Saat Nada masuk ke dalam rumah setelah pulang jalan-jalan bersama Semesta, ia langsung dihadiahi sebuah tamparan keras yang mendarat ke pipinya, hingga menimbulkan bekas kemerahan yang teramat perih. Wira begitu murkan dengan Nada saat ini, ia benar-benar kecewa dan marah atas perbuatan anak bungsunya itu. Benar-benar laknat di mata Wira.
Di situ keluarganya lengkap, Ana dan Melodi juga memasanga tampang yang tidak jauh berbeda dengam ekspresi sang ayah.
"Nada, sejak kapan saya ajarin kamu jadi b***h?! Kamu selingkuh sama pacar kakak kamu sendiri, di mana otak kamu? Di mana, Nada? Dia itu calon suami Melodi, dan yang akan jadi kakak ipar kamu! Benar-benar enggak punya otak dan hati kamu, Nada. Saya malu punya anak yang nggak tahu diri seperti kamu."
Ucapan Wira begitu menohok hingga membuat air mata Nada jatuh perlahan, rasa sakit pipinya tidak sebanding dengan rasa sakit hatinya atas perkataan ayah kandungnya sendiri. Nada menyeka air matanya, ia berusa merdekan sesaj yang melanda dadanya. "Oke, aku enggak akan mengelak lagi, aku emang pacaran sama dia, tapi aku punya alasan, Ayah, aku cuma pengin bahagia, apa itu salah?"
Wira mengeluarkan sabuk di celananya, kemudian ia mencambuk punggung, tangan, dan kaki anak gadis itu, hal yang biasa ia lakukan kepada Nada saat SD akhirnya terjadi lagi saat ini. Dulu Wira akan memukul Nada dengan kayu atau mencambuknya dengan sabuk kalau ia tidak sengaja merusaki barang-barangnya Melodi hingga membuat kakaknya itu menagis, seperti buku gambar yang ketumpahan air, atau buku pelajaran yang sobek.
Nada hanya menangis dan berteriak memohon ampun, seperti yang ia lakukan sekarang. Wira akan berhenti saat ia puas dengan aksinya.
Kali ini bukan Wira yang berbicara, tetapi Ana, wanita itu ikut memojokkan Nada, seakan tidak ada yang memihaknya, semua hanya peduli sama perasaan Melodi, padahal Nada juga punya hati. "Apa pun alasannya, yang namanya merebut milik orang lain, apalagi kakakmu sendiri, itu salah, Nada! Kamu salah besar, dan kamu harus segera mengakhiri hubunganmu dengan Semesta!"
Nada menggeleng pelan karena menahan rasa nyeri sekujur tubuhnya, ia tidak akan mengakhiri hubungan itu sebelum Semesta sendiri yang memintanya putus, kali ini biarkan Nada egois akan cinta, bersama Semesta ia merasakan bahagia, bukan bersama keluarga yang hanya bisa menancapkan luka.
Melodi terkekeh, lalu menatap adiknya itu dengan tatapan tajam. "Apa sebegitu enggak lakunya kamu sampai pacarku kamu rebut, hah? Apa yang kamu lakuin itu adalah rendahin kualitas diri kamu, bahkan kamu pantas disamakan dengan jalang di luaran sana." Melodi tersenyum miring. "Cih, tidur sama cowok orang, nggak tahu malu banget!"
Oke, tiga lawan satu. Nada menghela napas pelan, sekarang ia tahu kalau ketiga orang yang ada di hadapan ini tidak pantas disebut keluarga, tetapi gadis itu masih menghargai mereka karena mereka tetaplah keluarga kandungnya. Namun, kali ini Nada sudah tidak bisa tahan, ia memukul-mukul dadanya, lalu air matanya menjadi jawaban atas semua kesakitan yang ia rasakan.
"Oke, aku akui salah," ucap Nada di balik isak tangisnya. "Tapi apa aku salah, aku cuma pengin merasakan indahnya dicintai dan mencintai? Aku bosan selalu menjadi nomor dua. Dari kecil Ayah sama Bunda selalu menjadi yang teristimewa, apa pun yang kakak mau pasti kalian turuti, sementara aku? Aku hanya menunggu sisanya kakak. Bahkan dalam hal percintaan pun begitu, aku hanya menjadi yang kedua, tapi aku enggak masalah, karena aku cukup bahagia. Kalian hanya peduli sama kakak bukan aku."
"Bodoh!" geram Wira. "Kalau kami tidak peduli sama kamu, buat apa kami kasih makan kamu, sekolahin kamu sampai perguruan tinggi, hah? Kalau kami tidak peduli, sudah lama kami buang kamu!"
Bukan itu yang Nada inginkan, tapi setitik kasih sayang yang tercurahkan untuknya. Namun, selama ini hanya Melodi yang mendapatkan hal itu, sedangkan Nada sama sekali tidak terlihat.
"Kamu nggak nyadar, Nada? Semua biaya hidup kamu itu dari aku, aku yang jadi tulang punggung keluarga, tapi dengan tega kamu mengkhianatiku. Adik yang benar-benar nggak tahu diri, bahkan baju yang kamu pakai sekarang adalah pakai uangku, Nada. Sadar diri sedikit!"
Ana kembali bersuara. "Dan kami bukan enggak peduli dan perhatian sama kamu, hanya saja kamu membuat kami semua muak. Kamu itu pembawa sial, paham?"
Nada bahkan tidak tahu apa kesalahannya sampa ibu kandungnya berkata seperti itu, yang Nada tahu selama ini ia selalu berusaha menjadi anak yang baik dan penurut walaupun ia sering mendapatkan ketidakadilan atas perlakuan orang tuanya, tetapi ia tidak pernah protes. Dari kecil ia selalu berusaha menjadi anak yang manis agar orang tuanya bisa sayang, tetapi percuma segala perhatian hanya tercurah kepada Melodi. Sementara Nada hanya bisa menangis di bawah bantal tanpa berani membantah.
"Maksud Bunda apa? Apa kesalahan aku sampai kalian muak sama aku? Apa aku pernah melakukan kesalahan yang fatal?"
Wira menghela napas pelan. "Bukan fatal lagi, tapi kamu pembunuh, Nada!"
Mata Nada melotot, pembunuh? Bahkan, Nada tak tahu kapan dan siapa yang ia bunuh?
"Kapan dan siapa yang aku bunuh?" Pertanyaan itu menggantung begitu saja, karena mereka sama sekali tidak menjawab apa yang Nada pertanyakan.
***
Melodi langsung berangkat ke apartemen Semesta, ia butuh kejelasan dari hubungan ini, ia tidak bisa memilih dua orang yang berbeda dalam waktu yang sama, kalau harus ada yang berakhir, itu Nada dan Semesta, bukan Melodi dan Semesta.
Semesta langsung membuatkan kopi untuk kekasihnya itu, dan meletakkannya di hadapan Melodi.
"Kamu kenapa enggak angkat telepon aku? Kenapa enggak balas chat aku?" tanya Melodi datar, dengan perasaan kesal yang bercampur kecewa dan marah.
"Oh itu aku si—"
Melodi langsung menyela ucapan Semesta. "Sibuk selingkuh maksud kamu?" Baru saja Semesta ingin bertanya lebih jauh tapi Melodi langsung memotongnya. "Aku tahu, kanu selingkuh sama Nada, enggak usah ngelak lagi."
Semesta mengangguk, jadia ia tidak perlu mencari alasan lagi karena Melodi sudah tahu semuanya.
"Putusin dia, Ta, kamu enggak bisa pacarin dua orang yang berbeda dalam waktu yang sama. Kamu harus jaga perasaan aku, pacar kamu selama empat tahun ini."
Semesta manggut-manggut. "Empat tahun pacaran tapi kok susah ya diajak nikah? Banyak alasannya, aku jadi ragu sama kamu. Sebenarnya kamu pengin enggak nikah sama aku? Gini, Mel. Aku kasih pilihan, aku putusin Nada tapi kita nikah dalam waktu dekat ini. Gimana?"
Melodi langsung menggeleng. Menurutnya, pernikahan bukan sesuatu yang harus dipermainkan. "Nikah? Kan kamu tahu, aku lagi fokus kerja, aku harus tingkatin sistem kinerja aku biae bisa naik pangkat jadi manager, kamu harus paham dong, kalau aku lagi incar jabatan itu. Dan nikah? Belum ada wishlist aku tahun ini, kan aku bilang dua tahun lagi kita pasti nikah, Ta."
Melodi berkata seperti itu seakan-akan tidak memikirkan perasaan Semesta, yang artinya karir lebih penting daripada menikah dengan pria itu. Sekarang Semesta semakin paham kalau dirimya bukan prioritas untuk Melodi.
"Oke, dua tahun lagi. Tapi jangan larang aku untuk terus berhubungan denga Nada."
"Semesta, kam enggak bisa gitu."
"Kamu bisa egois kan? Kenapa aku enggak? Kamu pengen nikah dua tahun lagi, itu artinya hubungan aku sama Nada akan berakhir dua tahun lagi. Oh, atau enggak ada yang jamin sih, karena bisa aja perempuan yang aku nikahi adalah Nada, setelah lihat kamu yang benar-benar menomorduakan aku."
Perdebatan ini enggak akan pernah selesai, kalau keduanya sama-sama keras kepala. "Kamu ngatain aku egois? Padahal kamu lebih egois, Ta. Kamu bahkan enggak peduli sama aku!"
Sifat keras yang melekat pada diri kedua insan itu akan sulit membuat mereka berhenti berdebat, yang ada malah semakin panjang kalau tidak ada yang mengalah. "Apa bedanya sama kamu? Nolak diajak nikah terus tanpa memikirman perasaan aku?"
"SEMESTA!"
Daripada perdebatan ini tidak ada ujungnya, akhurnya Semesta beranjak dari tempatnya. "Aku ke kamar dulu, kalau mau pulang silakan."
"Ta, aku belum selesai ngomong!" kesal Melodi.
Semesta tetap melangkahkan kakinya, tetapi sebelum ia masuk kamar, menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Melodi. "Oh iya, cuma mau kasih tahu kalau adikmu jago pimpin, tiga ronde dalam semalam."
***
Nada menatap dirinya di depan cermin, kini tangan dan kakinya sudah memerah, begitu juga dengan punggungnya, lagi-lagi air mata sialan itu turun membasahi pipinya, tetapi rasa sakit badannya saat ini, tak seberapa dengan rasa sakit hatinya atas perlakuan keluarga kadungnya, ia hanya ingin disayang seperti layaknya Melodi.
Nada hanya mendiamkan memar itu tanpa berniat mengobatinya, biarlah rasa sakit ini ia pikul sendiri, bersama dengan luka hati yang entah kapan akan sembuh.
Tuhan, apa salah aku sampai mereka begitu membenciku? Siapa yang aku bunuh? Apa sebegitu besar dosaku sampao aku tak pantas bahagia?
Tubuh Nada merosot ke lantai bersamaan dengan air matanya yang terus jatuh.
Aku bahkan enggak tahu rasanya disayang sama keluarga, keluargaku lengkap tapi rasanya enggak ada. Apa aku emang ditakdirkan untuk menderita sepanjang hidupku?
Nada menyeka ait matanya, kemudian hendak mengirim pesa kepada Semesta untuk memberi kabar tentang lukanya saat ini, namun ia langsung menghentikan aksinya, karena ia terpikir sesuatu.
Apa aku harus mundur dan biarin Kak Melodi tetap sama Semesta? Daripada membuat keluargaku semakin murka dan benci sama aku?
Tetapi, kalau aku mundur aku harus rela kehilangan sumber kebahagiaaanku.
Kemudian muncul satu pesan yang tak terduga.
Kak Melodi: udah nyerah aja, Nada sayang, ini aku baru dari tempat Semesta, dia bilang mau lepasin kamu, karena dia hanya cinta sama aku. Oh, iya buang jauh-jauh rasa cinta kamu itu, karena kamu enggak pantas buat Semesta, dia cuma pengin icip tubuh kamu, setelau puas dia bakal buang kamu ke ujung samudera. Janga kepedean, Sayang, bangun dulu jangan kebanyakan baca n****+, jadi makin halu❤
***