Nafisah sudah siap dengan perjalanannya kali ini. Hari ini adalah hari dimana ia dan Adelard akan balik ke kota Batu menuju rumah mereka yang sudah lama tidak di tinggali. 2 tahun 8 bulan, selama itu Nafisah meninggalkan rumah beserta kenangan di rumah itu dengan mengikuti Zulfa ke kota Bali.
"Naf, ini kami serius mau balik pulang. Terus aku gimana?" Zulfa mengamit lengan Nafisah. Sementara ada Rafa masih duduk dan bermain di atas karpet bulu tebal.
"Ya aku nggak tahu. Aku ada alasan untuk balik karena ngikutin suami. Nggak selamanya aku berpisah terus sama Mas Daniel, kan?"
"Ya iya sih, lagian dulunya kamu ikut aku karena kamu nggak mau sendirian di rumah sementara Daniel di penjara kan?"
"Nah itu tahu. Makanya, sudah saatnya aku balik."
Zulfa terdiam sesaat. Ntah kenapa kedua matanya langsung menoleh ke arah Rafa yang masih memegang mainan di tangannya. Zulfa seperti tidak siap untuk bisa berpisah jarak dan waktu dengan Rafa. Menyadari hal itu, Nafisah tersenyum tipis. Ia sangat paham bagaimana perasaan Zulfa begitu melihat Rafa.
"Saran aku mending kamu ikut pulang juga deh. Kamu nggak kasian apa sama orang tuamu di rumah?"
"Tapi, aku masih nggak yakin."
"Kamu harus yakin. Biar bagaimanapun disini bukan tempat kelahiran kita kan? Tempat ini adalah tempat dimana kita melarikan diri dari kenyataan pahit. Termasuk menutupi kehamilanmu itu."
"Apakah aku bisa pulang setelah apa yang terjadi?"
"Zulfa, kita sama-sama merahasiakan kehamilanmu waktu di masalalu. Dengan alasan kalau kamu ingin membangun usaha cabang butik di kota ini. Tidak ada yang tahu kehamilanmu sekalipun orang tuamu. Apalagi selama kamu hamil, kamu benar-benar menyembunyikan diri di villa ini dan enggan keluar."
"Nanti aku pikir-pikir lagi deh. Aku masih ragu buat pulang."
"Jangan kelamaan mikir. Kasian orang tua kamu. Mereka pasti merindukanmu putri semata wayangnya. Toh juga seandainya kamu balik, mereka masih melihat dirimu masih seperti dulu. Tidak ada anak atau masalah yang lain."
Tepat saat itu, sebuah mobil hitam berhenti didepan Villa. Bagas keluar dan sempat memberi salam pada Nafisah.
"Saya akan membawa koper Nyonya. Apakah masih ada barang lain?"
"Tidak ada. Terima kasih.."
Bagas pun segera menjalankan tugasnya dan membuka bagasi belakang mobil. Setelah melihat Bagas, kedua mata Nafisah langsung beralih menatap Rafa dan mendapati anak itu sudah berada dalam gendongan Zulfa. Sesaat, Nafisah terdiam menatap semua pemandangan itu.
Di sisi lain, tanpa Nafisah sadari. Adelard juga berdiri tepat di depan pintu sambil menatap Nafisah dan Zulfa yang sibuk bersama Rafa. Ntah kenapa pandangan Adelard terfokus pada Zulfa. Terlihat sekali kalau Zulfa enggan berpisah dengan Rafa.
"Mas?"
Adelard langsung menatap Nafisah. Ia pun mendekati istrinya dengan pandangan dingin seperti biasanya. Sekarang, pria Italia itu berdiri menjulang sambil menundukkan wajahnya seraya berbisik.
"Katakan padaku, Apa benar Rafa adalah putra kita?"
Nafisah langsung syok bukan main. Ia menatap Adelard dengan pandangan terkejut. Ia meneguk ludahnya dengan sulit di balik tenggorokannya yang serasa tercekat.
"Dia memang putra kita. Kenapa pertanyaan Mas begini?"
"Apa yang terjadi ketika kau pergi setelah aku mengusirmu agar kau tidak menjengukku selama 2 tahun di penjara?"
"Aku hamil."
"Kenapa kau tidak mengatakannya?!"
"Mas lupa kalau saat itu Mas tidak ingin mendengar penjelasan lagi dariku? Bahkan sepenting apapun itu?"
Kedua mata Nafisah berkaca-kaca. Ntah kenapa kalau mengingat kejadian itu, rasanya Nafisah ingin menangis. Nafisah mencoba untuk lebih dekat dengan memegang salah satu tangan Adelard. Adelard menatap tangannya sejenak yang di pegang Nafisah, lalu setelah itu ia pun menepis nya dengan pelan.
"Kau benar. Aku tidak pernah melupakan hal itu. Aku harap kali ini kau tidak lagi mengecewakanku apalagi membohongiku."
"Jadi Mas meragukan Rafa?"
Adelard membalikan badannya. Tidak tahu harus menjawab apa sementara Nafisah mencemaskan hal itu.
"Mobil sudah siap. Kita harus ke bandara sekarang."
Alih-alih menjawab pertanyaan Nafisah, justru Adelard malah bersikap tak perduli dan segera memasuki mobilnya. Nafisah hanya bisa diam dan pasrah kemudian memasuki Villa untuk mendatangi Rafa.
"Sayang, sudah waktunya kita-"
Nafisah menghentikan ucapannya. Kedua matanya terfokus pada Rafa yang kini malah berada di gendongan Marcello. Kenapa Marcello berada disini? Kapan pria itu masuk ke Villa tanpa permisi?
"Rafa.."
Marcello langsung melirik ke arah Nafisah. Ntah kenapa hati Marcello langsung merasakan kepedihan hanya untuk berpisah dengan Rafa.
"Ayo jagoan. Sudah waktunya kau pergi. Hari ini kau tampan sekali. Papa dan Mamamu sudah menunggu."
Akhirnya Marcello berdiri dan menyerahkan gendongan Rafa pada Nafisah. Nafisah sedikit memaksakan senyumannya. Tapi kedua mata Nafisah tidak sedikit pun teralihkan dari sosok Zulfa yang masih diam berdiri di belakang dengan wajah yang sendu.
"Kata Adelard hari ini kalian akan kembali ke rumah. Jadi aku terpikir untuk kemari hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Maaf aku lancang sudah masuk ke Villa ini. Tadinya aku ingin meminta izin untuk masuk. Tapi yang aku lihat, kau sedang berbicara dengannya."
Nafisah hanya mengangguk singkat. Dulu, ia dan Marcello selalu bersitegang seperti musuh bebuyutan. Marcello selalu berkata kalau Nafisah tidak akan pernah pantas dengan sahabatnya Adelard. Tapi seiring berjalannya waktu, Nafisah tidak mau lagi membenci Marcello.
"Tidak masalah. Maaf kami harus pergi, permisi."
Nafisah sudah berjalan menuju pintu. Tapi suara Zulfa bersamaan dengan langkahnya yang cepat membuat Nafisah kembali menghentikan langkahnya.
"Zulfa?"
Zulfa tak banyak bicara. Ia langsung menggendong Rafa dengan cepat. Tanpa di duga, air mata mengalir di pipi Zulfa. Sebelumnya ia memang membenci anak kecil. Terutama Rafa. Tapi melihat Rafa akan pergi, rasanya Zulfa tidak sanggup untuk bersikap seolah-olah ia akan baik-baik saja.
"Aku ingin berbicara dengan anak cengeng ini!" Zulfa terlihat tertawa sumbang di balik kedua matanya yang basah oleh air mata. Zulfa sedikit menjauh dari Nafisah. Setelah menjauh, Ia pun berbisik ke telinga Rafa.
"Rafa, maafkan Tante selama ini tidak pernah perduli padamu. Tapi melihatmu pergi, kenapa hatiku sakit?
Akhirnya Zulfa pun mencium pelan kening Rafa lalu di lanjutkan ke bagian pipi chubby nya.
"Baiklah, aku berubah pikiran. Aku akan ikut pulang dalam waktu dekat." Tiba-tiba tatapan Zulfa beralih ke arab Marcello. Ia pun lanjut mengucapkan sesuatu ke dalam hatinya.
"Dan aku pastikan si b******n itu tidak akan mengetahui kepergianku!"
Marcello tidak tahu harus berekasi seperti apa begitu menyadari kalau Zulfa sedang menatapnya dengan pandangan sengit. Akhirnya, Zulfa pun menyerahkan Rafa pada Nafisah.
Waktu terus berjalan. Akhirnya mereka saling berpisah. Kepergian mobil hitam yang di tumpangi Adelard dan Nafisah, kembali membuat keheningan di antara Zulfa dan Marcello.
Zulfa mengusap sisa air mata di pipinya. Tiba-tiba Marcello pun berdiri di sebelah Zulfa, seperti ingin mengatakan sesuatu sebelum ia benar-benar pergi dari sana.
"Aku tidak tahu apakah perasaanku ini benar atau tidak. Tapi aku merasa, kita sama-sama terluka dan tidak rela kalau Rafa meninggalkan kita."
****
Nah kan, bener gak kira-kira apa yang di katain Marcello barusan? Apa iya Zulfa juga begitu ?
Jangan lupa nantikan chapter 12 di blog ini. Insya Allah hari Kamis. Agar bisa membaca chapter 12 jangan lupa pantengin di i********: story aku hari Kamis dan follow lia_rezaa_vahlefii?
Terima kasih.
Sehat selalu. With Love, Lia❤
Instagram : lia_rezaa_vahlefii