Chapter 3

1163 Kata
Keesokan harinya.. Zulfa terbangun begitu suara adzan subuh berkumandang di ponselnya. Ia berusaha mengumpulkan kesadarannya sembari duduk mengusap kedua matanya. Setelah itu, Zulfa pun turun dari atas tempat tidur. Zulfa keluar dari kamarnya. Menuju tempat wudhu yang lokasinya berada di belakang dekat dapur. Setelah mengambil air wudhu, Zulfa mengerutkan dahinya. "Kok pintu belakang nggak di kunci? Perasaan tadi malam sudah aku kunci." Dengan perasaan was-was Zulfa langsung pergi dari sana dan menaiki anak tangga menuju lantai 2 tempat dimana kamar Nafisah berada. Sesampainya disana Zulfa langsung membuka pintu kamar bestienya. Dalam hitungan detik, Zulfa langsung melongo tak percaya! Zulfa melihat Nafisah tertidur menggunakan selimut tebal berwarna putih tanpa memakai apapun sementara pakaiannya bersererakan di mana-mana. "Ya Allah! Astaghfirullah! NAF!" Tanpa merasa bersalah Zulfa malah menyibak sedikit ujung selimut Nafisah walaupun tidak semua. Dan benar saja, Nafisah benar-benar tidak memakai sehelai kain pun! "Eh ada apa?" Dengan kepala yang masih pusing dan berputar, Nafisah membangunkan tubuhnya sembari memegang keningnya. "Kamu tahu nggak? Barusan aku ngecek pintu belakang Villa kita nggak terkunci. Padahal tadi malam sudah aku kunci! Apa ada orang jahat masuk? Kok kamu naked gini?!" "Mungkin kamu lupa.." lirih Nafisah dengan suaranya yang masih serak karena efek bangun tidur. Tidak terlalu fokus mendengar semua kepanikan Zulfa. "Ih! Enggak! Aku nggak lupa, serius!" Zulfa berkaca pinggang. "Tapi kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Apalagi cara tidurmu barusan seperti orang habis bercocok tanam." "Aku.." Nafisah langsung sadar seratus persen! Kedua matanya membulat sempurna. Panik! Tentu saja. Nafisah berusaha menutupi lehernya menggunakan rambut panjangnya kalau saja ada bekas merah di sana. Zulfa tersenyum sinis sambil bersedekap. "Nggak usah di tutup-tutupin segala. Telat, dah lihat.." Zulfa memajukan langkahnya dan berdiri tepat di samping Nafisah yang kelabakan karena ketangkap basah. "Jangan bilang tadi malam ada cowok nyelinap lewat pintu belakang? Lehermu udah kayak di isep vampir. Tu vampir rakus atau kelaperan?" Nafisah tidak ingin berkomentar apapun. Ia masih memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk menjelaskan Zulfa sembari menunggu sahabatnya itu selesai nyerocos. "Lagian ya, sejak kapan kamu pakai cara ginian? Berhubung badan sama laki-laki secara diam-diam. Dosa zina sih ini namanya." "Dih sembarangan!" Nafisah menatap Zulfa dengan tatapan geram. Akhirnya ia mengaku. "Tadi malam Mas Daniel datang tiba-tiba. Jadi ya..." "Apaaaaa??!!!!!!!" Sekarang Zulfa yang terkejut. "Kok bisa sih? Jadi semalam kalian..." "Ya.. Gitu.." "Dasar laki-laki b******k!" Dengan kesal Zulfa menendang Bra milik Nafisah yang tergeletak di dekat kakinya. Bra itu melayang beberapa meter hingga membuat Nafisah marah. "Heh! Braku salah apa sampai di tendang!? Jahat banget sih jadi orang. itu Bra mahal! Enak aja main tendang kayak bola.. " "Ya habisnya aku kesel banget! Ternyata bener dugaanku kemarin. Kalau si b******k itu balik, cepat atau lambat Daniel juga akan muncul. Noh, Bramu yang aku tendang barusan sudah menjadi saksi kalau hubungan kalian bakal kembali." "Tapi biar bagaimanapun Daniel kan-" "Iya dia suamimu." sela Zulfa dengan emosinya. "Aku cuma nggak suka aja kalau suamimu kembali, secara tidak langsung sahabatnya yang b******n itu juga ikut kembali. Semisal nggak ikutan kembali, aku sih bakal tenang LAHIR BATIN!" Nafisah memilih untuk diam mendengar ocehan Zulfa sepagi ini. Akhirnya bestienya itu beranjak menuju pintu sembari berkacak pinggang. "Yaudah, aku mau sholat subuh. Mandi gih, ntar keburu Rafa bangun. Aku nggak bisa jagain Rafa kalau anak itu rewel." "Iya, iya, ini juga aku mau mandi." Zulfa sudah menutup pintu kamarnya. Nafisah menghela napasnya. Padahal masih subuh, tapi nyatanya ia sudah mendengar semua omelan Zulfa seperti emak-emak yang habis ngebangunin anaknya. Nafisah teringat ponselnya. Ia sedikit menggeser posisinya sembari menahan selimutnya di atas d**a hanya untuk meraih ponsel di atas meja. Nafisah langsung menghubungi Daniel. Tapi sayang, nomornya tidak aktip. "Kok nggak bisa di hubungin? Tega banget sih main pergi gitu aja tanpa pamit atau bangunin aku.." **** Jalanan kota Bali begitu lenggang tanpa harus adanya kemacetan. Adelard duduk dengan tenang di bagian belakang mobil sedan. Sementara hatinya masih di bayangi oleh perasaan campur aduk akibat kejadian semalam. Tapi kalau boleh jujur, setelah apa yang terjadi semalam. Pikiran Adelard langsung tenang dan bisa fokus kembali. Hasratnya sudah tersalurkan. Tapi di satu sisi, ia juga merutuki kebodohannya sendiri. Kenapa ia bisa selemah itu didepan Nafisah? Tanpa sadar Adelard mengepalkan kedua tangannya di atas paha. Niatnya ingin menumpahkan seluruh amarahnya pada Nafisah malah berujung batal dan di akhiri dengan kenikmatan. "Kita sudah sampai Tuan Adelard." ucap Bagas setelah memarkirkan mobilnya. Adelard hanya mengangguk dan segera keluar dari mobil. Sejenak, Adelard berdiri sambil melihat Marcello yang sedang memakai teropong jarak jauh. Sementara jauh di hadapannya, ada seorang wanita yang sibuk melalukan kegiatan panahan di rerumputan hijau. "Ck, dasar bodoh!" umpat Adelard tak habis pikir, kenapa Marcello malah menyuruhnya mendatanginya ke lokasi lapangan panahan. Ia pikir pria itu yang sedang memanah, ternyata malah bukan. Dengan kesal Adelard mendatangi Marcello dan langsung berdiri di sampingnya. Sedangkan Bagas, pria itu terlihat memberikan waktu dan jarak untuk Tuannya. "Kau hanya menghabiskan waktu untuk kemari. Bodoh.." Marcello tak mengubris. Ia tetap fokus memakai teropong jarak jauh hanya untuk melihat seorang wanita yang sibuk melakukan kegiatan panahan. Wanita itu adalah Zulfa. Sekarang, Zulfa terlihat menarik anak panah dan melepaskannya hingga tepat sasaran pada titik tengah. Sadisnya, di titik tengah itu terdapat foto Marcello berukuran besar. Anak panah itu, berhasil mengenai wajah Marcello. "Kenapa jadwal keberangkatan kita ke Italia di undur? Seharusnya tadi malam, kan?" tanya Marcello langsung ke intinya. Ia lebih memilih mengabaikan ucapan Adelard yang sedang menganggapnya pria bodoh. "Ada sedikit gangguan." "Gangguan? Ck," Marcello melepas teropongnya. Ia menyerahkan pada Adelard. "Kalau bertemu si rubah betina itu bukan gangguan namanya.." "Jangan menyebutnya seperti itu.. " suara Adelard terdengar dingin. "Oke oke, maaf," Marcello bersedekap, kembali menatap Zulfa dari jarak jauh. "Jadi bagaimana, kau sudah bertemu putramu?" "Putra? Maksudmu?" "Kau ini bodoh atau apa? Jangan bilang kau belum melihatnya." "Aku sama sekali tidak melihat anak kecil di Villa itu." "Dan aku melihatnya. Kau tahu? anak itu mirip denganku sewaktu kecil. Tapi kenyataan yang aku dapat, justru anak itu adalah putramu." "Apa?" "Kaget kan?" Adelard menatap Marcello dengan datar. "Bahkan aku tidak tahu kalau aku punya anak." "Kau yakin selama kita di penjara, kau tidak mengetahui apapun tenang keadaan Nafisah atau berita kehamilannya?" "Aku berhenti perduli apapun tentang nya. Semenjak kejadian itu, tidak ada lagi yang bisa aku percaya sekali pun ucapannya." "Sekarang kau sudah menjadi Ayah. Selamat untukmu." Marcello menarik sudut bibirnya, tapi sebenarnya ia menyembunyikan rasa sakit di hatinya. Ntah kenapa ia masih yakin kalau anak kecil yang ia lihat kemarin pagi itu adalah putranya. Adelard memilih mengabaikan Marcello dan memakai teropong jarak jauh milik sahabatnya. Marcello sampai mendengkus kesal. "Kau mendengarku atau tidak. Barusan aku mengucapkan kata selamat untukmu.." Tiba-tiba anak panah menancap pada batang pohon tepat di sebelah Marcello! Marcello sampai melompat kaget dan terjatuh di rerumputan. Dari jarak jauh, tanpa di duga Zulfa menatapnya tajam dengan tatapan membunuh. "Kurang ajar!" desis Adelard jantungan. Akhirnya Adelard memilih pergi dari sana. Sementara Marcello masih syok di tempat. Lagi, Zulfa menarik anak panah itu kearah Marcello hingga membuat pria blasteran itu langsung berdiri dan berlari cepat dengan wajah memerah. "Keterlaluan! Bisa-bisanya kau ingin membunuhku..." ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN