KAMPUS BUANA PUTIH.
Akhirnya, setelah sempat menggiring motor mogoknya ke bengkel yang ia temui sekitar beberapa meter dari terakhir kali motornya mogok, kini Nirmala pun telah tiba di lingkungan kampus di mana ia akan menjadi dosen pengganti untuk beberapa bulan ke depan selama dosen aslinya cuti melahirkan. Tapi Nirmala berharap, semoga saja kinerjanya ternilai bagus oleh seluruh staf kampus dan itu artinya, ia bisa direkrut menjadi dosen tetap yang akan terus mengajar di kampus ini tanpa takut digantikan lagi oleh dosen asli yang sedang cuti.
Nirmala menghela napasnya untuk sesaat. Mengingat motornya sedang di bengkel, ia pun jadi harus naik angkutan umum agar bisa sampai di kampus Buana Putih. Inginnya sih naik taksi, tapi apalah daya, argo taksi tak semurah ongkos angkutan umum. Jadi, daripada Nirmala harus merogoh kocek uang hariannya, maka lebih baik ia merakyat saja daripada harus sok bergaya memakai taksi tapi nanti ia harus puasa makan karena uangnya dipakai membayar taksi.
Big No! Nirmala bukan tipe perempuan yang royal. Ia pun sering kali mengirit hanya demi agar keuangannya tidak berantakan. Misalnya, dalam sebulan, Nirmala hanya akan membeli beberapa keperluan yang sekiranya dibutuhkan sekali oleh dirinya. Sementara yang tidak benar-benar penting untuk dipakainya, bisa Nirmala kesampingkan serta memilih untuk menabung demi keberlangsungan hidupnya di kota besar ini. Maklum, biaya hidup di ibu kota tidak semurah sewaktu tinggal di desa. Meskipun Nirmala tinggal dengan bibinya yang begitu memperhatikan dirinya dan tak jarang selalu menawarinya untuk membelikan sejumlah kebutuhannya, tapi Nirmala tidak mau membiasakan diri untuk merepotkan bibinya itu. Ia sudah dewasa dan bukan waktunya lagi untuk Nirmala menyulitkan orang-orang yang ada di sekitarnya.
"Dek Mala!" Tahu-tahu, seseorang tampak berseru memanggil nama pendeknya.
Secepat kilat, perempuan berambut lepek itu pun sigap menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang kini sedang berjalan ke arahnya. Untuk sesaat, Nirmala memicingkan pandangannya guna memastikan penglihatannya yang sedikit buram jika di kejauhan. Namun ketika wanita itu semakin melangkah lebih dekat, barulah ia sadar bahwa ternyata sosok yang menyerukan namanya barusan pun adalah salah seorang yang berjasa untuknya karena sudah merekomendasikan dirinya kepada dekan kampus agar menjadikannya sebagai dosen pengganti selama dosen aslinya mengambil cuti melahirkan.
"Eh, Bu Niken...." gumam Nirmala meringis kikuk. Rasanya, ingin sekali dia menimpuk kepalanya sendiri dengan sandal karena sudah sempat tak mengenali wajah Bu Niken dari kejauhan. Namun syukurlah, sekarang wanita bertubuh gempal itu sudah berdiri tepat di hadapannya.
"Maaf, Bu... Saya kira tadi bukan Bu Niken. Kayaknya, mata saya perlu diperiksa deh. Habisnya, saya udah gagal ngenalin wajah Ibu saat tadi Bu Niken masih di kejauhan. Sekali lagi maaf ya, Bu. Mata saya beneran minus kayaknya...." ujar Nirmala tak enak. Tapi untungnya, Niken malah tersenyum berusaha memaklumi.
"Ndak apa-apa. Saya juga gak tersinggung, kok. Tujuan saya samperin kamu itu karena saya mau tanya-tanya sama kamu. Jadi gini lo, Mal. Kok kamu baru datang jam segini? Kamu gak lupa kan kalo seharusnya kamu udah tiba di kampus sekitar satu jam yang lalu? Atau, kamu kejebak macet ya?" tanya Niken dengan nada yang biasa. Tapi tetap saja, Nirmala seperti sedang diinterogasi oleh wanita di hadapannya ini.
Mula-mula, Nirmala pun menggigit bibir bawahnya. Menatap Niken dengan pandangan yang penuh sesal dan juga malu karena sudah terlambat datang. "Aduh, Bu. Maaf... Saya juga malu banget karena udah gak tepat waktu. Malah, kayaknya saya terlambat banget ya, Bu? Tadi itu saya udah berusaha buat buru-buru datang ke sini, tapi gak tau kenapa, tiba-tiba aja motor yang saya kendarai malah mogok tanpa alasan. Dugaan saya sih ada masalah sama mesinnya gitu. Terus, saya juga tadi sempat terjebak di dalam--" Mendadak, Nirmala pun menghentikan ucapannya. Membuat Niken lantas mengernyit dan menyentuh lengan perempuan muda itu sambil berkata.
"Kok gak dilanjut? Ada apa?" Begitu tanya Niken. Dalam sekejap menyebabkan Nirmala tergeragap di tengah sikap salah tingkahnya.
"Enggak, enggak! Aku gak boleh kasih tau Bu Niken soal tawuran yang melibatkan anak kampus sini juga. Bisa gawat nanti! Bukannya aku mau nutupi kelakuan mereka yang kelibat tawuran, tapi aku males aja kalo misalkan keseret-seret dalam masalah yang merumitkan di hari pertamaku mengajar di sini. No! Aku gak mau kalo sampe diminta jadi saksi atas keterlibatan anak kampus sini di dalam tawuran tadi. Jadi lebih baik, aku mending gak cerita aja deh. Semoga aja, Bu Niken gak mendesak terus supaya aku bercerita yang sebenarnya," urai Nirmala dalam hatinya. Lalu selanjutnya, ia pun menatap Niken lagi di tengah wajahnya yang meringis-ringis.
"Aduh, Bu. Kok, mendadak perut saya melilit gini ya. Toilet sebelah mana ya? Ini sepertinya gara-gara saya gak sempat sarapan dan akhirnya masuk angin. Bu, kalo boleh nih, saya bisa diarahkan ke toilet kampus ini dulu gak? Saya beneran sakit perut. Bisa gawat kalo misalkan saya ngeluarin gas dengan bau yang gak sedap di hidung. Tolong, Bu... Saya janji nanti bakal temuin Bu Niken lagi deh. Tapi sebelum itu, bantu saya buat nemuin toilet dulu ya," pinta Nirmala memelas. Berharap kalau wanita di hadapannya memberi tahu tentang lokasi toilet kampus yang bisa digunakannya.
Merasa kasihan pada Nirmala yang terlihat cukup tersiksa dengan ekspresinya yang tidak enak dipandang, Niken lantas buru-buru memberitahu di mana letak toilet yang bisa digunakan. Meskipun Niken tidak yakin bahwa Nirmala bisa fokus pada keterangannya di tengah perutnya yang mungkin saja masih melilit, tapi Niken merasa bahwa setidaknya Nirmala akan bertanya-tanya lagi kepada para mahasiswa yang kebetulan ia temui di sepanjang lorong nanti. Lagipula, Niken juga sudah harus pergi ke kelas di mana ia harus mengajar. Untuk itu, Niken pun meminta maaf karena tidak bisa mengantar Nirmala secara langsung agar dia tak tersesat.
"Ya udah kalo gitu, saya pamit ke toilet dulu ya, Bu. Mudah-mudahan saya bisa sampai di toilet pada waktu yang tepat. Makasih ya, Bu, atas pengertiannya. Selamat mengajar dan sampai jumpa lagi ya, Bu. Harap beritahu saya kalau Bu Niken udah selesai mengajarnya," celoteh Nirmala mengingatkan. Lalu setelah itu, ia pun sigap melenggang sambil tak henti memegangi perutnya meski aslinya tidak terasa sakit.
Nirmala terpaksa harus sedikit berdrama di depan Niken. Demi menghindari masalah yang bisa saja ia dapatkan apabila ia berkata jujur mengenai insiden terjebak tawuran tadi. Maka supaya Niken tidak bertanya-tanya lagi kepadanya, mau tidak mau Nirmala pun jadi harus berbohong meski rasanya aneh sekali.
"Duh, maafin banget ya, Bu Niken. Bukannya aku mau ngibulin dia, tapi gimana dong... Aku beneran lagi menghindari jenis masalah apapun. Cukup sudah aku dapet kesialan beberapa kali di pagi tadi. Semoga gak ada kesialan yang menyusul yang malah bikin sepanjang hari ini dicap sebagai hari sial khusus untukku. Ya, kuharap, aku gak ketemu lagi sama sial sial lainnya yang berusaha mengintai," gumam gadis itu mengembuskan napas. Lalu setelah merasa bahwa Niken tidak lagi memperhatikannya, dengan sigap ia pun membelokkan kedua kakinya dengan cepat melewati tikungan yang ia temukan.
Tanpa disangka, tiba-tiba saja Nirmala harus bertabrakan dengan seseorang yang juga sedang melangkah terburu-buru dari arah yang berlawanan.
***
"Rasen, tunggu!" seru seorang perempuan yang dikenal sebagai mahasiswi tercantik di kampus buana. Dia adalah Safira, gadis yang selalu mengejar cowok incarannya tapi sayang sekali, cowok yang dikejar-kejarnya malah berusaha untuk terus menghindar dari kejarannya.
