Lututku terasa lemas. Jantungku bergetar hebat penuh dengan gemuruh kecewa yang membuatku ingin menangis keras.
Aku, benar-benar diblokir oleh Raga.
"Arumi, heiii, kamu ini kenapa? Jangan bikin Mbak takut!" Sentakan kuat dari Mbak Arumi membuatku tergagap dari rasa keterkejutan yang membuatku membeku untuk beberapa saat. Mataku terasa panas karena menahan air mataku yang hampir jatuh.
Kembali untuk kedua kalinya aku melihat layar ponselku dan Mbak Dewi bergantian, menelisik dua tampilan pesan dengan nomor yang sama namun berbeda tanggapan. Entah sejak kapan aku membenci ceklis satu abu-abu yang ada di layar ponselku, ceklis satu abu-abu tersebut seakan mengejekku yang sudah berminggu-minggu menunggu namun ternyata yang di tunggu sama sekali tidak menginginkanku.
Hahaha, ingin sekali aku menertawakan diriku yang tadi begitu kekeuh menentang Mbak Dewi, sungguh aku benar-benar malu karena apa yang di ucapkan Mbak Dewi sebenarnya benar. Aku terlalu positif thinking hingga nyaris menjadi bodoh karena di bohongi.
Ya Tuhan, sebenarnya apa kesalahanku pada Raga hingga dia tiba-tiba berbuat sejahat ini? Aku tidak melakukan kesalahan apapun padanya hingga dia harus memblokir tanpa berucap apapun.
Ingin rasanya aku membohongi diriku dengan berpikir jika mungkin saja Raga berganti nomor karena hapenya hilang atau rusak, namun nyatanya dengan ponsel dan nomor Mbak Dewi dia bisa di hubungi.
"Aku beneran di blokir, Mbak." Ucapku lesu menahan tangis yang terasa begitu sulit untuk aku lakukan, bahkan tanganku begitu gemetar saat menyerahkan ponsel itu kembali pada Mbak Dewi.
Mbak Dewi yang sebelumnya khawatir dengan reaksiku seketika langsung tersenyum masam, telapak tangan halus Ibu dua anak tersebut terulur, mengusap bahuku sembari menyerahkan tisu untuk menahan air mataku yang bisa tumpah sewaktu-waktu.
"Kan udah Mbak duga. Bukan Mbak mau memperkeruh keadaan, bukan pula karena Mbak benci sama pacarmu itu. Tapi Mbak punya pengalaman nggak enak soal laki-laki berseragam kayak pacarmu itu, Rum."
"Mbak juga pernah di giniin?"
Hela nafas panjang yang terdengar dari Mbak Dewi menunjukkan jika apa yang baru saja di ceritakan oleh Mbak Dewi bukan sesuatu yang menyenangkan.
"Sebelum sama Mas Ashar, Mbak juga pernah pacaran sama Tentara, dia keponakan dari temennya Orangtua Mbak, ya sama kayak kamu, sebelum jadi Tentara, Mbak yang nemenin dia buat urus ini itu, support dia waktu dia gagal, eeeh, begitu jadi Tentara yang udah siap Dinas malah dia ganti nomor nggak bisa di hubungin, jaman dulu waktu masih pakai f*******: sama YM, Mbak juga di blokir. Pokoknya Mbak meranalah di tinggal gitu saja kayak sampah, sampai satu waktu dia datang nggak ketemu sama dia, dan dia udah nikah. Alasan si Kampret itu ngilang klise, Rum. Katanya Mbak nggak pantes buat dia yang seorang Tentara, hahaha, miris, kan?"
Aku menelan ludahku kelu, bingung bagaimana mau menanggapinya bahkan aku merasakan sakit dan kecewa yang di rasakan oleh Mbak Dewi, semua yang terucap oleh Mbak Dewi terbayang jelas di kepalaku bagaimana kecewanya Mbak Dewi karena ulah mantan pacarnya yang sialan tersebut.
"Makanya Mbak khawatir kalau hal yang sama juga terjadi ke kamu, Rum. Maaf ya, Mbak nggak bermaksud apa-apa."
Aku mengangguk pelan, pasrah jika memang apa Raga berlaku hal yang sama seperti yang di lakukan oleh mantan pacarnya Mbak Dewi, walau hatiku kecilku tidak terima karena selama ini aku sudah menjadi pacar dan pendukung yang baik untuk Raga, mau marah-marah pun rasanya juga percuma karena Raga ada di ujung Indonesia sana, andaikan saja pria itu ada di hadapanku, tidak peduli dengan hubungan baikku dengan orangtuanya akan aku bejek-bejek Raga yang begitu keterlaluan.
Jika memang dia berpikir aku tidak pantas bersamanya, tidak bisakah dia berkata baik-baik bukan malah main pergi dan blokir nomor seperti seorang pecundang.
Di tengah rasa galau dan bertanya-tanyaku, ponsel Mbak Dewi yang di letakkan begitu saja kini menyala, aku yang terlalu larut dalam emosiku sama sekali tidak mempedulikannya, tapi raut wajah Mbak Dewi yang sebelumnya sudah masam kini semakin masam bahkan terlihat menggerutu kecil membuatku penasaran bahkan mengabaikan sopan santun aku bertanya menyuarakan isi hatiku yang semakin tidak enak. "Siapa Mbak?"
Mbak Dewi tersentak, buru-buru dia menyembunyikan ponselnya dan itu membuat prasangka yang ada di kepalaku semakin terlihat jelas, walau aku tahu apapun yang akan aku ketahui hanya akan membuatku sakit hati, tololnya aku justru cari penyakit.
"Raga bales ya, Mbak?" Mbak Dewi bergeming, dan itu sudah lebih daripada sebuah jawaban untukku. Kenyataan pahit yang harus aku hadapi sejak aku tahu jika aku di blokir si semprul itu. "Siniin Mbak aku mau lihat dia balas gimana, nggak usah khawatir aku nangis, Mbak? Aku nggak bakal nangis disini, tangisnya bakal aku bawa pulang di rumah."
"Janji jangan nangis apa ngereog ya, Rum. Mbak nggak mau di marahin Pak Aditya gara-gara kita bikin keributan."
Aku memang benar-benar cari penyakit untuk hatiku yang tergores begitu dalam karena di campakkan, menguatkan hati untuk melihat apa balasan dari Raga aku mengangguk untuk permintaan Mbak Dewi.
Menahan dadaku yang bergemuruh dengan perasaan kecewa aku menatap layar ponsel Boba tersebut, benar dugaanku, ceklis dua abu-abu memang belum berubah, tapi foto profil yang sebelumnya kosong kini terlihat memperlihatkan foto Raga yang mengenakan seragam loreng, pakaian dinas kebanggaan yang susah payah dia perjuangkan, dan pernah aku puji jika dia begitu keren saat mengenalkannya. Seragam keren yang membuatku muak saat melihat balasan yang di berikan oleh Raga.
Hallo Abang?!
Hallo Dek?! Siapa ini ya kok tiba-tiba hubungi Abang.
Mual, mulas, dan ingin muntah, mendadak aku benar-benar ilfeel saat membaca balasan Raga yang menggelikan ini, memang Mbak Dewi memasang foto profilnya yang berhijab dan memakai masker, tapi tidak bisa di pungkiri jika mata Mbak Dewi sangat indah seperti boneka dan itu membuat Raga seketika terpincut tanpa tahu jika dia di tengah di kerjai. Menekan rasa kesal dan keinginan untuk menghajarnya, aku tetap membalas pesan tersebut ingin tahu sampai di mana kegenitan pria yang menjadi pacarku nyaris tiga tahun tersebut.
Ayumi, Bang. Tahu darimana rahasia dong, Bang. Intinya adek mau kenalan sama Abang.
Hoeeek, pahit, pahit, pahit. Setiap kata yang aku ketikkan sama sekali bukan gayaku, ingin rasanya aku mencuci mulutku dari kalimat menye-menye menggelikan ini, namun di bandingkan rasa geliku pada diriku sendiri, sikap dan balasan dari Raga lebih memuakkan,
Duuuh, kuliah apa udah kerja, Dek. Nggak asyik banget deh main rahasia-rahasiaan.