Bab 130 Membujuknya sebagai Seorang Istri

1737 Kata
*** WARNING: RATE 21 PLUS *** BIJAKLAH DALAM MEMBACA! SEMUA INI HANYALAH IMAJINASI DAN KARANGAN AUTHOR. YANG J E L E K DAN BURUK, JANGAN DITIRU! MOHON MAAF ATAS KETIDAKNYAMANANNYA! ---------------------------------------------- Ratu Casilda Wijaya langsung terdiam membisu setelah dipermalukan sedemikian rupa di hadapan banyak mata. Semua orang yang semula menatapnya benci, tiba-tiba ada yang merasa kasihan dan berpikir Arkan sang Top Star sudah sangat keterlaluan. “Maaf...! Maaf, Tuan Arkan!” ucap Casilda cepat dan tegas membungkukkan tubuhnya berkali-kali dengan menahan rasa malu di hatinya. Tidak mengapa. Dia sudah melalui badai yang lebih hebat daripada ini. Menjilat lantai, memakan makanan kotor, dihina dan difitnah sangat tidak adil oleh pria itu. Melihat Casilda tampak hanya bisa meminta maaf berkali-kali seperti sebuah robot dengan wajah datarnya, sang suami segera pergi dari hadapannya sembari mendengus geli. “Tidak! Tidak! Tunggu, Tuan Arkan! Pemotretannya belum selesai!” teriak sang juru foto yang mengejar Arkan dengan wajah sangat panik. Sepeninggal Arkan, Casilda yang berdiri dengan kedua tangan mengepal di sisi tubuhnya, hanya bisa menunduk menatap lantai di bawahnya. Dua wanita tadi yang mempersiapkan Arkan segera menghampirinya. “Kamu tidak apa-apa?” tanya sang penata rias, wajah cemasnya sangat tulus. Casilda saling tatap dengannya, mengangguk cepat. “Maaf. Saya tidak bermaksud merusak pemotretan hari ini. Tuan Arkan pasti tidak akan mau mendengarkan alasan saya, bukan? Mungkin memang saya sedang sial saja hari ini. Walau sudah berlari sekuat tenaga tetap saja gagal,” jelas Casilda muram. Kedua wanita yang berdiri di depan Casilda mengamini ucapannya dengan penampilannya yang sangat kacau oleh keringat dan pakaian kusut. Tanda dia sudah berlari sekuat tenaga. Hanya orang bodoh dan buta saja yang tidak bisa melihat perjuangan wanita berkacamata tebal itu. “Kenapa kalian malah membelanya? Sudah jelas dia salah, bukan? Makanya diet! Lemak, kok, dipelihara! Tidak heran larinya hampir sama dengan batu!” ledek seorang wanita yang muncul entah dari mana, melipat tangan di dadanya sambil menatap Casilda angkuh dan jijik. Rambut panjang diikat duanya sangat sombong bagaikan tanduk iblis yang mencuat di kepalanya, sangat cocok dengan pakaian merah dan hitam yang dikenakannya sekarang. “Hei! Tutup mulutmu! Sudah tahu tubuhnya seperti itu, kenapa Arkan sang Top Star malah memilihnya? Kalau tidak ingin mengerjainya, lantas apa lagi? Memang kamu tidak pernah jadi newbie di dunia hiburan seperti ini?” bela sang penata gaya, menatap wanita tadi dengan tatapan sangat galak. “Kalian berdua minta dipecat, ya? Bisa-bisanya mendukung orang yang sudah merusak semua jadwal ketat kita! Kalau tidak suka bekerja di industri ini, bilang saja! Kami tidak suka dengan pengacau seperti kalian bertiga!” Sang penata rias lalu maju ke depan, menahan rekan kerjanya yang hendak maju terbawa emosi. “Kamu pikir aku tidak tahu sejarah memalukanmu di awal-awal bekerja di tempat ini? Kalau bukan karena tidak punya koneksi orang dalam, memang kamu pikir jam yang kamu jatuhkan seharga jutaan rupiah itu akan membuatmu bertahan sampai sekarang?” “KAU!” Usai membentak kesal mendengar hal itu, wanita bermulut tajam tadi menghentakkan kakinya marah, dan berlalu dari sana penuh emosi. “Sudah. Tidak apa-apa. Kita semua pernah melakukan kesalahan. Arkan sang Top Star memang sangat sensitif. Dia itu di luar akal sehat. Jadi, jangan terlalu sedih lagi, ya?” hibur sang penata rias, tersenyum lebar sembari menepuk-nepuk penuh semangat pundak Casilda. Wanita berkacamata tebal dan berpipi bakpao itu merasa sangat terharu. Baru kali ini dia mendapatkan orang yang sangat tulus menolong. “Saya akan membujuknya untuk tetap menyelesaikan pemotretan ini!” sahut Casilda buru-buru, membungkukkan tubuhnya dalam-dalam meminta maaf. “Ei... tidak perlu begitu. Di dunia ini, hampir mustahil ada yang bisa membujuk Arkan kalau sudah ngambek seperti itu di tengah jalan,” balas sang penata rias dengan nada santai, setengah melucu dengan ketidakpercayaan di raut wajahnya. Namun, Casilda tidak mau menyerah. Wanita berpipi bakpao itu segera menyusul ke arah Arkan menghilang dari pandangan. Dari jauh, di sebuah ruangan dengan pintu terbuka separuh, terdengar sang juru foto mencoba membujuknya dengan banyak kata-kata manis dan menjilat. “Tuan Arkan...” sapa Casilda pelan begitu memasuki ruangan, menatap suaminya yang tengah duduk di sofa sangat angkuh dan arogan, sementara sang juru foto sudah terlihat berlutut memohon kepadanya. “Untuk apa kamu ke sini? Cepat keluar!” bentak sang juru foto marah, mengedikkan kepala agar menyuruh Casilda pergi. Harga dirinya diam-diam merasa tercoreng, tapi demi gaji tinggi dan kredibilitasnya, dia rela membuang harganya dirinya seperti sekarang. Arkan melirik Casilda dingin, bersandar sangat angkuh dengan senyuman menyeringai licik dan jahat. “Tuan Arkan, apa boleh bicara berdua saja? Hanya 5 menit. Saya mohon,” ucap Casilda sungguh-sungguh, kedua ujung pakaiannya digenggam erat. Keseriusan di wajahnya yang tampak lengket dan basah membuatnya semakin terlihat galak. Sang juru foto berdiri dari lantai, menunjuknya galak, “kamu tidak dengar, hah? Aku bilang keluar! Apa kamu mau disiram lagi? Sana pergi!” Tiba-tiba, pria dengan wajah minimalis dengan kumis tipis itu meraih sebotol air di atas meja, kemudian diarahkan kepada Casilda. Wajah Arkan langsung menggelap tak enak dipandang. Mengamati tubuh basah istrinya yang semakin berantakan. Pria itu lalu berdiri dari duduknya, dan dengan dingin berkata, “kita pulang saja. Tidak perlu datang ke tempat ini lagi. Aku tidak mau bekerja dengan orang yang hanya bisa menjilat ,dan memarahi bawahan orang lain.” Casilda yang tertegun kaget akibat siraman tadi, sebenarnya tidak keberatan asalkan sang suami mau melanjutkan pekerjaannya, tapi apa yang barusan didengarnya itu? Tidak perlu datang ke tempat ini lagi? “Tuan Arkan! Tuan Arkan! Saya minta maaf! Saya memang salah! Tolong maafkan saya!” Pria berkumis itu mengejar sang aktor yang kini sudah menyeret sebelah lengan Casilda bersamanya, membuat sang wanita berjalan dalam keadaan setengah terseret. “Arkan! Jangan begini!” bisik Casilda penuh permohonan. Pria itu meliriknya dingin, gigi digertakkan, “jangan begini? Lantas, kamu suka dipermalukan oleh orang itu? Begitu? Otakmu sudah jadi masokis, ya?” Casilda hendak membantahnya, tapi dia langsung ditarik sepanjang lorong studio dengan banyak mata tertuju kepada mereka berdua. Kejadian ini lagi-lagi bagaikan de javu bagi Casilda. Hampir mirip saat di klub malam dulu di mana Arkan seenak perutnya menariknya dalam keadaan sangat memalukan. Begitu tiba di mobil, Garvin yang tengah menunggu sambil bermain game, tiba-tiba dibentak untuk keluar dari mobil. “Cepat keluar!” serunya kasar, memukul kaca pintu mobil hingga sang pria muda terkejut luar biasa. “Ke-kenapa? Apa yang terjadi?” “Kamu pulang pakai mobil lain, Casilda yang akan mengemudikan mobil ini.” Garvin kebingungan mendengar penjelasannya, tampak bodoh dan lugu. “Kamu tidak dengar?! Cepat keluar!” hardik Arkan, berniat maju untuk menarik sang pria muda, tapi ditahan oleh Casilda sekuat tenaga dalam pelukan eratnya. “CUKUP! JANGAN MARAH-MARAH TERUS, BISA TIDAK, SIH?!” teriak Casilda kesal. Garvin hampir saja menjatuhkan rahangnya saking terkejutnya melihat Casilda berani memeluk sang aktor begitu posesif dan erat. Yang paling membuatnya tercengang adalah aktor playboy tampan itu malah berhenti mengamuk seperti baru saja dijinakkan olehnya. “Apa kamu sama sekali tidak bisa bersikap dewasa sedikit saja?” berang Casilda sudah mencapai batas, langsung menyeretnya kali ini menuju salah satu tempat lain dari parkiran bawah