Beberapa menit yang lalu, Nirmala mendapat pesan dari Niken melalui aplikasi chating yang dipasang di ponselnya. Katanya, sekarang juga ia ditunggu di ruangan dekan untuk memastikan soal pekerjaannya sebagai dosen pengganti. Kebetulan, saat Nirmala mendapatkan pesan dari Niken, ia sedang ada di kantin kecil yang tak sengaja ditemukan oleh dirinya beberapa saat setelah dirinya yang sempat bertabrakan dengan pemuda tampan tapi nyeleneh yang kerap kali melontarkan ucapan songongnya tanpa tahu sopan santun. Andai saja ia tahu bahwa perempuan yang sudah ditabraknya tadi adalah calon dosen yang akan mengajar di kampus ini, maka mungkin ia rasa pemuda tidak akan terlalu songong meskipun ia ragu bahwa pemuda sejenisnya bisa bersikap santun terhadap sosok yang lebih tua darinya. Mengingat caranya berbicaranya saja seperti orang yang suka-suka gaya gue, maka Nirmala pun merasa sangsi apabila pemuda itu bisa bersikap sopan sedikit andai dia tahu bahwa Nirmala akan menjadi dosen pengganti di kampus Buana Putih ini.
Lalu sekarang, sehabis beranjak jauh dari kantin kecil yang dipakainya untuk mengisi perut sejenak selagi ada kesempatan, Nirmala pun mulai kebingungan dengan penjelasan si ibu kantin yang sempat memberitahukan dirinya perihal denah menuju ruangan dekan yang hendak ditujunya.
"Aduh, tadi si ibu kantin bilangnya belok ke kiri apa ke kanan ya? Gini nih kalo penyakit lemot udah kumat, suka lupa terus bawaannya. Padahal belum lama juga kan si ibu kantin nyerocos kasih tahu jalan menuju ke ruang dekan. Ya ampun, bisa gak sih si otak diajak kerja sama pas lagi buru-buru kayak gini?" gumamnya kesal sendiri. Jika bisa, maka ia ingin sekali mengeluarkan otaknya terlebih dahulu dan sedikit membersihkannya agar kembali segar dan tak mudah lupa. Sayang, itu bukanlah kemauan yang bisa Nirmala lakukan begitu saja. Alih-alih otaknya kembali segar, yang ada Nirmala dikira sudah gak waras karena berani-beraninya mengeluarkan otak sendiri dari tempurung kepalanya.
Perempuan itu mengembuskan napasnya kesal. Kesal karena sampai sekarang pun ia masih saja celingukan gak jelas. Lagipula, kenapa koridor terasa sepi dan tidak ada satu orang pun yang kebetulan melintas. Jadinya kan Nirmala kesulitan untuk sekadar bertanya-tanya.
"Apa aku telepon Bu Niken aja ya buat tanya-tanya arah ke ruang dekan harus lewat mana. Tapi tadi Bu Niken bilang, dia sendiri lagi repot di kelasnya. Itu pun dia menyempatkan diri mengiriminya pesan karena memang dia sudah mendapat komando dari Pak Dekan sendiri. Aduh, terus gimana dong? Masa aku harus nekat sih ambil jalan sesuai insting. Mending kalo bener, lah kalo ujungnya nyasar ke tempat lain gimana? Makin jauh aja aku dari tempat yang akan dituju...." ucap perempuan ini gusar. Membuang napasnya lagi dan kali ini ia pun mengusap wajahnya kasar menggunakan satu tangan.
Sampai ketika Nirmala yang sudah semakin terdesak dan nyaris putus asa, tahu-tahu seseorang muncul menghampirinya. Melihat ada seorang perempuan yang sedang merasa kebingungan sendiri di tempat berdirinya, orang itu lantas memutuskan untuk beringsut mendekat dan mulai menyapa perempuan tersebut.
"Permisi, ada yang bisa dibantu?"
Mendengar ada sebuah suara berat yang mengaliri indra pendengarannya, secepat kilat Nirmala pun menolehkan kepalanya ke sumber suara yang menyapanya barusan. Untuk sesaat, Nirmala merasa terpana pada pahatan indah yang kini ia dapatkan dalam paras seorang pria yang kedapatan juga sedang memandangnya.
Seorang pria berkemeja abu-abu pas body saat ini tengah berdiri di dekatnya dengan menyorotkan tatapan yang menantikan jawaban dari perempuan di hadapannya. Namun Nirmala, dibanding buru-buru melontarkan jawabannya, ia justru malah anteng menatapi paras tampan tersebut dengan sorot mupeng bercampur melongonya. Membuat si pria sontak berdeham dan Nirmala pun refleks terkesiap hingga akhirnya ia tersadar juga dari raut melongonya.
"Eh, emm... Ma-maaf. Sa-saya--"
"Sebentar, kalo gak salah ingat kamu Nirmala, kan?" ujar pria itu sambil mengacungkan jari telunjuknya tepat ke hadapan sang gadis. Membuat Nirmala yang semula tampak salah tingkah pun lantas berubah menjadi kaget karena ternyata pria ini mengenali dirinya meski ia sendiri tak mengenalnya.
