Aku langsung pergi ke kamar Michiru untuk memeriksa keadaan Kazuyoshi. Aku berjalan ke samping kasur untuk melihat keadaannya dari dekat. Setelah disembuhkan oleh sihir Michiru, luka yang ada di tubuh Kazuyoshi tidak terlalu parah seperti sebelumnya.
Tapi … apa kira-kira Kazuyoshi mengingat kejadian ketika Kirishima menyerangku? Apa hipnotis seperti yang dilakukan Michiru ketika ia mengalahkan iblis saat di sekolah waktu itu bisa kembali bekerja lagi?
Aku khawatir efek dari hipnotis itu menghilang karena Kazuyoshi melihat Kirishima menggunakan sihir, dan hal itu mengingatkannya pada Michiru yang menggunakan sihir untuk mengalahkan iblis pertama kali. Kemudian ia tersadar kalau Michiru dan Kirishima itu penyihir …
Aku sedikit mengerutkan keningku. Meski lebih baik sedikit orang yang mengetahui kalau Michiru adalah seorang penyihir, jika Kazuyoshi yang mengetahui kebenarannya sepertinya tidak akan terjadi sesuatu yang bisa membahayakan dirinya dan juga Michiru.
Seketika sebuah gambaran terlintas di pikiranku. Satu-satunya hal yang mungkin dilakukan oleh Kazuyoshi ketika mengetahui kalau Michiru adalah seorang penyihir mungkin ia akan membuat pertunjukkan sulap dan meminta uang kepada orang-orang yang ingin menonton pertunjukkan itu …
Entah kenapa aku percaya kejadian itu akan terjadi jika Kazuyoshi benar-benar tahu kalau Michiru seorang penyihir.
Kening Kazuyoshi terlihat sedikit berkerut, mungkin karena mendengarku tertawa membayangkan apa yang dilakukannya jika ia mengetahui kalau Michiru adalah seorang penyihir.
Mata Kazuyoshi terbuka secara perlahan seperti adegan dalam sebuah kartun. Saat itu aku baru sadar kalau bulu mata Kazuyoshi ternyata cukup lentik …
“Kumo?” tanya Kazuyoshi bingung.
Aku membalas tatapan bingung Kazuyoshi itu dengan senyuman. “Ehh … selamat pagi … ah. Selamat malam, Kazuyoshi!”
Kazuyoshi langsung bangun dari posisi tidurnya, kemudian wajahnya langsung mengernyit kesakitan. Dengan cepat aku membantunya untuk duduk di atas kasur secara perlahan. “Jangan banyak bergerak dulu!”
Kazuyoshi menyebarkan pandangannya bingung sambil mengaduh kesakitan. “Ini … sepertinya bukan kamarku?” tanyanya.
“Emm, ini kamar Michiru …” kataku pelan.
Kening Kazuyoshi semakin berkerut. “Kenapa aku bisa ada di kamar Michiru?”
Aku terdiam karena bingung untuk menjawabnya. Tetapi sepertinya ia tidak ingat kalau Kirishima menyerangnya dengan sihir. “Enm, aku tidak tahu! Tanyakan saja pada Michiru. Bahkan aku sendiri bingung ketika Michiru pulang sambil menggendongmu, dan terkejut ketika melihatmu babak belur penuh luka seperti ini.”
Sepertinya Kazuyoshi mencoba untuk mengingat kejadian kenapa ia bisa sampai di rumahku. Kemungkinan besar ia tidak mengingatnya sama sekali. Akhirnya ia menyerah sambil menghembuskan napasnya panjang. “Lalu, ke mana Michiru?”
“Dia … pergi ke luar sebentar!” kataku cepat. “Saat Michiru sudah membaringkanmu di atas kasur, dia langsung pergi ke luar rumah dengan wajah yang mengerikan! Karena luka gores pada tubuhmu cukup banyak, aku memilih untuk membersihkan dan mengobati lukamu dari pada bertanya pada Michiru apa yang terjadi …”
Kazuyoshi sedikit memiringkan kepalanya, sekali lagi ia menyebarkan pandangannya. “Tasku … di mana tasku?”
“Ah … aku tidak tahu?” kataku dengan tanda tanya di akhirnya.
Kazuyoshi mengusap bagian belakang kepalanya. “Jangan-jangan … aku baru saja dirampok oleh seseorang?”
Aku langsung menganggukkan kepalaku cepat. “Ke-kemungkinan seperti itu! Ya, ya pasti begitu. Mungkin Michiru melihatmu yang di … diserang oleh perampok itu. Karena melihatmu penuh luka, dia memilih untuk mengobati lukamu terlebih dahulu dan langsung keluar untuk mencari orang yang merampokmu?” kataku asal membuat cerita yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
“Ah … pantas saja kepalaku pusing, dan bagian belakang kepalaku sangat sakit,” katanya masih mengusap bagian belakang kepalanya.
Diam-diam aku mendesah lega karena Kazuyoshi gampang ditipu … maksudku gampang diyakinkan! “Apa kau mau minum terlebih dahulu? Atau perlu kupijat bagian belakang kepalamu itu?”
“Ah, minum saja cukup,” jawab Kazuyoshi yang tiba-tiba canggung.
Aku langsung berlari ke dapur dan mengambil segelas air untuk Kazuyoshi. Sama cepatnya ketika pergi, aku kembali ke kamar Michiru dan langsung memberikan gelas itu pada Kazuyoshi.
Kazuyoshi mengangguk beberapa kali sambil mengucapkan terima kasih padaku, kemudian dengan sekali tegukkan ia menghabiskan semuanya.
“Apa kau lapar? Ingin makan sesuatu?” kataku sambil mengambil gelas kosong yang diberikan Kazuyoshi.
Kazuyoshi menatapku kemudian dia tiba-tiba tertawa. Aku memiringkan kepalaku bingung. “Ada apa?” tanyaku.
Kazuyoshi masih tertawa, setelah beberapa saat akhirnya ia menjawab. “Hanya tiba-tiba ingat ketika dulu aku sering main ke rumahmu.”
“Ah …” entah kenapa aku tiba-tiba malu. Karena jarak rumah Kazuyoshi dan rumahku sangat dekat, dan aku satu Sekolah Dasar dengannya, aku sering main bersama Kazuyoshi. Aku langsung menutup wajahku ketika ingat dulu sekali aku pernah bermain rumah-rumahan dengannya.
Mungkin melihat reaksiku seperti itu, Kazuyoshi kembali tertawa. “Mmm, aku sedikit lapar. Tapi aku tidak bisa makan tanah kepal lagi.”
Aku menggertakkan gigiku menahan malu. “Tolong lupakan saat-saat itu.”
Kazuyoshi sekali lagi tertawa sampai keluar air mata. Aku berlari ke arah dapur dengan alasan ingin membuatkannya makanan dan lari dari rasa malu.
.
.
Sementara itu, dengan mudah Michiru mendarat di atap sekolah dengan Flying Gear miliknya. Seluruh lampu yang ada di gedung sekolah itu sudah dimatikan, mungkin karena guru dan staff sekolah ingin cepat-cepat pulang dan menikmati liburan panjang mereka.
Dengan sihirnya, Michiru membuka pintu atap sekolah dan berjalan menuju ruang kelasnya. Tetapi langkahnya langsung terhenti ketika ia melihat ada seseorang yang berdiri di dalam kelas.
Michiru langsung membuka pintu kelas itu terkejut karena Akari berada di dalam kelas, ia sedang duduk sendirian di mejanya.
Menyadari ada seseorang yang membuka pintu kelas, Akari(?) langsung menatap ke arah Michiru dengan senyuman di wajahnya. Melihat hal itu, perasaan marah Michiru kembali muncul.
“Kirishima, sepertinya kau ingin menguji sampai batas mana kau bisa membuatku marah, ya?” tanya Michiru.
Akari(?) terkekeh pelan, kemudian asap tebal mulai menyelimutinya. Ketika asap itu menghilang, Kirishima menggantikan Akari yang duduk di mejanya. “Sepertinya trik yang kulakukan tidak bekerja lagi, ya?”
Michiru tersenyum tipis. “Karena tidak mungkin Akari sampai di sekolah dalam waktu yang singkat, terakhir kali aku melihatnya dia masih di rumah.”
Kirishima kembali terkekeh pelan. “Tentu saja. Lagi pula trik yang sama tidak akan bisa menipu seseorang yang berasal dari keluarga Wienan,” katanya dengan nada mengejek.
Michiru sedikit menurunkan pandangannya, melihat tas Akari yang masih tersimpan di sisi mejanya. Kirishima melihat hal itu, dengan perlahan ia menjulurkan tangannya untuk menyentuh tas Akari.
Tiba-tiba kristal es melesat cepat ke arahnya. Jika ia terlambat beberapa milidetik saja, mungkin saat ini kepalanya sudah dipenuhi oleh lubang karena kristal es itu.
“Menyeramkan,” kata Kirishima kembali terkekeh pelan. “Apa kau yakin seseorang yang berasal dari keluarga monster sepertimu memiliki sifat yang seperti ini?”
Pertanyaan Kirishima sukses menekan batas amarah Michiru. Keadaan di sekitar mereka berdua seketika bergetar hebat, seperti ada gempa bumi yang sangat dahsyat. Tetapi wajah Kirishima malah dipenuhi oleh senyuman puas, sedangkan iris mata Michiru mulai berubah menjadi perak dan pupilnya mulai mengecil.
Sebuah petir menyambar kursi yang terakhir kali diduduki oleh Kirishima. “Oy, bukankah tadi itu sangat berbahaya?”
“Apa salahnya? Tubuhmu yang asli juga tidak berada di sini,” kata Michiru lebih terdengar seperti menggeram karena marah.
Kirishima memiringkan kepalanya sendiri. “Kalau kau tahu hal itu, kenapa masih menyia-nyiakan kekuatan sihirmu untuk menyerang?”
“Setidaknya rasa marahku sedikit hilang,” balas Michiru singkat.
Kali ini akhirnya Kirishima tertawa terbahak-bahak. “Ayolah! Sebagai teman satu sekolah dulu, bagaimana jika kita berbicara santai sambil minum secangkir teh?”
“Aku bisa mencari tubuh aslimu dengan mudah.”
Kirishima menyeringai, kemudian akhirnya berkata, “Bukankah sangat tidak adil? Aku mempertaruhkan nyawaku sendiri untuk mengumpulkan benda yang bisa membangkitkan ‘Raja’ku, dan harus melawanmu. Ditambah …” Kirishima terhenti sebentar, sengaja menggantungkan kalimatnya, “ditambah kau dibantu oleh seseorang yang memiliki kekuatan yang sangat menarik.”
Mengerti siapa yang dimaksud oleh Kirishima, Michiru kembali menembakkan petir ke arahnya. Kali ini Kirishima tidak berusaha untuk menghindari serangan Michiru, ia hanya berdiri terdiam di sana. Ketika petir dari Michiru mengenai Kirishima, tubuh Kirishima sedikit beriak seperti air yang mengombak karena sebuah batu terjatuh ke dalamnya.
“Jika kau berpikiran untuk melukai Akari atau teman-temannya … mungkin selanjutnya kita bertemu, aku tidak akan membiarkanmu pergi,” kata Michiru dengan suaranya yang pelan.
Mendengar ancaman itu, Kirishima malah tertawa. Ancaman Michiru rasanya seperti pukulan pada sebuah kapas. “Kau sendiri yang membawanya ke duniamu, kenapa aku yang harus berhati-hati?” Kirishima kembali duduk di atas meja yang lain. “Bukankah dunia ini berbahaya? ‘Kecelakaan’ sering terjadi ketika kau hidup di dalamnya.”
Michiru mengerutkan keningnya. Meski ia ingin membantah, tetapi apa yang dikatakan oleh Kirishima itu benar. Dia sendiri yang menarik kehidupan Akari yang damai masuk ke dalam dunia yang berbahaya ini.
Sejak awal, Michiru sudah mengetahui semuanya, kalau dunia ini seharusnya dihindari oleh Akari dan yang lainnya. Tetapi, ketika ia tidak sengaja melihat Akari yang saat itu sedang menuju sekolahnya, entah kenapa ada perasaan yang aneh tiba-tiba muncul di hatinya. Rasanya seperti dia baru saja menemukan sesuatu yang sudah lama sekali ia cari.
Dengan melihat wajah Michiru yang seperti itu, Kirishima cukup merasa puas. Setidaknya, tujuan utamanya dengan bertemu dan mengatakan hal tadi sudah tercapai. Tubuhnya kembali dibalut oleh asap hitam, sedetik kemudian tidak ada jejak Kirishima di dalam ruangan kelas yang sudah hancur lebur itu.
Michiru masih berdiri terdiam di tempatnya, butuh beberapa menit ia mengumpulkan pemikirannya. Lama kelamaan, matanya yang bersinar berwarna perak cerah mulai kembali ke warnanya yang biasa. Ia menjentikkan tangannya sekali, dan semua bukti kemarahan Michiru perlahan-lahan menghilang. Mengembalikan keadaan kelas seperti semula.
Michiru berjalan pelan ke arah meja Akari. Dia mengambil tas yang masih tergantung di meja itu. Tidak sengaja ia juga menemukan tas Kazuyoshi yang masih berada di bangkunya. Sekalian ia mengambilnya, dan keluar dari kelas itu secepat mungkin. Setelah kembali ke atap gedung sekolah, Michiru terbang menggunakan papan luncurnya untuk kembali pulang.
.
.
Aku memerhatikan Kazuyoshi yang sedang makan dengan lahap di depanku. Karena makan sambil duduk di atas kasur membuatnya tidak nyaman, akhirnya aku membantu Kazuyoshi untuk berjalan ke meja makan perlahan-lahan.
Melihat nafsu makan Kazuyoshi yang besar, aku sesekali terkekeh pelan. Kazuyoshi yang sadar kalau aku menertawakannya menatapku penuh dengan tanda tanya. “Kefnaoa?” tanyanya dengan mulut penuh.
“Bagaimana? Masakanku enak, ‘kan?” tanyaku.
Dibantu dengan segelas air, akhirnya Kazuyoshi berhasil menelan makanan yang penuh di mulutnya. “Mmm, lebih enak dari tanah kepal—”
Sebelum ia selesai mengatakan kata-kata itu, aku langsung memasukkan telur gulung ke mulutnya. Dengan senyuman yang dipaksakan, aku berkata, “Hehe, sebaiknya kau cepat habiskan makanan ini sebelum aku menambah bumbu racun ke dalamnya.”
Kazuyoshi malah tertawa terbahak-bahak, tetapi ia langsung menghabiskan makanannya dengan cepat. Saat makanan yang ada di piring Kazuyoshi hampir habis, aku mendengar suara pintu yang dibuka dari depan.
Aku langsung berlari dan melihat Michiru yang menenteng dua tas di bahunya. “Kenapa lama sekali?” pertanyaan itu aku katakan bermaksud untuk bercanda. Tetapi ketika melihat wajah Michiru yang sangat serius, aku kembali bertanya, “Ada apa?”
Setelah mendengar pertanyaan itu, wajah itu langsung berubah menjadi senyuman yang biasa ia perlihatkan. “Tidak ada! Kenapa wangi sekali? Apa kau memasak sesuatu? Apa kau masih lapar?”
Mengerti Michiru tidak ingin menceritakannya, aku hanya mengambil tasku dan kemungkinan tas milik Kazuyoshi dari tangan Michiru. “Kazuyoshi sudah bangun. Karena lapar aku memasak telur gulung untuknya.”
“Kazuyoshi sudah sadar? Apa dia mengingat tentang Kirishima?” tanyanya.
Aku menggelengkan kepalaku untuk menjawabnya. “Aku membuat alasan tentang dia yang dipukuli oleh seseorang yang mencoba untuk merampoknya … lalu kau menolong Kazuyoshi dan membawanya ke sini karena penuh dengan luka. Ah, dia juga bertanya kau pergi ke mana saat dia baru sadar. Kujawab saja mungkin kau mengejar para perampok itu dan ingin membalaskan dendam Kazuyoshi!”
Michiru tersenyum tipis, kemudian tiba-tiba ia mengusap kepalaku dengan lembut. “Bagus,” katanya singkat. Kemudian ia pergi ke ruang tengah dan terdengar suaranya yang memanggil Kazuyoshi.
Aku memegang kepalaku yang rambutnya sedikit berantakan karena Michiru. Kenapa rasanya ada yang berubah darinya?