tanah itu. Tidak memberikan sang aktor kesempatan untuk menghentikannya, segera ditarik hingga membuatnya jalan terseok-seok, hampir jatuh berkali-kali. Ini seperti memberikan Casilda balas dendam pribadinya dengan sikap Arkan yang suka seenak main tarik terhadapnya. Pilihan Casilda cukup baik, yaitu sebuah ruangan kecil mirip sebuah gudang penyimpanan alat-alat untuk tempat parkir tersebut. “Apa maumu? Kenapa menarikku ke tempat kotor begini?” bentak Arkan marah, memukul pintu besi di mana Casilda berdiri agar mencegahnya kabur. Wajah tampannya sangat galak. Sebuah tamparan mendarat di wajah Arkan, tidak keras, tapi cukup membuat sang aktor tertegun kaget. “Puas?” sindir Casilda dengan tatapan malas. “Apa maksudmu, hah?!” “Kenapa? Sudah mempermalukan istri sendiri di depan umum dan mengerjainya habis-habisan sampai hampir tertabrak mobil, belum juga memberimu kesenangan? Ataukah masih tidak puas sampai harus membuat masalah besar di tempat ini agar aku mendapat makian lagi dari orang-orang penting kenalanmu sebagai kambing hitam yang pantas disalahkan? Apa kamu sama sekali tidak bisa membedakan antara pekerjaan dan masalah pribadi? Sikapmu sungguh kekanak-kanakan! Kalau ingin balas dendam cukup kepadaku saja. Tidak perlu menyeret orang lain di dalamnya! Kamu menyuruhku melakukan apa pun, sudah pasti akan aku lakukan!” Arkan sang Top Star tertegun kaget dalam hati. Hampir tertabrak mobil? Hening sesaat menjatuhi kedua orang ini. Saling tatap dalam diam. Tiba-tiba Casilda berlutut di depannya, kepala tertunduk pasrah. “Aku mohon! Tolong selesaikan pemotretan hari ini! Apa pun akan aku lakukan sebagai gantinya! Aku tidak mau membuat usaha semua orang di tempat ini menjadi sia-sia tak berarti hanya karena orang tidak penting sepertiku. Masalah dendam dan benci di antara kita berdua bisa dilakukan tanpa harus membuat semua orang terseret, apalagi membuat karirmu rusak seperti itu.” Arkan dalam balutan kemeja biru navy kerennya, mendongakkan wajah gelap. Tampak kedua bola mata dinginnya dihiasi oleh ide jahat dan nakal. “Mau melakukan apa pun? Yakin?” Sang aktor maju mendekat, lalu meraih bagian depan celananya. Membuka ikat pinggangnya perlahan. “A-apa yang kamu lakukan?” gagap Casilda panik, salah tingkah melihat Arkan mulai tampak bersikap aneh. Tubuhnya membeku berlutut di lantai. Dengan gaya angkuh dan arogan, Arkan berkata dingin, “kamu mau melakukan apa pun, kan, agar pemotretan hari ini selesai? Sekarang aku ingin kamu membujukku lebih dahulu sebagai seorang istri. Buat aku senang.” Casilda menelan saliva dengan mata membesar syok begitu Arkan menarik turun resletingnya secara penuh. “Aku yang melakukannya dengan paksa, atau kamu yang melakukannya secara sukarela?” sindirinya dingin, memiringkan wajah tampannya dalam mode sangat angkuh dan menghina. “Ka-kamu gila?!” teriak Casilda panik bukan main, terpojok di pintu besi di belakangnya. Dengan malas, Arkan sang Top Star kembali memperbaiki celana panjang hitamnya yang terlihat mahal dan elit, “kalau begitu kita pulang saja. Aku sudah malas.” “Ti-tidak! Tunggu!” Casilda buru-buru menahan kedua tangan sang suami yang sudah memasang utuh ikat pinggangnya, menundukkan kepala malu dengan wajah memerah hebat. “A-a-a-akan aku lakukan....” Arkan sang Top Star tersenyum menyeringai dingin dan jahat, tapi ada amarah dan kekesalan bertalu tertahan di kedua bola matanya melihat istrinya mau membela pria yang sudah menyiramnya hingga sangat memalukan dengan cara seperti ini. “Lakukan dengan baik dan lembut. Paham? Awas kalau kamu menggigitku,” titah Arkan dingin dan penuh ancaman, ekspresinya sedingin suaranya. Sangat menusuk dan tirani. Casilda mengangguk cepat salah tingkah, sekujur tubuh gemetar takut, dan perlahan Arkan sang Top Star membiarkan sang istri mulai membuka ikat pinggangnya dengan kedua tangan yang gemetar dingin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN