1.TAJ-Pixie Girl
"Sial! Ini sulit sekali!" Thomas mengerang saat lagi-lagi aku mendapati dia tak bisa mengerjakan pekerjaan rumah miliknya.
Ini adalah tahun terakhir kami sebelum masuk universitas. Dimana pada tahun ini kami memiliki satu gudang kesibukan mulai dari tugas ataupun praktikum untuk memenuhi nilai standar universitas.
Sejujurnya aku tak mendapat kesulitan sama sekali. Nilai yang aku kumpulkan bahkan sudah mencukupi tanpa harus mengikuti ujian ataupun praktikum tata surya.
Tetapi hari ini aku akan membantu Thomas menyelesaikan tugas praktikum miliknya. Sahabatku satu ini memang terkenal tak pernah belajar. Maksudku dia hanya bermain wanita dan jarang masuk ke kelas.
Sangat berbeda denganku yang memiliki kegemaran dalam belajar. Meskipun terkadang aku juga lumayan sering bermain wanita. Hey! Ini Queens. Tidak ada aturan yang mengatakan jika disini pelajar tidak boleh melakukan hubungan s*x.
"Jelas kau tidak bisa jika yang ada di kepalaku hanya tubuh ketua tim cheerleader itu!" Kataku sambil memukul kepalanya.
Dia meringis, "Hey! Jangan berkata seolah-olah kau tidak mengidamkannya, Arthur!"
Aku tertawa, dan kembali memukul kepalanya. "Aku tidak pernah mengidamkannya, Tommy. Karena ketika aku meminta, gadis itu pasti akan membuka kedua kakinya untukku."
"Kau terlalu sombong, Arthur. Dan berhentimemanggilku Tommy! Jika kau lakukan itu lagi, kau terdengar seperti ibuku." Gerutunya yang membuat aku kembali tertawa.
Thomas merupakan salah satu kenalan keluarga kami. Kukira ayah Thomas bahkan pernah menyukai ibuku ketika mereka masih muda. Entahlah, aku hanya menduga-duga mengapa mereka begitu dekat. Namun aku mengetahui jika keluarga kami telah lama berkawan.
Sebenarnya sempat terlintas di benakku kenapa Thomas sangat berbeda dari ayahnya yang terkenal jenius. Pria itu bahkan memiliki perusahaan di bidang teknologi baik penciptaan maupun pengamanan. Thomas bahkan tak menuruni satupu kemampuan ayahnya yang terkenal paling kutu buku diantara para orang tua kami. Well, Thomas beruntung dia memiliki seorang ibu yang sangat cantik. Aku mengamini hal tersebut.
Kami kembali sibuk dan larut dalam mengerjakan praktikum. Thomas juga tampak tak kalah serius. Dia sibuk memperhatikan dan memasang beberapa planet. Tak jarang aku melihatnya menjulurkan lidah ke bagian bibir atas. Terlihat serius sekali.
"Hey, Arthur." Panggil Thomas disela-sela kesibukan kami.
"Apa?" Aku meliriknya sekilas lalu sibuk kembali membaca buku catatan yang diberikan Ms.Sanders.
"Kau pernah jatuh cinta?" Tanyanya dengan santai.
Namun pertanyaan konyol itu sontak membuatku tersedak air liurku sendiri. Dan aku menyadari sesuatu, aku bahkan tak pernah memikirkan soal cinta maupun hubungan yang serius. Aku bahkan tak mengerti kenapa berandal ini menanyakan hal yang tak seharusnya dia tanyakan padaku. Dasar bodoh.
Thomas tertawa terbahak, "Aku hanya bertanya. Jangan gugup seperti itu, kawan."
Aku terkekeh. "Aku tidak gugup. Lagipula kenapa kau menanyakan hal bodoh seperti itu! Tentu saja aku belum pernah. Kau tahu, hubungan tanpa cinta jauh lebih menyenangkan. Kurasa kau paling mengerti bagaimana rasanya tidak terikat pada satu hubungan yang menyebalkan. Wanita akan menjebakmu dan melakukan apapun yang mereka sukai. Itu akan menjadi buruk ketika kau terlihat seperti b***k. Ah, kita terlalu muda untuk memikirkan hal tersebut, Thomas."
"Sialan kau! Tunggu saja sampai kau merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta, Arthur." Kata Thomas meledek. Aku kembali terkekeh.
"Ya. Aku pasti akan terlihat bodoh sama seperti kau sekarang. Kenyataannya kau jatuh cinta pada Janice pimpinan cheerleader itu. Konyol sekali, kawan."
Sahabatku itu menyunggingkan senyumnya dan berkata, "Ya, aku sudah jatuh. Dan akan selalu jatuh untuk Janice. Sebenarnya itu agak mengerikan, bukan?"
Dan aku mengumpat untuknya.
Persetan dengan cinta.
♂
"Siapa dia?" Tanyaku pada Thomas saat kami berdua berdiri tepat didepan garasi rumahnya. Aku menunjuk kearah seorang gadis kecil berambut merah bermodel pixie yang tampak sedang bermain sendiri.
Thomas menyipitkan matanya kearah gadis kecil itu, "Oh, dia adalah anak dari salah satu guru besar Queens University. Dia baru saja pindah beberapa hari yang lalu karena sang guru besar bercerai dengan istrinya." Jelas Thomas panjang lebar, tampaknya ia sangat memahami apa yang terjadi. Malah terdengar sedikit gossip girl untuk pria bugar sepertinya.
Aku hanya membalas dengan anggukan kemudian dan kembali memperhatikan sosok gadis berbadan mungil itu dari jauh. Unik. Mungkin menjadi satu kata yang bisa aku deskripsikan. Bahkan aku bisa merasakan bahwa dia lebih nyaman untuk bermain sendiri ketimbang mengajak orang lain berteman. Entahlah.
"Kau tahu namanya?" Tanyaku lagi tanpa mengalihkan pandangan dari gadis kecil itu.
"Aku tak tahu secara detail tetapi pengasuhnya pernah memanggil bocah itu dengan nama 'Fay'."
Tanpa sadar senyum itu tersungging dari bibirku.Nama yang terdengar sangat cocok untuk gadis itu. Tapi tunggu, apakah aku baru saja menunjukkan ketertarikan kepada seorang anak sekolah dasar?
"Arthur, apa yang salah dengamu, sobat? Kau tidak berpikir bahwa kau tertarik pada gadis yang berumur 8 tahun dibawamu, 'kan? Bahkan dia hanya sebaya dengan Skylar!"
Aku tertawa, "Tidak, tentu saja tidak."
Benar, tentu saja aku tidak akan tertarik pada sosok gadis mungil berkulit pucat itu. Dia masih kecil kawan. Dan aku bukanlah seorang paedo.
♂
Minggu pagi adalah acara rutin bagi Mom untuk menelpon. Ya, Mom-ku itu selalu mengatakan jika dia merindukanku. Wajar saja, sudah hampir 3 tahun kami tidak tinggal satu rumah. Mereka tinggal di bagian lain dari New York yaitu Brooklyn sedangkan aku memilih untuk memisahkan diri dengan bersekolah di Queens.Menyenangkan ketika bisa memisahkan diri dan memiliki lebih banyak privasi di sini. Meskipun terkadang aku merindukan Brooklyn sebanyak aku merindukan keluargaku.
Awalnya hampir setiap malam dia terus-menerus menelpon dengan dalih tak sanggup berpisah dariku lebih lama lagi. Aku tak tahu apakah dia benar-benar merindukanku sampai seperti itu. Namun, aku meyakini semua Asian mom melakukannya.
Dan waktu itu sekitar pertengahan musim semi Mom menelpon. Aku ingat itu
tahun pertamaku berada di Queens. Saat itu diatiba-tiba menelpon di malam aku sedang bercinta dengan salah satu teman sekelasku. Ya, dia mendengar gadis bodoh itu mendesah.
Mom bahkan tak ingin bicara denganku hingga musim panas. Aku berkata jika itu salahnya karena menelpon selalu pada malam hari. Dan juga beliau selalu merajuk jika aku tak menjawab.
Hey, sobat. Kalian tahu bagaimana rasanya jadi aku.
"Halo, Mom." Sapaku tepat saat menggeser tanda hijau yang terpampang dilayar.
Mom cekikikan seperti seorang remaja genit. Bagaimana Dad sanggup menghadapi wanita seperti ini. ucapku dalam hati.
"Hi, Anakku." Jawabnya masih dengan nada geli. "Bagaimana keadaanmu, Boy?"
Aku meringis ketika Mom tak henti-hentinya terkikik geli. Ya, itu pasti karena ulah Dad.
"Aku baik. Kau tampak sibuk pagi ini, Mom. Apa Dad ada disana?" tanyaku dengan nada mengejek.
Namun sepertinya dugaanku benar. Tak lama aku mendengar suara Dad yang mengerang.
Aku ingin muntah sekarang.
"Mom aku akan tutup telpon ini. Telpon kembali ketika kau sudah selesai bermain dengan Dad. Ini menjijikkan , Mom." Ujarku frustasi. Perlu kalian ketahui, ini bukan kali pertama aku mendengar hal seperti ini.
Aku berharap adikku, Skye tidak terpengaruh oleh kedua orang tuaku itu. Bahkan nenek berulang kali mengeluh tentang seringnya kedua orang tuaku itu bermesraan didepan orang-orang.
Bahkan mereka sudah lebih dari setengah abad.
"Tidak, tidak, Arthur sayang. Tadi Mom dan Dad hanya bermain ular tangga."
What?!
Aku meringis, "Lalu kau menang berapa putaran, Mom?"
Mereka terbahak. Aku yakin saat ini Mom menghidupkan mode loudspeaker pada ponselnya sehingga Dad bisa ikut bergabung.
"Aku tak menghitung berapa kali aku kalah, Boy." Suara tegas Dad tiba-tiba memenuhi gendang telingaku.
"Ya, aku harap Skye tak tertular oleh kalian. Adikku masih sangat kecil." Ringisku yang kembali mereka tertawakan.
"Seperti kau tak tahu rasanya bercinta saja." Ujar Mom santai.
"Mom!"
Dia tertawa, "Baiklah aku tak akan membahasnya lagi."
♂