Nirmala spontan mengerjapkan mata. Namun pria di hadapannya kembali berucap seolah ia belum mendapatkan kepastian. "Alumni SMA 69, kelas 3 IPA 3. Bener gak?" imbuh si pria menyertakan hal lainnya. Dan seolah Nirmala dibawa melambung ke masa SMA-nya dulu, kenangan demi kenangan yang pernah ia lalui di masa-masa berseragam putih abu itu pun lantas mulai beterbangan di benaknya. Setiap potongan puzzle yang semula berbentuk tunggal, kini telah berusaha menyatukan diri agar bisa membentuk satu kesatuan yang membuat Nirmala mulai mengingat wajah tampan ini. Ya, wajah yang dulu sering kali Nirmala temukan juga ketika mengikuti olimpiade matematika tingkat nasional. Bersama dengan pemilik wajah ini, Nirmala pun meraih kemenangan yang membuat seluruh penghuni SMA 69 bersorak sorai menyambut piala kemenangan yang berhasil Nirmala dapatkan dengan si tampan bernama Zidan ini.
"Ah, ya! Kamu Zidan, kan? Anak 3 Ipa 2. Partner tunggalku saat mengikuti olimpiade matematika tingkat nasional. Bener kan?" pekik sang gadis yang sudah teringat pada sosok di hadapannya.
Sontak saja, pria tampan berambut gaya spike itu pun tersenyum lebar di tengah anggukan kepalanya. Merasa tidak salah ingat, Nirmala pun lantas memekik girang karena ternyata ia bisa kembali dipertemukan dengan salah satu teman SMA nya dulu. Padahal, semenjak masuk kuliah dan menyibukkan diri dengan pembelajarannya yang harus ia kejar, Nirmala bahkan sudah jarang sekali bertemu dengan teman-teman SMA-nya. Jangankan bertemu, untuk saling mengirim kabar lewat apapun saja Nirmala sudah tidak pernah melakukannya. Hal itu disebabkan karena Nirmala dituntut untuk selaly fokus pada pembelajarannya selama di kampus. Mengingat ia yang memiliki tanggungjawab besar karena mendapat beasiswa full saat memasuki universitas negeri yang ternama, maka tidak ada kesempatan untuk Nirmala berleha-leha.
Lagipula, sejak SMA pun Nirmala jarang bergabung dengan teman-temannya yang cenderung suka nongkrong-nongkrong gak jelas bahkan terkadang ada juga yang doyan berkeliaran malam. Nirmala benar-benar tidak punya waktu untuk sekadar bermain-main seperti itu. Orangtuanya di desa sangat berharap kalau Nirmala bisa membuat mereka bangga. Maka demi mewujudkan cita-cita ibu dan ayahnya, Nirmala pun bertekad untuk selalu menjadi bintang kelas di setiap pembagian rapor tiba. Dia pun sering kali mengikuti berbagai macam olimpiade. Entah itu tingkat provinsi maupun nasional. Berkat kepintarannya itu, Nirmala pun akhirnya bisa meraih beasiswa full hingga berhasil menyelesaikan pendidikannya tersebut dalam kurun waktu yang terbilang cepat. Maka tidaklah heran kalau sekarang, di usianya yang masih terkategorikan muda, Nirmala pun sudah lulus kuliah dan direkomendasikan untuk menjadi dosen pengganti oleh Niken yang mengetahui betul semampu apa Nirmala dalam kepiawaiannya menjadi tenaga pengajar. Meskipun ini adalah pengalaman pertamanya, tapi Niken yakin bahwa Nirmala tentu akan mampu menangani setiap prosesnya saat diminta menjadi dosen pengganti.
"Ya ampun, gak nyangka bisa ketemu di sini. Apa kabar, La? Rasanya udah lama ya kita gak ketemu," ungkap Zidan bersuara lagi.
"Iya. Terakhir ketemu pas SMA dulu ya. Itu pun sebelum kamu pindah ke luar kota," sahut Nirmala tersenyum. Mengingat perpisahan mereka di semester awal kelas 3. Pada saat itu, Zidan memang diharuskan ikut pindah karena ayahnya yang seorang tentara dipindah tugaskan keluar kota Jakarta.
"Kamu lagi ngapain di sini? Masih tinggal di Jakarta?" tanya Zidan kemudian.
"Masih, kok. Aku kan dapet beasiswa di UI waktu itu, jadi gak ada kesempatan buat pulang kampung. Dan sekarang, aku lagi kebingungan cari ruangan dekan nih. Tadi sempat dikasih tau sama ibu kantin, tapi aku malah lupa pas nemu belokan dua arah gini," tutur Nirmala meringis. Merasa malu karena mendadak sifat pelupanya tiba-tiba kambuh di waktu yang gak tepat.
"Oh kamu lagi cari ruang dekan? Aku bisa kok tunjukin," ujar Zidan berinisiatif.
"Serius? Wah makasih banget ya, Zi. Aku bener-bener beruntung karena bisa ketemu sama kamu yang mau nunjukin di mana ruangan dekan." Terlihat, Nirmala pun menghela napasnya lega.
"Tapi kalo boleh tau, ada urusan apa kamu sama Pak Dekan? Kamu mau ngelamar kerja di sini?" tebak Zidan menatap ingin tahu.
Mula-mula, Nirmala pun hanya mesem-mesem saja. Tapi kemudian, dia pun menjawab,"Bukan melamar sih. Tapi aku direkomendasiin sama Bu Niken buat jadi dosen pengganti untuk dosen asli yang mau cuti melahirkan gitu, Zi. Cuma sebelum itu, aku harus urus formalitasnya dulu sama Pak Dekan...." urai Nirmala menjelaskan. Sementara Zidan, ia pun tampak manggut-manggut setelah mengetahui bahwa ternyata teman SMAnya itu akan menjadi dosen pengganti di kampus ini.
"Oh jadi kamu dosen yang bakal gantiin istri aku," celetuk Zidan tanpa disangka. Membuat Nirmala sontak menatap terkejut selepas mendengar perkataan Zidan barusan.
"I-istri kamu, Zi?" tanya Nirmala sedikit tersendat.
Zidan pun mengangguk. "Iya. Jadi istri aku tuh emang udah lama ngajar di kampus ini. Kebetulan, Pak Dekan yang mau kamu temui itu tuh mertua aku juga. Yang artinya, dia ayahnya istri aku. Dan kayaknya, kamu emang wajib ketemu sama beliau dulu deh. Soalnya ya gitu, dia perlu memastikan kalau pengganti anaknya itu apakah kemampuannya akan setara atau sebaliknya. Tapi aku yakin, kok, kamu kan terkenal dengan kepintaranmu semasa SMA dulu. Udah banyak piala berbagai olimpiade yang kamu raih. Aku sih yakin kamu bakal diterima. Ya mudah-mudahan aja kamu bisa seterusnya juga jadi dosen ini. Kata istriku sih gajinya lumayan besar, sepadan lah sama otak yang selalu terkuras karena harus susun materi yang dikasih ke para mahasiswa sini."
Sungguh mengejutkan memang ketika Nirmala tahu bahwa ternyata Zidan sudah menikah. Dan rasa terkejutnya kembali bertambah saat ia tahu bahwa ternyata posisi istri Zidanlah yang akan digantikan sementara oleh dirinya. Lalu Dekan itu, rupanya dia adalah ayah dari istri Zidan sekaligus dosen asli yang akan Nirmala gantikan dulu selama ia cuti melahirkan. Oh ya ampun, dunia memang terkadang terlihat luas, tapi aslinya, Nirmala bahkan merasa seperti dunia ini hanyalah sebentuk bulatan kertas yang ia kepal di genggaman tangannya. Kecil dan sempit.
***
Selepas menyelesaikan segala macam formalitas dan sedikit tes yang diberikan oleh sang dekan, kini Nirmala akhirnya bisa keluar dari ruangan tersebut dengan perasaan lega dan juga bahagia. Lega karena ia bisa menuntaskan segala macam yang dijalaninya tadi di dalam ruangan dan senang karena ternyata ia mampu meyakinkan dekan kampus untuk menjadi dosen pengganti putri sematawayangnya.
"Selamat bergabung dengan tim kampus Buana Putih ya, Nona Nirmala. Mulai hari ini, anda resmi menjadi dosen pengganti dosen Oktavia. Sebagaimana anda tahu, selain dia yang adalah putri saya dia pun merupakan dosen pilihan yang dipercaya bisa memberikan nilai-nilai positif kepada mahasiswa yang diajarnya," ujar Pak Dekan memberi tahu. Sekiranya, seperti itulah kalimat sambutan yang diberikan oleh dekan kampus kepada dirinya yang telah berhasil melewati sedikit ujian yang dia limpahkan.
Membuat Nirmala lantas merasa salut pada dirinya sendiri karena rupanya ia bisa melalui hari ini dengan cukup baik meski di awal harus ditimpa beberapa kesialan.
Sementara itu, dikarena ia baru bisa mengajar mulai hari esok, Nirmala pun berniat untuk langsung pulang saja agar ia bisa menyiapkan materi pembelajaran untuk disampaikan besok kepada sejumlah mahasiswanya. Namun sebelum itu, ia pun harus mampir dulu ke bengkel di mana ia sudah meninggalkan motornya di sana demi untuk diperbaiki.
Akan tetapi, saat baru saja Nirmala hendak melangkah, tahu-tahu ia pun ditemui lagi oleh teman SMAnya tadi yang kebetulan sekarang ini muncul bersama seorang wanita hamil yang Nirmala rasa itu pasti adalah istrinya.