangat pengecut ini, Jazmin. Suatu saat, jika kita bertemu lagi aku tidak akan melepaskanmu dengan sia-sia. Terima kasih, berkatmu Swiss tidak menjadi seburuk itu di pikiranku …."
***
Jazmin kini terduduk di pinggiran sungai Zeematt seorang diri. Di waktu yang semakin memasuki kegelapan, Jazmin meluapkan tangisannya dengan pilu. Lalu, di tangan kanannya ia memegang satu buah benda persegi yang diremat dengan kuat.
"Kenapa jadi begini? Harusnya, sejak awal aku mati saja dengan diriku sendiri. Bukan, membawanya untuk menderita bersamaku."
Plung.
Jazmin melemparkan benda persegi tersebut dengan sekuat tenaganya hingga terdengar bunyi benda itu yang tenggelam dan dibawa pergi oleh arus air yang mengalir.
"Aksa Adinan. Aku bersumpah, aku membencimu!" ucapnya dengan tenaga yang tersisa. Dia sungguh tidak ingin lagi berurusan dengan Aksa Adinan.
Begitulah, sosok Jazmin Andara yang bermalam di sungai Zermatt sembari meratapi nasib hidupnya yang terlahir dari keluarga berantakan dan menjalin hubungan dengan pria yang sudah bertunangan.
Apa yang terjadi mungkin tidak kita kehendaki. Namun, Tuhan sudah berencana untuk membuat takdir itu adalah yang terbaik untukmu.