Laura berada di sebuah kamar besar ketika bangun dari tidurnya. Ia mengusap mata tidak percaya atas apa yang terjadi padanya. Gadis itu menatap sekitar ruangan. Matanya tertuju pada potret seorang pria tampan dengan gaya kuno.
Karena merasa aneh, Laura keluar dari kamar tersebut. Ia berjalan melewati lorong demi lorong. Anehnya, lorong itu seperti tidak ada ujungnya. Gadis itu terus berlari ke depan. Kakinya berhenti saat melihat seorang wanita berjubah merah dengan darah di mana - mana.
"Ini pasti mimpi!" umpat Laura lirih. Ia berbalik arah mencari jalan keluar lain. Dari jauh, gadis itu melihat jendela. Karena dikejar oleh wanita tersebut, ia langsung memukul keras jendela kaca itu hingga pecah. Tetesan darah mengalir di sana.
"Kau tidak akan bisa lari!!" teriak wanita itu semakin mendekat. Laura berdiri di atas jendela. Ia menelan ludahnya kasar karena ketinggian.
Tanpa pikir panjang, Laura terjun begitu saja sambil berteriak keras. Ia pun terbangun dari tidurnya. Mengusap peluh yang menetes, mengatur nafas terengah - engah sambil memegang dadanya.
"Kenapa aku harus bermimpi buruk lagi?" ucap Laura lirih sambil mengambil air di atas nakas. Bola matanya terkejut ketika melihat buku tersebut kembali lagi. Ia beranjak dari ranjang mengambil ponsel miliknya untuk menghubungi Amber.
"Ada apa?" Kenapa kau menggangguku. Ini sudah malam. Aku baru saja tidur," ucap Amber di ujung sana.
Laura melirik jam yang ada di dinding. Benar saja, sudah jam dua belas malam. Padahal, waktu ia tidur tadi masih pukul tiga sore.
"Kau tidak bisakah datang kemari?" Laura sangat merasa takut jika sendirian.
"Jangan gila! Ini sudah malam. Lebih baik tidur!" teriak Amber sambil menutup ponselnya sepihak. Memang teman terkutuk. Dia bisa tidur nyenyak. Tapi ia harus menahan tidur lantaran mimpi yang menghantuinya.
Laura mengumpat Amber dengan keras sambil melirik buku itu. Ia menghela nafas panjang berpikir keras mengenai cara agar benda itu jauh - jauh darinya.
Mungkin, satu - satunya cara adalah memberikannya kepada Ana. Mengenai tentang pustakawan tersebut, Laura baru menyadari kalau ia baru melihatnya. Atau jangan - jangan dia orang baru.
Jika dipikir terus membuat kepalanya pusing. Ia dengan kasar mengambil buku itu membolak balikan lalu meletakkan kembali di atas nakas. Gadis itu merebahkan diri menatap langit kamar. Matanya tidak bisa terpejam lantaran mimpi terus menghantuinya.
Namun, kenapa mimpi itu berbeda? Selama seminggu, Laura bermimpi di tengah hutan. Dan sekarang mimpinya berada di kamar kuno.
"Seperti kastil." Gadis itu membuka ponsel mencari di google mengenai bangunan kuno. Ia pun membenarkan bahwa mimpi tersebut memang berada di kastil.
"Siapa wanita itu?" Meski takut, ia tetap penasaran dengan apa yang dilihatnya. Di lirik lagi buku itu. "Apakah aku harus membacanya?" Laura bimbang dengan ide yang keluar dari mulutnya.
"Jika aku membacanya, apakah buku itu akan pergi dariku? Bisa saja seperti itu." Gadis itu terus bermonolog sendiri sampai tidak sadar waktu.
Laura mengambil buku itu kembali. Gadis itu membukanya dengan perlahan. Pertama kali ia melihat buku seperti ini. Ketika sampai pada gambar Raja Hantu, ia memandangnya cukup lama. Membandingkan dengan lukisan yang ada di mimpi.
"Aku tidak yakin, lukisan itu tidak mungkin dia." Laura menggelengkan kepalanya. Sebenarnya, ia masih belum percaya kalau mimpi itu berhubungan dengan buku yang di pegangnya.
"Ayolah, Laura. Mimpi adalah bunga tidur." Setiap kali gadis itu bermimpi buruk selalu menyakinkan dirinya mengenai dirinya bahwa mimpi tidak akan jadi kenyataan.
"Okay, sekarang aku harus mulai membaca buku ini." Laura ingin membuka halaman selanjutnya. Namun, kertas itu menempel kuat seakan tidak mau di buka.
'Sialan, aku tidak ingin menyebut namanya.'
Laura menelan gugup salivanya. Kejadian itu sama dengan kejadian di kampus. Gadis itu menutup mata rapat. "Raja Hantu."
Tidak ada reaksi apa - apa. Laura bernafas lega. Ia mengira kalau akan ada angin yang menerpa dirinya. "Aku bahkan sampai takut setengah mati." Dengan tangan yang bergetar dan di iringi suara jantung. Apalagi, keadaan kamar yang sunyi. Hanya detak jam yang berbunyi. Suasana malam hening menambah kesan horor.
Laura masih enggan membuka halaman selanjutnya. Dengan gerakan cepat, ia berpindah ke halaman selanjut.
Helaan nafas terdengar di mulut Laura. Ini seperti menghadapi ujian kelas. Dan lebih seram daripada Sir Borneo yang terkenal dengan kumis tebal. Mengingat dosennya, gadis itu ingin tertawa. Sir Borneo sangatlah lucu. Meskipun begitu, kekejaman di antara para dosen tetap ada padanya.
Mata Laura mulai terfokus kembali pada buku itu. Lembar demi lembar ia baca Hingga tidak sadar bahwa fajar mulai menampakkan diri. Dering ponsel yang berbunyi menyadarkan dirinya.
Gadis itu melirik ponsel tersebut. Ia hanya menghiraukan dan menatap ke arah jendela. "Hah…, sudah pagi." Laura bangkit dari ranjang. Ia berjalan menuju kamar mandi.
"Menyebalkan, ada kantung hitam di bawah mataku. Ini gara - gara mimpi itu. Aku jadi tidak ingin tidur lagi." Laura mengguyur badannya untuk meredakan pusing di kepala. Tidak lama kemudian, ia keluar dari kamar mandi.
Pandangannya mengarah ke buku kuno itu. "Nanti, aku akan berbicara dengan Miss Ana." Laura berganti pakaian lalu memasukkan semua perlengkapannya ke dalam tas. Termasuk buku tersebut. Ia berjalan menuju dapur mengambil roti untuk mengganjal perutnya.
"Aku datang!!" teriak Amber di ujung pintu." Laura menatap jengah ke arah gadis itu.
"Kau seperti panda. Wajah cantikmu jadi hilang," ejek Amber sambil tertawa. Ia menarik kursi lalu duduk di samping Laura.
"Hari ini, Sir Borneo tidak datang." Laura tersedak saat Amber berkata tentang ketidak hadiran dosennya.
"Kau serius," ucap Laura sambil meraih gelas lalu minum sampai tanda. "Jangan bilang kau tidak mengecek grub."
Ya, Laura lupa kalau ia masuk ke dalam grup kelas. Ia terlalu malas akan banyak chat yang ada di dalam. Biasanya, yang dilakukan adalah menghapus secara masal chat. Apapun yang temannya bahas. Gadis itu tidak akan tahu.
"Aku terlalu malas dengan chat yang tertimbun." Amber hanya mendengar perkataan Laura. "Kita tetap ke kampus. Aku ingin ke perpustakaan."
"Kenapa kesana lagi?" tanya Amber. Terus terang saja, ia tidak mau terjadi hal yang sama seperti kemarin.
"Aku sudah berupaya mengirim buku itu ke perpustakaan kota. Tapi, buku itu tetap kembali. Dan, tadi malam aku mimpi buruk lagi." Laura menundukkan kepala. Pantas saja Amber menerima panggilan tengah malam. Ternyata, dia bermimpi lagi.
"Maafkan aku," sesal Amber. Ia merasa bersalah lantaran tidak datang saat Laura membutuhkannya.
"Hey, aku tidak apa - apa. Jangan bersedih." Laura menghibur Amber dengan senyuman cantik miliknya.
"Kita pergi sekarang. Mumpung perpustakaan baru buka. Pasti Miss Ana sudah datang." Laura menggeser kursinya di ikuti oleh Amber. Mereka keluar ruangan menuju lift.
"Kau yakin, Miss Ana akan ada di sana." Amber curiga dengan Ana. Sebab, ia baru pertama kali bertemu dengan pustakawan tersebut.
"Entahlah…, kita ke sana dulu." Amber mengangguk. Mereka pun pergi ke Universitas XX untuk bertemu dengan Ana.