"Rasen ih, kenapa malah lari sih." Safira mendecak kesal ketika melihat cowok bernama lengkap Rasendriya Mahendra itu malah terus berlari tanpa berniat mengindahkan panggilannya.
Ya, Rasendriya atau lebih dikenal dengan nama panggilannya Rasen memilih untuk pergi menjauh setiap kali ia bertemu dengan cewek genit yang agresif itu. Entah kenapa, meskipun dia cantik dan juga kaya, tapi Rasen malah keliatan gak suka dan memutuskan untuk selalu menghindarinya apabila dia mendekat. Bagi Rasen, Safira itu seperti sesuatu yang selalu membuatnya menjadi risih. Jadi daripada harus ada di dekat cewek itu, lebih baik Rasen menjauhkan diri meski terkadang teman-temannya suka sekali menjodoh-jodohkan dirinya dengan cewek itu.
Saking semangatnya Rasen dalam berlari menghindari Safira, ia pun sampai tak fokus dengan penglihatan di depannya. Alhasil, ketika ia belok ke arah tikungan, tahu-tahu seseorang berjalan juga ke arah yang sama tentunya dari arah yang berlawanan. Maka tabrakan antar manusia pun tak bisa terelakkan, membuat Rasen jatuh terpental bersamaan dengan yang ditabraknya juga ikutan jatuh dengan pose yang sama.
"Aduh bokongku!" rengek suara yang ditabrak. Dalam sekejap, Rasen pun melayangkan tatapannya ke sumber suara tanpa mempedulikan rasa ngilu yang sempat menghiasi p4ntatnya juga.
Untuk beberapa saat, Rasen sempat terpaku pada sosok yang dilihatnya masih terduduk di lantai sambil mengaduh-aduh mengeluh kesakitan. Sementara itu, dia sendiri sudah beranjak lebih dulu dan mulai mengulurkan tangan kanannya ke arah si perempuan yang sudah ditabraknya sesaat lalu.
"Sini gue bantu. Baru jatuh ke lantai aja lo udah banyak ngeluh gitu, apa jadinya kalo lo jatuh hati sama gue. Rasa-rasanya, lo pasti gak bisa bangkit lagi deh kalo udah jatuh ke hati gue. Cobain deh! Dijamin lo bakal betah apalagi kalo sampe jatuhnya pas ke pelukan gue," celoteh cowok itu songong. Lalu dalam sekejap, perempuan yang tak lain adalah Nirmala pun menatap garang ke arah pemuda songong barusan.
Beberapa jenak, Nirmala pun tertegun ketika melihat wajah yang tidak asing dalam ingatannya. Sepertinya, ia pernah melihat wajah itu, tapi di mana ya? Sampai ketika bayangannya melambung pada tawuran yang terjadi pagi hari tadi, barulah Nirmala pun ingat, bahwa pemilik wajah yang sempat menjauhkan dirinya dari areal tawuran tadi pagi pun adalah wajah yang sama dengan pemuda songong yang kini sedang mengulurkan tangan kanannya ke arahnya.
Lalu ketika Nirmala mengingat kembali bentakan pemuda itu berikut ucapan songongnya barusan, sekonyong-konyong Nirmala pun membuang mukanya ke arah lain dan berusaha bangkit sendiri tanpa mengindahkan uluran tangan di depannya.
Sadar akan penolakan yang perempuan itu lakukan, Rasen pun lekas menarik lagi tangannya yang terulur. "Lain kali, kalo jalan tuh meleng dikit. Untung tabrakannya sama gue yang sama-sama manusia, coba kalo tabrakannya sama heli kopter, bisa seketika tewas anda! Pfftt...." Cowok itu mencoba untuk menahan tawa konyolnya. Mendengarkan perkataannya yang semakin ngaco dan gak berahlak, Nirmala pun mendadak geram dan ingin sekali melemparkan bom hirosima ke arah pemuda itu.
Sayang, Nirmala bahkan tidak sedang memiliki bom sejenis itu, jadi Nirmala rasa, ia hanya perlu pergi dari hadapan pemuda gak jelas itu dan berusaha untuk mengabaikan perkataan nyelenehnya yang sempat menaikkan darahnya ke ubun-ubun. "Tahan, Nirma! Ini bahkan hari pertamamu menginjakkan kaki di kampus ini. Jadi sebaiknya, segera angkat kakimu dari sini dan berdoalah semoga kamu gak diketemukan lagi sama makhluk gak jelas yang sayangnya bermuka tampan tapi nyeleneh ini!" tukas perempuan itu dari dalam hati. Kemudian, ia pun benar-benar melangkahkah kedua kakinya meninggalkan Rasen sambil sesekali mengusap bagian bokongnya yang masih berdenyut-denyut agak ngilu.