Satu

1025 Kata
"Kok tumben banget ya si Raga nggak ada kabar?" Kutatap layar ponselku dengan heran, hingga layar menghitam pertanda jika aku terlalu lama menganggurkannya, ceklis satu abu-abu yang sejak dua mingguan bertengger di aplikasi perpesanan masih belum berubah sama sekali tidak peduli aku sudah mengirimkan ratusan pesan susulan. Rasa was-was menguasaiku, aku tahu dan aku bahkan sudah di wanti-wanti oleh Raga, kekasihku jika selama dia bertugas di Papua sana, dia akan sulit mengirimkan kabar, kondisi yang tidak kondusif dan banyaknya pelatihan yang harus dia jalani membisu komunikasi kami harus terbatas. Tapi paling tidak, paling lama dua minggu sekali Raga akan mengirimkan pesan kepadaku, yaaah, yang namanya orang LDR, nggak ada kabar sama sekali sudah pasti khawatir, kan? Sungguh aku takut jika terjadi sesuatu pada pacarku, apalagi seringkali aku mendengar jika para prajurit baru sepertinya seringkali di jadikan pion terdepan untuk menghalau berbagai masalah, ibarat kata prajurit yang baru di suruh bergerak paling depan menantang maut. Hampir tujuh tahun menjalin hubungan dari kelas satu SMA, melihatnya dua kali gagal masuk ke Akademi Militer dan juga Bintara hingga akhirnya aku melihat bagaimana Raga mengalah masuk Militer jalur Tamtama, kecewa, ya itulah yang tergambar jelas di wajah kekasihku saat itu, tapi seiring waktu bersamaan dengan Raga yang akhirnya lolos aku bisa kembali melihat semangat dan ambisinya yang sempat redup. Kami berdua saling mendukung, bersama-sama kami saling support satu sama lain untuk meraih mimpi yang kita inginkan, dia ingin menjadi tentara, sedangkan aku ingin menjadi PNS seperti yang di inginkan orangtuaku, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk bersama, sederhana bukan apa yang kami rencanakan. Mimpi dan tujuan awal inilah yang membuatku tetap bertahan walau harus LDR dan minim komunikasi. "Lihatin chat siapa sih, Rum?" Mbak Dewi, salah satu staf yang bertanggungjawab untuk mengurus para penduduk yang mengurus KTP melongok tempatku duduk yang tengah gelisah dengan heran "Raga, Mbak. Dia nggak ada kabar! Duh aku khawatir, Mbak. Mana ceklis abu-abu nggak kunjung berubah lagi, Mbak." Aku hanya meluapkan apa yang menjadi kekhawatiranku, tidak berharap sama sekali Mbak Dewi akan menanggapi kegalauanku ini mengingat beliau sudah berkeluarga, kadang masalah orang pacaran seringkali di anggap konyol oleh mereka yang sudah menikah, bukan? Tapi nyatanya aku salah, Mbak Dewi justru memutar kursinya penuh minat sembari menatapku, "Raga itu pacarmu yang jadi Tentara, kan? Yang dulu satu SMA sama si Didan, adik sepupu Mbak." Aku mengangguk, Didan yang baru saja di sebutkan oleh Mbak Dewi pun aku mengenalnya karena sepupu Mbak Dewi tersebut sudah ikut keluarga Mbak Dewi sejak masuk SMA. Tapi berbeda dengan Raga yang memilih menjadi Tentara, Didan, pria tersebut seingatku memilih masuk Akademi Keperawatan, pilihan yang membuatku cukup heran mengingat Didan kesabarannya setipis tisu. "Aku malah lupa kalau Mbak itu sepupunya Didan, dia apa kabar Mbak sekarang? Dinas dimana dia sekarang?" Sedikit melupakan Raga aku bertanya tentang Didan, penasaran apa pendidikan yang sudah di tempuhnya hanya sekedar formalitas atau benar-benar di gunakan sebagai bekal pengabdian. "Didan baik, nggak usah bahas dia dulu, bahas pacarmu itu dulu lebih penting. Sejak kapan dia nggak bisa kamu hubungi?" Tanyanya dengan cepat, walaupun aku merasa aneh aku pun menjawabnya. "Ya terhitung dari terakhir komunikasi nyaris 3 Minggu yang lalu, biasanya dua Minggu sekali paling lama dia ngasih kabar. Ini pesan dari dua Minggu lalu masih ceklis abu-abu, aku tuh khawatir tahu nggak sih Mbak. Takut Raga di serang separatis di sana, itu Pilotnya Bu Susi aja di sandera." "Kamu nggak curiga kalau kamu yang di blokir, Rum?" Sungguh, mendengar apa yang di katakan oleh Mbak Dewi membuatku terkejut, tidak terbersit sedikit pun di benakku pemikiran konyol tentang aku yang di blokir oleh Pacarku sendiri. Ayolah, antara aku dan Raga tidak terjadi masalah atau pertengkaran apapun, bahkan di kali terakhir aku berbicara dengan Raga kami masih berbincang baik-baik, menanyakan kabar dan hal-hal sepele lainnya tanpa ada gondok-gondokan yang membuat Raga memiliki alasan untuk memblokirku. Jujur saja, emosiku sekarang melambung karena ucapan Mbak Dewi, "ya nggak mungkinlah Mbak aku di blokir. Kok bisa-bisanya Mbak bilang kayak gitu, jangan bikin kalut sama negatif thinking orang yang lagi LDR, Mbak! Nggak baik, kalau ada orang yang ngomong Mas Ashar di laut sana macam-macam Mbak Dewi juga nggak suka, kan?" Nada ketus yang terlontar sama sekali tidak aku tahan karena jujur saja aku kesal pada Mbak Dewi yang bukannya menenangkanku dan memintaku untuk tetap berpikiran positif, tapi malah bikin aku mikir yang nggak-nggak. Aku membuang muka, malas berbicara lagi dengan seniorku ini, tapi Mbak Dewi bukannya diam malah kembali menjawab. "Coba kamu masukin nomornya si Raga ke w******p-ku, Rum. Kita lihat bisa kirim pesan ke dia atau nggak, kalau memang masih ceklis abu-abu, ya sudah berarti Mbak memang salah, terserah kamu mau maki-maki, Mbak. Mbak terima!" Aku tidak ingin menanggapi usul gila Mbak Dewi, aku sudah cukup kesal karena ucapannya yang membuatku kini overthinking menggoyahkan kepercayaanku pada Raga selama ini, tapi Mbak Dewi justru menyeret kursinya ke tempatku duduk, bahkan kini iPhone dengan kamera berderet-deret di belakang tersebut di letakkan pada tanganku, memaksaku untuk melakukan apa yang di minta. Mendengus sebal, aku merebut ponsel tersebut, dengan tangan yang gemetar menahan kesal pada Mbak Dewi aku mengetikkan nomor Raga yang sudah aku hafal di luar kepala pada aplikasi perpesanan. Sama seperti pada aplikasiku, foto profil Raga kosong abu-abu, membuatku menyunggingkan senyum mengejek pada Mbak Dewi. "Aku nggak di blokir, Mbak. Nih buktinya profil Raga masih kosong, Mbak." Mbak Dewi tersenyum, membuatku sedikit tidak nyaman karena sudah berkata ketus kepadanya berulangkali, "coba kamu kirim pesan dulu, Rum. Ketik aja, Halo Abang, gitu! Foto profil kosong kan emang bisa di setting kalau kita nggak saling save kontak, Rum." Kekesalanku semakin memuncak, geram sekali pada Mbak Dewi yang seakan kekeuh mengatakan jika aku di blokir, walau pun demikian aku tetap melakukan apa yang beliau minta, bahkan aku menekan tombol send dengan tenaga yang berlebihan tapi hal yang tidak aku duga terjadi, berbeda dengan pesanku yang hanya ceklis satu abu-abu, dalam sekejap ceklis dua terpampang di hadapanku dan itu membuatku syok nyaris tidak bisa berkata-kata, tidak ingin terburu-buru mengambil kesimpulan aku membuka ponselku kembali berharap ceklis sialan tersebut berganti namun tetap saja ceklis tersebut bergeming seperti semua. Lututku terasa lemas. Jantungku bergetar hebat penuh dengan gemuruh kecewa yang membuatku ingin menangis keras. Aku, benar-benar diblokir oleh Raga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN