Flashback 2 tahun yang lalu.
Zulfa terdiam menatap hamparan laut di depan matanya. Suara deburan ombak dan semilir angin membuat Zulfa tenang. Zulfa duduk di atas pasir putih yang lembut. Sesaat, dia lupa bagaimana rasanya terluka selama 9 bulan ini hanya karena menikmati tenangnya suasana pantai.
Zulfa terluka, mendapati kenyataan dirinya hamil tanpa seorang suami. Mirisnya, sosok pria yang tega menghamilinya waktu itu malah pergi tidak bertanggung jawab.
"Aku mencarimu sejak tadi. Rupanya kamu disini. Jangan jauh-jauh, Zul. Kata Dokter perkiraan lahiran kamu sekitar semingguan ini."
Tiba-tiba Nafisah datang dan ikut duduk di samping Zulfa. Ia ikut menselonjorkan kedua kakinya seperti Zulfa.
"Setelah itu apa yang terjadi?"
"Ya kamu akan jadi seorang Ibu. Masa gak ngerti?"
"Maksudmu seorang Ibu tanpa suami? Anak tanpa Ayah? Anak hasil 'kecelakaan' ?" Zulfa tersenyum sinis. Kalau tidak ada Nafisah di sampingnya, ia tega memukuli perut besarnya saking bencinya dengan janin yang di kandung.
Bagi Zulfa, janin yang ada di dalam kandungannya ini hanya akan membuatnya repot di kemudian hari. Jangankan untuk masa depan, dimasa sekarang saja ia rela berbohong pada orang tuanya hanya untuk meninggalkan rumah dan pindah ke kota Bali dengan alasan membuka cabang busana butik miliknya.
Butik itu memang Zulfa dirikan di kota Bali. Tapi tetap saja, tujuannya bukan hal ini. Melainkan menutupi kehamilan yang tidak di inginkan. Pernah suatu hari, Zulfa berusaha menggugurkannya sewaktu kehamilan di usia 2 minggu. Tapi dengan cepat Nafisah langsung bertindak dan mencegahnya.
Kalau Nafisah tidak ada di sampingnya selama Zulfa menanggung semua beban ini. Janin itu tidak akan pernah hidup di dalam rahimnya. Hanya Nafisah yang selalu berada di samping Zulfa. Memberinya kekuatan dan dukungan agar mental dan psikisnya terkontrol dengan baik.
Hamil hasil hubungan di luar nikah memang sulit. Apalagi saat kejadian itu Zulfa dalam keadaan pingsan tak sadarkan diri. Lalu dengan jahatnya Marcello pergi seolah-olah tidak terjadi apapun.
"Aku yakin setelah dia lahir, kamu akan menyukainya. Biar bagaimanapun seorang bayi yang di lahirkan bukanlah kesalahan. Mereka semua suci. Walaupun asal muasal permasalahannya setiap orang beda-beda. Marcello memang tidak bisa di maafkan. Tapi sekali lagi, janin ini tidak bersalah.."
Dengan perlahan Nafisah menyentuh pelan perut Zulfa yang besar dan membuncit. Nafisah merangkul pundak Zulfa hingga bestienya itu merebahkan kepalanya pada pundak Nafisah.
"Makasih Naf. Sudah selalu ada buat aku."
"Kita kan sahabat. Harus saling menyayangi dan menjaga. Justru aku yang berterima kasih padamu, Zulfa. Kalau kamu nggak ada, bagaimana aku bisa menjalani hidup seorang diri selama menunggu Mas Daniel bebas dari penjara?"
Zulfa hanya tersenyum tipis. Tapi tiba-tiba perutnya terasa sakit luar biasa. Zulfa meringis hingga membuat Nafisah mulai was-was.
"Perut kamu sakit lagi?"
"Iya." Zulfa mengangguk. Wajahnya sudah pucat. Bahkan keringat dingin mulai bercucuran di tubuhnya. "Mulai dari tadi malam sudah sakit banget. Tapi masih bisa aku tahan."
"Sekarang sakitnya mulai parah?"
"Iya. Bahkan hampir setiap 10 menit sekali."
"Kita harus kerumah sakit sekarang! Sepertinya mulai pembukaan."
Dengan hati-hati Nafisah menggandeng lengan Zulfa memasuki Villa mereka. Sesampainya didalam, Zulfa menunggu di ruang tamu sambil duduk bersandar di sofa dengan perut yang semakin nyeri.
"Naf.. Ini sakit banget!"
"Aku sudah pesan taksi online. Tunggu sebentar ya, aku ke kamarku dulu ambil Tas baby."
Nafisah memang sebaik itu. Bahkan hanya untuk mempersiapkan pakaian bayi untuk di bawa kerumah sakit saja Nafisah rela melakukannya.
Zulfa menangis sambil memegang perutnya. Pinggul bagian bawahnya begitu sakit luar biasa. Disaat yang sama ia langsung teringat Marcello. Gara-gara pria itu, sekarang ia mengalami kesusahan dan menanggung akibatnya.
"Dasar pria b******k!" Zulfa memukul perutnya sendiri. Emosi tak terkendali. Nafisah sampai syok dan langsung berlari mendekatinya!
"Zulfa hentikan!"
"Aku ingin anak ini mati! Aku ingin dia mati begitu di lahirkan!"
Nafisah sampai ikutan menangis. "Zulfa please. Dia nggak salah.. Anak kamu nggak salah. "
Tak lama kemudian Taksi online datang. Dengan bantuan semampunya Nafisah dan Zulfa akhirnya pergi menuju rumah sakit. Sesampainya disana, Zulfa langsung segera di tangani.
Zulfa akan melahirkan secara normal dan Nafisah tetap setia berada di samping sahabatnya selama berjam-jam.
"Zulfa, kita berdoa sama-sama ya.."
"Aku nggak kuat. Aku nggak kuat! Lebih baik aku yang mati. Melahirkan itu sakit banget Naf! Sementara pria b******k itu? Dia pergi tanpa merasakan beban apapun! Dia yang ngelakuin, aku yang menanggung akibatnya!"
"Zulfa.. Please, cobalah untuk tenang. Jangan mikirin dia dulu. Jangan mikir macem-macem. Oke? Yakin kalau Allah bakal bantu kita untuk memudahkan semua persalinan ini dengan lancar.."
Zulfa terus menangis. Sementara Nafisah tanpa henti berada di belakangnya hanya untuk mengusap punggungnya dengan pelan. Hingga akhirnya seorang Dokter perempuan yang sudah berusia pertengahan tahun datang menghampirinya bersama seorang perawat.
Nafisah memberikan jarak pada mereka dan tim medis sudah memberi keputusan bahwa Zulfa sudah siap melahirkan sekarang juga. Zulfa terus menangis. Benci dengan situasi seperti ini. Benci dengan rasa sakit yang tak bisa ia ungkapankan sama sekali. Benci kalau sebentar lagi ia akan mengasuh seorang anak dari Marcello yang b******n.
"Ibu Zulfa.. Ayo dorong pelan-pelan. Kita bantu dari sini ya, kepala bayinya sudah mulai terlihat."
Nafisah ikutan menangis. Seperti merasakan apa yang Zulfa rasakan. Melahirkan tidak semudah yang di kira apalagi memperjuangkan di antara hidup dan mati. Dengan sekuat tenaga, Zulfa mengejan di sisa-sisa tenaga yang masih ia miliki. Janin itu akhirnya keluar, Nafisah melihat secara jelas bagaimana bayi suci ini akhirnya berhasil di lahirkan dengan normal. Perasaan Nafisah campur aduk. Terharu, bahagia, dan terus mengucapkan rasa syukur.
Tapi semua apa yang di rasakan Nafisah sirna dalam hitungan detik ketika tim medis terlihat panik. Bayi itu tidak merespon apapun. Bayi itu tetap diam tanpa menangis.
"Dokter.. Ini... Ini ada apa? Bayinya baik-baik aja kan?"
"Kami akan berusaha memancingnya untuk terbangun bersama suara tangisnya."
Zulfa terlihat kelemasan. Nafasnya tersenggal-senggal. Tidak sedikitpun Zulfa melihat ke arah darah dagingnya. Para tim medis juga sibuk menggerakan tubuh bayi untuk memancing tangisannya. Hingga bermenit-menit kemudian, Dokter tersebut terdiam dengan raut wajah penyesalan sambil menggelengkan kepalanya dengan lemah.
"Nggak.. Nggak mungkin Dok.." Nafisah langsung mendekati bayi Zulfa yang masih terbalut kain putih.
"Maaf Bu. Bayi tidak merespon. Detak jantungnya juga tidak terdeteksi."
Perlahan, Dokter itu memundurkan langkahnya. Saat ini, hanya tangisan Nafisah yang terdengar menggema di seluruh ruangan. Nafisah menundukkan tubuhnya, memeluk pelan bayi Zulfa yang sudah memucat.
Akhirnya Zulfa melirik ke arah Nafisah sebentar. Sahabatnya itu menangis dengan pilu. Setelah itu, dengan keadaan tubuh yang masih lemas Zulfa kembali memejamkan kedua matanya. Air mata mengalir di pipinya..
"Maaf.. Maafkan Mama nak.. "
****