CHAPTER 07

2432 Kata
Setelah membaca apa yang ditulis Jungkook semalam pada selembar kertas, San langsung mendengus keras. "Tukang pamer!" hardiknya kesal dengan menggunakan bahasa Indonesia. Gadis itu menemukan Jungkook sedang makan sereal bersama Vantae yang juga sedang sarapan sambil bermain dengan Yeontan. Jungkook memasang senyum menjengkelkan ketika San sampai di meja makan.             "Bagaimana bahasa Indonesiaku? Semakin bagus, kan?" Jungkook bertanya dengan nada suara yang menurut San terdapat banyak bumbu sombong di dalamnya. Pasti pemuda itu sengaja menulis lirik lagu Euphoria dengan bahasa Indonesia untuk mengolok-olok San.             "Kau pakai translet, kan?" Lagi, gadis itu mendengus. Haram baginya kalah dari Jungkook. "Jangan sombong, Kim. Aku lebih fasih darimu!"             "Tentu saja, Sanayya-ssi. Kau kan asli sana," sindir Vantae dengan sedikit kekehan. "Memangnya akhir-akhir ini Jungkook belajar bahasa Indonesia, ya? "Kalau begitu ajari aku juga, Sansan!"               San menyatukan kedua alis, tampak tidak tertarik. Perutnya lapar, butuh sarapan bukannya ingin mengobrol. "Oke, ikuti aku," katanya meski terpaksa. "Nggak usah banyak bacot deh lo, anjir. Diem aja, gue kepengen makan! Kesel banget gue!"             Vantae dan Jungkook saling pandang, tidak percaya bahwa manajernya ternyata seorang rapper. Mereka berdua sebenarnya bingung, tidak mengerti San ngomong apa karena nadanya juga sangat cepat.             "Itu artinya apa, San?" tanya Vantae sambil menggaruk tengkuknya.             San memang manusia yang ditakdirkan punya batas kesabaran sedikit sehingga dia hanya menggebrak meja membuat kode kepada Vantae bahwa dia tidak ingin ngobrol. Vantae langsung diam namun hanya sebentar karena malah bertanya, "Kau yang memberikan nomorku pada Hoonie?"             San yang sedang mengoleskan selai cokelat pada roti langsung melirik Vantae. Wajahnya yang semula galak langsung berubah seperti puppy. San mengangguk semangat. "Iya! Semalam dia menghubungiku!"             “Apa?!” Jungkook tersedak karena berusaha menelan paksa sereal yang dikunyah. "Hoonie mengubungimu? Bagaimana bisa?”             San melirik sinis pada Jungkook. " Apa urusanmu?!"             "Kenapa kau jadi centil akhir-akhir ini? Memberikan nomor ponsel pada sembarang pemuda. Tidak pantas rasanya. Perempuan macam apa kau?"             "Yaaa, Kim!” San sudah habis kesabaran menghadapi sifat Jungkook yang terkadang sering kesurupan seperti ini. "Aku tidak memberikan nomorku pada Park Hoonie! Dia yang menghubungki duluan! Dan akan kupukul kepalamu jika berani lagi mengataiku centil!"             "Memang kenyataannya kau centil." Jungkook mengangkat kedua bahu dengan cuek. "Kenapa kau tidak sadar umur, Sanayya-ssi? Hoonie terlalu muda untuk kau kencani. Noona, kau tidak cocok bergaul dengan anak-anak."             "Kim...," Meski kedua tangannya sudah terkepal kuat dan amarah San berada di ujung kuku, gadis itu mencoba mengambil oksigen agar tetap bisa berbicara stabil. Mencoba melayani bully-an Jungkook. "Terserah kau saja.”             San bergegas pergi dari sana, selera sarapannya sudah hilang tapi ternyata Jungkook malah mengikutinya.             "Maaf," kata Jungkook. Berjalan mengikuti, di sebelah San.             "Mengapa minta maaf? Tenang saja, Noona satu ini tidak akan berkencan dengan anak-anak." San menyindir ketus.             "Oh ayolah, jangan marah. Aku hanya asing saja melihat pipimu merona hanya karena chat dengan laki-laki. Ternyata tipe-tipe seperti Park Hoonie ya yang kau sukai?"             "Memangnya aku tidak boleh suka pada laki-laki?”   "Hanya...,” Jungkook menghentikan langkahnya untuk melirik San sebentar. "Aku baru tahu saja tipemu ternyata yang seperti itu."             San menatap pemuda di hadapannya tepat di mata. "Aku tidak tahu apa maksudmu. Tapi, Kim, aku hanya suka Hoonie selayaknya idola bagi fans-nya. Aku bahkan tidak berniat berkencan atau pergi makan malam dengannya."             “Kalau kau ingin berkencan, carilah pria yang sedikit lebih dewasa darimu. Yang akan mengingatkanmu jika kau sudah bertingkah galak."             "Jangan mengguruiku, anak kecil!" San berdecak, "aku tahu apa yang terbaik untuk hidupku!"             Jungkook mengalihkan pembicaraan, "Oh iya, Lizzy menerima video-ku. Dia bilang itu sangat bagus tapi dia tidak mengiyakan ajakanku untuk kembali bersama padahal aku sangat mencintainya. Aku bisa gila!"             "Sabar..." San sedikit memberikan dukungan. "Mungkin dia ingin melihat perjuanganmu lebih banyak lagi. Yang terpenting dia masih mau membalas pesanmu, kan?"             "Iya, kau benar."             "Sekarang lakukan apa yang kau suka sebelum sibuk konser. Aku juga ingin membahas pekerjaan dengan manajer Sejun.”             "Oke, aku akan main game dan mencoba cara lain supaya Lizzy kembali padaku." Jungkook menampilkan senyum yang mampu menunjukkan gigi kelincinya. Berlari, pergi ke ruang pribadinya.             Ketika San kembali ke kamar untuk mengambil ponsel, ternyata ada pesan dari Lizzy. Sebelumnya dua miscall sudah masuk.   Lizzy : Unnie, tolong bilang pada Jungkook untuk berhenti menghubungiku. Aku sudah putus dengannya dan ingin fokus pada karirku. Sanayya : Kenapa tidak kau katakan sendiri? Kau bukan pengecut, kan?               San mengetik pesan itu dengan keadaan sadar seratus persen karena merasa kesal menhetahui Lizzy seperti ini. Seharusnya jika gadis itu tidak mau lagi dengan Jungkook, tidak usah meladeni sejak awal. Tak perlu memuji video yang dikirimkan untuknya jika terganggu dengan perbuatan Jungkook. Hal itu membuat Jungkook salah paham. Dia semakin giat mengejar tapi Lizzy tidak memberi kepastian yang jelas.   Sanayya : Jangan menarik ulur Jungkook seperti itu. Kau pikir dia akan terus mengejarmu, Ahn Lizzy? Lizzy : Maksud unnie apa? Sanayya : Aku sangat mengenal Jungkook. Dia bukan tipe pemuda yang senang mengejar gadis. Dia tidak akan mengabdikan hidupnya untuk seorang gadis. Seharusnya kau bersyukur karena dia teramat sangat mencintaimu sehingga Jungkook mati-matian mengejarmu. Jangan permainkan perasaannya. Jangan memberikannya harapan jika kau sudah tidak suka padanya. Dia seperti orang gila hidup tanpamu. Jangan sakiti dia.. Sanayya : Aku menyesal mengenalkanmu padanya karena kau malah menyakitinya, Lizzy. Jungkook selalu berkata bahwa dia mencintaimu, apa kau tahu itu? Lizzy : Unnie... Lizzy : Jungkook saat ini memang mengejarku, tapi aku tahu dia tidak mencintaiku sebanyak itu. Bahkan aku ragu, sebenarnya dia melakukan ini semua untuk siapa? Dan sebenarnya siapa di sini yang sedang dipermainkan harapannya? Jungkook? Atau malah aku?   (*)               "Jeyke, Hyung mau bertanya dong!"             "Sejak kapan Hyung bilang dulu? Biasanya juga langsung bertanya."             Seokjun terbahak mendengar balasan dari Jungkook. Pemuda dengan bahu lebar itu melanjutkan, "Katanya kau masih terus berusaha agar Lizzy kembali padamu? Bagaimana perkembangannya?"             "Begitu saja, Hyung."             Seokjun berdecak, "Memangnya kenapa kau suka dia sedalam itu?"             Jungkook berhenti bermain game pada komputer untuk mengambil ponselnya. Menunjukkan foto selfie dirinya dan Lizzy. Jungkook tidak menyangka ini akan jadi foto terkahir mereka berdua sebelum putus. "Lihatlah, hyung! Dia sangat cantik!" kata Jungkook, pamer pada Seokjun.             "Cantik saja?"             "Yang terbaik.”             "Jungkookie...," Seokjun menaruh ponsel itu pada meja, menepuk bahu Jungkook dengan tampang serius. "Kau mencintai Lizzy atau hanya terobsesi?"             "Maksudnya apa, Hyung?"             "Dengarkan Hyung baik-baik. Jika kau mencintai seseorang, tanpa perlu memilikinya kau akan baik-baik saja. Merawat perasaanmu, nyaman dengan detak jantung tak beraturan ketika melihatnya. Jika kau fokus hanya pada ingin memiliki, itu bukan cinta melainkan obsesi. Setelah kau memiliki Lizzy, lalu apa yang akan kau lakukan? Bukankah itu selesai? Lalu di mana letak ketulusannya?"             Jungkook diam.             "Kau masih sangat muda untuk tahu arti cinta. Kau belum mengerti." Seokjun menghela napasnya melihat Jungkook yang diam saja. "Hyung berkata seperti ini bukan untuk mendikte hidupmu, tapi Hyung ingin kau tahu bahwa mencintai itu sederhana. Yang agung adalah cinta, bukan caranya."             Seokjun tersenyum, "Lebih baik kau istirahat, Jeyke. Sudah malam. Good night, Hyung mau kembali ke kamar, ya!"      Setelah Seokjun menepuk bahu Jungkook sebagai tanda pamit, ruangan persegi berstatus kamar Jungkook ini menjadi benar-benar sepi.             Jungkook hanya menatap layar komputernya dengan pandangan kosong lalu meringis kecil, "Aku sudah pernah melakukan apa yang kau katakan, hyung. Aku pernah mencintai seseorang dengan amat sangat tanpa berharap untuk memiliki. Juga menginginkan seseorang dengan amat sangat tanpa berharap memiliki. Tapi rasanya tidak baik-baik saja. Rasanya sangat menyakitkan ketika aku terus mencintai seseorang yang tidak ingin mencintaiku kembali.”   (*)             Kebiasaan seorang Kim Jungkook adalah pergi menginap di kamar para hyung. Sejak awal mereka tinggal serumah (saat itu mereka masih menempati satu kamar untuk bersama) pasti Jungkook sering tidur satu kasur dengan member yang lain. Dia bukan tipe orang yang penakut, baginya tidur bersama para member sangat menyenangkan.             Tambah menyenangkan karena mereka tetap memilih tinggal satu atap meski sudah sesukses sekarang. Ibaratnya, mereka sudah bisa membeli apartemen atau rumah mewah bagi diri mereka sendiri. Tapi member TTS memilih tetap tinggal bersama, mereka sudah seperti keluarga yang tambah dekat setiap detiknya.             Setelah mereka pindah ke dorm yang lebih besar dan sudah punya kamar masing-masing sama luasnya, tetap saja Jungkook akan tidur mengungsi. Sebenarnya paling suka tidur di kamar Yuga karena sunyi, tapi pemuda savage itu pasti mengusirnya sehingga ujung-ujungnya Jungkook akan pergi ke kamar Vantae.             Tapi saat ini Jungkook tidak mengungsi ke kamar Taetae, dia malah pergi ke kamar Jimmy dan Hoobi. Mereka berdua adalah satu-satunya yang masih menjadi roommate—berbagai kamar untuk berdua bahkan tempat tidur mereka bersebelahan hanya dibatasi meja kecil di tengah-tengah.             Sekarang Jungkook sedang menggulung diri dengan selimut di atas tempat tidur Hoobi sambil mengobrol hal-hal ringan seputar apa saja.             "San bilang bahwa kau memaksanya untuk membantumu mendapatkan Lizzy lagi. Itu benar, Kook?" Hoobi mengganti tema pembicaraan.             "Dia cerita?” Jungkook berdecak. "Tenang saja, hyung. Lizzy akan kembali padaku. Besok setelah dia pulang dari Jepang kami akan bertemu untuk makan malam."             "Jangan menyulitkan San dalam misimu itu, Jungkook. Pekerjaan San banyak." Jimmy langsung menimpali. "Cerita saja padaku, jangan pada San.”             "Aku tidak menyulitkannya, hyung. Aku hanya meminta bantuan."             "Tapi permintaanmu itu aneh-aneh. San memang bertugas mengurusi kita tapi bukan berarti sampai masalah asmara dia juga turun tangan," kata Hoobi mencoba memperingatkan adiknya. "Kau bahkan selalu marah-marah jika dia tidak mengingatkanmu untuk memakai lip balm. Apa susahnya kau cari sendiri lip balm-nya?"             "Itu kan—memang tugasnya." Jungkook menjawab dengan suara kecil hampir tidak terdengar. "Hyung tahu aku paling tidak suka barang-barangku dipegang orang lain. Jadi aku percaya padanya untuk membawa semua barang-barangku."             Jungkook hanya melihat kedua hyung-nya menghela napas sehingga dia memilih bertanya pada Jimmy mencari topik lain. Sesuatu yang mengganjal di otaknya.             "Jimmy-ssi...," evil maknae mode on. "Kau memberikan nomor San pada Park Hoonie, benar?"             "Iya." Jimmy mengangguk. "Aku dan Vantae sepakat menjodohkan mereka."             "Wae geurae (kenapa begitu)?" Alis Jungkook naik sebelah. "Bukannya pekerjaan San itu banyak, Jimmy-ssi? Dia tidak ada waktu untuk berkencan atau melakukan hal-hal lainnya."             Seketika Jimmy langsung terbahak. "Yaaa! Jungkook-ssi... ada apa denganmu?" Entahlah, tapi bagi Jimmy ekspresi yang ditampilkan Jungkook itu sangat lucu. Seperti seorang ayah yang sewot saat calon menantu datang berniat untuk melamar anak gadisnya.             Hoobi berkata pada Jungkook, "Memangnya kau saja yang boleh cinta-cintaan? Biarkan San berkencan."             "Tapi nanti San tidak ada waktu untuk mengurus kita, hyung. Kita itu butuh dia, kan?!” Jungkook menaikkan intonasi berbicaranya.             "Tentu member yang lain  membutuhkannya sebagai manajer." Hoobi mengangguk. "Tapi kami tidak membutuhkan San seperti kau membutuhkannya. Jangan terlalu terpaku pada San, Jungkook. Kau tidak akan tahu kapan dia resign."             "Mengapa Hoobi-hyung berkata seperti itu? Memangnya San akan resign?" tanya Jungkook dengan raut bingung.             "Tentu saja Hyung tidak mau San resign, tapi mengingat dia adalah pasien VWD type 2N, kita harus sadar kenyataan. San mungkin saat ini sehat-sehat saja tapi kita tidak tahu seberapa banyak obat yang dia minum agar tetap terlihat sehat, Jungkook. Akhir-akhir ini bahkan San masuk rumah sakit bisa sampai sebulan sekali. Bukankah pekerjaan ini cukup berat untuknya?"             Terlalu hening, namun Jungkook kesulitan membalas.             Hoobi menambahkan, “Jangan terlalu bergantung pada Sanayya, Jungkook-ah. Jangan.”   (*)               Setelah kata putus itu terucap, Jungkook belum melihat Lizzy lagi dan baru sekarang mereka ada waktu untuk bertemu. Di sebuah restoran khas Korea dengan private room agar tidak ada media atau siapa pun yang melihat pertemuan mereka.                 "Kau semakin cantik."   Jungkook menatap Lizzy yang beberapa waktu lalu baru saja datang dengan dress berwarna hitam.             "Hentikan gombalanmu itu, Kim." Lizzy memperingatkan.             "Aku masih berusaha mendapatkanmu kembali, Lizzy."             "Maka berhentilah, Jungkook."             Jungkook tidak berbicara lagi, hanya menatap gadis di hadapannya membuat Lizzy frustasi. Dia merasa sudah menyakiti Jungkook dengan kalimatnya.             "Jungkook..." panggil Lizzy dengan lembut. "Hubungan kita masih bisa berlanjut dengan status teman. Itu akan memudahkan kita berdua. Fokuslah pada karirmu, buat itu semakin besar sehingga aku akan merasa baik-baik saja dengan perpisahan ini. Aku juga akan fokus dengan karirku, membuatnya semakin bagus sehingga kau tidak perlu khawatir. Tolong jangan membenciku.”             Jungkook langsung menjawab, "Aku mencintaimu, bukan membencimu. Bisakah kau mencintaiku sama besar seperti aku mencintaimu, Ahn Lizzy?"             Beberapa kali Lizzy harus menghela napas sebelum mengeluarkan suaranya. "Aku yakin besar mencintai versiku dan versimu berbeda, Jungkook-ssi. Aku selalu mencintaimu, tapi bukan berarti kau harus memaksakan kehendakmu untuk terus memilikiku, kan? Bukankan itu malah membuatku terluka? Berhentilah.”             "Jadi selama ini kau terluka oleh perasaanku padamu?"             “Bukan seperti itu." Lizzy sudah hampir menangis menghadapi Jungkook.             "Baiklah jika itu maumu,” ucap Jungkook. "Aku akan berhenti mengejarmu jika itu membuatmu mudah. Fokuslah pada karirmu seperti apa yang kau inginkan. Aku akan mendukung apa pun keputusanmu. Maaf jika aku egois. Maaf jika aku sudah lupa bahwa mempertahankan ternyata memang lebih sulit daripada mendapatkan. Berbahagialah dengan hidupmu.” Jungkook mengatakannya disertai sebuah senyuman tulus. Baginya, semua ini yang terbaik. Jika Lizzy sudah tidak mau, untuk apa Jungkook mempertahankan?              Detik itu, Lizzy tidak bisa menahan tangisnya. Pertahannya runtuh total, tahu jelas bahwa mulai saat ini Jungkook sudah menyerah atas dirinya. Mereka berdua resmi tidak ada hubungan spesial lagi. Harus hidup masing-masing seperti dulu—saat mereka belum mengenal satu sama lain.             Ternyata ucapan San benar; Jungkook tidak akan pernah mau mengejar seorang gadis sedalam itu.   (*)               Meski sudah ditraktir steak oleh manajer Sejun tiga jam yang lalu, tetap saja San kembali lapar. Dirinya berkutat dengan ramen jam satu pagi, tidak peduli jika itu membuat berat badannya naik. Ditambah tadi dia juga membawa pulang steak enak sehingga San ingin makan lagi.             "Kau sedang makan?" Jungkook datang ke dapur ketika mendengar sesuatu dari sana. Ternyata manajernya.             San mengangguk. "Iya, lapar."             Jungkook mengikuti San yang membawa makanannya ke ruang TV. Hanya duduk di sofa saat San menikmati makan malamnya ditemani saluran TV dengan nada rendah takut membangunkan member lain.             “Tadi aku ditraktir manajer Sejun bahkan dia membelikanku steak untuk dibawa pulang." San menunjukan daging sapi yang sudah diolah itu kepada Jungkook tapi pemuda itu menolak.             San pergi lagi ke dapur untuk mengambil minuman di  kulkas, saat itu ponselnya yang di taruh di sofa bergetar. Jungkook yang melihatnya langsung melirik dan melihat layar ponsel San. Sebuah pesan dari nama kontak yang tidak asing;   Hoonie : Noona, kau melupakan topimu jadi aku bawa saja. Maaf baru mengabari, aku langsung mandi setelah makan malam tadi. Tentang topimu ini, apa harus aku kirimkan saja ke alamatmu?               "Kau, huh? Mereka berbicara informal satu sama lain?" Jungkook berkomentar setelah membaca pesan masuk.             San membawa jus mangga di tangannya. Duduk di sofa dan menemukan Jungkook yang menatapnya. ”Apa?” tanyanya.             "GeoJunmal (pembohong)," ujar Jungkook tiba-tiba dengan raut menghakimi.             “Maksudmu?” San tidak paham.             Jungkook enggan menjawab, dia langsung pergi dari sana menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras. San semakin bingung karena ulah Jungkook beberapa detik lalu. San bertanya pada dirinya sendiri, "Pembohong? Siapa”             Sedangkan di kamar pribadinya, Jungkook merasa begitu kesal. Hari ini dia telah kehilangan dua hal penting sekaligus;             Satu, Jungkook kehilangan Ahn Lizzy. Dua, dia sudah kehilangan kepercayaannya pada San.             Sesuatu yang paling tidak ingin Jungkook rasakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN