Pagi harinya, Riana menuju ke meja resepsionis dengan tas ransel yang tersandang di punggungnya. Hari ini ia akan check out dari penginapan dan pindah ke tempat kos Jeny.
Riana menghampiri meja resepsionis yang dijaga oleh Tantri. “Pagi, Mbak. Saya mau check out hari ini, berapa biaya tagihan yang harus Saya bayar?”
“Tunggu sebentar ya, Mbak. Akan Saya periksa dahulu berapa biaya yang harus Mbak keluarkan selama beberapa malam menginap di sini.” Sahut Tantri, sambil mengecek data, berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh Riana.
Riana menanti dengan gugup, ia takut uang yang ada di dompetnya yang hanya berjumlah beberapa lembar uang berwarna merah tidak akan cukup untuk membayar ongkos menginapnya selama beberapa malam.
“Jumlah total yang yang harus Mbak Riana keluarkan berjumlah 650.000, Mbak mau membayarnya dengan tunai atau dengan kartu kredit?” Tanya Tantri ramah.
Riana menggumam dalam hatinya, “Boro-boro bayar pakai kartu kredit, uang tunai saja, semoga cukup.” Riana merogoh tasnya dan mengambil dompetnya, lalu dikeluarkannya tujuh lembar uang berwarna merah dan mendapatkan kembalian lima puluh ribu rupiah.
Riana kemudian berjalan ke luar dari penginapan menuju ke parkiran, di mana ojek online yang dipesannya sudah menunggu. Di tengah jalan Riana bertemu dengan Jaka yang menegurnya dengan dingin, “Mau ke mana kamu?”
Riana menghentikan langkahnya dan berkata, “Maaf, Pak. Hari ini, Saya sudah ke luar dari penginapan. Saya akan tinggal satu kos dengan Jeny dan kebetulannya tempat tinggal jenny letaknya dekat dengan kafe, yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
“Hmm, syukurlah kalau begitu. Sudah sana!, pergi kamu, jangan harap Saya akan mengantarkanmu ke tempat barumu, memangnya siapa kamu bagi Saya?, yang pasti kamu bukan orang penting bagi Saya.”
Riana terperangah tidak percaya mendengar ucapan Jaka, “Maaf Pak, Saya memang bukan orang penting dalam hidup Bapak, tetapi Saya adalah karyawati baru di perusahaan Bapak, yang sedikit banyak menghasilkan uang yang masuk ke dalam kantong Bapak.”
Riana berjalan begitu saja meninggalkan Jaka yang menatapnya dengan tatapan tidak percaya ke arah Riana yang berani menjawab ucapannya. Jaka menggunakan mobilnya untuk mengikuti Riana menuju ke tempat kos nya.
Jaka sedikit mengkhawatirkan Riana, oleh karena, itulah iapun menguntit ojek yang ditumpangi oleh Riana, hingga sampai ke tempat kos-nya. Jaka melihat Riana turun dari ojek online yang ditumpanginya dan membayar ongkosnya.
Jaka memperhatikan itu semua dari balik mobilnya yang ia parkir di bahu jalan dekat kos Jeny. Jaka menepuk keningnya pelan, “Sila!, kenapa juga Aku mengikuti Riana sampai ke tempat kos-nya, buat apa aku perduli kepadanya, hanya karena wajahnya mirip dengan mantan kekasihku yang berkhianat itu.”
Jaka pun menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi, hingga menimbulkan bunyi menderum yang nyaring. Riana dan Jeny yang berada di teras rumah pun menolehkan wajah mereka ke jalanan dan mereka tidak sempat melihat plat mobil tersebut.
Jeny dan Riana saling berpandangan, “Siapa tadi ya, yang berhenti di pinggir jalan dan sepertinya melihat ke sini.” Kata Jeny. “Apakah kamu diikuti seseorang dengan menggunakan mobil?”
Riana mengerutkan keningnya, “Aku tidak tahu, saat di jalan tadi tidak memperhatikan, apakah ada yang mengikuti atau tidak.”
“Sudahlah, jangan dipikirkan. Ayo, kita masuk ke dalam. Jeny menatap bingung ke arah Riana, apakah barang bawaanmu hanya ini saja?” Tanya Jeny keheranan.
Arini tersipu malu, iya menganggukkan kepalanya, “Iya, hanya ini saja barang bawaanku. Aku kabur dari rumah dan maaf, Aku tidak bisa mengatakan kepadamu alasan diriku kabur dari rumah.”
Jeny tersenyum ke arah Riana, “Aku tidak akan bertanya kepadamu, apa alasan kamu kabur dari rumah, suatu waktu nanti, kalau kamu memang mau menceritakannya kepadaku. Kamu pasti akan bercerita tanpa diminta.”
“Terima kasih, atas pengertiannya.” Sahut Riana. Keduanya pun masuk ke dalam rumah. Jeny menunjukkan di mana kamar Riana dan setelah Riana meletakkan tas ransel yang dibawanya, iapun diajak melihat-lihat ke dalam rumah, dari dapur hingga kamar mandi.
“Sekarang kamu beristirahatlah dulu, nanti kita harus berangkat bekerja pada sore hari.” Kata Jeny mengingatkan Riana.
Sore harinya, Riana dan Jeny pun bersiap untuk berangkat ke kafe, keduanya berboncengan naik sepeda motor milik Jeny. Sesampainya di kafe Riana melihat ada Jaka di sana dan begitu melihat kedatangan Riana, Jaka langsung menatapnya dengan tajam.
Riana menjadi heran, kenapa Jaka menatapnya dengan tajam dan seolah tidak suka, “Jangan sampai pak Jaka marah kepadaku dan memecatku, ke mana lagi nanti aku harus mencari pekerjaan dalam waktu yang singkat, sementara uang tabunganku sudah habis untuk membayar penginapan.” Gumam Riana dalam hatinya.
Riana berjalan melewati Jaka dengan sedikit rasa was-was, karena ia merasa takut melihat roman wajah Jaka yang dalam mode menyeramkan.
“Permisi Pak!” Kata Riana ketika berjalan melewati Jaka dan mendapatkan anggukan dari Jaka. Riana pun menarik napas lega, ia tidak kena omelan dari bos nya itu.
Riana mengikuti Jeny menuju ke kamar ganti untuk berganti seragam pelayan kafe. Riana kemudian ke luar dari ruang ganti dan menuju ke depan. Hari ini ia mendapatkan tugas untuk menjadi pelayan yang mengantarkan minuman dan makanan kepada pelanggan yang datang.
Riana pun berjalan ke bagian belakang, yaitu menuju ke bagian yang menyiapkan orderan dan diserahkannya catatan pesanan pelanggan yang datang, “Malik, ini pesanan meja nomor tiga, nanti akan aku ambil, ya setelah aku mengantarkan pesanan untuk meja nomor delapan.”
“Oke, pesanan meja nomor tiga akan segera siap, setelah itu, kamu mengantarkan pesanan itu.” Sahut Malik.
Riana pun berjalan mengantarkan pesanan pelanggan. Riana merasa tidak nyaman, karena ada yang terus mengawasinya. Riana pun menolehkan wajahnya ke arah sumber ketidaknyamanannya dan dilihatnya Jakalah yang melihat ke arahnya dengan tatapan tajam.
Dengan cepat, Riana mengalihkan pandangannya, untuk menghindari tatapan tajam Jaka. Ia menyesal kenapa harus menemukan bosnya berada di ruangan yang sama dengannya.
Malam harinya, keadaan kafe semakin ramai saja dengan banyaknya pelanggan kafe yang datang, karena malam ini bertepatan dengan malam minggu. Riana, sedang beristirahat sejenak, karena sejak sore tadi ia terus menerus berjalan untuk mengantarkan pesanan dan sekarang gilirannya untuk duduk sejenak.
Riana yang sedang menyadarkan kepalanya di sandaran kursi, menjadi terkejut. Ketika sebuah suara baritone menegurnya dengan keras, “Siapa yang memperbolehkan kamu beristirahat?, sebagai pegawai baru kamu sudah bermalas-malasan begini, jangan kamu pikir, karena Saya yang merekomendasikan kamu untuk bekerja di kafe ini, maka kamu jadi bertingkah. Kamu ini bukanlah pegawai istimewa, jadi jangan bertingkah, ataupun merasa diistimewakan.”
Riana terlonjak kaget dan iapun menjadi takut, “Maaf Pak, Saya tidak merasa dan minta diperlakukan istimewa. Saya dan Jeny berbagi waktu istirahat sebentar Pak. Tadi sudah giliran Jeny, sekarang giliran Saya yang mendapatkan istirahat.”
Jaka menatap tidak percaya ke arah Riana, “Sekarang, kembali bekerja sana. Saya tidak mau, sampai ada gosip terdengar yang mengatakan, kalau Saya memperlakukan dengan istimewa.”
Riana pun berdiri dan ia segera ke depan untuk bekerja kembali, padahal waktu gilirannya beristirahat masih belum selesai. Riana merasa bingung mengapa Jaka menjadi membencinya, apa kesalahannya kepada Jaka yang membuat ia membenci dirinya.
Tomi yang mendengar ketika Jaka menegur Riana pun menatap tidak percaya ke arah bos, sekaligus sahabatnya sewaktu di SMA.
Tomi menepuk pundak pelan, “Aku tidak mengerti mengapa kamu bersikap sekeras itu kepada Riana, padahal ia tidak memiliki kesalahan sama sekali. Kamu tidak seharusnya menyalahkan Riana, karena memiliki wajah yang mirip dengan mantan kekasihmu yang sudah mengkhianatimu. Riana bukanlah mantan kekasihmu!, kamu harus ingat itu!” Tandas Tomi.