"Mrs. Sanders." Saat ini aku sedang berada di dalam ruangan Mrs. Sanders yang merupakan wali kelasku. Sekitar sepuluh menit yang lalu aku di panggil ke sini. Dia berkata ada hal yang penting untuk di sampaikan.
"Oh, Arthur. Duduklah! Ada hal penting yang ingin aku sampaikan." Tampaknya hari ini Mrs. Sanders sedang dalam mood yang baik. Senyum terus menghiasi bibirnya semenjak kedatanganku ke sini.
Dia tampak mengeluarkan beberapa arsip. Setelah memisahkan masing-masing kertas diatas meja. Dia mendongak menatapku, seolah dia ingin melahap habis seluruh wajahku.
"Aku ingin mengatakan, jika pidatomu saat penyambutan guru besar Queens University telah menarik perhatian mereka, Arthur Welmingheld. Dan kabar baiknya adalah mereka ingin kau segera datang ke sana untuk melakukan beberapa wawancara. Mereka memutuskan hal tersebut setelah tahu kau adalah murid berprestasi disini." Jelas Mrs. Sanders ramah. Tidak seperti biasanya bisa menjumpai wanita ini dalam keadaan baik. Padahal jika berada di kelas, wajahnya bahkan terlihat seperti seorang penjual senjata api.
"Aku mengerti maksudmu, Mrs. Sanders. Tapi..." Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, wanita itu sudah melakukan gerakan cepat.
Dan hal yang paling mengerikan adalah, Mrs. Sanders saat ini menggenggam tanganku serta mengeluarkan puppy eyes yang tidak bisa dikatakan lucu. Aku bergidik ngeri. Wanita kejam itu saat ini memberikan tatapan memohon terekstrim yang pernah aku lihat.
Bahkan Mom punya cara yang lebih manis saat memohon. Ahh Mom, apa yang akan dikatakannya jika tahu aku mendapatkan ini?
"Maafkan aku, Mrs. Sanders. Tetapi sepertinya setelah lulus aku akan kembali ke Brooklyn. Membantu kedua orang tuaku mengurus bisnis mereka yang terbengkalai. Dan mungkin aku akan memilih universitas terdekat dari sana." Ujarku sesopan mungkin.
Mrs. Sanders menghela nafasnya berat dan melepaskan genggaman tangannya padaku. "Tidak bisakah kau melakukan sesuatu untuk sekolah kita?"
Dan aku sadar saat itu juga. Wanita pemarah yang memohon di depanku ini memiliki maksud tertentu. Dan sialnya aku baru menyadari jika mereka memanfaatkan dan mengandalkan aku sebagai boneka untuk menaikkan kualitas sekolah ini.
Meskipun sekolah ini tidak buruk, namun masih saja ada beberapa sekolah lain yang lebih berkualitas dan berakreditasi. Aku menyadari betul jika sekolah ini memiliki masalah pada akreditasi. Meskipun sekolah tua ini sejak dulu sudah terkenal akan kedisiplinan murid-muridnya.
Karena alasan kedisiplinan itulah yang membuat aku dan Thomas ada disini.
"Aku akan kupikirkan, Mrs. Sanders."
Mrs. Sanders mengangguk, "Pikirkanlah, Arthur. Ini hanya tiga tahun."
♂
"Tentu Mom tidak keberatan, Arthur. Apapun yang tujuannya baik tentu saja kami akan merestuimu."
Ucapan Mom itulah yang membuat Aku berada disini. Ya, saat ini aku sudah menjadi salah satu mahasiswa paling populer di QU. Waktu berjalan cepat hingga semester pertama telah terlewati begitu saja. Dan yang paling mendukungku menjadi seorang mahasiswa populer adalah menjabat sebagai asisten seorang guru besar yang juga dikenal sebagai dosen paling mengerikan di QU. Siapa lagi kalau bukan Mr. Sophley. Tidak, tentu saja itu bukan namanya. Itu hanya julukan untuk sang guru besar.Hanya sedikit orang yang memanggilnya dengan Mr. Shopley. Mungkin hanya aku dan... ibunya.
Mr.Shopley terkenal akan sifat dingin dan tidak pandang bulu ketika mengajar. Dia bahkan seringkali tidak meluluskan mahasiswanya karena alasan sepele. Bahkan kadang tidak berkaitan dengan tugas, melainkan etika si mahasiswa itu sendiri.
Aku tak pernah membayangkan bagaimana cara Mr. Shopley mendidik anaknya. Apa dia bersikap kejam? Entahlah.
Jika biasanya dosen terkesan akrab dengan sang asisten. Mr. Shopley melakukan hal yang lain. Dia bahkan nyaris tak pernah bicara padaku. Terkadang hanya ada note kecil dan pesan singkat atau bahkan email.
Namun jika dilihat dari suasana hatinya pagi ini, dia sepertinya agak gusar. Aku tak tahu apa masalahnya. Dia bahkan jarang menunjukkan ekspresi seperti ini. Panik?
"Selamat pagi, Mr. Shopley." Aku masuk kedalam ruangan setelah mengetuk beberapa kali. Mr. Shopley mengangguk dan menyuruhku untuk duduk.
"Arthur, sepertinya kau harus masuk ke kelas lebih pagi dari biasanya. Aku hari ini ada pertemuan wali murid di sekolah anak bungsuku. Bisa kau membantuku hari ini?" Dia bertanya tanpa melirikku. Sepertinya dia sedang membaca sesuatu yang sangat penting disana. Tetapi raut wajah gusar tak terhapus, masih setia terpahat di wajah rentanya.
Aku mengangguk tegas, "Tentu saja, Mr. Shopley. Kalau begitu aku akan mulai masuk ke dalam kelas." Aku berpamitan pada Mr. Shopley yang masih sibuk dengan kegiatan membacanya. Setelah mendapat izin, aku segera keluar dari ruangan tersebut.
Aku mendesah lega. Masuk ke dalam ruangan Mr.Shopley sangatlah menegangkan. Meskipun aku berada di QU hanya berdasarkan paksaan, namun tetap saja aku adalah orang yang optimis akan segala hal. Aku selalu ingin jadi yang terdepan. Bahkan aku telah menjadi asisten dosen di semester awal perkuliahan. Mustahil? memang. Akupun tidak percaya jika aku telah dipercaya seorang guru besar untuk menggantikannya dalam beberapa waktu termasuk hari ini.
Sebenarnya optimis itu prinsip Dad. Aku hanya menirunya karena terdengar sangat keren. Dan Mom akan memukul kepalaku saat aku mengucapkan kata-kata itu hanya untuk disebut keren. Aku benar-benar memahami bagaiamana seorang Asian Mom bersikap. ck.
Ponselku berdering, nama Skye terpampang disana. Dia adalah adikku yang paling cuek dan mandiri. Ketika dia menelponku, maka itu adalah hal yang penting.
"Arthur?"
"Ya, ini aku, Skye. Ada apa?"
Dia diam beberapa menit namun aku bisa mendengar jika saat ini dia menangis. Perlahan-lahan dia bicara di tengah isak tangis.
Nafasku tercekat ketika mendengar hal tersebut.
Rasanya aku ingin berteriak dan dan memukul seseorang. Siapapun itu. Tapi sayangnya aku hanya akan menambah masalah baru saat aku melakukannya.
Diantara gejolak dan sesak yang aku alami akhirnya aku menjawab,
"Siapa yang melakukan itu, Skye? Siapa b******n yang berani memperkosamu?"
♂
Ya, aku memang bukan kakak yang baik. Aku adalah anak laki-laki satu-satunya didalam keluarga. Sisanya hanya ada, Skye. Adik perempuanku yang saat ini telah menjadi korban pemerkosaan oleh dua pemuda yang tidak dia kenali.
Demi Tuhan, usianya baru sebelas! Kenapa ada orang yang bisa melakukan itu pada adik kecilku?
Ini semua salahku. Aku yang menyebabkan tangisan Skye, Mom, dan Dad. Andaikan aku ada disana dan tak memilih tinggal di Queens, pastilah semua akan baik-baik saja.
Menatap nanar adikku yang terbaring di ranjang rumah sakit. Rasanya ingin menangis, namun air mata itu entah pergi kemana.
Tidak, tidak ada lagi yang boleh menyentuh Skye.
♂
Ada banyak hal yang aku berusaha mengerti kenapa seseorang tega memperlukan Skye dengan begitu kejam. Dia hanyalah gadis baik di keluarga kami. Bahkan aku tak pernah menyangka jika dia memiliki masalah di luar sana.
Walaupun ternyata tidak.
Dude. Siapa orang gila paedo yang memperkosa seorang gadis kecil polos? Aku bahkan tak membayangkan bagaimana traumanya dia.
Rasa bersalahku makin bertambah ketika melihat Mom yang bahkan tak bisa menghentikan tangisannya. Dia terus menangis sambil menyalahkan dirinya sendiri. Padahal jika ada orang yang bersalah, sudah pasti adalah si pelaku dan aku.
Meskipun kekerasan maupun pelecehan seksual telah mendapatkan banyak kecaman di seluruh dunia. Namun kasus ini tak henti-hentinya terjadi. Bukan salah bagaimana seseorang berpakaian, tapi bagaimana orang lain mengontrol dirinya.
Sebagai laki-laki yang telah hidup dua puluh tahun, aku bahkan tak pernah berpikir untuk memaksakan kehendakku pada wanita. Dan, hell! Skye tak lebih dari anak-anak. dia bahkan belum merasakan pubertas. Bagaimana bisa seseorang melakukan hal tersebut?
"Maafkan aku, Mom. Seharusnya aku bisa berada di sini bersama kalian. Harusnya aku tidak memikirkan kebebasanku sendiri dan melarikan diri dari tanggung jawabku sebagai satu-satunya saudara yang Skye punya." ujarku penuh rasa bersalah. Mom tidak langsung menjawab, namun dia langsung menyambutku ke dalam pelukannya.
Aku berusaha mengerti bagaimana hal ini begitu menyakitinya. Mom juga pernah menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Seperti Skye.
Ini pasti melukainya. Sangat.
Mom mendekapku sambil berkata, "Aku tak ingin kau menyalahkan dirimu, Arthur. Ini bukanlah salahmu. Skye mungkin sedang ketakutan sekarang. Rasanya tidak pantas apabila kita saling menyalahkan. Lebih baik kita fokus terhadap proses hukum dan pemulihan adikmu."
"Tapi... ini tetap terasa salah bagiku, Mom."
Aku tahu kalau aku tak bisa bersikap lebih keras kepala setelah mendengar Mom menangis semakin menjadi. Mungkin benar, aku harusnya fokus pada penyelesaiannya. Aku tak bisa memperbaiki apapun meskipun aku benar-benar ingin membunuh si b******k itu kalaupun aku bisa.
Aku berusaha menenangkan diri semampuku. Setelah mengabari Mr. Shopley, dia memaklumi kalau aku harus segera pergi. Aku bersyukur. Tentu saja.
Setelah beberapa waktu, Skye sudah bisa ditemui. Tentu saja aku bukanlah orang yang paling histeris diantara yang lain. Ayahku tenang. Ibuku menjadi yang paling berisik dan berkata semua akan baik-baik saja pada Skye. Aku mengamini hal tersebut.
Sesaat kemudian Skye melirik ke arahku, aku membeku. Sejujurnya, aku dan Skye tak memiliki hubungan yang begitu dekat karena adikku itu tipikal orang yang tertutup dan tidak begitu banyak bicara. Namun, dia akan begitu manja padaku jika diperlukan.
Bahkan setelah kejadian seperti inipun, aku menjadi orang pertama yang dia beritahu. Dia kebingungan harus mengadu pada Mom dan Dad, karena takut dengan reaksi mereka. Dia paham aku lebih bisa mengambil keputusan hingga akhirnya kami semua berada di sini.