Untuk kedua kalinya, Amber dan Laura berada di depan perpustakaan kampus hanya mencari informasi tentang buku kuno itu. Pintu perpustakaan masih tutup. Mereka berdua menengok ke kanan dan ke kiri melihat situasi.
Helaan nafas berulang kali terdengar jelas di bibir Laura. Amber terlihat jengah mendengarnya. "Jangan mengeluh seperti itu." Laura hanya menatap saja dan tidak mau menyahut.
"Kita tunggu saja dulu. Pasti Miss Ana terlambat." Amber berusaha memberi menenangkan Laura agar tidak kecewa.
Dari jauh, Laura melihat Antonio tengah berduan dengan Maya. Ia hanya memalingkan muka memilih menatap ponsel.
"Ada apa?" tanya Amber. Gadis itu terlalu peka dengan perubahan sikap Laura. Ia menatap sekelilingnya. Didapati Antonio dan Maya sedang duduk di bangku.
"Kenapa kau menolaknya. Padahal, dia cinta pertamamu. Aku lihat, Antonio juga mencintaimu." Meskipun dekat, Amber belum paham betul dengan jalan pikiran Laura.
"Jika dia mencintaiku. Dia akan memperjuangkanku." Terus terang alasan itu mungkin terlalu klise. Tapi, inilah Laura. Ia tidak mau berpacaran dengan tidak serius.
"Ya, aku mengerti. Kau pasti hanya ingin berpacaran dengan serius. Kau cantik Laura. Kenapa mencari cinta yang jelas omong kosongnya? Terlebih lagi, di usiamu yang hampir memasuki dua puluh tahun itu, kau masih bersegel." Amber sengaja mengejek Laura dengan memperjelas kata 'bersegel.'
"Karena aku tidak mau terlibat dosa. Seperti dirimu." Amber terkekeh geli mendengar perkataan Laura. Ya, memang hidupnya sangat bebas. Tapi, ia juga masih bersegel. Tidak kaku seperti Laura.
"Berapa lama kita harus menunggu?" Amber mulai jengah menunggu tanpa melakukan apa pun. Sungguh kegiatan yang membosankan. Ia melirik ke arah Antonio yang sedang duduk dengan gadis lain.
"What!!! b******k!!" teriak Amber. Laura tersentak kaget mendengar teriakan gadis di sampingnya.
"Telingaku tuli jika kau berteriak seperti itu." Laura menatap Amber yang sedang memberi kode kepadanya.
"Biarkan saja. Aku tidak peduli." Mulutnya menolak untuk mengakui bahwa ia sakit hati. Amber bisa melihat jelas di mara Laura.
Sementara Antonio yang tengah bermesraan dengan seorang gadis hanya pura - pura menbarkan senyum tampak bahagia. Ia cuma memanasi Laura untuk melihat sejauh mana gadia itu bertahan. Tapi, dia tidak bergeming sama sekali. Hal itu membuatnya sangat jengkel. Lalu, dengan kasar ia bangkit dari kursi setelah kepergian Laura.
Amber dan Laura masuk ke dalam perpustakaan sesudah salah satu petugas membuka pintunya. Hari ini, bukan Ana yang bertugas. Laura pun kecewa lantaran lama menunggu dan tidak dapat hasil.
"Sir, kemanakah Miss Ana pergi? Beliau tidak masuk?" tanya Laura ke pada petugas itu.
Sang petugas berdehem melihat Laura. Wajahnya merah merona karena kecantikan gadis itu. "Miss Ana beberapa hari lalu terluka. Beliau kecelakaan tunggal dan sekarang berada di rumah sakit."
Bagai di hantam petir di siang bolong, kedua gadis itu terkejut. "Bukankah kemarin Miss Ana masih menunggu perpustakaan ini?" tanya Laura memastikan perkataan petugas itu.
"Tidak, perpustakaan ini tutup kemarin." Jantung mereka langsung tercekat. Mendadak lututnya lemas. Suaranya tidak lagi keluar dan hanya diam mematung.
Amber dan Laura keluar perpustakaan dengan tatapan kosong. "Sumpah, kemarin kita di sini." Amber tidak percaya atas omongan petugas itu. Ia pun melihat salah satu mahasiswa yang hendak masuk perpustakaan.
"Hei, tunggu sebentar!" teriak Amber kepada gadis itu. "Ada apa?" sahutnya.
"Sudah berapa lama perpustakaan tutup?" Amber menatap gadis itu berharap jawaban yang memuaskan.
"Sekitar sepuluh hari lalu," jawabnya langsung pergi begitu saja.
Rahang Laura jatuh kebawah. Ia merosotkan tubuhnya ke lantai. Ditambah detak jantung yang semakin berpacu. Ketakutan pun timbul hingga seluruh hunian di tubuhnya menggigil.
Amber menyadari ada yang salah. Ia menghampiri Laura. "Tenang, Laura. Kendalikan dirimu." Mungkin, gadis itu hanya bisa berucap saja. Tapi, inilah yang hanya bisa dilkukannya.
"Lebih baik, kita pergi dari sini," ajak Amber kepada Laura lalu membantunya berdiri. Mereka pergi meninggalkan perpustakaan menuju ke taman kampus.
Mereka memilih duduk di bangku. Laura mengambil botol lalu minum dengan rakus. Begitu juga dengan Amber.
"Aku akan mengutarakan pendapatku. Jadi, kita berada di dunia lain saat mencari buku itu." Laura berpikir keras. "Lantas, bagaimana dengan penemuan gambar itu? Bukankah tadi gadis itu bilang perpustakaan sudah tutup selama sepuluh hari."
"Benar. Penutupan perpustakaan terjadi sebelum kau pergi ke sana. Itu artinya, saat kau mengambil kertas tersebut tanpa sadar sudah masuk ke dunia lain." Laura bergidik ngeri di iringi dengan tetesan keringat di pelipisnya. Ia menelan salivanya dengan kasar.
"Kenapa semua ini terjadi padaku?" Apa yang diinginkan oleh buku ini? Sehingga memanipulasi semua kejadian tersebut." Amber hanya bisa mendengar tapi tidak bisa menjawab pertanyaan yang terlontar dari mulut Laura.
"Haruskah kita mengunjungi Miss Ana di rumah sakit?" tanya Amber namun dihadiahi gelengan kepala. Ia masih memikirkan keinginan buku tersebut.
"Keluarkan buku itu!" perintah Amber. Laura langsung merogoh tas lalu menyerahkan buku itu kepadanya.
Amber membuka buku itu. Namun, buku tersebut melekat seperti lem dan tidak mau terbuka. Ia kemudian membalikkan berniat membuka dari belakang.
"Kau sudah membacanya?" Amber bertanya sambil mulai membuka buku itu. "Ya, aku membacanya tadi malam setelah bangun dari tidur karena mimpi buruk." Tangan gadis itu tidak sadar saat ikut meraba buku tersebut.
"Buku ini benar - benar hanya bisa patuh denganmu." Amber manatap takjub ke arah Laura.
"Apa maksudmu? Bagaimana bisa?" Amber mengarahkan matanya ke buku itu. "Lihatlah, saat kau menyentuhnya, maka buku ini dengan mudah bisa dibalik halamannya. Sekarang, coba singkirkan tanganmu."
Laura menuruti perintah temanya dan menarik tangannya kembali. Amber langsung membuka halaman selanjutnya. Namun, halaman itu tidak bisa dibuka.
"Kau lihatkan…, buku ini hanya patuh padamu. Berarti, ini milikmu." Amber menatap Laura yang terbengong ke arah benda tebal itu.
"Omong kosong!! Aku tidak mau memiliki buku ini, Amber. Kau tahu 'kan…, aku selalu mimpi buruk semenjak bertemu dengan kertas itu!!" Emosi Laura tidak terbendung lagi. Nafasnya terengah - engah. Apalagi, ia melihat Antonio dari jauh sedang bersama gadis yang berbeda dari tadi.
"Shittt!!" umpat Laura dengan keras. Jika saja Antonio mau berjuang mandapatkan hatinya. Ia pasti sudah bersama dengan pria itu. Sayangnya, dia menyerah terhadapnya.
"Ada apa? Kau panas dingin," ejek Amber dengan nada mencemooh. Laura menutup mata mendinginkan kepala. Ia beralih menatap hal lain. Sial seribu sial, gadis itu melihat Caesar dibuli oleh Maya dan Madalia.
Terkutuklah mereka dengan segala tahta yang tidak abadi. Kekuasaan selalu menjadikan insan sombong lupa dengan tanah. Berkali - kali, Laura mengumpat atas kelakuan Maya yang tidak berfaedah merusak citra seorang wanita terhormat.
"Kenapa lagi?" Amber menyenggol bahu Laura. "Jangan pedulikan mereka. Kita lanjutkan buku ini."
Laura merebut buku itu lalu membuka bagian belakang. Matanya terkejut saat melihat ada kertas kosong terletak di sana.
"Lihatlah, Amber. Ada kertas kosong." Amber menatap kertas kosong itu. "Coba ambil pena."
Laura merogoh tasnya untuk mengambil bolpoin lalu mencoret kertas itu. Hasilnya, tinta pena tidak tercetak di sana.
"Mungkin penamu rusak." Laura mencoret tangan dengan pena. Ada garis sepanjang dua centimeter di tangannya.
"Ini masih berfungsi. Aku akan mencobanya lagi." Tangan Laura kembali membuat coretan panjang. Kali ini, bukunya bergetar hingga jatuh ke tanah. Laura hanya menatap gemetar.
"Kenapa kau menjatuhkan bukunya?" tanya Amber. "Apakah kau tidak melihatnya, bahwa buku itu bergetar?"
Amber menghela nafas panjang. "Kau pemiliknya. Mana mungkin buku itu menakutimu." Laura diam tidak bergerak. Kapan buku itu berlabel dirinya. Amber memang suka mengada - ada.
"Sini, aku akan coba menulis di kertas kosong itu." Amber merebut pena Laura lalu mengambil buku tersebut. Ia mau memastikan kebenaran tentang bergetarnya barang tebal itu.
"Sial, aku menyerah." Amber memberikan buku itu kepada Laura. Ia menyerah karena buku tersebut tidak bisa dibuka.
"Aku tidak mau membawa pulang. Kau saja yang bawa." Laura berlari ke arah timur menuju ke samping gedung. Ia kemudian duduk di bawah pohon besar yang ada di sana hingga nafasnya normal.
"Apa yang kau lakukan disini, Laura?" tanya seseorang. Laura menoleh ke arah sumber suara. Matanya melotot kemudian menutupnya dengan rapat lali memeluk tubuhnya sendiri dengan gemetar hebat.
"Pergi!!" teriak Laura dengan keras.