“Saya tahu, saya terlambat, Tuan Arkan! Tapi, kan, saya sudah menelepon Anda berkali-kali! Juga sudah mengirim pesan kepada Anda! Satu pun tidak ada yang mendapat respon sama sekali!”
Casilda terpaksa bertatapan mata dengannya. Jarak wajah mereka benar-benar sangat dekat. Jantungnya bertalu kencang, yang perempuan ini yakini pasti pria sombong nan jahat ini merasakannya. Tambah buruk sudah penilaian pria itu padanya sebagai wanita tidak tahu malu.Tapi, sepertinya bukan itu perhatian Arkan saat ini.
“Untuk apa menghubungiku? Bukankah aku sudah memberi kalian alamat lengkapnya?” sebelah keningnya naik, sedikit berpikir karena memang sejak tadi dirinya belum sempat memeriksa ponselnya saking menikmati menyiksa wanita di atas tubuhnya ini.
“Saya ada masalah dengan pengantarannya tadi, makanya ingin memberitahu Anda! Saya sudah ada di sini sebelum pukul 11 pagi, tapi Anda pasti tidak akan percaya, kan?”
Casilda masih berjuang melepaskan dirinya dari cengkaraman pria itu, tidak hentinya tubuhnya gemetar dingin, sangat takut ada yang salah paham dengan keadaan mereka sekarang, sama seperti saat di ruangan kosong di panti asuhan sebelumnya.
Masih untung yang melihat mereka saat itu hanya anak-anak, kalau orang dewasa, bagaimana? Lalu, jika tukang gosip, bagaimana?
Bukan hidup Arkan yang akan hancur, tapi malah hidupnya!
Arkan terdiam, mengamatinya sejenak dengan kepala dimiringkan angkuh.
“Jadi, kamu berbohong soal kena macet itu? Ah... rupanya kamu tukang bohong juga, ya? Tidak kusangka kamu jadi serendah ini setelah bertahun-tahun telah berlalu. Padahal dulu kamu sangat begitu menilai tinggi dirimu dibandingkan yang lain.”
“Apa yang kamu bicarakan?! Tolong lepaskan saya dulu! Kalau ada yang lihat, saya bisa dalam masalah besar!” ucapnya dengan gigi digertakkan, kecemasan meliuk di bola matanya. Ekspresi Casilda antara mau marah dan menangis.
Sayang, Arkan hanya mendengus geli, malah semakin menarik tubuhnya ke dalam pelukannya, lalu sebelum mengatakan kalimat yang membuat hati Casilda panik, senyuman jahat yang lebih dalam terpatrit di wajah pria ini.
Casilda punya firasat buruk, mata mengedip tidak percaya.
“Kamu menindih tubuhku dengan tubuh penuh lemakmu ini, sekujur tubuhku ini sudah diasuransikan, kalau aku melaporkannya, apa yang terjadi?”
Tangan Arkan satunya menepuk-nepuk keras punggung Casilda, tampak cuek dan santai seperti tengah menepuk bantal.
“A-apa?” napas Casilda tertahan, mata membesar takut.
“Sifat mesummu, penyerangan fisik, merusak jadwal dengan sengaja, tukang bohong, berkata kasar, dan yang paling utama adalah menyentuh tubuh tunangan wanita lain. Kira-kira kalau masuk penjara berapa lama? Denda berapa juta? Sepertinya kamu ingin sekali, ya, berurusan dengan polisi?”
Hati Casilda mencelos dingin.
Tubuhnya kini lemas bagaikan agar-agar yang rusak, mencair dan lembek.
“Kamu jangan keterlaluan, Arkan!” ucap Casilda dengan wajah serius, sudut-sudut matanya memanas, dadanya kembang kempis oleh amarah yang ditahan sekuat tenaga oleh permainan kejam pria itu padanya.
“Ah... akhirnya sudah tidak bicara formal padaku?”
Mata dingin dan jahat itu merendah lembut dengan sindiran kuat, menyeringai di salah satu sudut bibir tipisnya, berkata lagi, “sepertinya mulutmu bermanis-manis padaku gara-gara ada perlu yang benar-benar mendesak dan penting. Apa sudah tidak perlu lagi?”
“A-aku— I-itu! Arkan! Kamu salah paham!”
Belum sempat Casilda meluruskan kalimatnya, Arkan memotongnya: “Biar aku tebak, apa kamu yang miskin ini mau pinjam uang?”
Tubuh Casilda menegang hebat, langsung menjadi jawaban tanpa kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Dengusan remeh penuh hina terdengar dari sang pria, melepas tubuh Casilda dengan cara dihempaskan kasar, membuat Casilda jatuh terduduk di tanah seperti orang bodoh.
Cara jatuhnya sangat keras!
Syok, Casilda kehilangan kata-kata menatap tanah berumput di bawahnya.
Arkan duduk dengan kedua kaki dilebarkan dalam pose jantannya, bertopang dagu di salah satu paha. Dengan dingin menatap jijik dan rendah ke arah Casilda yang tertunduk salah tingkah di depannya.
“Kenapa tiba-tiba diam?”
Pandangannya ditegakkan ke arah pria di depannya, dengan tawa lemas dan mata mengedip sedih, Casilda menjelaskan, “kamu sudah tahu, kan, tanpa aku jelaskan? Niatku pasti mudah terbaca olehmu. Apakah karena itu kamu mempermainku sejauh ini? Benar. Aku ingin bertemu dan bicara empat mata denganmu karena ingin membahas hal itu. Aku ingin minta tolong padamu.”
Arkan terdiam dingin, menatapnya begitu malas.
Casilda gugup mendapat tatapan seperti itu, membuatnya tidak nyaman.
“Hmmm....” mulai Arkan dengan suara berat dan dehaman berpikir, mata itu seperti sudah menilainya dengan cepat. “Aku sudah sering melihat kelakuan orang sepertimu. Tapi, tidak kusangka kalau salah satu orang itu adalah dirimu, orang yang sangat kubenci dan tidak tahu malu.”
Sudut bibirnya terangkat, indah dan mengintimidasi, mata malas itu kini seperti tidak ada minat padanya. Perpaduan itu membuat pria ini terlihat sangat seksi dan menawan. Namun, bagi Casilda yang sama sekali tidak tertarik lagi pada pria bervisual indah, tidak memikirkan hal ini, malah sibuk memikirkan adiknya. Takut kalau Arkan tidak mau meminjamkannya uang, apalagi membayar sisa uangnya dan uang pesanan kedai dengan alasan dibuat-buat.
“Eng... kamu akan tetap membayar sisa uangku dan kedai itu, kan?” tanya Casilda memastikan hal ini dulu, berpikir Arkan mungkin punya ide jahat lainnya untuk mempermainkannya lebih tidak manusiawi lagi.
Casilda juga mulai takut Arkan benar-benar akan melayangkan tuntutan gara-gara dirinya dan mencemari nama baik kedai itu.
Pikirannya sungguh pendek beberapa jam lalu, kurang hati-hati dalam mengambil keputusan. Sekarang dia dalam masalah baru.
Arkan tertawa keras, suaranya sangat enak didengar, tapi begitu menakutkan di saat yang sama di hati Casilda, menusuk gendang telinganya bagaikan jarum.
Perempuan berkepang satu ini, menciut di tanah dengan kedua bahu lemas.
“Aku tahu kamu membenciku, tapi bisa jangan libatkan orang lain?” pintanya dengan wajah memelas.
Arkan tersenyum ringan, “kamu pikir... siapa dirimu itu yang bisa memerintahku?”
Seketika saja jantung Casilda seolah ditusuk jarum, sakit dan perih.
“Bu-bukan itu maksudku, Tuan Arkan!” sanggahnya cepat.
“Tuan Arkan?” ulang pria ini berbisik malas, memperbaiki duduknya dengan kedua tangan kini menyangga tubuhnya pada kursi pantai, kaki dilipat dalam pose sangat angkuh.
“Aku minta maaf atas kejadian di masa lalu! Aku tahu aku salah! Aku tidak bisa mengubah masa lalu! Kalau bisa, pasti aku akan melakukannya dan memarahi diriku sendiri! Tolong, jangan berbuat seperti ini, Arkan! Apa bedanya dirimu dengan diriku di masa lalu kalau begitu?”
Mendengar hal menyudutkan itu, wajah Arkan tiba-tiba menjadi gelap.
“Apa kamu sekarang ingin bermain playing victim denganku?”
Casilda dengan cepat menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
“Aku mohon, Tuan Arkan! Tolong maafkan aku! Kita juga sudah dewasa, bukan? Saya tahu, hati Tuan Arkan sangat lapang bagaikan alam semesta ini! Anda bahkan ingin menjadi donatur tetap bagi anak-anak yatim-piatu, kan? Tolong berikan sedikit kemurahan hati Anda kepada saya!”
Mata Arkan melihatnya begitu santai, seperti melihat hal remeh di tanah.
“Aku penasaran, apa yang membuatmu sampai berani ingin meminjam uang kepadaku.”
Syok!
Menyinggung itu, Casilda tidak ingin melepaskannya!
“ADIK SAYA! ADIK SAYA BUTUH BIAYA OPERASI! TUAN ARKAN ADALAH PRIA YANG DERMAWAN DAN BAIK HATI! TOLONG PINJAMI SAYA UANG! SAYA MOHON!”
Dengan cepat, Casilda berjalan di kedua lututnya, maju ke depan dan meraih salah satu ujung celana pria itu, meringkuk dengan kepala mendongak memohon. Namun, wajah dingin dan tampan itu tidak menunjukkan reaksi, malah menendang tubuh Casilda menjauh.
“Tangan kotormu jangan sentuh-sentuh diriku,” ucapnya dingin.
Hati Casilda tertusuk.
Dia sudah serendah dan sehina ini, dia masih tidak mau memperlakukannya sedikit lebih baik? Malah ditendang?
Hatinya bercampur dengan berbagai gejolak emosi, tapi bertahan sekali lagi demi adiknya.
“Tuan Arkan, saya mohon! Saya tidak masalah Anda tidak memberikan 5 juta itu, tapi tolong pinjami saya uang! Saya akan benar-benar berhutan budi pada Anda!”
Casilda tidak menyerah, merangkak di tanah mendekat padanya sekali lagi.
Saat ini, di mata Arkan seolah melihat anak kucing gembel yang baru saja jatuh dari got, merasa jijik dengan hati kesal.
Satu kakinya yang memakai sepatu kulit menahan sebelah bahu Casilda, mencegahnya untuk mendekat kembali.
Casilda tertegun hebat, hatinya mendingin hingga ke titik beku.
Perlakuan laki-laki di depannya ini semakin jahat saja!
Kedua tangan Casilda mengepal di tanah berumput, sekujur tubuhnya tercoreng malu, kepala menunduk dengan mata mengedip tak percaya.
“Apa otakmu sudah tidak beres? Kenapa kamu pede sekali berpikir kalau aku akan meminjamkan uang kepadamu?”
“A-aku.... aku...”
“Sekarang bicara non-formal? Sungguh tidak konsisten. Seperti itu mau pinjam uang? Alasanmu terlalu klise. Kenapa kamu tidak bilang saja kalau ingin bersenang-senang?”
Dengan sakit hati, Casilda menaikkan pandangannya. Suara dalam dan tegas, “aku tidak sedang berbohong! Adikku sakit jantung! Dia butuh dioperasi secepatnya!”
Arkan melepas sepatu dari bahu Casilda dengan sebuah sentakan keras, mengamatinya seperti mengamati sebuah buah yang akan dipilih di sebuah supermarket. Menimbang baik-buruk dan kualitasnya.
“Aku tahu aku salah! Aku minta maaf! Tapi, aku yakin kamu masih memiliki sedikit hati nurani, bukan? Aku mohon, pinjami aku uang! Aku akan membayarmu sampai lunas meski harus memakan waktu seumur hidup!” desaknya dengan wajah penuh tekad, sudut-sudut matanya mulai berair.
“Heh... membayarku seumur hidup? Memang berapa banyak kamu butuhkan?”
“500 JUTA! AKU BUTUH 500 JUTA! TOLONG KESAMPINGKAN RASA BENCIMU ITU PADAKU, ARKAN! AKU BERSEDIA MELAKUKAN APA PUN YANG KAMU MINTA ASALKAN KAMU MAU MEMINJAMIKU UANG SEBANYAK ITU!”
Casilda dengan gilanya, meraih sebelah kaki Arkan, memeluknya seolah adalah harapan satu-satunya.
“Lepas,” titah Arkan datar.
“TIDAK MAU! TOLONG PINJAMI AKU 500 JUTA DULU!” seru Casilda, menguatkan pelukannya di kaki sang pria, mata dipejamkan erat-erat.
“AKU BILANG LEPAS, YA, LEPAS!”
Arkan berdiri, lalu menghentakkan–hentakkan kakinya agar Casilda lepas darinya, tapi tekad perempuan itu lebih gigih dari apa yang dibayangkan olehnya.
“Aku mohon padamu, Arkan! Aku hanya ingin meminjam 500 juta! Tidak! 250 juta saja tidak apa-apa! Aku mohon! Pinjami aku uang!”
Kesal melihat tingkah Casilda yang seperti lintah di kakinya, dengan amarah menekan dadanya, Arkan mencibir, “kalau kamu sebegitu mendesaknya untuk biaya operasi adik khayalanmu itu, kenapa kamu tidak jual diri saja?”
“A-apa?!”
Casilda mendongak syok.