Sunshine's POV
Aku tertidur—bukan hanya karena mendengar suara, aku juga tidur di ranjangnya!
Lucifer.
Aku akan mulai memanggilnya seperti itu. Karena ternyata, lelaki itu adalah titisan iblis yang sesungguhnya!
Dia jelas bukan tipe lelaki gentleman yang akan menyelimuti seorang gadis yang tertidur dengan penuh perhatian. Bahkan saat aku tidur di pinggir rajang, iblis itu tidak repot-repot untuk memindahkan aku tempat yang lebih aman!
Aku terbangun ketika tubuhku jatuh terguling ke lantai. Kepalaku berdenyut sakit karena membentur ubin.
Perfect.
Jam sudah menunjukkan pukul 3 siang saat itu—artinya aku sudah tidur lebih dari delapan jam. Aku menyempatkan diri untuk merapikan kasur sebelum mandi. Kemudian menghabiskan beberapa saat bermain gitar akustik yang berada di sudut ruangan.
Lucifer sepertinya seorang musisi. Kemungkinan besar. Iblis itu memiliki gitar berkualitas tinggi yang ia bawa ke New York bersamanya.
Dan aku tidak akan basa-basi untuk menjelaskan seberapa merdu suaranya. Sudah terbukti secara nyata.
Tapi aku juga tidak pernah mendengarkan karyanya dimana pun. Jadi mungkin bermusik hanya sekedar hobi?
Pintu hotel terbuka. Memperlihatkan sang iblis memasuki ruangan. Wajahnya kusut saat melihatku. Tatapannya jatuh ke gitar yang berada di atas pangkuanku.
“Jangan menyentuh barang-barangku tanpa izin.” Ujarnya sebal.
Aku cepat-cepat menurunkan gitar dari pangkuanku, "Maaf. Aku tidak bermaksud lancang. Aku hanya mencoba memainkan beberapa lagu untuk menghilangkan kebosanan."
“Apa yang masih kau lakukan di sini?" Lucifer meletakkan paper bag yang ia bawa ke nakas. Melepaskan mantelnya dan membuangnya sembarangan di lantai, "Sekarang sudah sore. Kenapa kau tidak pulang?"
Alih-alih tersinggung dengan ucapannya, perhatikanku tersedot pada paper bag yang ia bawa. Aroma lezat merasuki hidungku.
"Aku ingin berpamitan." Aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraan dalam suaraku, "Apa kau bawa makanan?”
Aku tidak sempat sarapan tadi pagi karena terlalu sibuk bercerita padanya. Dan sekarang sudah sore. Aku hampir makan sabun saking laparnya.
“Ya, untukku.” Tegasnya. Ia mengambil gitar dari ranjang dan meletakkannya kembali ke sudut ruangan, dengan hati-hati. “Kupikir kau sudah lama pergi dari hotelku.”
Aku merengut, “Kenapa kau selalu kasar?”
“Aku membiarkanmu tidur di kamarku. Dan aku kasar?”
“Aku yang lebih dulu membiarkanmu tidur di apartemenku. Jadi kita impas!” timpalku sengit, “Plus, aku memberimu sarapan tadi pagi karena aku adalah tuan rumah yang sopan dan tidak akan membiarkan tamunya kelaparan!”
“Koreksi, roommate-mu yang membuatkanku sarapan.” Lucifer mengambil kotak makanan dan menjatuhkan tubuh di ranjang, duduk selonjoran tepat di sebelahku.
Aku duduk di atas tumit kaki, menghadapnya. Menjilat bibirku menatap makanan di pangkuannya, “Apa itu makanan Cina?”
"Uh-huh." Lucifer membuka tutup kemasan kotak dengan gerakan lambat. Memperlihatkan mie berlumur saos asam manis yang di atasnya dihiasi udang goreng tepung. Iblis itu dengan sengaja mengipas-ngipas uap panas mie ke depan wajahku.
Aku menelan ludah, “Ngomong-ngomong… kwetiau adalah makanan Cina favoritku.”
Lucifer menyeringai, “Kwetiau adalah makanan Cina favorite seluruh umat manusia.”
Lucifer mengambil sendok garpu plastik dari bungkusan. Mulai mengaduk mie-nya, masih sengaja dengan gerakan lambat. Iblis itu menyendoki mie ke mulutnya—mendesah pelan, menjilati bibirnya yang berlumuran saos.
Sialan. Aku tidak bisa menghentikan diriku untuk tidak menatap bibir merahnya dengan intens—ralat, maksudku saos yang berlumuran di bibirnya.
Sudut bibirnya bergetar karena menahan senyum. Ketika tatapan kami bertemu, Lucifer menatapku geli.
Lihat, kan, kelakukannya? Aku punya hak untuk memanggilnya titisan iblis!
Aku mendengus, “Bukan begitu cara makan makanan Cina!”
“Kau keberatan dengan caraku makan?”
“Tentu saja!” Aku bergeser mendekatinya, hingga lututku menyentuh pahanya. “Sebagai pecinta makanan Cina, caramu makan menggangguku!” Aku merogoh sumpit dari paper bag, membuka kemasan plastik bening. “Kau harus menggunakan alat makan yang sesuai!”
“Males.”
“Jangan keras kepala!” Aku menarik tangannya dan memberinya sumpit, “OCD-ku mengamuk melihat caramu makan. Just use the damn chopstick, Lucifer!”
“Lucifer?” Katanya geli, setengah tertawa. “Apa kau baru saja memanggilku Lucifer?”
“Uh-huh!” Sahutku, bangga. “Karena jelas sekali kau adalah titisan setan!”
Dia tertawa sepenuhnya, “Terserahmu, Sunshine.”
Aku menatapnya sebal, “Berhenti memanggilku seperti itu, Lucifer!"
"Terserahku, Sunshine.” Katanya, santai.
Aku bisa merasakan darahku perlahan mendidih. Iblis ini seolah tahu segala hal yang akan membuatku kesal. Dan sengaja melakukannya semua hanya untuk menguji kesabaranku.
"Sekarang, apa yang harus kulakukan dengan stick bodoh ini?” Katanya, kebingungan.
“Kau tidak tahu cara menggunakan sumpit?!”
Alisnya naik sebelah, “Memangnya harus?”
“Iya, lah!” gemasku. Aku menganggam tangannya. Meletakkan satu stick di antara telunjuk dan ibu jarinya, dan satu lagi di antara jari tengah dan telunjuknya. Matanya mengunci tatapanu ketika aku mendongak, “Nah, begitu cara pegangnya.”
Lucifer mencoba menggerakkan sumpit di tangannya dengan kaku, “Tidak terlalu penting, tapi terima kasih.”
Aku menyandarkan punggung ke dashboard saat iblis itu mulai menyumpitkan mie ke mulutnya. Berusaha mengalihkan tatapanku ke arah lain.
Di saat yang tidak tepat, perutku tiba-tiba berbunyi. Cukup nyaring hingga memenuhi ruangan. Yang tentu saja membuat iblis di sebelahku tersenyum geli.
“Kau serius tidak akan membagikan makananmu denganku?” Aku nyaris merengek saat mengatakan itu.
Lucifer melirikku, tersenyum miring, “Kau serius tidak akan pergi dari kamar hotelku?”
Ouch!
Aku tidak mengerti mengapa dia tersenyum saat mengatakan itu. Kurasa karena dia ingin menyakitiku, dan dia berhasil. Ucapannya menusuk jantungku.
"Maaf menganggu waktumu. Aku akan pergi." Aku bangkit dengan cepat dari ranjang. Menyambar tasku yang ada di nakas.
Ini adalah ide buruk. Mencari Hail-to-Lucifer adalah ide buruk.
Lelaki dalam rekaman suara yang kudengar sejak 4 tahun itu, bukan lelaki ini. Dia memang pemilik suaranya, tapi dia bukan lagi lelaki yang sama, yang membuatku tertidur mendengarkan kisah hidupnya.
Mereka adalah dua orang yang berbeda.
“Tunggu.” Lucifer menahan lenganku, ketika aku nyaris menggapai pintu.
“Aku paham.” Aku menepis tangannya dengan kasar, “Aku menyedihkan di matamu. Gadis sinting yang tergila-gila dengan suaramu. Aku sudah paham itu sekarang. Satu-satunya alasan kenapa aku rela melakukan semua ini adalah karena kupikir lelaki di dalam rekaman suara itu pasti akan mengertiku—mengerti bagaimana rasanya ketika hidup perlahan hancur.” Aku tertawa sinis, untuk diriku, “Tapi sepertinya aku hanya menyia-nyiakan waktuku bersamamu, karena jelas kau bukanlah lelaki itu.”
“Aku tidak bermaksud.” Suaranya lirih dan kecil. Aku nyaris tidak mendengarnya.
Jadi aku memastikan, "Kau tidak bermaksud?"
“Aku hanya menggodamu.” Katanya dengan suara yang lebih jelas, sembari mengusap tekuknya, “Aku… aku sebenarnya juga membelimu makanan.”
“Huh?” Aku melirik nakas. Ada sebuah kotak makanan di paper bag yang berbeda. “Kenapa?”
“Karena… ya… karena aku tidak ingin ada hutang budi padamu. Kau memberiku sarapan tadi pagi. Jadi aku membelimu makan siang.”
Aku menajamkan tatapanku ke arahnya, “Kau bilang roommate-ku yang memberimu makan.”
L:ucifer menghela napas kasar, “Kau akan mengintrogasiku seharian atau kau akan makan bersamaku?”
Aku tidak tahu kenapa, tapi pipiku terasa panas. “Baiklah. Aku akan makan.” Aku berjalan mendahuluinya, “Hanya karena kwetiau adalah makanan Cina kesukaanku.”
“Tentu saja.” Iblis itu menyusul di belakangku, “Hanya karena kwetiaw adalah makanan Cina kesukaanmu.”