CHAPTER 14

1389 Kata
Jimmy dan Vantae berada di kamar yang sama untuk membahas kejadian beberapa menit lalu.             "Jim, aku khawatir pada Jungkook," ujar Vantae mengawali obrolan. "Dan pada akhirnya dia benar-benar lepas kendali pada gadis itu."             “Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran dia." Jimmy merasa sudah sangat dekat dengan semua orang yang bekerja dengannya. Dekat—cukup untuk mengetahui kebiasaan bahkan mungkin keadaan seseorang tapi hal itu menjadi sulit jika dengan sosok Sanayya. "Selain penyakitnya dan Hoobi marah-marah, aku tidak tahu apa pun."             "Apa San akan menampar Jungkook lagi?" Vantae masih sangat khawatir. Seharusnya tadi dia mengejar Jungkook.             "Mungkin saja tidak, Tae." San selalu marah, tapi yang tadi adalah untuk pertama kalinya dia bermain fisik. Sepertinya San benar-benar tersinggung.             "Aku kira Jungkook berhasil melupakan San. Itu sudah sangat lama, kan? Tapi...," Bahkan Vantae sulit meneruskan kalimatnya.             Seingat mereka semua, kehidupan berjalan dengan normal setelahnya. Atau, mereka hanya membiarkan itu berjalan semestinya meski keadaan tidak sebaik apa yang terlihat pada permukaan?             “Aku rasa Jungkook memang serius." Jimmy setuju dengan pikirannya sendiri. "Dia bahkan melamar San waktu itu, Tae."             "Aku ingat. Dan San menolak cincin Jungkook."             Mereka semua ingat.             "Jim, Sanayya tidak mencintai Jungkook, ya?" tanya Vantae.             "Entahlah. San sangat sulit ditebak, mungkin itu yang membuat seorang Kim Jungkook menjadi sangat tidak waras padanya."             "Yang aku khawatirkan bukan San yang tidak mencintai Jungkook. Melainkan sebaliknya," tambah Jimmy dengan helaan napas gusar. "Karena gadis keras kepala itu akan terus menolak Jungkook sampai akhirnya Jungkook  menyerah dan berpikir San tidak merasakan apa pun padanya."             Vantae menimpali, "Kita hanya tinggal menunggu waktu menghancurkan mereka berdua."   (*)               Terlalu biasa saja setelah mereka berdua terlibat obrolan serius, bahkan sudah melukai ego masing-masing. San melakukan tugasnya dengan baik sebagai asisten pribadi Jungkook sepanjang berjalannya konser hari terakhir di LA. Membantu Jungkook berganti pakaian, memberikan dia air minum, memastikan make-up Jungkook selalu bagus dan segala hal yang biasa San lakukan.             Entah itu harus disebut profesional atau pura-pura bisa. Tipis, San nyaris—selalu—mengabaikan apa yang ia pikir atau rasa. Gadis itu memilih untuk seperti ini. Agar semuanya baik-baik saja.             San melepaskan earphone yang terpasang pada telinganya. Tugas San sebentar lagi selesai, tinggal menunggu semua member melambaikan tangan lalu turun dari stage.             Gadis itu memanggil Jungkook yang sedang menyerahkan mic pada staff. Jungkook menghampiri San, mengambil botol air minum yang diberikan gadis itu. Satu coordi noona datang untuk menghapus keringat Jungkook yang bercucuran.             "Terima kasih, noona. Aku baik-baik saja, aku punya San," ujar Jungkook sedikit membungkuk pada staff-nya.             "Bisakah aku dan  kau  langsung ke ruang ganti nanti?" tanya Jungkook dan San mengangguk sebagai jawaban.             Jungkook pergi ke satu ruangan untuk mengambil beberapa foto. Semua member terlihat lelah namun mereka tetap tersenyum untuk ARMY. Membalas cinta lewat hal-hal sederhana yang terasa begitu berharga.             "Kakiku lecet," adu Jungkook setelah dia dan San berada di ruang ganti hanya berdua. Gadis itu dengan sigap menunduk untuk melihat keadaan kaki Jungkook dan merasa jengkel karena itu bukan sekadar lecet. "Bagaimana kau tetap bisa menari seenerjik itu di stage saat kakimu berdarah seperti ini?!"             "Obati saja, San. Dan aku hanya mau kau yang menyentuhku, jangan panggil staff medis."             San mengambil kotak P3K lengkap yang memang diwajibkan ada di setiap ruangan yang akan dihuni member. Dengan hati-hati membersihkan kaki Jungkook terlebih dahulu sebelum memberikan beberapa tetes obat merah pada luka Jungkook.             "Berhati-hatilah, Jungkook-ah," ujar gadis itu, pelan. "Aku tidak suka melihatmu terluka."             Jungkook selesai dengan pengobatan kakinya, mengucapkan terima kasih pada San dan meluncurkan kalimat yang tidak bisa lagi ia kendalikan. "Lain kali lihat luka yang lain. Hatiku menunggu kau sembuhkan."   (*)               Sejak 15 menit lalu yang dilakukan Jungkook adalah menatap San. Sedang menikmati makan malamnya—yang telat. Gadis itu jelas saja sadar dan ia risi namun perutnya harus terisi. San akan membuat masalah jika tubuhnya lelah karena kurang makan. Pekerjaannya banyak, kota lain bahkan negara lain akan ia kunjungi. Menuruti jadwal tour dunia TTS.             "Mengapa tidak dihabiskan?" Jungkook bertanya.             Demi Tuhan, San seharusnya pergi sejak tadi karena Jungkook mengacaukan selera makannya. Gadis itu hanya bisa menjawab, "Sudah kenyang."             Membuang kotak makannya pada tempat sampah, San kembali lagi dengan segelas kopi.             "Kau tidak akan bisa tidur jika minum kopi," kata Jungkook, masih memerhatikan apa yang diperbuat San.             "Besok tidak ada jadwal. Aku bisa tidur seharian."             "Lizzy meneleponku," kata Jungkook, tiba-tiba.             "Oh?" San tidak melirik Jungkook meski pergerakannya meminum kopi sempat berhenti. "Bagus. Apa kalian bicara lama? Saling melepas rindu?"             Jungkook diam.             "Kau fokus konser saja. Mungkin nanti agensi memperbolehkan kalian berkencan—"             "Apa kau pikir aku benar-benar mencintai Lizzy?" Jungkook memotong.             San mengangguk, tidak ada keraguan. "Kalian pasangan yang cocok. Saling mencintai. Lizzy begitu mencintaimu, kau harus bersyukur. Kau beruntung, Jungkook-ssi."             "Lalu bagaimana denganmu?" Jungkook mendengus di tempatnya.  "Apa kau mencintaiku seperti Lizzy mencintaiku?" tanya Jungkook.  Jika memang itu adalah sebuah keberuntungan.             "Mengapa pertanyaanmu jadi aneh?" San berdecak, kopinya sudah ditaruh di atas meja. "Kau mengantuk ya jadi obrolanmu melantur? Tidur sana."             "Aku sadar seratus persen bahkan aku tidak minum alkohol setelah konser selesai." Jungkook hanya ingin San tahu itu benar. "Lalu bagaimana denganmu? Apa kau mencintaiku?"             "Tentu tidak, Jungkook-ah. Kau ini kurang masuk akal." Ada tawa yang keluar tapi terlalu dipaksakan. "Apa kau masih memikirkan ciuman itu? Lupakan saja, itu hanya dare dari Joonie," kata San, santai.             "Setelah kau membalas ciumanku, berkata tidak suka melihat aku terluka, kau masih dengan jawabanmu; kau tidak mencintaiku." Ada jeda dari ucapan Jungkook. "Setelah kau berkata seperti itu mengapa aku tetap berpikir semuanya bohong? Tetap berharap suatu hari nanti bisa mendengar kalimat bahwa kau menginginkanku seperti aku yang hampir gila untukmu?"             "Karena aku—" San mengalihkan pandangannya. "Tidak mencintaimu. Aku manajermu, kau adalah orang yang bekerja denganku. Kita adalah seperti itu, Kim."             "Aku rindu kau panggil 'Kookie', noona." Sorot mata Jungkook berembun, memancarkan segala keresahannya dari sana.             San harus segera menghentikan ini. "Jungkook, selamat malam?"             "Teruslah berlari, sekuat yang kau bisa. Karena memang seperti inilah San-ku. Kau tidak akan pernah mau mengakui bahwa kau mencintaiku. Iya, San—" Jungkook tersenyum samar. "Selamat malam."             Jungkook bangkit dari duduknya, membawa langkah itu pergi dan San harus menyelesaikannya saat ini juga.             "Jungkook, berhentilah. Aku tidak mencintaimu dan kau juga tidak." San sudah sangat lelah.             Jungkook berbalik dan berkata dengan tenang, "Aku mencintaimu. Lebih dari diriku sendiri."             Lalu pemuda itu menaruh satu buah cincin di atas meja. Mata San melebar. "K-kau masih menyimpannya?"             "Selalu," ujar Jungkook dengan anggukkan kecil. "Jika kau menolaknya lagi kali ini, patahku akan semakin banyak."             San tahu, dan ia akan terus melakukannya.   (*)               Sebelum mereka terbang ke London—sebagai kota pertama di Eropa jadwal LY tour—San meminta waktu untuk berbicara dengan Jungkook. San tidak bisa bekeja seperti ini, ia tidak mau terbawa perasaan dengan apa yang dilakukan Jungkook.             "Aku ingin semua kembali normal. Dan maafkan aku, cincin ini bukan untukku." San langsung mengambil tangan kanan Jungkook dan menaruh cincin cantik itu di sana. San tidak menyangka ukurannya masih pas di jari manisnya. Dan itulah yang membuat ia tak ingin melihat cincin milik Jungkook.             Jungkook tidak diberi kesempatan untuk berkata, karena San kembali meneruskan, "Tidak ada apa-apa tentang kita. Entah itu di masa lalu atau saat ini. Kau hanya tersesat dengan perasaanmu sendiri dan aku tidak bisa menolongmu keluar karena aku tidak punya perasaan yang sama."             Tangan kanan Jungkook mengepal begitu saja. Dia semula berpikir tidak akan sesakit ini, tapi rasanya masih sama. "Aku harus bagaimana lagi padamu, San?"             "Berhenti." Suara gadis itu bergetar, dan ia tidak boleh menyerah atau semuanya sia-sia.             "Kau mau aku melepaskanmu, Sanayya? Kau bisa bahagia setelahnya?" Sorot mata Jungkook bercampur dengan emosi dan sakit hati. "Iya? Kau mau pergi? Tapi setelahnya, aku mati."             Kookie, tidak— "Jungkook, kau akan bahagia dengan hidupmu setelah berhenti dengan leluconmu padaku." San memberikan satu senyuman pada Jungkook. Memainkan perannya.             Jungkook tidak menyangka perasannya dianggap main-main."Kalau begitu leluconmu ini akan benar-benar berhenti sekarang."             Itu bagus, bukan? San hanya tinggal mengangguk senang. "Kau selalu menganggap semua adalah milikmu. Dan aku adalah pengecualian, Jungkook." San tidak punya keberanian untuk menatap Jungkook sekarang.             "Aku akan melepaskanmu" Jika itu yang San inginkan dari Jungkook. " Kali ini aku benar-benar akan meninggalkanmu. Aku tidak akan peduli jika kau kambuh, masuk rumah sakit, bahkan sekarat—"             San refleks menutup kedua matanya.             "—aku tidak akan peduli padamu. Aku akan menghapusmu, Sanayya." Jungkook semakin mengepalkan tangannya. "Aku akan bahagia dengan hidupku sendiri. Silakan jalani hidupmu, sesuka hati. Bahkan jika kau ingin berkencan dengan Hoonie—atau lelaki sialan manapun—aku tidak akan menghalangimu. Aku sudah menyelesaikannya sekarang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN