CHAPTER 12

1670 Kata
"Sanayya, sejak dulu, selalu kau."             Baginya, ada banyak hal yang tidak bisa ia lakukan, khususnya kepada seorang Kim Jungkook: yaitu memberikan sebuah tatapan penuh saat pemuda itu terlihat sangat serius. Terfokus pada apa yang coba San bentengi, kilat itu selalu meruntuhkannya. Membangun kembali tembok dan setelahnya merasa semua baik-baik saja memang selalu ia lakukan, namun tetap rasanya tak mudah.             San dengan segera mengambil tangannya yang berada di bahu Jungkook. Pada genggamannya.             Tidak, tentu saja itu salah. San sudah sangat tidak profesional jika marah karena perbuatan Jungkook saat ini.             "Kau ulang tahun besok." San berkata seperti itu setelah ia kembali mengenakan topinya. Jungkook tetap diam di posisi awal, mengurung seorang gadis dengan tatapannya.             "Member yang lain berjanji akan pulang secepatnya sehingga besok kalian bisa makan malam," tambah San, menghiraukan suasana yang berubah menjadi tak nyaman, untuknya.             "Ah...," Jungkook mengangguk, terlalu dibuat-buat dan entahlah San kesal melihatnya. "Aku ulang tahun," kata pemuda itu. Sesuatu yang terdengar tidak begitu menarik. Nyaris tanpa nada. "Aku boleh bertanya, San?"             "Katakan." San tidak menyerahkan diri, kau tahu. Dia hanya berbaik hati pada seseorang yang besok akan berulang tahun.             "Apa seminggu yang lalu Park Hoonie tidak datang menemuimu? Kalian ada janji dinner, kan?" Jungkook tidak bisa pura-pura lagi tentang ini.             "Darimana kau tahu aku bertemu dengan Hoonie?" San jelas saja tersinggung karena beberapa hari ini mencoba melupakan apa yang terjadi. Termasuk degup jantungnya dan perasaan sedih setelahnya.             "Aku tidak sengaja mendengar percakapanmu, maaf.” Jungkook tak mengalihkan tatapan meski San mencoba membawa manik matanya ke mana saja.             Tentu saja dia mendengar. "Ya, tapi itu bukan urusanmu."             "Jadi dia benar-benar tidak datang?" ulang Jungkook.             "Sudah kubilang, bukan urusanmu, Kim." San memutar bola matanya. Tolonglah, dia jengah. Seperti sedang disidang.             "Jangan menghubunginya lagi," ujar Jungkook. "Jangan menatapnya ketika bertemu atau membalas pesannya. Jangan."             "Noted. Aku tak berniat melakukannya." Bahu San terangkat begitu saja. "Aku memang tidak cocok menjadi fangirl."             "Aku ingin hadiahku."             "Seriously? Kau mau apa dariku? Jaket hitam? Atau apa? Kameramu sudah banyak."             "Aku ingin hadiah ulang tahunku, San." Jungkook tidak memperdulikan ekspresi wajah manajernya."Tetaplah hidup."             “A-pa?”             "Itu yang aku mau. Tetaplah hidup, San. Untukku." Kemudian Jungkook berbalik badan, pergi dari sana. Kakinya melangkah, helaan napasnya terdengar berat. Setidaknya, Jungkook sudah meminta.   (*)               Satu minggu yang lalu....             San selalu senang berbicara dengan Kim Joonie. Sosok yang begitu dewasa bukan karena umur melainkan pikirannya. Terbuka, hati-hati namun bisa menentukan pilihan dengan cepat. Sejak awal pertama bertemu—saat Sejun mengenalkan San pada leader TTS—gadis itu sudah yakin bahwa Joonie adalah orang yang sangat tepat menjadi pemimpin grup. Karismatik total dan pesonanya tidak bisa ditolak.             Namun sekarang San tidak akan membicarakan betapa menarik sosok Joonie—karena untuk pertama kalinya—San merasa tertekan berhadapan dengan sang leader.             "Aku harus bagaimana dengan member nanti, Sanayya-ssi?"             San bisa mendengar betapa Joonie khawatir. Mungkin dia terburu-buru menyerahkan surat pengunduran diri dan San yakin yang membuat Joonie risau adalah keputusannya pindah dari dorm.             "Seokjun akan bertanya padaku mengapa aku membiarkan kau pindah, dan Jungkook—“             "Ah, dia...," San ingin terlepas darinya. "Bukan apa-apa, Joonie. Aku hanya ingin memberi space untukku sendiri. Anggap saja latihan sebelum aku benar-benar berhenti mengurus TTS."             Sorot mata Joonie kini bukan hanya khawatir melainkan kebingungan. "Kontrakmu masih 2 tahun lagi. Dan kau juga tahu TTS akan memperpanjang kontrak. Bang PD-nim ingin kau tetap bekerja dengan kami."             San hanya tersenyum kecil, Joonie sepertinya lupa. "Aku sekarat, Joonie. Aku berterimakasih kepada Sejun-oppa yang masih mau memperkerjakan orang sekarat sepertiku."             Karena BigHit hanya tahu di balik surat pengunduran diri San adalah gadis itu lelah fisik. Sejun tak berniat menyembunyikan penyakit San, tapi prosedur agensi tentang memperkerjakan orang yang sehat jasmani serta rohani membuatnya berlaku seperti itu.             "Bang PD-nim pasti tahu aku sakit, Joonie. Dia hanya tak enak pada Sejun-oppa. Dia terlalu baik padaku," lanjut San yang merasa tidak pantas mendapatkan semua ini.             "Kau bekerja dengan sangat baik. Siapa peduli dengan sekarat? Semua orang di dunia entertaint ini sekarat, Sanayya."             Benar... tapi sekarat dalam konteks yang berbeda.             "Aku tidak akan menahanmu jika ingin keluar dari dorm." Joonie mengangguk, mencoba paham. "Kau harus bicara langsung pada member. Aku bisa apa jika Sejun-hyung saja sudah setuju?"             "Terima kasih, Joonie."             "San...,"             Dan gadis itu menatap Joonie. "Ya?"             "Kau melakukan ini semua, aku tahu alasannya. Kau merasa harus berpisah secara profesional, kan?" Joonie tidak menebak, hanya mengumpulkan potongan puzzle yang selama ini berpencar dari dalam diri Sanayya.             "Anggaplah seperti itu." San terkekeh kecil. "Lebih baik berpisah secara profesional daripada berpisah karena maut. Bukan begitu, Joonie-ssi?"   (*)               “ASTAGA, SASAENG! JOONIE, ADA SASAENG!”             Sanayya menggeram di tempatnya ketika Kim Seokjun tak berhenti memanggil Joonie seolah pemuda dengan IQ tinggi itu adalah seorang polisi yang bisa meringkus orang jahat.             "Seokjun-ssi...," San membalikan tubuhnya, melipat kedua tangan di depan d**a. Acara membuat nasi gorengnya jadi terganggu. "Bisa diam?"             "Joonie-ah! Sasaeng ini memakai apron millikku!" Bukan Kim Seokjun namanya jika langsung menurut ketika disuruh melenyapkan suaranya yang berisik. "Oh, dan sasaeng ini tahu namaku! Menyeramkan!"             "Hyung, sekali lagi kau memanggil San seperti itu, dia benar-benar akan menggoreng kepalamu." Yuga datang ke dapur bukan untuk mendengarkan kecerewetan Seokjun, dia mengambil air di kulkas lalu pergi lagi ke kamar.             "Ya ampun, kejam." Seokjun terkekeh, sepertinya acara main-main ini harus berhenti sebelum kepalanya yang berharga benar-benar dieksekusi Sanayya. "Tapi kau tampak beda sekali dengan rambut sebahu, San-ah," tambah Seokjun yang sudah menghampiri San.             "Apakah cocok?" Sebenarnya San kurang peduli pada pendapat orang, tapi tak apalah bertanya.              "Cocok. Jika dicat warna hijau kau akan kembar dengan brokoli."             "Jun...," Astaga, serius. San kewalahan jika Seokjun mulai kambuh. "Leluconmu sudah kuno, kau tahu."             Seokjun mengibas-ibaskan tangannya karena San tidak bisa diajak bercanda. Gadis itu satu geng dengan Yuga, selalu menolaknya mentah-mentah. Tidak asyik.             "San?" Suara Jungkook, khas. Sepertinya semua orang di belahan dunia ini—yang memang mengetahuinya—akan bisa langsung menebak bahkan jika Jungkook hanya menghela napas.             "Yang hari ini ulang tahun akhirnya bangun!" Seokjun sudah heboh dengan cara menepuk-nepuk pipi Jungkook. "Saengil cukkae, Jeyke!! Baby-baby Jeyke!"             "Ah, hyung! Aku bukan bayi!" Jungkook merengek.             "Hei, stob it!" ujar Seokjun sok emosi karena tangannya ditepis Jungkook.             "Aku mau nasi goreng." Jungkook menghampiri San setelah terlepas dari kegilaan Seokjun. "Aku ingin suapan di hari ulang tahunku."             Ucapan Jungkook membuat San memasang ekspresi jengkel yang begitu ketara. "Kalau begitu minta pada Vantae."             "V-hyung sudah memelukku."             Oh, serius. Lain kali San akan bicara pada Vantae untuk berhenti menuruti apa yang Jungkook mau.             "Apa tanganmu sudah tidak berfungsi?" ujar San galak, tapi ia tetap menyodorkan sendok pada mulut Jungkook yang sudah terbuka. "Aku tidak digaji untuk ini."             "Nasi gorengnya enak, San!" Jungkook bertepuk tangan, benar-benar seperti bocah.             "Kau sangat merepotkan hari ini."             "Tapi kau menyukainya."             San berdecak, "Sinting, tentu saja tidak!"             "Oh... begitu?" Jungkook menahan sendok yang disodorkan San, merubah arahnya. Kini nasi goreng itu berada tepat di depan bibir San. "Makanlah, noona."             Mungkin karena hari ini Jungkook sedang berulang tahun jadi San akan menurut untuk beberapa hal. Well, makan nasi goreng disuapi Jungkook bukan hal yang salah.             "Besok duduk di sebelahku ya saat naik jet."             San masih mengunyah ketika Jungkook mengatakan itu sehingga ia tidak menyanggah.             "Noona? Duduk dengan Kookie, ya?" Jari-jemari Jungkook bergerak perlahan untuk mengusap sudut bibir San. Sorot matanya yang tak pernah redup itu kali ini terasa semakin indah. "Kookie berjanji akan menjaga noona."   (*)             Jungkook benar-benar tak membiarkan San pergi barang sedetik pun dari sisinya. Mulai dari perjalanan di udara sampai memasuki hotel khusus yang disiapkan promotor konser, pemuda itu mengeluarkan sisi protektif yang menyebalkan. Alasannya karena dia adalah birthday boy. Padahal hari ulang tahunnya sudah lewat.             San akhirnya mendapat waktu luang dari Jungkook karena dipersilakan menyimpan barang-barangnya di kamar hotel. Merenggangkan tubuh, San ambruk pada tempat tidur. Melirik pada kaca jendela besar yang menyajikan kota Los Angeles. Tempat pertama di luar negeri dari serangkaian tour dunia TTS.             San bisa merasakan betapa excited para member dalam persiapan konser di LA. Mereka punya banyak waktu luang di sini, dan sudah punya jadwal masing-masing.             Jungkook meminta agar San jangan punya jadwal apa pun selama mereka di LA. Tak masuk akal dan tentu saja San marah. Meski tugasnya adalah mendampingi TTS, tapi apa salahnya sekalian jalan-jalan, kan? San juga pusing karena terus bekerja.             "Apa masih lama?" San bertanya kepada Jungkook yang sangat sibuk berkencan bersama keyboard dan layar laptop.             "Sudah."             "Jadi, aku boleh keluar?" Mata San berbinar.             "Ini sudah malam," kata Jungkook, benar adanya. "Lebih baik kau melihat video hasil editanku."             Meski ogah, gadis itu tetap berbaik hati pada permintaan Jungkook. Datang menghampiri pemuda itu untuk melihat hasil pekerjaannya selama kurang lebih tiga jam.             Video mulai terputar, kalimat pertama yang terlihat di layar adalah, "Wonderful is you."             Potongan clip mulai terputar, bersama dengan lagu yang tidak San ketahui siapa penyanyi maupun judul. Intinya, lagu yang dipakai Jungkook bernada sendu, dari liriknya terkesan sangat mendalam meski dilantunkan dengan sederhana.             "Itu... aku?" ucap San secara tidak sadar.             Jungkook mengangguk ketika San menatapnya dengan sorot bingung. "Ini untukmu," katanya. Tak ada sorot main-main.      Tapi.., San perlu waktu untuk berpikir dan bertanya-tanya mengapa dia selama ini tidak sadar bahwa Jungkook merekam setiap pergerakannya?             "Mengambil gambar atau video seseorang tanpa izin itu tidak boleh." San mengatakannya tanpa mengalihkan pandangan pada layar. "Tapi, ini sangat bagus, Jungkook-ah." Berganti menatap Jungkook yang ekspresinya tak bisa ia baca.             "Apa kau menyukainya?" Jungkook tidak punya kepercayaan diri saat mengatakannya.             San mengangguk perlahan. "Terima kasih. Dan aku rasa kau harus mengedit judul videonya."             "Maksudmu?" Jungkook tak mengerti.             "Menjadi 'Wonderful is you, Kim Jungkook.' Karena itu adalah sebuah fakta." Ada satu senyuman terbit, yang jarang sekali San tunjukkan. San mungkin selalu berdebat dengan Jungkook tapi tak bisa ia pungkiri bahwa Jungkook dan sesuatu yang indah adalah hal yang sulit diabaikan.             Jungkook membawa jarinya pada keyboard, merubah tuLizzyn itu sesuai keinginan San tapi dengan kata Us.             Wonderful is us.             "Lebih baik, Ken-ssi?" Jungkook sengaja memanggil gadis itu menggunakan nama depannya. Serius, untuk kali ini saja Jungkook menaruh harap agar San merasa bahwa mereka berada dalam satu keinginan yang sama.             "Kim...," Dan Ken Sanayya amat sangat tahu dia akan menyesal jika sekarang tidak segera keluar dari kamar Kim Jungkook. "Selamat malam?"             "Tidak." Jungkook menggeleng. "Tinggallah, denganku. Di sini."             Mereka berdua terlalu dekat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN