Lucifer's POV
Aku menggamit tangannya, dan menariknya bersamaku.
Tubuhnya terhentak, tapi dia tidak menahan diri. Mengikutiku berjalan dengan kepala tertunduk. Aku membuka pintu kamar hotel dengan kartu. Berjalan masuk bersamanya.
Dia menahan tanganku sebelum kami mendekati ranjang. Masih menunduk, ia berbisik. “Boleh aku menggunakan kamar mandi?”
Aku melepaskan tangannya, menunjuk ke arah kamar mandi di dekat pintu masuk. Gadis itu berlalu ke arah sana.
Aku menghembuskan napas berat ketika tubuhku terhempas ke ranjang. Memijat kepalaku yang berdenyut memikirkan kejadian aneh seharian ini.
Dari semua alasan aku pindah ke Kota New York—mencoba memulai halaman baru, menetap di kota asing dimana tak seorang pun mengenalku—gadis sinting itu menemukanku. Dia hanya orang asing, bukan seseorang dari masa laluku, tapi entah bagaimana dia terhubung ke sana.
“AAAAAA!”
Tubuhku terlonjak ketika mendengar teriakan dari arah kamar mandi. Aku melompat dari ranjang dan berlari cepat ke arah sumber suara. Aku mendobrak pintu kamar mandi dengan kuat, menciptakan bunyi yang keras.
“Ada apa?!”
Wajahnya basah karena air. Mata birunya yang memerah akibat menangis, menatapku horor.
“WAJAHKU MULAI TUMBUH JERAWAT!” Jeritnya, menunjukkan benjolan kecil di puncak hidungnya.
Oh, sialan. Jantungku dibuat hampir copot hanya karena satu jerawat?
Tahan.
Tahan dirimu.
Kau tidak memukul perempuan.
Walaupun gadis ini agak sinting.
“Bisakah untuk satu detik saja, kau tidak berteriak?” Aku berdesis dari sela-sela gigi yang bergemeletuk menahan amarah.
Gadis sinting itu menghampiriku, berhenti tepat di hadapanku dengan mata biru yang berbinar, “Aku mulai jerawatan…” Ia menunjuk hidungnya berkali-kali, “Lihat, lihat… aku tidak pernah berjerawat sejak masa pubertas.” Ia menutup mulutnya dengan tangan, “Astaga, kulitku mulai menghianatiku karena kurang tidur…”
Meskipun aku ingin menghantamkan kepalaku sendiri ke dinding karena membawa gadis sinting ini ke kamarku, tapi tidak bisa kupungkiri betapa lucu raut wajahnya saat ini.
Aku berlalu dari hadapannya, menyembunyikan bibirku yang bergetar karena menahan senyum, “Sini, duduk.”
"Dimana?" Gadis sinting itu berjalan ragu-ragu mengikutiku. Wajah basahnya mengerut kebingungan.
Hotel ini hanya kamar studio dengan satu ranjang dan nakas—tidak dilengkapi dengan set sofa atau bangku.
Aku menunjukkan ranjang dengan daguku. Gadis itu mengangguk. Tubuhnya berubah kaku saat melewatiku. Ia duduk dengan canggung di pinggir ranjang.
Aku berjalan ke arah nakas, membuka laci paling bawah. Mengeluarkan perlengkapan P3K dari sana.
“Kau langsung panik dan jadi orang gila hanya karena sebuah jerawat muncul di hidungmu,” Ujarku, berjalan ke arahnya. Aku berlutut tepat di hadapannya, “Tapi kau sama sekali tidak berteriak saat lututmu tergores dan berdarah?”
Alisnya bertaut kebingungan. Tatapannya jatuh pada lutut. Dan baru saat itu, ia menunjukkan ekspresi terkejut.
Oh, astaga. Jangan bilang kalau gadis sinting ini baru sadar sekarang jika dia terluka?
"Bagaimana bisa?" Mata birunya menatapku penuh kekhawatiran, "Apa ini akan berbekas?"
“Gadis sinting.” Aku mendesah gusar, tidak tahu apa aku akan mengobatinya atau mematahkan kakinya karena gemas.
Aku mengeluarkan perlengkapan dari balik kotak P3K. Jarinya bergerak di pangkuan dengan gelisah. Aku hendak mengoleskan antibiotik ke lukanya, namun tangannya menahanku.
“Aku bisa sendi—“
“Sstt!" Aku berdesis. Menepis tangannya dan menggenggam kakinya dengan tanganku yang satunya, "Diam dan berhenti bergerak, Sunshine."
Aku mulai mengoles antibiotik menggunakan kapas. Tubuhnya sesekali terlonjak, tapi dia menahannya. Gadis itu meringis kecil, menatapku ketakutan.
