Bab 54 Kamu Bisa Apa Sebenarnya Untukku 1

1264 Kata
Dalam sekejap, Casilda menahan diri. Dia teringat bahwa dialah satu-satunya tulang punggung keluarganya. Jika tumbang atau lenyap, maka habislah sudah keluarganya. Tidak seperti hatinya yang sedang kacau, sebuah senyum di wajahnya langsung muncul. Kepala menengadah ke arah pria di depannya. Senyum bodohnya terlihat begitu berkilau. “Maaf, saya sedikit pusing karena belum makan sebelum berangkat kerja, dan juga sedikit lelah” ujarnya dengan ketenangan luar biasa, lalu matanya melihat tumpukan ayam yang dibuat berantakan. Casilda lalu bergerak ke depan, berlutut tepat di depan Arkan. Kedua tangan mengepal kuat di lantai marmer, kepala tertunduk pasrah, nyaris mencium sepatu mahalnya yang sangat indah. “Ini adalah kesalahan saya, tuan Arkan. Tolong jangan masukkan ke dalam hati. Saya minta maaf sebesar-besarnya! Mohon kasihani saya. Anda pasti punya hati yang sangat lapang. Saya akan bertanggung jawab atas semua kekacauan ini, saya akan minta maaf kepada semua tamu! Tapi, saya mohon jangan mengubah pikiran Anda mengenai syarat itu dan juga tidak melibatkan tempat kerja saya ke dalam hal ini.” Arkan terdiam selama beberapa saat melihat tingkah Casilda yang merendahkan diri di hadapan semua orang. Sama sekali tidak menyangka perempuan ini akan melakukan hal semacam itu tanpa ada paksaan. Casilda yang merasa aneh tidak ada balasan apa pun, dan hanya mendengar suara tawa dan bisik-bisik menghina dari para tamu, mendongakkan kepalanya, menunggu jawaban. Semua hal di sekitarnya sudah tidak dipedulikannya lagi, hanya fokus pada uang 500 juta yang menjadi tujuannya. Dia tidak boleh lengah lagi kali ini! Tidak setelah apa yang dilaluinya seminggu ini! Arkan kemudian menyeringai lebar, matanya berkilat penuh kebencian dan rasa jijik. Dengan suara dalam dan berat, dia pun melontarkan kata-kata yang membuat hati Casilda teriris, “sepertinya benar kamu akan melakukan apa pun demi uang. Benar-benar murahan. Sekarang, tugas pertamamu, seperti kataku, hibur para tamu di sini. Menarilah dengan kostum itu.” Mata Arkan beralih pada tumpukan kotak ayam yang sudah penyok. “Dan siapa bilang pesanan itu untuk para tamu?” sudut bibir Arkan terangkat licik, sebelah kakinya meraih sebuah kotak ayam, menginjaknya dan menyodorkannya ke depan Casilda dengan angkuhnya, “semua ini khusus untukmu.” Eh? Apa maksudnya itu? Casilda tertegun mendengar jawaban sang pria. Semua ayam krispi itu untuknya? Keringat dingin Casilda menuruni punggungnya. Firasatnya yang sudah buruk dan semakin buruk saja, sudah tidak ada artinya lagi saat paham dia sudah masuk ke dalam kandang singa yang sudah menyiapkan jebakan khusus untuknya. Apa pun yang diberi oleh pria itu pasti bukan hal yang baik. Arkan seperti iblis yang menawarkan perjanjian yang harga pertukarannya jauh lebih besar daripada hal yang diminta oleh si pembuat kontrak. *** 'Rupanya, pria kejam itu memang sudah memikirkan semua ini secara matang,' batin Casilda, tertawa dingin dalam hati. Mau mengasihani diri sendiri saja dia sudah tak punya tenaga. Saat ini, dia pun sudah memakai kostum yang meledek bentuk tubuhnya. Casilda berdiri di tengah-tengah ruangan, di sekitarnya sudah dipenuhi oleh banyak tamu yang sudah memegang kotak ayam krispi tersebut. Ya. Tenyata dia membawa pesanan yang akan digunakan untuk menghinanya sendiri. Sangat konyol mengingat betapa hati-hati dan susah payahnya dia membawa pesanan itu agar tidak terlambat dan rusak di tengah jalan. Tapi, apa ini? Sungguh ironis.... Hati Casilda menjadi kebas mendapati kenyataan yang menimpanya. Arkan ingin membuatnya jatuh sedalam apa? Di depan sana, di depan Casilda, tepat 3 meter darinya, pria itu duduk bersandar di kursi tinggi bagaikan seorang raja sombong dengan satu kaki dilipat, wajah ditutupi dengan sebuah topeng yang berbeda dari semua tamu. Sebuah topeng iblis merah darah, menutupi separuh wajahnya yang tengah tersenyum licik. Seorang pelayan yang juga memakai topeng, tapi bedanya putih polos menutupi semua wajah, memberikan sebuah mic. Suara ‘nging’ dari mic terdengar sekali, dan suara pria iblis itu pun terdengar malas-malasan dan angkuh. “Tunjukkan keseriusanmu kepadaku, maka aku akan menilainya dari awal sampai akhir.” Casilda mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya. Kostum yang dipakainya pengap, ditambah dengan suhu tubuhnya yang sudah panas membuat Casilda merasa sangat gerah. Sebelum memakai kostum tersebut, Arkan memberikannya daftar tugas yang harus dilakukan olehnya sepanjang acara elit yang khusus diselenggarakan untuknya itu. Isinya? Semuanya hanyalah hal-hal memalukan yang harus merendahkan dirinya sendiri di hadapan banyak orang. Pria itu benar-benar sengaja ingin merusak mentalnya, dan membuatnya merasa rendah diri. Lebih buruk daripada sekedar menjilat sepatunya, atau pun disiram smoothie di kepala. Di bawah sinaran masing-masing lampu sorot, Casilda dan Arkan saling tatap melalui celah penghalang wajah masing-masing. Arkan dengan topeng iblisnya, Casilda dengan kepala kostum babinya. Dengan suara berat dan sedikit serak, masih terdengar angkuh, Arkan melanjutkan, “apa kamu tahu siapa para tamu yang hadir di tempat ini, Ratu. Casilda. Wijaya? Mereka adalah orang-orang yang dulu kamu remehkan, kamu hina, dan perlakukan buruk di masa lalu.” Casilda menelan saliva kuat-kuat. Di dalam kostum, keringat sudah turun banyak. Dia memang terkejut mendengar hal itu, tapi kondisi tubuhnya yang tidak nyaman menyita perhatian wanita bermata minus ini lebih banyak. Dengan mata tanpa kacamata, semua menjadi lebih mudah dilakukan. Setidaknya, dia tidak akan mengingat topeng-topeng yang menyembunyikan wajah asli mereka itu. Anggap saja mereka adalah ilalang tidak berguna. Dengan pikiran ini, hati Casilda sedikit terobati dari perasaan sakit dan menyedihkan. Lagi pula, entah mereka adalah orang-orang yang dulu menjadi korbannya atau tidak, kini sudah tidak penting lagi. Casilda tidak mau berpikir muluk-muluk. Prinsip Casilda saat ini adalah membuat Arkan senang dan puas, lalu amankan uang 500 juta itu. Harga diri? Tidak ada dalam otaknya ketika benar 500 juta sudah sejengkal lagi di depan matanya. Dalam hati, gambaran adiknya di dalam ruangan isolasi itu sendirian, sudah cukup membuatnya bisa berbuat nekat apa pun saat ini. Ini bukan apa-apa. Ini bukan apa-apa. Begitulah kata-kata hipnotis yang diucapkan pada dirinya sendiri. Selain itu, dia tidak mengenal mereka semua. Anggap saja sedang memainkan pertunjukan di atas panggung. Penonton yang sekali datang dan pergi. Apa susahnya? “Kamu belum makan, bukan? Sekalian saja kamu makan sambil menari di sini. Bukankah aku tuan rumah yang baik hati?” 'Sabar, Casilda, sabar. Kamu bisa lalui malam ini. Anggap saja ini adalah mimpi paling buruk. Besok pagi, kamu sudah bisa membuka mata, lalu tersenyum,' batinnya pelan. Dari balik topeng, Arkan terus mengoceh soal masa lalu Casilda yang begitu buruk. Namun, perempuan ini tidak mendengarkan dengan baik. Dia berusaha menjaga udara tetap masuk ke dalam paru-parunya. Bohong jika kepalanya sudah tidak pusing lagi. Pandangannya yang kabur tanpa kacamata, sedikit bergoyang tidak fokus, tapi dia masih kuat untuk berdiri. Casilda bukannya butuh makan, tapi istirahat dan minum obat. “Mainkan musiknya! Pertunjukan hebat akan segera dimulai!” Tangan Arkan dinaikkan di udara, memberikan aba-aba pada musik untuk diputar. Langsung saja terdengar musik yang sangat lucu dan diselingi suara khas hewan dari kostum yang dipakai oleh Casilda. Suara gemuruh dan riuh para tamu tidak kalah antusiasnya. Beberapa tamu menaikkan ayam krispi, siap untuk dilemparkan ke arah Casilda di tengah ruangan. “Nah, sekarang, biarkan kita lihat Ratu kita menari dengan indahnya.... Nguik...” ledek Arkan di akhir kata, menirukan bunyi hewan merah muda tersebut, dan menyeringai jahat di balik topeng merahnya. Musik lucu dan energik itu bermain keras, membuat para tamu menyemangati Casilda yang sudah mulai menggerakkan kedua tangannya ke atas. Sangat sulit untuk menari dengan kostum berat dan pengap ini. Jadi, setiap Casilda baru beberapa kali bergerak dan memutar tubuhnya, pasti akan jatuh ke lantai, dan lemparan ayam krispi pun mengarah padanya dari berbagai arah, mengutuki pertunjukannya yang sangat payah. “Bangun! Jangan duduk saja! Dasar babi pemalas!” “Hei, kami datang ke sini untuk terhibur, bukan untuk membuang-buang waktu melihat tontonan sia-sia seperti ini!” “Kamu masih bangga dengan dirimu, hah? Makan itu! Kamu suka makan, bukan?!” sindir seseorang dengan gelak tawa super jahatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN