Bab 109 Hati Nuraninya Mungkin Sudah Dimakan Anjing

2073 Kata
Ini bab yg diupload ulang. Kemarin babnya bermasalah, perlu clear cache aplikasi oleh setiap pembaca, tapi sepertinya ada yg tdk mengerti dgn clear cache, dan perubahan di aplikasi lambat, jadi saya upload ulang saja. semoga tdk ada masalah lagi. ............ . . . *** WARNING: RATE 21 PLUS *** BIJAKLAH DALAM MEMBACA! SEMUA INI HANYALAH IMAJINASI DAN KARANGAN AUTHOR. YANG J E L E K DAN BURUK, JANGAN DITIRU! MOHON MAAF ATAS KETIDAKNYAMANANNYA! ---------------------------------------------- “BANGUN! JANGAN PURA-PURA PINGSAN!” Raungan marah terdengar menggeram tinggi di kamar mandi mewah sang aktor, dan disertai suara siraman air dingin seember ke wajah Casilda yang sudah ada di dalam bak mandi. Dengan perasaan terkejut dan gemetar dingin, Casilda yang terlihat menyedihkan dengan pakaian robek di mana-mana, akhirnya sadar dari pingsannya. Tentu saja bukan sandiwara seperti tuduhan Arkan kepadanya barusan. Wanita bermata minus berpipi bakpao itu membuka separuh matanya dengan wajah linglung bingungnya, kepalanya masih tergolek lemas dan sekujur tubuhnya sakit bukan main. Belum lagi air dingin yang disiramkan tiba-tiba begitu saja membuatnya menggigil luar biasa. “A-arkan...” lirih Casilda lemah, benar-benar tak berdaya melawan kemarahan pria itu saat ini. Tiba-tiba, tangan besar dan lentik pria itu kembali melingkari lehernya, membuat Casilda tersedak dengan mata terpejam kuat. “KAU KOTOR! SUDAH SEHARUSNYA DICUCI SAMPAI BERSIH!” desisnya gelap dengan mata berkilat tajam penuh kebencian, lantas dengan cepat merobek kembali rok Casilda hingga hanya menyisakan pemandangan memalukan yang terlihat di mata pria itu. Hati Casilda tertusuk perih, tapi tidak bisa berbuat apa pun ketika sang aktor berlaku semena-mena di bawah sana, menyeprotnya dengan shower berkekuatan tinggi seperti tengah mencuci barang kotor yang nodanya sulit dihilangkan. Kesakitan menjalar di antara kedua kaki sang wanita yang duduk tergolek lemah itu, menggigil gemetar luar biasa dengan ekspresi gelisah kepayahan. Bibirnya yang telah kacau oleh keganasan Arkan sebelumnya, kini sudah pucat dan sangat memprihatinkan. “BUKA MULUT!” titah Arkan usai puas dengan kegiatannya di bawah sana, sudah mulai mencecoki Casilda dengan air dari shower, membuat sang wanita tersedak berkali-kali dalam keadaan sangat menyedihkan, mata berair oleh rasa sakit menyiksa di dalam tubuhnya. Aktor tampan ini benar-benar semakin kejam! Tubuh Casilda yang dipikirnya kotor usai menemani tamu di ruang VIP di klub, berusaha mati-matian dibersihkan seperti orang yang sudah terkena mysophobia parah. Wajah Arkan mengganas penuh kekesalan dan rasa jijik. Belum cukup Arkan menyiksanya di bak mandi dengan menyemprot Casilda ke berbagai bagian tubuhnya yang mengganggu di mata pria ini, sang aktor lalu membuka kemejanya sendiri yang sudah berantakan, masuk cepat ke bak mandi super besar itu, dan segera menarik kasar tubuh Casilda agar bersandar telungkup pada tepian bak. “BUKA KAKIMU!” titah Arkan penuh tirani, menggeram penuh kebencian hingga suara mengerikan itu menggetarkan hati Casilda yang menciut takut. Dengan tubuh sudah basah kuyub menyedihkan dan tak berdaya, Casilda hanya bisa megap-megap kesulitan bernapas menerima penyiksaan sang aktor. Dia sama sekali tak pernah menyangka Arkan akan melecehkannya sebrutal ini meski tubuhnya sama sekali tidak menarik di mata pria mana pun. “BUKA! APA KAMU TULI?!” Casilda memejamkan mata, wajah keringat gelisah ketika tangan pria itu memukul pantatnya keras-keras, langsung gemetar gugup merasakan aura mengerikan yang keluar dari tubuh pria di belakangnya, semakin panas dan panas. Dengan keadaan memalukannya itu, Casilda yang gemetar di kedua lututnya, mencoba meregangkan pelan kedua pahanya, dan tentu saja masih dalam posisi memeluk tepian bak mandi. Bibirnya gemetar luar biasa, dan air mata patah hatinya sudah meluruh dahsyat di wajah memerahnya yang berpipi bakpao. Hentakan demi hentakan dirasakan oleh Casilda menerjang tubuhnya, mata dipejamkan erat-erat, bibir bawah digigit kuat-kuat. Menangis tersedu-sedu dalam diam merasakan sakit di hatinya dengan perlakuan kasar dan keji dari sang aktor. “BERDIRI!” titah Arkan lagi, mencoba menarik tubuh Casilda lepas dari tepian bak mandi, tapi tentu saja Casilda yang terlalu lelah tidak sanggup berdiri di kedua kakinya. Kesal karena berpikir Casilda hanya sok lemah, Arkan segera menyentaknya masuk ke dalam pelukannya. Raut wajah galak nan bengis pria itu menatap tajam kepada Casilda yang menangis dengan mata terpejam. Tubuh sang wanita yang susah payah berdiri itu dipeluknya seperti ingin meremukkannya bagaikan kerupuk murahan! Bibir Casilda gemetar, dan samar-samar berkata lirih diiringi isak tangis memilukan: “Aku sangat membencimu... sangat membencimu... kamu biadab...” Melihat Casilda berkata lemah seperti itu dengan wajah sembab menyedihkannya, membuat pria yang hendak melumat lagi bibir sang wanita sampai robek, tertegun dingin di tempatnya. Kedua pupilnya menyusut syok! Casilda menangis sesenggukan parah dalam diam, tubuh terus gemetar hebat. Perlahan, Arkan sang Top Star melunakkan ekspresinya, meringis kelam dengan tatapan terluka di kedua bola matanya. “Kamu yang membuatku terpaksa melakukan semua ini, wanita bodoh...” desisnya tertahan. Ada rasa sakit menusuk hatinya ketika mengatakan itu sembari melihat kondisi Casilda saat ini, mata menyipit dingin dan kejam. Tapi, samar-samar ada kelembutan misterius meliuk cepat di sana. Kemarahannya yang semula meluap-luap, perlahan meredup seiring kedua lengannya memeluk kuat tubuh sang wanita. Perasaan miris dan kesal menggedor hati Arkan hingga terasa isi kepalanya mau meledak begitu saja. Arkan Quinn Ezra Yamazaki memeluk Casilda yang masih sesenggukan dalam diam. Wajah pria ini meringis gelap seiring kekuatan pelukannya diperkuat, seolah-olah takut Casilda hilang begitu saja dari pandangannya. Begitu melepas pelan pelukannya, dagu sang wanita diraih, kemudian memejamkan matanya lembut, wajahnya merendah memenuhi wajah Casilda. Suara cecapan posesif dan liar di kamar mandi ini terdengar sangat keras dan bergema. Dengan perasaan lemah menggelitik hatinya, Arkan yang masih memainkan bibirnya di bibir Casilda melorotkan pelan tubuh mereka berdua ke bak mandi tersebut. Pelukan Arkan semakin kuat dan kuat, dan masih terus melakukan tarian bibirnya yang semakin posesif dan liar tak terkendali. Sementara di sisi lain, air mata Casilda mengalir tiada henti di antara sesak napas dan hawa panas memenuhi wajahnya. “Kamu milikku... milikku... Ratu... Casilda... Wijaya...” lirih Arkan posesif, meringis kelam dengan sorot mata terluka ketika Casilda sudah benar-benar sangat pingsan dalam pelukannya. Begitu menyadari Casilda kini sangat lemas dan keringat dingin, Arkan segera memeluknya kuat-kuat. Ketakutan dan rasa bencinya silih berganti menghiasi wajah tampannya yang berhias keringat berkilauan itu. “Kamu milikku... milikku...” gumam Arkan lagi, lirih dan sangat halus, memejamkan mata dengan perasaan miris, berusaha merasakan jelas tubuh dingin dalam pelukannya yang sudah tergolek lemah tak berdaya. *** Suara bogem mentah terdengar mengerikan di kamar sang aktor. “Apa kamu masih manusia?! Hati nuranimu sudah dimakan anjing, ya?!” bentak dokter Ken marah, sudah mendidih begitu mendengar pengakuan Arkan tanpa ada yang disembunyikan darinya. Arkan sang Top Star hanya diam saja dengan mata setengah hampa menatap lantai. Wajahnya yang sudah berhias beberapa luka lecet gara-gara kejadian di klub beberapa jam lalu, kini bertambah dengan pukulan dari sang dokter. Sialnya, masih saja keren! Yang dikatakan oleh dokter Ken mungkin benar adanya, dia sudah bukan manusia lagi. Wanita gendut itu sudah menyulapnya menjadi iblis sejak bertahun-tahun lalu. Apa perlu dia juga menceritakan perbuatan jahat dan keji wanita itu kepadanya agar tahu alasannya melakukan semua ini? Sang aktor tenggelam lama dalam pikirannya, antara menyesal dan tidak menyesal sudah menyiksa Casilda dengan sangat tidak manusiawi. “Kamu pernah bilang tidak menyiksanya, lantas apa yang sekarang kamu lakukan kepadanya, hah?! Apa kamu ingin membunuhnya saking membencinya? Ke mana jiwa doktermu, Arkan Quinn Ezra Yamazaki! Apa kamu sudah lupa dengan sumpahmu itu?!” Dokter Ken meraih kerah rajut wol putih sang aktor, menatapnya berang dengan ekspresi jijik. Sang dokter tahu kebiasaan Arkan yang adalah playboy super dengan skandal di mana-mana selama ini, tapi tidak menyangka dia hampir menjadi seorang pemerkosa. Untungnya, hal mengerikan itu tidak terjadi seperti bayangannya. Ketika Arkan mengakui semua perbuatannya demi kepentingan pemeriksaan total Casilda, sang aktor menjelaskan kalau meskipun dia sangat bernafsu dan marah hingga gelap mata, dia tidak melakukannya sampai akhir. Entah saat itu ingin membuat Casilda menderita dengan cara lain, atau karena hati nuraninya masih menekan keragu-raguannya sehingga hanya melakukan metode menggesek yang kasar dan bringas kepada asisten pribadinya itu. “Sebenarnya... aku... sempat memasukinya sedikit... satu per tiga... tapi... dia keburu pingsan...” akunya lemah berbisik seiring mengingat kembali perbuatan kejinya di dalam mobil. Kejadian melihat Casilda yang tiba-tiba pingsan tergolek lemas saat itu, membuat hatinya gugup dan langsung kehilangan desakan biologisnya, persis seperti mangkuk yang dibalik begitu saja. Padam dengan sempurna. Makanya dengan amarah dan perasaan bergejolak di dalam dirinya, mereka pulang ke mansion dengan cara mengemudi gila-gilaan. Hal yang membuat Arkan kumat ketika tiba di mansion adalah saat Casilda di tengah jalan akhirnya perlahan tersadar, dan mulai bergumam lemah menyebutkan nama adiknya berkali-kali dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Membuat otak Arkan langsung terpanggang hebat! Arkan pikir, itu adalah nama dari pria lain yang sudah digodanya juga di klub, maka amarah yang sempat reda langsung terpicu kembali. Alhasil, semua kemarahannya yang bertumpuk membuatnya langsung menyiksa Casilda untuk kesekian kalinya. Berpikir negatif kalau pingsannya di mobil itu hanyalah sandiwara agar dia mau melepaskannya. Kontan saja dengan pemikiran bodohnya itu, membuat Arkan yang marah semakin menjadi-jadi. Keinginan untuk menghancurkan Casilda agar tidak dimiliki oleh pria mana pun, membakar aliran darahnya hingga dia sangat kesal melihat sikap lemahnya yang dicap pura-pura semata. Apalagi air mata Casilda yang menyebalkan kala itu! Sementara perbuatan Arkan memasukkan sang asisten pribadi ke dalam bak mandi sebelumnya, dipicu karena tidak suka melihat Casilda pura-pura menyedihkan dan lemah di matanya. Hal semacam itu, entah kenapa selalu membuat sesuatu dalam hatinya seolah-olah tertusuk duri, membuat dendam dan kebenciannya seolah digoda untuk runtuh. Dokter Ken menghela napas berat, mengusap wajahnya menggunakan kedua tangan. “Amarah yang bikin orang gelap mata memang selalu bikin akal sehat menjadi bodoh!” gumam sang dokter putus asa, lalu menoleh ke arah ranjang besar Arkan di mana Casilda sudah terbaring dengan infus dan plester kompres demam. Wanita berpipi bakpao itu lagi-lagi mengalami demam hebat sampai-sampai dokter Ken yang mendapatinya lagi untuk kesekian kalinya, menyarankan Arkan untuk membawanya ke rumah sakit kali ini. “Dia... tidak akan kenapa-kenapa, kan?” tanya Arkan berbisik lirih, bulu matanya bergetar sendu, terlihat murung dan suram. Terus menatap ke arah lantai. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Dia ingin menyesal dengan perbuatannya kepada Casilda, tapi tiap kali kemarahannya akan perbuatan dan sikap genit wanita itu selalu menguji kesabarannya, kontan saja membuat hatinya sedingin es dan gelap bagaikan malam yang pekat. Perasaan rumit ini belum pernah dialaminya seumur hidup. “Masih bertanya lagi kepadaku seperti itu? Dasar kamu memang super berengsek!” Dokter Ken langsung meninjunya lagi, tapi Arkan tidak melawan sedikit pun. Wajahnya hanya miring mengikuti arah pukulan sang dokter. “Bukannya kamu juga adalah seorang dokter? Kenapa memukulku setelah berkata seperti tadi?” sindir Arkan lemah, hendak mendebatnya, tapi malah terdengar tidak bersemangat dengan mata terus mengarah ke lantai. Dokter Ken menggertakkan gigi gemas, lalu menghela napas sembari menepuk jidatnya pasrah. 'Ya, ampun... jangan bilang playboy ini benar-benar tergila-gila kepada Casilda... karmanya sungguh keras kalau begitu!' batinnya dengan perasaan tercengang, tapi merasa sangat kasihan kepada Casilda dengan sikap posesif tidak masuk akal sang aktor. Lewat tengah malam, Arkan dan dokter Ken akhirnya membawa Casilda untuk dirawat ke rumah sakit. Dengan khusus, dia pun ditempatkan di kamar VIP di mana sang aktor kini sudah duduk bersandar lesu di dekat ranjang pasien, menatap Casilda dengan wajah termenung suram. Calon suami? Dia punya calon suami? Bagaimana mungkin dia semudah itu pergi dari sisinya setelah sekian tahun berhasil berada dalam genggamannya sekarang? Arkan meringis gelap dengan wajah terluka, mata terpejam mengingat kejadian di masa lalu saat dirinya masih cupu dan terlihat jelek di mata semua orang. Belum lagi sifatnya yang lembut gemulai seperti wanita, membuat orang-orang di sekitarnya suka mengolok-ngoloknya sebagai anak aneh dengan orientasi kelainan seksual sejak kecil. “Ya, ampun! Kamu tidak apa-apa?” Wajah Casilda yang masih cantik dengan tubuh langsing sempurnanya muncul di benak pria ini. “Sini! Aku bantu! Lain kali hati-hati, ya, kalau jalan! Lututmu berdarah? Ayo, aku obati dulu! Kebetulan aku punya banyak plester luka!“ kekeh Casilda ramah. Suara Casilda yang sangat merdu dan lembut dengan kejernihan bagaikan denting piano itu melintas cepat dalam benaknya, teringat kekehan lembut dan senyum Casilda bak peri kecil penyelamatnya di saat semua orang jijik untuk mendekat. Mungkin saat itulah dia jatuh cinta kepada Casilda pada pandangan pertama. Satu-satunya manusia yang tidak segan dan jijik untuk berbicara dengannya, memperlakukannya layaknya manusia normal pada umumnya. Semenjak pertemuan kecilnya dengan Casilda, sosok cantik itu sulit lepas dari pikirannya. Dia pun dengan bodoh dan lugunya selalu mengekorinya, baik diam-diam maupun secara terang-terangan. Arkan menghentikan kilas ingatan di masa SMA-nya yang terbilang sangat menyedihkan dan suram itu, tangan kanannya menutupi kedua matanya dengan perasaan rumit. “Kamu milikku, Casilda... Milikku satu-satunya...” bisiknya lirih nan lemah di ruangan hening itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN