7. Ancaman

838 Kata
Aruna pun melangkah masuk ke dalam ruangan itu dan menutup pintu di belakangnya. "Duduk" perintah Evan dengan datar tanpa beralih dari layar laptopnya. "Iya, Pak" jawab Aruna, menganggukkan kepala dan berjalan menghampiri Evan. Lalu ia menarik kursi di dekatnya dan mendudukinya. "Kamu tahu kenapa saya menyuruh kamu untuk datang ke sini?" Evan bertanya dan masih menatap layar laptopnya, jari-jarinya sibuk mengetikkan sesuatu. "Enggak, Pak" Aruna menggeleng. "Mungkin ada yang ingin Bapak bicarakan" "Benar" Evan mengangguk. "Dan ini ada hubungannya perjodohan itu" katanya beralih menatap Aruna. Aruna mengangkat kepala saat mendengar yang pria itu katakan. "Jadi Bapak menyuruh saya ke sini untuk membicarakan tentang perjodohan itu?" tanyanya dengan dahi yang mengerut. "Ya, tepat sekali" jawab Evan menganggukkan kepala. "Maaf, Pak, tapi saya enggak bisa" Aruna menggeleng dan membuat Evan mengerutkan dahi. "Kita sedang berada di kantor dan enggak seharusnya kita membicarakan hal lain. Apalagi jika itu adalah masalah pribadi" "Kenapa enggak bisa?" Evan mengangkat satu alis dan terlihat menantang. "Ini adalah perusahaan saya jadi suka-suka saya dong mau membicarakan apa. Dan kamu sebagai bawahan sudah sepantasnya menuruti perintah bos" ia berkata dengan tegas dan sengaja menekankan kata bawahan. "Iya, maaf, Pak" jawab Aruna menundukkan kepala. Evan benar, saat ini tidak ada yang bisa Aruna lakukan selain menuruti perintah atasannya. Evan mengangguk, ia terlihat puas melihat Aruna yang menurut dan tidak berani membantah lagi. "Sebelumnya saya ingin bertanya, kenapa kamu memenuhi permintaan sepupu kamu untuk menggantikannya dalam perjodohan ini?" tanyanya dengan datar dan terlihat penasaran. "Pasti karena kamu ingin memiliki suami yang kaya, ya? Dengan begitu maka kamu akan hidup enak dan enggak perlu bekerja lagi" cibirnya. "Tolong jaga mulut Bapak!" Aruna mengangkat kepala dan menatap Evan dengan tajam. "Saya memang bukan orang kaya, tapi bukan berarti saya adalah wanita yang matre! Dan asal Bapak tahu, saya terpaksa memenuhi permintaan sepupu saya karena saya sudah berjanji padanya akan melakukan apapun yang dia minta. Dan kalau saya tahu bahwa pria yang dijodohkan dengannya adalah Bapak, maka saya akan langsung menolak. Karena saya enggak sudi memiliki suami yang angkuh seperti Anda!" jelasnya menatap lurus ke mata bosnya itu. Evan mendengus dan mengalihkan pandangan. "Enggak ada satupun wanita yang enggak mau memiliki suami yang kaya raya. Dan saya yakin kamu adalah salah satunya" katanya tersenyum mengejek. Aruna hanya terdiam dan menatap Evan sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah karena emosinya yang hampir meledak. Andai saja saat ini mereka tidak sedang berada di kantor maka Aruna sudah memukul pria itu tepat di wajahnya, agar ia tidak semena-mena dengan orang lain. "Tapi bagus jika kamu enggak mau memiliki suami seperti saya, karena itu berarti kamu juga enggak setuju dengan perjodohan ini" Evan mengangguk dan beralih menatap Aruna. "Dan saya ingin nanti setelah pulang kerja kamu mampir ke rumah saya, lalu bilang pada orang tua saya bahwa kamu mundur dari perjodohan konyol ini" "Maaf, Pak, tapi saya enggak mau" jawab Aruna menggelengkan kepala. "Saya enggak akan mundur dari perjodohan ini" ia berbicara dengan tegas dan tidak ada sedikitpun keraguan di matanya. Evan menghela nafas. "Baiklah, tapi kali ini saya yakin kamu akan mundur tanpa berpikir dua kali" ia berkata dan membuka laci meja kerjanya, lalu ia mengambil sesuatu dari dalam sana. "Ini, tulis berapapun yang kamu mau" ia melanjutkan, meletakkan cek dan pulpen di atas meja. Aruna terdiam dan memperhatikan cek dan pulpen itu tanpa mengatakan apa-apa. Ia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Evan. "Kok hanya diam?" Evan bertanya dan mengangkat satu ini. "Ayo tulis berapa yang kamu inginkan saya akan memberikannya. Tapi setelah itu kamu harus mundur dari perjodohan ini apapun yang terjadi" Mata Aruna melebar saat mendengar yang Evan katakan. "Jadi Bapak ingin menyogok saya?" tanyanya dengan dahi yang mengerut. "Tepat sekali" Evan menjentikkan jarinya. "Karena seperti yang saya katakan kemarin, saya enggak mau menikah dengan kamu. Jadi sekarang cepat tulis di cek ini berapa yang kamu inginkan, agar perjodohan ini segera berakhir" Aruna menghela nafas dengan kasar dan mengalihkan pandangan. Ia tidak mengerti mengapa di dunia ini ada pria yang seperti Evan. Lalu ia beralih menatap bosnya itu. "Maaf, Pak, tapi saya enggak mau. Lagipula, saya enggak butuh uang Anda. Dan sekali lagi saya katakan, saya enggak akan mundur dari perjodohan ini!" "Baik" Evan mengangguk. "Saya sudah memakai cara yang halus tapi kamu tetap menolak tawaran saya dan enggak mau mundur. Kalau begitu saya akan memakai cara yang kasar" ia berkata dan menatap Aruna dengan tajam. "Jika kamu tetap enggak mau mundur juga maka saya akan memecat kamu!" Aruna begitu terkejut saat mendengar yang dikatakan oleh Evan, ia tidak menyangka jika bosnya akan mengatakan itu. Namun ia berusaha untuk tetap tenang. "Oke, enggak apa-apa" jawabnya menganggukkan kepala. "Silahkan kalau Bapak mau memecat saya. Saya enggak takut dengan ancaman Bapak dan saya tetap enggak akan mundur!" ia melanjutkan dan menatap pria itu sekali lagi. Lalu ia bangkit dari kursinya dan segera beranjak pergi. Evan menghela nafas dan menundukkan kepala sambil memijat pelipisnya. Ia terlihat gusar, karena ternyata gadis itu tetap tidak mau mundur meskipun ia sudah mengancamnya. Dan kini ia tidak tahu harus memakai cara apa lagi agar Aruna menyerah dari perjodohan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN