INI BUKAN RUMAH PAK AKBAR

1070 Kata
“Enggak begitu Mah. Mamah belum selesai mendengar penjelasan aku. Aku melakukan hal itu demi cinta aku sama Wintha. aku ingin jabatanku di kantor itu permanen. Aku tidak akan berbuat curang, tapi kalau jabatan aku permanen tidak akan digeser oleh siapa pun maka keuanganku akan terus stabil. Dan itu semuanya untuk Wintha dan anak-anakku dari Wintha. Aku tak pernah mencintai Mega. Tak pernah!” “Aku hanya ingin dapat posisi stabil saja karena persaingan di proyek itu sangat besar. Siapa pun tahu itu. Sainganku bermain kotor Mah. Kalau aku jadi menantunya pemilik perusahaan tentu aku akan aman. Aku tidak akan pernah curang. Tidak akan. Aku hanya mengincar posisi aman sehingga gaji aku untuk Wintha dan anak-anakku kelak aman. Kalau gaji untuk Mega dan anak aku dari Mega itu selalu dapat langsung dari uang proyek. Aku tidak pernah aku ambil dari uang jatahnya Wintha.” “Mamah tak peduli apa pun alasanmu. Yang pasti Mamah memutuskan itu terserah kalau Papah masih mau menganggap kamu adalah putranya dan cucu Mamah baru Raffa dari Wintha. Tak ada cucu lain sampai adik-adikmu punya anak nanti!” “Walau perempuan itu tidak salah, dia bukan menantuku dan aku tak punya cucu dari perempuan yang bukan menantuku.” Apa pun cara kalian menikah itu zina, karena istri pertama tak tahu dan tak memberi izin. Dalam agama pernikahan yang dasarnya tidak benar ya tidak sah-lah.” Dengan gontai dan kurang tidur serta sangat lemas, dari Bogor Ridwan kembali ke Jakarta dengan travel, dia sempat tidur sesaat di travel dia langsung menuju rumahnya. ≈≈≈≈≈ Dua hari Ridwan sendirian di rumah Jakarta, Wintha tak juga pulang. Akhirnya Ridwan mencoba mencari jejak Wintha di rumah orang tuanya. “Tuan cari siapa ya?” kata pembantu di rumah itu. “Loh, bukannya ini rumahnya Pak Khairuddin Akbar, bapaknya Wintha?” “Salah Tuan. Ini bukan rumahnya pak dan ibu Jamal. Ini hanya rumah sepupu jauhnya beliau yang tidak pernah dipakai. Waktu enam tahun lalu memang dipakai oleh Pak Khairuddin Akbar itu saat terima lamaran sampai menikahkan putri sulungnya. Padahal rumah asli mereka bukan di sini. Mereka itu konglomerat kaya raya tapi tak ingin orang tahu soal kekayaannya.” “Apa maksudmu bapak dan ibu Khairuddin Akbar itu konglomerat?” “Apa Anda buta informasi? Bapak Khairuddin Akbar adalah pemilik perusahaan advertising terbesar di Indonesia, selain juga dia punya sebuah stasiun TV nasional. Apa nggak pernah tahu Tuan?” tanya penjaga rumah. “Lalu Wintha siapanya?” Ridwan mulai syok menerima info dari penjaga rumah. “Mbak Wintha dan Mas Farhan adalah anak kandung dari bapak Khairuddin Akbar, tapi mereka memang diajarkan untuk selalu humble, tidak boleh memamerkan kekayaannya. Selama ini ya mereka seperti itu, selalu pura-pura miskin. Padahal kedua anak itu sangat kaya dan mereka juga baru pulang ke Indonesia setelah selesai kuliah. Sejak SMA mereka tidak pernah sekolah atau kuliah di Indonesia.” ‘Loh kemarin Wintha reunian dengan teman-teman kampusnya apa teman-teman kampus dari mahasiswa di luar negeri?’ pikir Ridwan karena kemarin Wintha bilang kan mereka mau reunian teman kampus. ‘Astaga sia anak orang kaya dan aku jungkir balik untuk membuat dia bahagia karena aku tahu memang semua pakaian sepatu dan tasnya adalah barang-barang branded. Sedang sejak menikah dengan aku, aku tidak pernah membelikan barang branded itu. Itu sebabnya aku ingin bekerja keras bahkan menerobos pagar agar bisa punya jabatan tetap dengan menikahi Mega, demi berpenghasilan besar guna membahagiakan Wintha.’ ‘Padahal sejatinya Wintha anak konglomerat. Betapa bodohnya aku. Kalau aku tahu dia anak konglomerat aku tak perlu jungkir balik mencari kelebihan uang dari income rutinku. Pasti dia cukup bahagia bila aku selalu mencintainya tidak seperti sekarang ini.’ ‘Dia terbiasa hidup bergelimang harta, tapi hidup sederhana denganku sama sekali tak pernah mengeluh atau merajuk. Padahal dia lebih kaya dari Mega yang hanya anak pemilik perusahaanku bekerja.’ ‘Apakah Wintha mau menerima penyesalanku? Terus bagaimana? Aku hanya mencintai Wintha seorang. Semua yang aku lakukan hanya demi Wintha bahagia walau jalan yang aku tempuh salah!’ sesal Ridwan. Ridwan benar-benar menyesal. ‘It's my regret,’ pikir Ridwan. “Lalu di mana saya bisa mencari kedua orang tuanya serta Mbak Wintha ya?” tanya Ridwan sebelum pamit. “Wah kalau kedua orang tuanya kami tak ada yang berani memberi alamat pastinya, tapi pasti di internet banyaklah info tentang itu. Kalau Mbak Wintha saya malah sama sekali nggak tahu dia ada di mana. Karena setahu saya kemarin Mas Farhan bilang mau pergi ke luar negeri bersama mbak Wintha entah ke mana.” “Mungkin Mas Farhan mau mengambil S2 yang tertunda kemarin. Tahun lalu kan Mas Farhan pernah ambil kuliah S2 di London, tapi baru berjalan tiga bulan dia kembali karena ibunya sakit. Jadi mungkin tahun ini dia akan kembali memulai kuliah baru,” kata pegawai tersebut. “Tapi saya tidak tahu sekarang ambil kuliahnya di mana. Kembali ke London atau ke negara lain.” ≈≈≈≈≈ Ridwan tambah menyesal. Dia sama sekali tak tahu background keluarga Wintha yang super tajir. Dia kira dulu Wintha selalu membeli barang-barang branded karena menabung. Istrinya itu sangat pandai menabung, tak pernah terlihat dia berfoya-foya atau bermewah-mewah. Bahkan tiap bulan dia selalu memberi laporan berapa sisa tabungan dari gaji yang Ridwan berikan. Mitha selalu merinci apa pun yang dia beli untuk dapur, juga untuk Raffa anak mereka. Tak ada satu rupiah pun yang terlewat dan jumlah tabungannya juga sangat fantastis. Semua itu selalu dilaporkan pada Ridwan. “Kenapa sih Ma? Kayak begitu kok dilaporin ke Papa?” begitu selalu Ridwan tanya bila istrinya memberi laporan tentang keuangan mereka. “Uang ini adalah uang hasil kerja keras Papa. Mama yang mengelola jadi Mama tetap harus laporan Pa. Karena nanti perhitungannya di akhirat sangat berat bila Mama mengambil sedikit saja tanpa lapor Papa sebagai pemilik. Mama harus mempertanggung jawabkannya di hari akhir nanti. Mama tak ingin itu terjadi. Apa pun yang terjadi Mama nggak akan curang. Mama akan laporkan walau buat beli bakso Mama sekali pun atau untuk beli lipstik Mama yang habis dan belum sempat Papa kasih uang beli. Lalu ambil dari uang belanja rutin Mama akan laporkan,” kata Wintha. Ridwan menangis mengingat itu bagaimana mungkin anak konglomerat seperti Wintha selalu mengingat tanggung jawab akhirat, ada pembalasan di akhirat kelak dan dia malah berpikir akan membahagiakan Wintha dengan cara curang yaitu dengan cara menikahi Mega. Tak ada kecurangan di pernikahan dengan Mega. Dia tidak pernah mengambil uang kantor lebih. Sia hanya mengamankan jabatannya sebagai menantu pemilik perusahaan. Walau dia harus tersiksa dengan perasaan bersalah pada Wintha.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN