“Sudah cukup dramanya?” sindir Arkan dingin. “Cepat, bawa masuk semua pesanan itu.”
“Baik...” balas Casilda pelan, sangat patuh.
Meski dirinya tidak membawa 10 juta ini, pasti akan tetap dilaporkan sebagai pencuri, bukan, jika menolak untuk tunduk pada mereka?
Ya! Pasti begitu! Sungguh licik!
Casilda pada akhirnya tidak punya pilihan lain.
Sepertinya, hidupnya sudah jatuh ke titik ini. Dipermainkan dan direndahkan oleh orang lain.
Ah... kenapa hidup begitu sulit...?
Sementara Arkan sibuk menjelaskan kembali kepada para tamunya dengan hal-hal yang bisa dan tidak bisa dilakukannya selama pertunjukan secara lebih terperinci, Casilda seorang diri mengangkut kembali kotak-kotak ayam krispi itu seperti tubuh tanpa jiwa, lebih mirip zombie yang mengabaikan makanan lezat di sekitarnya.
Beberapa pasang mata masih terus mengarah kepadanya, penuh dengan sorot kecemburuan, iri, dan dengki. Juga tak lepas dari rasa dendam dan jijik bermain di sana.
Beberapa kali Casilda bolak-balik memasukkan kotak-kotak itu, dan beberapa kali pula ada yang seperti dengan sengaja hendak membuatnya jatuh kembali. Dia pun tersandung berkali-kali.
'Demi adik, demi adik,' batinnya mengulang-ulang sabar seperti penyemangat kecilnya, meski hatinya sebenarnya sudah meronta dan berdarah panas turun ke perut mendapat penghinaan ini.
Tenggorokannya pun tercekat sakit menahan kesedihan yang menggulung hatinya.
Semua orang makan, minum, dan mendengarkan musik indah dengan begitu gembira, dan dirinya apa?
Persis seperti ayam yang sedang dibawanya sekarang.
Siap untuk dilahap habis-habisan dan dikunyah kuat-kuat.
Tubuh Casilda sangat tidak nyaman, demamnya semakin menjadi, napasnya mulai menghangat, tapi dengan susah payah masih saja membawa kotak ayam pesanan sampai kotak terakhir.
Semua kotak itu kini ditaruh di lantai tengah ruangan, tidak seperti yang semula diarahkan oleh sang pelayan sebelumnya.
Di depan tumpukan kotak-kotak itu, sang pelayan tadi, sepertinya hanya dia satu-satunya yang kasihan kepada Casilda, menatapnya prihatin sambil menata kotak-kotak di sana agar tidak jatuh ke lantai.
“Su-sudah semuanya,” terang Casilda takut-takut kepada sang pelayan, lalu Arkan yang sibuk berbincang dengan seorang tamu mendengarnya, dan menolehkan kepala dengan tatapan menarik mengarah padanya.
Pria ini dengan segelas soda merah di gelas tingginya, memanggil pelayan minuman, meletakkan gelasnya di atas nampan, lalu sambil menepukkan tangan menarik perhatian sambil berteriak meraih sebuah mic dari seorang tamu laki-laki di sampingnya. Musik langsung berhenti total.
“Baiklah, para hadirin! Dia sudah selesai membawa pesanannya masuk!”
Arkan dengan gerakan anggun dan elegan, tidak seperti sifatnya yang iblis, mulai menarik Casilda kembali ke tengah ruangan dan mendorongnya ke depan hingga tersorot lampu bulat, ruangan di sekitar mulai sedikit redup.
Kedua lengan Casilda mencoba menutupi cahaya silau itu di wajahnya.
“Acara pertama, kita akan dihibur dengan tarian dari seorang Ratu yang sangat terkenal akan kemampuan baletnya yang indah. Bagaimana? Apakah kalian jadi penasaran?”
Casilda tertegun kaget.
Bagaimana Arkan bisa tahu kalau dirinya dulu pernah menari balet?
Semua tamu mulai heboh, dan beberapa mulai berteriak penuh dengan keseruan dan cemoohan jijik.
Kening Casilda mengerut heran.
Sejak dia masuk ke mansion, dan sejak Arkan berceramah mengenai tugasnya kepada para tamu hadirin, semuanya tampak seolah-olah sudah memahami arah pembicaraan sang pria, tahu siapa Casilda sesungguhnya.
Siapa sebenarnya para tamu hadirin ini?
Casilda menyapu semua pandangan di sekitarnya, mengamati para tamu tersebut.
Sayangnya, topeng yang dikenakan oleh mereka membuat Casilda kesulitan mengenali mereka satu per satu.
“Kenapa melamun saja seperti orang bodoh? Kamu sekarang adalah milik mereka. Lakukan semua hal sama persis yang disuruhkan kepadamu. Anggap saja kamu sedang jual diri sekarang.”
Arkan mendekat, menundukkan kepala hingga wajahnya terhalangi pandangan orang-orang, menarik sebelah lengan sang wanita dan berbisik jahat di sebelah kepalanya, wajah tampan dan dinginnya menyeringai penuh bahaya dengan topeng separuh yang dikenakannya, “malam ini, aku pastikan kamu akan merasakan neraka sampai berpikir lebih baik ingin mati saja sekalian.”
Casilda merasa dadanya seolah dihimpit oleh batu besar. Tapi, tidak bisa berkata apa-apa. Lidahnya kelu. Sekujur tubuhnya gemetar, berusaha ditahan sekuat mungkin.
Anehnya, Arkan tidak langsung menjauh dari sisi kepala Casilda. Tanpa disadari oleh pria ini, kedua matanya terpejam kuat menghirup wangi khas samar-samar yang ada di tubuh Casilda. Walaupun ada bau keringat, tapi bau samar itu masih terasa di indera penciumannya. Ini membuat Arkan mendapati hatinya tergulung oleh semacam gelombang perasaan yang aneh, naik-turun bagaikan menaiki roller coaster tak berujung.
Ketika nyaris mengecup sisi kepala Casilda, matanya terbelalak kaget, langsung geram sendiri dengan mata memerah bak ditumpahi oleh darah pekat di sana.
Lengan Casilda dicengkeram kuat lalu disentak keras menjauh bagaikan benda menjijikkan, wajah Arkan sangat murka, lalu berteriak keras di mic hingga membahana membungkam semua tamu yang hadir: “Berikan benda itu kepadanya!”
Dari sudut ruangan, seperti sudah menunggu aba-aba sejak tadi, seorang pelayan pria dalam seragam hitam-putihnya membawa sebuah benda di dalam sebuah troli besar.
“Bukankah akan lebih menghibur jika memakai itu di badanmu? Sangat cocok pastinya,” sinis Arkan dengan senyuman menyeringai gelap.
Casilda tidak tahu apa rencana selanjutnya dari pria gila dan kejam itu, tapi begitu kepalanya menoleh dan melihat sang pelayan pria menarik benda berwarna merah muda dengan hidung pesek dan ekor keritingnya, harga diri Casilda sebagai manusia kini kembali dipertanyakan.
Kostum babi?
Suara tawa membahana di ruangan mewah itu seolah menenggelamkan tubuh Casilda. Semuanya terasa begitu lambat di sekitarnya, napasnya memburu dengan cepat, mata mengerjap-ngerjap kuat, sebelah tangannya mencoba meraih penyangga untuk menahan tubuhnya, tapi malah menabrak tumpukan kotak ayam krispi hingga jatuh berantakan.
Casilda jatuh menimpa tumpukan itu, membuat sebagian kotak menjadi penyok.
Napas hangat Casilda terasa kasar keluar-masuk di dalam saluran pernapasannya, tidak punya waktu meladeni suara tawa mengejek di sekitarnya.
Dadanya sangat sesak, kesulitan bernapas. Perut juga mulai terasa kram, dan tubuh gemetar.
Keringat dingin menuruni seluruh tubuh.
Serang panik?
'Tidak! Jangan sekarang! Tidak di hadapan semua orang-orang gila ini!' batin Casilda gelisah, dan setiap kali dia memejamkan mata, potongan-potongan orang-orang di sebuah pesta lain muncul di benaknya.
Mulutnya terasa kering, dan sudah merasa mual.
'Tidak! Jangan kenangan itu!' lanjut Casilda membatin, berusaha bangkit dari tumpukan kotak ayam krispi yang ditimpanya. Tapi, setiap kali berusaha bangun, kedua kakinya lemas hingga membuatnya jatuh berkali-kali.
“Kamu pikir dirimu pantas bersamaku? Kamu pikir, karena kamu cantik, maka semua orang akan tunduk kepadamu seperti manusia tak punya otak? Ternyata, kamu ini sangat naif. Aku sama sekali tidak pernah mencintaimu. Hubungan kita hanya main-main saja. Sekarang, aku sudah punya tunangan dan aku sangat mencintainya. Pergi dari sini sebelum kamu mempermalukan dirimu sendiri, wanita bodoh.”
Sebuah suara dan wajah samar-samar seorang pria dalam ingatan Casilda menusuk otaknya dengan cepat.
Membuat tubuhnya menggigil, sorot matanya tiba-tiba menggila penuh kebencian dan amarah.
“Hei! Kamu baru disodori kostum yang cocok dengan dirimu, tapi sudah menampilkan sikap seperti salah satunya. Sungguh menjijikkan!” sindir Arkan, mendekat pada Casilda yang membungkuk di tumpukan kotak ayam tersebut, keningnya bertaut melihat sang wanita tak bergerak sedikit pun dengan kedua tangan mengepal di atas tumpukan kotak-kotak yang penyok.
Dia menang....
Dia menang apa pun yang dia inginkan sekarang!
Pria kejam itu sudah berhasil membuat luka lama Casilda muncul kembali ke permukaan!
Sekarang, satu-satunya yang diinginkan wanita berkacamata ini adalah ingin menghilang dan mati saja rasanya!