“Kau… tinggal di hotel?” Ia bertanya pelan, membaringkan setengah tubuhnya ke pinggir ranjang. Sebelah pipinya menempel di ranjang, menghadapku.
“Ada masalah dengan itu?” Balasku, cuek.
Mata birunya yang sayu mengawasiku, “Apa kau selalu sedingin ini pada orang-orang atau hanya padaku?”
Kali ini, aku memilih untuk diam. Aku mengeluarkan obat oles luka ke cotton bud, mengoleskan ke lututnya.
“Bagaimana bisa kita tidak pernah bertemu sebelumnya?”
Aku mendekatkan wajahku ke lututnya, meniupi lukanya pelan. Ketika aku menatapnya, wajahnya menegang dan bersemu merah.
Masih menjadi misteri bagaimana seseorang dengan tempramen seperti singa betina bisa merona dengan begitu lucunya?
“Karena aku baru pindah dua hari lalu.” Kataku, menunduk untuk menyembunyikan bibirku yang bergetar sambil membereskan perlengkapan.
Dia mangut-mangut, “Oh, jadi itu kenapa kau menginap di—eh, tunggu sebentar!” Mata birunya melebar, “Kau bilang kau pindah ke sini?! Jadi kau tidak hanya berkunjung, kan? Kau akan menetap di New York?!”
Dan, dia kembali sinting dan berisik.
“Berhenti berteriak, Sunshine!" Desisku tajam.
Aku menempelkan plester luka ke bibir merah mudanya. Mata birunya melotot semakin lebar. Tapi dia tidak memberontak.
That's better.
“Tergantung situasi.” Aku melipat kakiku, duduk bersila di lantai, “Pertama-tama aku harus menemukan apartemen—yang ternyata sangat sulit untuk ditemukan di tengah Kota New York. Apa kau tahu, apartemen di kota ini harganya sinting? Hanya untuk satu bulan unit studio bisa lebih mahal dari harga sewa setahun di tempat lain!"
Gadis itu mengangguk.
Aku harus mengulum senyum melihat itu. Lucu sekali bagaimana singa betina jadi sangat patuh.
"Jika aku berhasil mendapatkan tempat dengan harga yang masuk akal, baru setelah itu aku akan memutuskan jika aku akan tinggal di sini atau tidak.”
Dengan hati-hati, gadis itu melepaskan setengah plaster dari bibirnya, “Aku tahu ini terdengar gila, tapi kau bisa menyewa kamar kosong di unitku—“ Dia menguap kecil, menaikkan kedua kakinya ke kasur, “…Kaitlyn kebetulan akan pindahan hari ini. Dan aku juga sedang mencari roommate pengganti.”
“Tinggal bersamamu?" Aku sempat memikirkan kemungkinan berbagi tempat dengan seseorang. Tapi dalam bayanganku orang itu adalah laki-laki—dan jelas bukan gadis sinting ini.
“Aku tidak bermaksud modus, aku bersumpah—“ Dia menguap lagi, matanya berubah sayu, “…aku menawarkan tempatku dengan tulus tanpa imbalan apa-apa darimu."
Oh, jadi gadis sinting ini memerlukan suaraku.
“Menurutmu aku percaya?” Aku melipat tanganku di pinggir kasur, dekat dengan wajahnya. Aku menyandarkan pipi pada tangan, menghadapnya sepenuhnya. “Setelah kau nyaris mati karena mengejarku pagi ini?”
Aku sadar betul jika gadis ini kemungkinan besar tidak waras. Tapi meskipun dia sungguhan gila, dia adalah orang gila yang cantik. Dan aku tidak munafik, aku senang memandangi hal-hal yang enak untuk dipandang.
Dari dekat, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana pipinya perlahan berubah merah. Mata birunya melotot padaku. Hanya untuk sesaat.
"Sejujurnya... aku memang membutuhkan suaramu." Bisiknya, mulai memejamkan matanya. "Tapi selain itu, aku juga butuh seseorang untuk mengisi kamar kosong. Aku tidak mampu membayar sewanya sendirian."
Nafasnya perlahan berubah berat dan teratur. Ada senyum kecil di sudut bibirnya yang membuatku ingin membalasnya. Tapi tentu saja, tidak kulakukan.
"Meskipun kau orang terakhir yang menyewakan tempat untuk tinggal, aku ragu kita akan cocok tinggal satu atap bersama, Sunshine."
Satu hari bersamanya, tapi tensi darahku meningkat drastis. Jika kami tinggal bersama—apalagi di kelilingin berbagai benda tajam dan pisau dapur—apartemen itu akan berdarah-darah.
“Kalau pun kau tidak ingin tinggal di apartemenku, aku tidak masalah…” Suaranya kecil dan berat, “…asal jangan menghilang...”
Gadis sinting itu tertidur, di kasurku.