25 - Elemen Tingkat Lanjut

1571 Kata
            Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku langsung membuka pintu rumahku dengan kencang dan bergegas masuk bersama Michiru yang sedang menggendong Kazuyoshi di punggungnya. Wajah Kazuyoshi mengernyit kesakitan setiap kali tubuhnya bergerak. Dengan hati-hati aku dan Michiru membaringkannya di atas kasur.             Tubuh Kazuyoshi dipenuhi oleh luka gores dan memar. Apalagi di bagian lutut dan sikunya yang sampai berdarah. “Aku ambil kotak pertolongan pertama dulu,” kataku cepat sambil berlari keluar kamar.             Aku mencari kotak pertolongan pertama yang biasanya disimpan di meja TV, tetapi kenapa saat kotak itu dibutuhkan, dia menghilang!? Aku terus mencarinya di sekitar ruang TV bahkan sampai ke dapur, tetapi tidak ketemu juga.             Aku Michiru keluar dari kamarnya dengan wajah yang kelelahan. “Michiru … kau lihat kotak pertolongan pertama tidak? Biasanya aku simpan di laci meja TV,” tanyaku padanya.             “Sini, Akari,” kata Michiru sambil membuat gerakan tangan menyuruhku mendekat ke arahnya.             Aku menurutinya tanpa banyak tanya. Ia langsung mendorongku pelan untuk duduk di sofa. Ia berjalan ke meja yang ada di bawah TV, dengan ajaib kotak pertolongan pertama ada di sana.             Kenapa saat aku cari tadi tidak ada!?             “Jangan terlalu panik, kau sudah cukup ceroboh bahkan ketika kau tidak panik,” kata Michiru pelan sambil membuka kotak itu. Ia mengeluarkan kapas dan pembersih luka. “Perlihatkan tanganmu, kau juga terluka, ‘kan?”             Aku melihat tanganku yang tanpa kusadari penuh dengan luka. Sejak kapan? “Tapi kita harus mengobati Kazuyoshi terlebih dahulu. Lukanya lebih parah daripada lukaku.”             “Aku sudah menyembuhkannya dengan sihir,” kata Michiru singkat. Kemudian ia mulai membasahi kapas dengan pembersih luka dan mulai membersihkan luka yang ada di tanganku.             ‘Kalau begitu, kenapa kau tidak menyembuhkan lukaku dengan sihirmu juga!?’ batinku. Tentu saja aku tidak mengatakannya. Aku hanya diam memerhatikan Michiru yang dengan ahli membersihkan dan mengobati luka di tanganku.             Kemudian dia tiba-tiba berlutut dan melepas sepatuku yang sempat kulupakan dengan hati-hati. Ternyata pergelangan kakiku sudah merah dan bengkak, pantas saja saat tadi aku mencari kotak pertolongan pertama, rasanya kakiku sakit sekali. Sekali lagi tanpa berkata apa pun ia memijat pelan pergelangan kakiku yang terkilir dan mengolesinya dengan salep.             Setelah membalut pergelangan kakiku dengan perban, Michiru berkata, “Jangan banyak bergerak dulu. Kazuyoshi juga hanya perlu istirahat sebentar.”             Aku hanya menganggukkan kepala. “Bagaimana dengan makan malam?”             Michiru menjentikkan jarinya, kemudian dari arah dapur aku mulai mendengar suara. Di sana, alat-alat masak dan beberapa bahan makanan menari-nari sendiri di udara. Ah … sihir, betapa praktisnya.             “Apa lagi yang kau butuhkan?” tanya Michiru dengan suaranya yang pelan. Hmm, pasti dia merasa bersalah.             Aku memiringkan kepalaku berpikir. Sepertinya ada yang kulupakan … “Ah! Ponselku, ambil ponselku!”             Michiru mengedipkan matanya kemudian berdiri. “Tunggu … lagi pula di mana tasmu?” tanya Michiru.             Aku langsung memukul keningku kencang. “Masih ada di kelas!”             “Ada perlu apa? Kenapa dengan ponselmu?”             “Aku harus beri tahu Seika kalau dia tidak bisa menginap malam ini karena kejadian tadi … lagi pula kalau dia sadar ada Kazuyoshi di sini dengan luka di tubuhnya, kita harus cerita apa?”             Michiru tersenyum tipis. “Kalau begitu aku saja yang kirim pesan padanya. Ada lagi yang kau butuhkan?”             Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak ada. Ah, puding kopi?”             “Kita buat lain kali saja,” balasnya singkat.             “Mmm,” gumamku pelan lalu menyandarkan punggungku ke sofa. Seketika ruang tengah itu menjadi sepi. Beberapa kali aku melirik ke arah Michiru. Wajahnya terlihat sedih tidak seperti biasanya.             “Akari …” kata Michiru tiba-tiba dengan suara pelan.             “Kenapa?”             “Maaf. Jika aku tidak masuk ke dalam perangkap Kirishima, mungkin kau dan Kazuyoshi tidak akan terluka,” kata Michiru semakin pelan di setiap katanya.             Aku terkekeh pelan. “Di akhir kau juga datang untuk menolongku dan Kazuyoshi. Tidak perlu dipikirkan lagi!”             “Tapi jika Kazuyoshi tidak datang terlebih dahulu, mungkin kau sudah …” Michiru menghentikan kata-katanya, kemudian ia mendesah panjang. “Lagi pula kenapa tiba-tiba Kirishima menyerangmu?”             Aku mengangkat kedua bahuku. “Aku juga kurang mengerti. Katanya aku punya kekuatan untuk melemahkan kutukan atau apalah itu …”             Michiru langsung mengelus dagunya berpikir. Tetapi dia tidak mengatakan apa pun setelahnya. Aku juga terdiam dan membiarkan Michiru menggunakan otaknya itu, sebagai orang biasa aku tidak bisa membantunya dalam masalah ini.             “Pantas saja Homura bisa mendapatkannya …” gumam Michiru pelan.             “Kirishima juga ada di tempat olimpiade itu, ya?” tanyaku setelah sadar apa yang dimaksud dengan gumaman Michiru itu.             Michiru menganggukkan kepalanya. “Mungkin ia mendengar pembicaraan kita tentang Homura dan Seika. Lalu entah bagaimana caranya ia menemukan benda yang memiliki kutukan iblis itu … lalu dia memanfaatkan perasaan Homura untuk memperkuat kutukannya …”             “Ah, itu yang dikatakan Kirishima sebelumnya. Dia juga bilang tentang … seharusnya Homura tidak bisa terlepas dari kutukan itu.”             “Itu benar,” kata Michiru sambil menganggukkan kepalanya. “Tetapi entah bagaimana caranya kutukan itu tiba-tiba melemah dan kesadaran Homura kembali …” ia menghentikan perkataannya lalu menatapku dengan lekat.             “A-apa?” tanyaku grogi karena dilihat seperti itu oleh Michiru.             “Akari … apa kau bisa sihir?”             Rasanya aku ingin tertawa ketika mendengar perkataan itu tetapi tidak bisa melakukannya. “Kalau aku bisa sihir, mungkin aku juga sudah menggunakan sihir untuk memasak dan membersihkan rumah ini!”             Michiru menyipitkan matanya melihatku dengan curiga. Setelah beberapa saat akhirnya ia berkata,“Benar juga, lagi pula aku tidak bisa merasakan sedikit pun energi sihir darimu. Apa ada hubungannya dengan daya tarikmu?”             Aku memukul Michiru pelan. “Daya tarik apanya!?”             Michiru terkekeh pelan namun ia kembali terdiam tenggelam dalam pemikirannya, ia terus mengetukkan telunjuknya pada meja. Kebiasaannya ketika ia berpikir dengan keras.             “… menambah alasanku untuk …”             Aku memiringkan kepalaku ke samping ketika mendengar Michiru berkata sesuatu. “Apa?”             Sekali lagi, dengan gaya sok misterius Michiru hanya menggelengkan kepalanya. “Selanjutnya, jika kau ingin pergi ke suatu tempat, jangan pergi tanpa memberitahuku terlebih dahulu!”             “Hah? O-Oke…” jawabku meski tidak terlalu mengerti apa maksudnya.             Michiru memijat keningnya pelan. “Seharusnya aku memerhatikannya lebih seksama sebelumnya …”             “Mmm? Memerhatikan Kirishima?” tanyaku.             “Ya. Setelah jatuh ke dalam perangkapnya, aku baru menyadari kalau aku pernah melihat tipe dan trik sihir seperti perangkap yang dipasang oleh Kirishima.”             “Kau pernah melihatnya? Apa saat kau berperang dengan iblis apalah itu?”             Michiru menggelengkan kepalanya. “Bukan. Aku … aku pernah melihatnya ketika aku sedang mengambil ujian kelulusan bakat sihir. Karena trik itu sedikit menarik, aku jadi mengingatnya.”             “Berarti … Kirishima dulu seorang penyihir yang tinggal di Merqopolish juga?” tanyaku dengan alis terangkat.             Michiru mengetuk dagunya dengan telunjuk, keningnya sedikit berkerut seperti berusaha untuk mengingat sesuatu. “Kalau tidak salah namanya Keiyoshima dari keluarga Albeit. Karena banyak dari anggota keluarga Albeit yang tiba-tiba menghilang. Aku jadi sedikit lupa dengan kemampuan sihir keluarga itu.”             Aku memiringkan kepalaku bingung. Apakah kemampuan dan bakat dalam sihir dipengaruhi dari turunan darah?             Melihat wajahku yang bingung, Michiru hanya terkekeh pelan. Kemudian entah karena angin apa, dia tiba-tiba berkata, “Kemampuan dasar sihir bisa digunakan oleh siapa pun. Seperti mengendalikan empat elemen dasar yaitu air, api, tanah dan udara. Selain itu, juga ada elemen tingkat lanjut, seperti cahaya, kegelapan, suara, gravitasi, tanaman bentuk, petir, logam, pasir, roh dan masih banyak lagi.”             “Ah … seperti yang ada di dalam game?” tanyaku.             Michiru terkekeh pelan. “Kurang lebih seperti itu. Keluargaku, keluarga Wienan menguasai elemen tingkat lanjut petir.”             Aku mengangguk-anggukkan kepala ketika mengingat saat Michiru menciptakan Soumin Shourai yang dilapisi oleh petir. Jadi itu alasannya … “Lalu, kau mengingat Kirishima ternyata adalah penyihir ketika kau sadar dengan sihir dari jebakannya itu?”             “Ya. Keluarga Albeit merupakan keluarga yang memiliki bakat elemen tingkat lanjut pengguna roh. Keluarga yang memiliki bakat seperti itu sudah sangat jarang sekali di Merqopolish, karena itu aku mengingatnya.”             “Lalu bagaimana bisa kau … lupa … maksudku apa kau tidak ingat wajahnya?”             Michiru menggaruk bagian belakang kepalanya dan bergerak canggung di tempatnya. “Hehe, aku punya kelebihan untuk melupakan wajah seseorang dengan mudah.”             “Seharusnya kau tidak bangga akan hal itu, ‘kan!?”             Michiru berdeham pelan. “Lagi pula sudah lama sekali aku tidak melihatnya. Sebelum lulus ia juga menghilang tiba-tiba. Kukira memang ciri khas keluarga Albeit yang selalu menghilang sebelum mereka lulus. Ternyata Kirishima ini bergabung ke dalam organisasi Penyihir Hitam.”             Aku terdiam beberapa saat. “Bukankah seharusnya pemerintah Merqopolish bertindak ketika sadar bahwa seorang penyihir menghilang? Apalagi dari yang kau katakan sepertinya anggota keluarga Albeit ini selalu menghilang?”             Michiru mengangkat kedua bahunya. “Keluarga Albeit sebenarnya bagian dari bangsawan. Tentu pemerintah Merqopolish tidak bisa semudah itu untuk melakukan penyelidikan.”             “Huh, ternyata negeri sihir juga ada strata sosial? Lalu … apa kau juga berasal dari keluarga bangsawan?”             Michiru tersenyum tipis. “Coba tebak!”             “Uhh … lebih baik tidak,” kataku cepat. Jika ternyata Michiru seorang bangsawan, bisa-bisa dia menghancurkan gambaranku tentang seorang lelaki seumuranku yang merupakan seorang bangsawan keren dan tampan seperti yang ada di n****+ atau anime sejarah fiksi.             Tiba-tiba aku mendengar suara gemuruh yang sudah mulai kukenali ini. “Michiru … jika kau lapar makanlah terlebih dahulu.”             “Hehe, tepat sekali makan malamnya sudah jadi!” kata Michiru sambil menjentikkan jarinya. Ternyata Michiru memasak Karaage[1] ayam dengan sihirnya itu. Piring yang diatasnya ada makan malam itu mendarat dengan mulus di depanku bersamaan dengan semangkuk nasi dan hidangan pelengkap lainnya.             “Ayo kita makan!” kata Michiru yang mulutnya mulai berair dan langsung melahap makanan yang ada di depannya.             Aku hanya terkekeh pelan. Sepertinya ia kelelahan karena sudah menggunakan sihir untuk menyembuhkan luka Kazuyoshi. Kemungkinan dia juga menggunakan kekuatannya ketika ia masuk ke dalam perangkap Kirishima.             Keningku kembali berkerut ketika mengingat apa yang dikatakan Kirishima sebelumnya. Kenapa rasanya aku pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya?   Note: [1] Karaage: Karaage (**げ atau **げ atau から*げ [kaɾaaɡe]) (pengucapan kira-kira kah-rah-ah-ge), adalah teknik memasak ala Jepang di mana berbagai jenis bahan makanan — lebih sering ayam, juga daging, atau ikan — digoreng rendam dalam minyak yang banyak. Potongan daging ini dibumbui dengan mirin atau saus rendaman asin yang dibuat dari campuran kecap asin, bawang putih, dan jahe, kemudian dilapisi tepung terigu atau tepung kentang, lalu digoreng dalam minyak goreng yang banyak — mirip dengan cara memasak tempura.[1]  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN