Casilda berjalan terburu-buru melewati lorong rumah sakit, dia segera mencari dokter yang menangani adiknya.
Sebenarnya, dia ingin sekali melihat kondisi adiknya lebih dulu, tapi jadwal operasi lebih diutamakan.
Seorang perawat kenalannya menyapa dengan sopan ketika memasuki tempat berbau desinfektan itu.
Jika dia bisa menilai dari sikapnya, maka sudah pasti tidak ada masalah terhadap adiknya, kan, di ruangan khusus itu?
Kalau ada masalah, dia pasti mendekat dan bertanya banyak hal dengan wajah pucat mencurigakan sambil menenangkannya. Tapi, sang perawat hanya tersenyum seperti biasa ketika dia datang berkunjung.
“Dokter Adam, ada? Dia masuk shift, kan, hari ini?” tanya Casilda, mencoba menahan diri dengan berbagai macam gejolak emosi di dadanya.
“Iya. Tunggu sebentar di ruang tunggu, ya. Nanti aku sampaikan ke beliau, soalnya sedang memeriksa rutin pasien di beberapa kamar. Kebetulan dokter Adam juga memberikan pesan kalau kamu datang, untuk segera bertemu dengannya. Jangan khawatir, sepertinya bukan masalah serius. Adikmu masih seperti terakhir kali kamu mengunjunginya.”
Casilda mengangguk patuh dalam diam. Berjalan pelan menuju kursi tunggu. Duduk di sana begitu sopan dengan hati deg-degan.
Dia tidak mau memikirkan soal Arkan. Saat ini, dia hanya bisa memikirkan kondisi adiknya yang akan segera dioperasi.
Wanita yang kini sudah berganti pakaian dengan kemeja hijau gelap dilipat sebatas lengan, dan rok biru bunga-bunga ini, menundukkan kepalanya sambil memainkan kedua tangannya di atas tas kecil cokelatnya. Rambutnya yang berantakan hanya diikat seadanya hingga terlihat manis dengan poni membingkai wajah pipi bakpaonya.
Dia memang salah sudah kabur dengan cara heboh dan menyusahkan banyak orang, tapi pria sialan itu tidak memberikannya pilihan!
Grrr!! Wanita ini menggertakkan gigi marah, mata menajam seolah ingin merobek sang aktor. Lalu, dia pun menghembuskan napas berat, kedua pipinya merona kecil, ekspresi melunak.
Kenapa hidupnya begitu sial?
“Untung ibu baik-baik saja,” gumamnya pelan berbisik kepada diri sendiri.
Sayang sekali, Casilda belum tahu kalau pertemuannya dengan Arkan sang Top Star hanyalah awal dari nasib sialnya yang akan datang bertubi-tubi.
Wanita yang tengah menyandarkan kepalanya sambil menatap langit-langit polos ruang tunggu bangsal ini, tidak akan menyangka bahwa kehidupannya yang sederhana dengan penuh kerja keras di dalamnya, akan berubah menjadi sebuah neraka penuh ujian mental dan fisik, penuh rahasia, gelap, dan menyakitkan hati, serta banyak skandal di dalamnya.
Begitu pula Arkan sang akktor, tidak menyadari dia sudah salah memilih wanita untuk dijadikan mainan seru dan aksi balas dendamnya. Karena, seperti kata-kata orang dulu: apa yang kamu tanam, itulah yang kamu tuai.
Rasa sakit hati, kecemburuan, pertengkaran, patah hati, dan juga berbagai intrik sudah menunggu kedua manusia yang sedang saling memikirkan di waktu yang sama, tapi beda tempat ini.
Sementara Casilda menunggu di bangsal itu, di sisi lain, di mansion mewahnya, Arkan duduk melipat kaki dengan angkuh di sofa. Sudah berganti pakaian dengan rajut wol putih lengan panjang dan celana panjang senada.
“Apa-apaan kamu ini? Sejak kapan suka marah sampai menghancurkan barang?” bentak Lisa dalam suara rendah tertahan, duduk di seberang meja dalam dress selutut berenda warna pastelnya. Kedua tangan mengepal di atas pangkuan melihat ketidakberesan calon suaminya yang semakin menjadi.
Namun, Arkan yang sudah menahan amarah di dalam hatinya memikirkan kaburnya Casilda, menatapnya dingin dan malas, berkata tidak tertarik: “Untuk apa datang ke mari? Bukannya kamu ada pemotretan hari ini?”
Lisa tertohok mendengar penolakan itu. Belum lagi terakhir kali mereka bertemu, dia sudah membuat pria itu marah besar sampai terlihat kehilangan minat kepadanya. Sekarang, dia jauh lebih dingin, memberi jarak di antara mereka berdua.
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Apa yang membuatmu marah sampai harus melakukan hal-hal tidak masuk akal begini? Apa kamu sangat marah kepada orang yang kamu hukum di pesta topeng itu?”
“Itu bukan urusanmu,” potong Arkan cepat, dingin dan tajam, memiringkan kepalanya angkuh.
Dalam hati pria ini, dia harus bisa menahan emosi agar tidak melampiaskannya kepada Lisa sang tunangan. Dia adalah putri dari keluarga terpandang, kalau terjadi pertengkaran dan masalah di antara mereka, rasanya malas harus berurusan dengan orang-orang seperti itu.
“Apa maksudmu ini bukan urusanku? Sebentar lagi kita akan menikah, bukan?!” sergahnya ngotot, memajukan tubuhnya ke depan, menatapnya nanar. Lisa mulai terlihat kalut kepada pria di seberang meja, takut tiba-tiba pertunangan mereka dibatalkan secara sepihak.
Tidak bisa!
Mereka tidak boleh berpisah!
Arkan adalah hidupnya!
Semua wanita yang mencoba memisahkannya dengan pria itu, pasti akan dihancurkannya kali ini! Dia tidak akan berbaik hati lagi! Apalagi menahan diri!
Arkan mendecakkan lidah, berdiri dengan sangat arogan dengan kening ditautkan marah, “kalau kamu benar tunanganku. Maka tahu diri sedikit. Kita berdua belum resmi menjadi pasangan suami-istri, tapi kamu sudah mau mengaturku? Memerintahku? Ingat kejadian makan malam itu? Aku tidak menyukai orang yang mengusik privasiku.”
Lisa meringis suram mendengar ucapan dingin Arkan, kedua tangan mengepal meremas dres di pangkuannya.
Arkan melanjutkan, “jangan sampai lupa. Pertunangan kita ini, pada dasarnya adalah kontrak bisnis. Kita berdua membutuhkannya demi keuntungan masing-masing. Ada cinta atau tidak di antara kita, rasa itu bertahan atau tidak. Aku tidak ingin memikirkan hal rumit seperti itu saat ini.”
“Arkan!”
Lisa berdiri dengan wajah gelap menahan amarah, pandangannya menunduk sangat terluka, melanjutkan: “Kamu bilang, kamu akan mencoba mencintaiku! Kamu bilang, kita berdua bisa menjadi pasangan yang sempurna!”
Arkan mendengus geli. Pandangannya meremehkan.
Dia sudah sangat murka dengan Casilda. Sekarang, ada lagi yang membuat hatinya jengkel?
“Lisa, kamu tahu benar tujuan pertunangan kita ini apa, kan? Kamu sungguh percaya dengan semua ucapanku? Aku? Playboy ini? Kita berdua tahu kalau kebiasaanku berkurang karena kewajiban pernikahan bisnis ini, dan demi keuntungan kita berdua semata.
Cinta? Aku alergi dengan hal semacam itu. Seharusnya kamu yang paling tahu hal itu tentangku. Heh! Aku lelah berpura-pura dan akting menjaga perasaanmu, sementara kamu sendiri begitu egois. Aku sibuk, lain kali saja kita bahas hal ini.”
“ARKAN!!!” pekik Lisa, menjerit hampir gila. Sorot matanya kacau, gemetar sekujur tubuh.
Dia tidak mau mengakui kalau perhatian yang diberikan oleh Arkan kepadanya selama ini hanyalah didasari oleh kontrak bisnis kedua keluarga semata!
Dia sudah susah payah menjadi wanita yang membanggakan untuknya! Tidak memiliki kekurangan apa pun! Bagaimana bisa pria ini berkata kejam seperti itu?!
Arkan tidak memedulikannya, berjalan mengitari sofa, hendak naik ke lantai atas.
Lisa tidak mau meninggalkan hal ini begitu saja. Sangat berantakan!
“Maafkan aku! Aku sungguh minta maaf! Jika kamu masih marah soal pesta topeng itu, aku tidak akan melakukannya lagi! Aku janji! Dan itu hanya satu-satunya yang aku lakukan selama ini! Aku tidak pernah menyuruh detektif atau apa pun itu untuk mengusik kehidupan pribadimu!”
Arkan menghempaskan pelukan kedua lengan sang wanita pada lengan kanannya, menatapnya kelam, “jadi, kamu ada pikiran seperti itu kepadaku? Kalau memang tahu aku orang yang seperti apa sejak awal, tidak seharusnya menerima perjodohan ini, bukan?”
Lisa menggeleng cepat, sudah semakin hampir kehilangan akal dengan rasa takut Arkan berpaling darinya secara tiba-tiba.
“Aku tidak melakukannya! Soal pesta topeng itu, aku tahu aku salah! Tapi, aku melakukannya karena mencemaskanmu yang berubah akhir-akhir ini!” terangnya menelan saliva gugup, wajahnya gelisah hebat. Pupilnya mengecil, dan bergetar panik.
Arkan dingin.
Sangat dingin sampai dia merasa sang aktor bisa saja dengan mudahnya mengatakan detik ini akan membatalkan pertunangan karena emosi sesaat.
Sialan! Apa yang membuat prianya berubah tidak masuk akal dan seperti orang lain begini?
Arkan mendengus kesal, menyipitkan mata, “lalu apa? Setelah kamu punya mata-mata di mansion ini, kamu pasti tidak akan puas dalam waktu dekat, bukan? Kemudian, untuk menutupinya, akan menyewa detektif atau sejenisnya agar membuatmu menjadi tenang kembali. Rasa tidak amanmu itu sudah pasti akan semakin menjadi-jadi setiap menilai ada yang berlaku terlalu baik atau terlalu mulus. Kamu menjadi paranoid dan tidak masuk akal. Aku tidak suka wanita menyusahkan semacam itu.”
Lisa terdiam, membeku kaget.
Mata gugupnya bertemu dengan Arkan, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari tenggorokannya selama beberapa saat.
Arkan memejamkan mata lelah detik berikutnya, bagaimana pun juga dia tidak boleh membuat wanita itu mengamuk.