Chapter 13

1061 Kata
Akhirnya Adelard kembali menempati posisinya seperti dulu. Menjadi pimpinan redaksi sebuah penerbit ternama yang bergerak di bidang penerbitan buku dan pendistribusian buku. Penerbit itu bernama Mentari Publishing. Sembari menunggu bawahannya, Adelard terdiam menatap selembar dokumen penting yang berisi surat kelahiran dan akta kelahiran Rafa. Disana tertulis bahwa Rafa telah di lahirkan tepat 2 tahun yang lalu. Adelard juga membaca dengan jelas bahwa Rafa adalah putra Nafisah. Adelard menghela napasnya dengan lega setelah melihat catatan itu kalau Rafa benar-benar putra mereka. Pintu terketuk pelan. Seorang pria berusia 25 tahun masuk dengan senyuman ramah. Dia adalah Dikta "Assalamualaikum, Pak." "Wa'alaikumussalam. Silahkan duduk." Akhirnya Dikta duduk di hadapan Adelard sembari menyerahkan surat pengunduran diri. Adelard membaca isi surat tersebut. Setelah selesai, Adelard menatap Dikta. "Sebelumnya saya ingin mengucapkan banyak terima kasih padamu karena sudah menggantikan posisi saya selama 2 tahun 8 bulan di kantor ini sebagai wakil pimpinan redaksi. Jadi, apakah kamu yakin ingin resign bulan depan?" Dikta mengangguk. "Saya yakin Pak Daniel. Di satu sisi saya juga akan pindah rumah ke luar kota. Alhasil saya tidak bisa bekerja disini lagi." Adelard mencoba untuk menekan perasaan tidak nyaman begitu mendengar nama Daniel. Itu adalah nama masalalu buruk yang harus ia lupakan. Tapi apa mau di kata, ketika orang-orang telah mengenalnya dengan nama Daniel. Bukan Adelard. "Oke kalau begitu. Saya akan menyetujuinya." "Terima kasih banyak Pak." Adelard mengangguk bertepatan saat pintu kembali terketuk pelan. Menyadari hal itu, Dikta pun segera pamit berdiri dan berjalan menuju pintu. Dikta membuka pintunya, ia tersenyum ramah pada Nafisah yang tiba-tiba datang bersama Rafa. "Mbak Nafisah?" "Dikta.." "Saya permisi dulu, Mbak." Nafisah mengangguk sambil tersenyum. Setelah Dikta pergi, Nafisah menutup pintu ruangan kerja Adelard. Rafa sudah berlari mendatangi Adelard. Balita itu berloncat-loncat penuh semangat dan meminta di gendong. Nafisah masih terdiam melihat semua itu, sementara di tangannya ada tas bekal makan siang yang ia bawa untuk Adelard. "Halo jagoan! Bagaimana perjalananmu kemari. Apakah kedatanganmu yang tiba-tiba ini kejutan buat Papa?" Rafa tak menjawab. Yang ada dia malah beranjak ingin duduk di atas meja. Adelard sampai tertawa sendiri dan akhirnya menyingkirkan beberapa pekerjaan seperti laptop dan berkas-berkas penting yang lain agar terhindar dari Rafa. Nafisah sadar, ucapan Adelard pada Rafa barusan adalah pertanyaan untuknya. Padahal Nafisah bisa saja menghubunginya terlebih dahulu, Tapi Nafisah ragu kalau Adelard akan menolaknya dengan alasan yang lain. "Ada kursi dan sofa disini. Kenapa kau ingin duduk di atas meja? Dasar anak pintar." "Rafa, ayo turun. Bahaya duduk di atas meja." Tiba-tiba Nafisah datang dengan wajah cemas. Ia ingin mengambil alih Rafa tapi bocah itu terlihat enggan. "Sayang, ayo turun. Nanti-" "Biarkan saja dia disitu. Aku akan menjaganya." Nafisah langsung menoleh ke arah Adelard yang tidak menatapnya sama sekali. Pria itu malah sibuk menatap Rafa dan sesekali tersenyum. Nafisah sadar, hubungannya dengan Adelard memang belum membaik setelah kejadian masalalu itu. Sekaliapun ada anak di antara mereka. "Maaf kedatangan kami yang tiba-tiba. Aku kesini-" "Aku sudah kenyang. Jadi bawa saja kembali bekal makan siang itu." Nafisah merasa kecewa. Sudah capek-capek ia membuatkan makan siang malah di tolak. Nafisah mencoba untuk sabar, ia memilih diam dan duduk di sofa. Sejenak, Nafisah membiarkan Rafa bermain sama Papanya mumpung masih jam istirahat. Nafisah menatap ke lain, berusaha mengalihkan segala kekecewaan yang ia rasakan. Semenjak Adelard bebas dari penjara, ia dan Adelard seperti orang asing yang baru ketemu. Nafisah merasakan hatinya begitu sesak, ia merindukan sosok Daniel nya yang dulu. Tak perduli meskipun nama Daniel adalah nama identitas palsu Adelard. Tetapi Daniel yang dulu, selalu membuatnya merasakan kehangatan dan kenyamanan. Berbeda dengan sekarang, yang ada hanyalah sisa kekecewaan yang Nafisah rasakan dari sosok Adelard. Terutama sikap dinginnya. Terlalu lama melamun, ntah kenapa kedua mata Nafisah terlihat sayu. Nafisah merasa lelah dan mengantuk. Akhirnya, tanpa Adelard dan Rafa sadari, Nafisah pun terlelap di sofa. **** Di satu sisi.. Akhirnya Zulfa meyakini dirinya untuk bisa pulang ke rumah. Padahal sebenarnya, ia masih ragu pulang ke rumah lantaran memiliki perasaan takut karena pernah menyimpan rahasia kehamilannya dari orang tuanya. Meskipun Nafisah sendiri sudah berkali-kali mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tetapi tetap saja, semua itu tidaklah cukup. Sekarang, Zulfa sudah berada di kamarnya. Ia berbaring terlentang sembari menatap langit-langit plafon kamarnya. Tubuhnya serasa lelah setelah melakukan perjalanan panjang dariKota Bali ke kota Batu. Tiba-tiba tanpa sengaja Zulfa menyentuh perutnya sendiri. Bayangan masalalu itu akhirnya terbayang di pikirannya. Dulu, 2 tahun yang lalu ia berbaring seperti ini. Di posisi yang sama. Tetapi dalam keadaan ada calon janin yang sedang berkembang di rahimnya. Air mata mengalir di pipi Zulfa. Kenyataan pahit itu tidak akan pernah bisa ia lupakan meskipun rasanya ingin. Semuanya karena Marcello. Pria itu menyentuhnya dalam keadaan tak sadarkan diri dan tega menghamilinya. "Marcello, anakmu memang pantas tidak ada. Tapi sekarang, kenapa aku terus memikirkan bayi itu? Aku tahu aku salah, aku menyesal kenapa pernah membencinya. Aku menyesal kenapa pernah membiarkan bayi itu berkembang dalam rahimku tanpa asupan yang baik. Aku menyesal kenapa terus mengeluh selama kehamilanku seolah-olah semua itu adalah beban hidupku yang sangat sulit." Zulfa terus mengusap pelan perutnya. Rasa penyesalan itu semakin besar, terutama pada bayinya yang tidak bersalah.. "Seandainya waktu bisa kembali terulang, aku ingin menjaga anak itu. Aku ingin anak itu ada bersamaku. Aku ingin membesarkannya penuh cinta dan kasih sayang. Aku memang membencimu, tapi tidak seharusnya aku membenci anak itu." Zulfa pun membangunkan dirinya. Ia berjalan ke arah meja rias. Zulfa membuka lacinya dengan mengeluarkan kotak kecil berwarna coklat tua. Dengan tangan gemetar, Zulfa meraih selembar foto hasil USG 4 dimensi nya saat kehamilan 7 bulan. Terlihat dengan jelas dari hasil USG itu ada bentuk wajah janin yang sudah sempurna dengan pipi chubby. "Lihat, bayi ini benar-benar mirip denganmu." Dengan hati yang kuat dan tabah. Akhirnya Zulfa pun merobek foto USG itu. Mulai sekarang, ia akan berjanji pada dirinya sendiri untuk bisa berhati-hati di kemudian hari terutama pada pria manapun. Agar 'insiden itu' tidak terulang lagi dan berakhir dengan penyesalan. Zulfa akan menyimpan semua hal pahit ini didalam dirinya. Meskipun pernah merasakan menjadi seorang ibu yang tidak sempurna selama 9 bulan, tetapi ia tidak akan pernah bisa melupakan bayi itu. Anaknya bersama Marcello **** Chapter ini penuh dengan perasaan yang sesak di hati. Tetapi makasih sudah baca? Jangan lupa nanti nantikan chapter 13 Insya Allah hari Sabtu di blog ini ya ? Kalian bisa melihat update chapter 13 di status story i********: aku lia_rezaa_vahlefii. Jangan lupa follow dan sampai ketemu hari sabtu? With Love, Lia❤ Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN