Bab 7 Angsa Yang Terkutuk

1600 Kata
“Tuan aktor! Hentikan! Apa yang kamu lakukan?” Casilda menggelengkan kepalanya menghalau tangan Arkan, tapi pria itu malah mengelus lembut tanda lahirnya dengan tatapan aneh. Bulu kuduknya meremang! “Lepaskan! Jangan aneh-aneh! Aku akan menggigitmu jika berlaku tidak sopan, ya!” Arkan mendengus geli, memajukan wajahnya dekat sekali dengan seringai licik. “Apa kamu masih punya rasa percaya diri setinggi langit dengan fisik seperti ini?” “Apa?” “Biar aku bantu ingatkan dirimu, Ratu Es,” terangnya pelan berbisik jahat. Tersenyum dengan seringai tanpa belas kasih. “Aku adalah salah satu pria yang kamu tolak dan hina dengan kejamnya, dan lihat sekarang dirimu yang menyedihkan ini. Kamu sudah tak seindah dulu lagi. Kamu adalah angsa yang terkutuk.” Casilda tertegun kaget. Syok mendengar hal itu. Jadi dia adalah salah satu dari banyaknya pria yang dulu ditolaknya dengan gaya yang begitu angkuh dan sombong? Perempuan ini memucat. “Bagaimana? Sudah ingat?” sudut bibir Arkan tertarik miring. Sayangnya, Casilda sama sekali tidak bisa mengingat siapa dia. Mau bagaimanapun dia berusaha mengingatnya, di masa lalu, terlalu banyak pria yang sudah diinjak-injak perasaannya saat dirinya masih bersinar dan berkilau bagaikan bintang di langit malam yang tinggi. “Ma-maaf. Terlalu banyak pria yang menyatakan cinta kepadaku saat itu, aku tidak bisa mengingatnya satu per satu.” Hening. Casilda memucat. Apakah dia akan balas dendam kepadanya sekarang? Terulang kembali dalam ingatannya tentang sikap buruknya kepada semua pria yang telah menyatakan cinta untuknya di masa lalu. Saat itu, dia pasti akan menolaknya dengan ejekan dan hinaan serta tak segan-segan mempermalukannya di depan umum. Kini, Ratu Casilda Wijaya menyesali semua kesombongan dan kebodohannya itu. Hidupnya saat ini mungkin adalah buah kutukan karena sudah berbuat buruk seperti itu di masa lalu. Bahkan kisah percintaannya pun berakhir tragis hingga dia tak peduli lagi dengan yang namanya cinta dan penampilan indah. Arkan tertawa sinting mendengar pengakuannya. “Terlalu banyak pria?” sinisnya, tangan kanan meraih dagu Casilda, lalu menatapnya dengan mata berkilat berbahaya, “lalu, apa kamu juga lupa dengan orang yang kamu tolak dengan cara menghinanya di hadapan semua murid dan menyirami kepalanya dengan es kelapa di siang hari bolong?” 'A-aku dulu begitu? Aku sekejam itu, kah, di masa lalu? Kenapa aku begitu sampah?' batin Casilda, bertanya-tanya dalam hati dengan perasaan bingung, kesal terhadap dirinya yang dulu. “Sudah ingat?” “Ma-maaf,” ucapnya dengan wajah menggelap muram, sedikit terdengar mencicit takut. “Aku benar-benar lupa siapa dirimu....” “Apa?” Arkan syok dan marah di saat bersamaan. Pria itu sampai terdiam kehilangan kata-kata. “Tolong!” kata Casilda lambat-lambat dengan wajah memelas, suaranya gemetar,”kalau kamu memang salah satu dari pria yang kutolak dengan sangat tidak manusiawi, aku benar-benar minta maaf. Aku sadar, aku yang dulu memang sangat keterlaluan.” Kembali Arkan tertawa sinting, menyeringai sangat menyeramkan di wajah dingin tampannya. “Kamu baru sadar setelah jatuh seperti ini? Ratu Casilda Wijaya. Kamu benar-benar tahu cara mempermainkan orang, ya?!” Casilda tidak terima mendengar tuduhan sang aktor. “Semua manusia tidak pernah luput dari dosa! Aku bukan manusia sempurna! Aku, kan, sudah minta maaf! Itu juga sudah lama berlalu! Sekarang kamu bahkan sudah berada di puncak, bukan? Untuk apa melihat masa lalu yang tak ada artinya?” Gerakan tangan Arkan sangat cepat, membuat Casilda tertegun kaget hingga sulit bernapas! Pria berjubah mandi ini menjadi lebih kasar, ekspresinya berubah kejam dan memikat disaat yang sama. Tangan kanannya mencekik leher Casilda. Kegilaan anggun bermain di kedua bola matanya, berbisik pelan sambil mendesis jahat dan dingin: “Tak ada artinya?” Dengan tangan bebas satunya, Casilda berusaha melepas tangan Arkan dari lehernya, dia megap-megap kehabisan napas, tenggorokannya tersakiti! “Le-lepas!” gagap Casilda, suaranya menjadi aneh mencicit, dia memukul-mukul tangan pria itu lalu menggapai-gapai bagian depan jubah mandinya, mencengkeramnya dengan gerakan acak. Rasa panik menyerbunya! “Apa kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan dengan satu kalimat dari mulut berbisamu itu?” desis Arkan menggeram tertahan, baik suara maupun wajahnya tergurat kebencian yang sangat kuat dan begitu dalam. Casilda membeku. Guncangan psikologis menerjangnya bagaikan gulungan ombak tsunami. Apa yang sudah dikatakannya di masa lalu, sih, sampai dia mendapat perlakuan kasar seperti ini? “A-aku mi-minta maaf. To-tolong ma-maafkan aku,” pintanya dengan air mata mulai mengisi sudut-sudut matanya. Dia benar-benar kesulitan bernapas! Arkan seketika sadar ketika melihat wajah memelas penuh derita perempuan itu, dia melepas cekikannya, dan bangkit dari tubuh Casilda. “Kamu pikir kata ‘maaf’ bisa memperbaiki segalanya?” ucapnya dingin. Dalam hati, pria ini panik dengan apa yang baru saja diperbuatnya barusan, tapi dia berhasil menyembunyikannya dengan baik melalui tatapan dingin di wajah indah tak manusiawinya. Casilda bangkit duduk di atas kasur, dia mengelus lehernya, terbatuk-batuk kecil. Sebelah matanya ditutup menahan sensasi efek yang ditinggalkan akibat cengkeraman Arkan di lehernya. “Aku... benar-benar minta maaf,” ucapnya menatap pucat ke arah Arkan. “Aku tahu diriku seperti apa di masa lalu, tapi, bagaimana pun juga itu adalah masa laluku yang buruk. Aku tidak seperti itu lagi.” “Heh! Tentu saja. Siapa yang mau dengan dirimu saat ini?” ledeknya dingin, menyilangkan tangan, kepala dimiringkan dengan cemoohan jijik di wajahnya. Arkan Quinn Ezra Yamazaki merasakan kepuasan dalam hatinya mengetahui perempuan yang begitu sombong dan pernah menolaknya kini hidup dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Jika dilihat, bisa ditebak dengan mudah kalau hidupnya kini sangat berantakan dan kesulitan uang, padahal dulu perempuan itu terkenal sebagai anak manja dengan sejuta pesona mematikan dari keluarga yang sangat kaya raya. Tubuh indah semampai bak seorang supermodel, wajah cantik tak tertandingi, dan pesona yang mampu membius semua pria hanya dalam sekali gerakan. Siapa yang menyangka dia sudah jadi bola jelek seperti itu? Casilda menekuk wajahnya muram, merasa terhina tapi tak bisa membantah. Faktanya itu benar adanya. “Walau aku tidak ingat apa yang sudah aku perbuat kepadamu, juga tak mengingat siapa dirimu, tapi sekarang itu semua sudah berlalu. Kamu sudah sangat terkenal, bisa mendapatkan wanita manapun yang kamu sukai. Hidupmu sudah sangat menyenangkan dan bahagia sekarang. Sama sekali tak ada kekurangan. Membahas masa lalu denganku hanya akan merugikan waktumu saja. Jadi, aku mohon lupakan saja semuanya.” Casilda meraih kacamatanya, memakainya dengan perlahan dan hati-hati. Apa yang dikatakan oleh perempuan itu memang benar adanya, tapi ada rasa tidak rela menggema di dadanya. Dia mengeraskan eskpresi wajahnya, bertanya dengan nada penasaran: “Aku tidak menyangka kamu akan menjadi sebijak ini. Apa yang terjadi denganmu? Apa kamu sudah mendapatkan balasan atas semua dosa-dosamu yang keji itu?” Arkan tertawa mengejek dengan seringai lebar menawannya. Casilda terdiam, hatinya tenggelam. Ya. Mau bagaimanapun dirinya diperlakukan olehnya, dia memang pantas mendapatkannya. Dia yang dulu benar-benar sangat kasar dan semena-mena karena memiliki otak yang cerdas, cantik, tubuh semampai, populer, bahkan dari latar belakang keluarga sangat berada. Bisa dibilang dirinya adalah Ratu Es dengan segala kuasanya. Berkat segala hal yang dimilikinya, tak ada yang berani melawan atau menegurnya dengan segala sikap buruknya yang suka menghina dan menginjak-injak perasaan pria manapun yang menyatakan suka kepadanya. Namun, balasan yang didapatnya saat ini, tidakkah terlalu berlebihan? Keluarganya jatuh miskin, dan kini dia menjalani kehidupan yang sangat pas-pasan, bahkan mungkin lebih tepatnya jauh di bawah garis kemiskinan jika saja tak ada bantuan dari beberapa orang yang kasihan dengan mereka sekeluarga. “Kenapa diam saja?” “Aku rasa, aku tak punya kewajiban menjawab hal itu.” Casilda turun dari ranjang, dan meraih ponselnya yang terjatuh di lantai. Sementara perempuan berkacamata tebal ini hendak memeriksa ponselnya, Arkan meraih uang yang ada di atas kasur. “Kamu pikir bisa semudah itu melarikan diri dari perbuatanmu? Apa kamu gila? Kamu pikir kata-kata ‘maaf’ bisa menyelesaikan semuanya meski sudah berlalu? Begitu?” sindir Arkan dingin. Casilda yang berlutut memunggungi Arkan di lantai membeku dengan perasaan tak nyaman. Ketika perempuan ini berdiri dan berbalik menghadap ke arahnya, dia melihat pria itu menatapnya dengan penuh kebencian, berkata tajam tanpa perasaan sambil melempar uang p********n pesanannya ke lantai dengan dinginnya: "Namamu saja yang mengandung Ratu, tapi kamu hanyalah Ratu palsu! Sekarang, bukankah meja sudah terbalik? Ambil uangnya dan pergi dari hadapanku! Dasar Jelek!" Suara hamburan uang di udara terdengar tajam menusuk gendang telinga sang wanita. Lembaran uang yang di lempar itu sebagian besar berhamburan di lantai, dan sisanya masih terbang ke langit-langit. Hal itu dilakukan pria ini tepat di depan wajah Casilda. “KAMU!” Casilda mengepalkan kedua tangannya di kedua sisi tubuhnya, menggigit gigi marah. “Pergi!” ucap Arkan pelan dengan nada berbisik angkuh dan penuh ancaman, kepala dikedikkan dingin ke arah pintu sembari melipat tangan di dadanya. Wajah Casilda tercoreng malu dengan hinaan tersebut. Jika karena bukan masalah darurat dari rumah sakit, Casilda pasti sudah menjambak rambut pria itu sampai botak! Dengan perasaan menahan kesal, Casilda memungut cepat uang yang berserakan, bergegas keluar dari kamar mewah sang pria. Dalam hati, perempuan ini menangis menahan malu. Arkan menatap kepergian Casilda dengan wajah sulit untuk ditebak, masih dalam pose melipat tangan di dadanya, sebuah gaya arogan khas miliknya. Di lantai bawah, Casilda tidak sengaja bertubrukan bahu dengan seseorang “Maaf!” seru Casilda kepada orang yang ditabraknya, tak berani menaikkan wajah, semakin mempercepat langkah kaki meninggalkan mansion sang aktor. “Hei!” Pendengaran Casilda mengabur, tak peduli dengan suara teguran di belakangnya. Dia bergegas memutar kunci mobil, berlalu cepat pergi dari tempat yang dirasanya bagaikan neraka instan itu. “Kak Abian? Sudah bertemu dengan pengantar ayamnya?” tanya wanita bertopi baseball yang menemani Casilda sebelumnya kepada seorang pria berkemeja hitam lengan panjang dan jeans senada. “Sepertinya dia terburu-buru. Dia menabrakku keras sekali,” kekeh Abian, tersenyum dengan wajah tampannya, segar dan ceria. “Oh, begitu.” Di lantai atas, pada pagar kaca, Arkan mengamati keadaan di bawah sana dengan ekspresi super dingin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN