Casilda berdiri tepat di depan Arkan yang tampak tertidur santai di kursi pantai di dalam tenda.
Rasa canggung merayapi hatinya, tidak tahu apakah harus membangunkannya atau tidak.
“Bagaimana ini? Dia kelihatan lelap sekali? Sepertinya sangat capek?” bisiknya pada diri sendiri, kedua tangan mengepal gugup.
Pria tampan dengan rambut hitam legam itu tertidur dengan wajah seperti bayi yang tak berdosa. Jika dalam keadaan ini, membuat hati perempuan mana pun akan meleleh hebat sampai klepek-klepek tidak karuan.
“Tu-tuan Arkan?” kata Casilda takut-takut, suara kecil semilir angin malam. Sinar mata sudah dihiasi oleh kecemasan dan keringat dingin menuruni kedua pelipisnya.
Saliva menuruni kerongkongan Casilda bagaikan sebuah sabut besi.
Kepalanya diedarkan ke sekeliling, tidak ada orang sama sekali di dalam tenda itu. Di luar saja, sepertinya sudah mulai sepi. Mungkin para kru TV sudah menaikkan semua peralatan mereka dan bersiap untuk pergi.
Lantas, kenapa pria ini hanya tiduran santai begini di sini sendirian?
Casilda berdiri sambil bertopang dagu dengan mata menyipit berpikir, kepala dimiringkan. Pandangan perempuan berkepang satu ini seolah tengah mengamati sebuah spesimen di sebuah laboratorium, bukan malah menikmati pemandangan indah yang menggoda iman.
“Dia ini, apanya yang membuat para wanita tergila-gila, sih? Padahal kelakuannya seperti hewan yang masuk musim kawin saja,” ledeknya tanpa sadar, berbisik dengan mulut dimajukan, mata memicing sebal.
Selama beberapa menit berlalu, Casilda hanya berdiri di depan pria itu, berniat menunggunya bangun. Tapi, karena masih harus kembali melapor ke kedai dan menyerahkan uang p********n, serta tidak lupa soal pinjaman uang yang diinginkannya, mau tidak mau akhirnya terpaksa harus membangunkannya juga dengan paksa.
Casilda mendekat hati-hati, telunjuk kanannya yang gemeter diarahkan takut-takut ke arah bahu sang pria, lalu disodok pelan-pelan. Mata dipejamkan takut-takut, muka menggelap pucat seolah akan membangunkan singa yang lapar.
“Tu-tuan Arkan! Tuan Arkan!” serunya, suara perlahan dinaikkan satu oktaf demi satu oktaf.
Kesal karena pria itu belum bangun juga, Casilda iseng meraih segelas plastik smoothie yang masih tersisa banyak di atas meja, gigi digertakkan kuat-kuat dengan nadi berdenyut kesal.
Smoothie itu tepat diletakkan di atas muka sang aktor, pikiran buruk dan jahil melintas cepat dalam benaknya. Entah dari mana keberanian Casilda melakukan ancaman diam-diam itu.
Tawa jahat dan anehnya terdengar lepas dari bibir kecilnya, mata berkilat mengerikan.
Gelas plastik itu, dimiringkan pelan hingga isinya ikut miring. Tapi, dalam sekejap, akal sehat menangkap hatinya.
Dengan satu tangan, cepat-cepat dia menghentikan tangan satunya. Kedua tangannya memeluk smoothie itu dengan jantung berdebar, muka pucat dan paniknya menoleh ke arah luar. Untunglah tidak ada yang lewat!
Kembali Casilda menaruh smoothie itu, dan membangunkan pria itu dengan wajar.
“Tuan! Bangun! Tuan Arkan! HOI! HOIIII!!!!!”
Bahu sang pria diguncang dengan kerasnya. Kalau tidak begitu, malah akan membuatnya semakin lama berada di tempat itu.
“TUAN ARKAN SANG TOP STAAAAR!!! BANGUUUNNN!!!!” teriak Casilda keras-keras, sudah mencapai batas kesabarannya.
Casilda kaget hingga matanya mau melompar keluar!
Arkan terbangun dengan wajah tampannya, terlihat sangat kesal, kening mengencang. Tangan kirinya meraih tangan Casilda yang sedari tadi mengguncang tubuhnya.
Setengah tubuh Casilda jatuh mulus dengan cepat tanpa peringatan ke dadanya yang bidang, membuat wanita berkacamata tebal ini dipaksa jatuh berlutut dengan keras. Suara rintihan terdengar keluar dari mulutnya, membuat siapa pun yang mendengarnya bisa salah paham.
Masih dalam keadaan syok, Casilda belum bisa berkata-kata. Satu lengannya melewati tubuh pria itu, tubuh Casilda menimpa dadanya dalam pose yang ambigu. Kedua bola matanya membulat kosong karena terkejut.
“Ugh! Kamu ini manusia atau karung beras?” sindir Arkan, pura-pura mengeluh sakit.
Casilda memerah sekujur tubuh, salah tingkah. Bibir gemetar kehilangan kata-kata.
Dengan sebelah sudut bibir tertarik, sebelah kening Arkan naik dengan niat buruk.
“Wuah.... Lihat, apa yang sedang kamu ingin lakukan padaku? Seorang wanita gendut jelek di dalam sebuah tenda dengan hanya seorang pria tampan yang tengah tertidur pulas. Mau berbuat m***m-m***m, ya? Berani sekali!”
Arkan dengan sengaja mengatakan itu, sudah jelas keadaannya tidak demikian, tapi sepertinya masih tetap saja diucapkan agar membuat hati Casilda memanas.
Tertohok mendengarnya, kesadaran Casilda kembali.
“Ka-ka-kamu jangan sembarangan, ya! Bukannya kamu yang memanggilku sebelumnya?! Sudah datang, malah tidur! Dari tadi dibangunin malah tarik-tarik orang sampai jadi seperti ini!”
Casilda berusaha melepas diri dari tubuh pria itu, tapi semakin dia berusaha lepas, malah dia semakin jatuh tenggelam ke dadanya yang kokoh. Gesekan tubuh mereka yang dibatasi oleh pakaian masing-masing bergerak saling berlawanan.
Wajah Casilda yang sudah memerah perlahan oleh demam, jadi semakin merah saja dengan kejadian memalukan itu.
Bagaimana tidak? Tangan sang pria masih saja menahan tangannya di sisi lain tubuhnya dengan sangat kuat. Tidak ada tanda-tanda untuk mau melepaskannya.
Melihat perlawanan Casilda seperti anak kucing bodoh, membuat seringai sang pria naik kembali di salah satu sudut bibirnya. Mata terlihat dingin dan tajam. Ada perasaan sangat menarik di dadanya.
“Kenapa? Kamu juga pasti menikmatinya, kan, bisa bersentuhan denganku?”
Merasa terhina, Casilda menggigit bibir menahan amarah.
“A-apa yang kamu lakukan?! Apa kamu ingin menjebakku lagi?! Lepaskan aku!”
Casilda panik.
Sangat ketakutan ada yang melihat mereka dalam keadaan seperti itu.
Siapapun pasti akan menuduhnya tengah menyerang aktor tampan itu dengan label stalker m3sum.
Bayangan masuk ke penjara dan mendapat denda jutaan kini menggigit hatinya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Arkan akan sejauh ini mempermainkan dirinya, dan menekannya seperti hewan yang tertangkap tak berdaya dalam sebuah jebakan mematikan.
“Bukankah kamu seharusnya bersyukur bisa menyentuh tubuh pria yang dikagumi oleh seantaro negeri ini? Jangan pura-pura munafik, Ratu Casilda Wijaya,” ledek Arkan, menatap wajah Casilda yang hanya berjarak beberapa senti meter darinya, senyumnya sangat jahat dan licik.
Casilda melotot marah, “kamu jangan kegeeran, ya! Kamu bukan tipeku sama sekali! Mau kamu itu sudah jadi setampan ini pun, dan digilai oleh seluruh wanita di seluruh dunia pun, aku sama sekali tidak ada nafsu melihatmu!”
Hening.
Casilda keceplosan, pupilnya mengecil terbodoh.
Arkan tiba-tiba menatapnya malas.
Menyadari raut wajah Arkan berubah tidak enak dipandang, Casilda langsung menyadari kesalahannya. Kenapa dia malah menyinggungnya setelah semua usaha bermanis-manisnya selama ini? Bodoh sekali dirinya!
Seharusnya dia tidak usah terpancing dengan sikap semena-mena pria itu, tapi jiwa-jiwa pemberontaknya sepertinya sudah berjalan alami mengambil alih tubuhnya di saat-saat genting dan tidak perlu sama sekali, langsung muncul begitu saja dalam dirinya.
Keringat dingin langsung menyerbu Casilda, gemetar dengan wajah menggelap pucat.
“Eh? Ma-maksudnya.... Tuan Arkan sangat tampan. Tentu saja digilai oleh banyak wanita. Saya ini apalah dibanding Anda yang hebat ini. Saya tidak cocok dengan tuan. Benar-benar tidak cocok! Ketampanan Anda terlalu level atas, Tuan Arkan! Saya jadi merasa rendah diri dan tidak pantas merasakan apa-apa pada Anda, te-termasuk juga merasakan nafsu pada Anda...”
Casilda mencicit di akhir kalimat, memucat kelam.
“Anda pasti setuju, bukan?” lanjutnya, mata Casilda tersenyum cerah, mulai berkeringat dingin. Sudut bibir berkedut kesal menahan rasa jengkel di hatinya, karena sudah mengacaukan kesempatan untuk meminjam uang dari sang aktor.
Orang bilang, kalau ingin pinjam uang maka sanjung dulu orangnya, jangan cari masalah. Tapi, apa yang dibuatnya sekarang ini?
Matilah sudah!
Arkan menatap dingin dan malas pada wanita di atas tubuhnya, dengan jelas bisa merasakan kalau Casilda ketakutan padanya. Mata wanita berpipi bakpao itu setengah mati menghindari tatapannya.
Harusnya Arkan merasa senang melihat penderitaan Casilda. Ada rasa tidak puas di hatinya, dan malah menjadi sebuah lubang yang menganga, minta untuk diisi, tapi tidak tahu harus mengisinya dengan apa.
Wanita gendut dan jelek ini sungguh berani sudah merusak hari indahnya!
Cengkeraman tangannya pada Casilda diperkuat, membuat Casilda merintih kesakitan seolah tulangnya akan patah. Tubuhnya bergerak tak nyaman dan gelisah di atas tubuh Arkan. Dengan satu tangan bebasnya, Casilda mencoba meraih tangannya untuk lepas dari rasa sakit yang menekannya hingga tubuhnya yang sudah gemetar malah tambah gemetar, meliuk dengan wajah kasihan.
“Sa-sakit... Arkan... Tuan Arkan... tolong lepas.... saya salah, saya salah...” keluh Casilda, sebelah mata menutup, menahan rasa sakit yang membuatnya ternganga kesakitan.
Dengan jahatnya Arkan menarik tubuh Casilda semakin dekat ke arahnya, hingga kepala sang wanita hampir menyentuh bibir sang pria, Arkan lalu berbisik dengan suara samar yang serak nan sensual. Tatapannya yang merendah sangat seksi dan dingin: “Apa kamu tahu, sikapmu ini bisa saja membuatku tidak ingin membayar apa pun kepada kedaimu itu. Sudah terlambat hampir 2 jam, membuat para kru marah, dan masuk ke tenda ini dengan tingkah yang mencurigakan. Semuanya bisa saja kubuat dalam satu laporan tuntutan khusus untukmu seorang diri.”
Casilda seperti disambar petir.
“Wajahmu merah, sungguh cabul.... Tidak bernafsu padaku? Dasar munafik,” lanjut Arkan dengan nada jijik berbisiknya.
Casilda menggigit bibir, ingin melawannya. Tapi, akal sehat harus tetap bersamanya saat ini. Dia mengabaikan hinaannya dan berusaha menjelaskan diri.