Mobil mereka melaju menuju jalan lepas. Mereka telah menempuh setengah perjalanan dan sejauh ini tidak ada salah satu dari mereka yang mengisi pembicaraan. Raveen tetap fokus pada jalan raya sementara Diane menyibukkan pikirannya sendiri tentang pertanyaan apa yang akan ia ajukan pada kliennya nanti. Mereka tengah bergerak menuju kediaman Dokter Meilyn. Diane telah membuat janji pertemuan pertamanya dengan sang dokter sejak dua hari lalu, dan ia tidak akan menundanya hanya karena surat-surat sialan itu.
“Diane!” Diane begitu fokus pada pikirannya sehingga suara Raveen membuatnya tersentak. Sambil menutup buku catatannya, Diane memutar tubuh hingga berhadapan dengan detektif itu.
“Miss Hampton, detektif!” ia cepat-cepat memperbaiki panggilannya. “Miss Hampton!”
“Ya, maksudku Miss Hampton.” Ketika Raveen tersenyum lebar, Diane memutar pandangannya. “Jadi katakan padaku siapa dokter Meilyn itu?”
“Apa kau selalu seperti ini, detektif?”
“Maaf?” pandangan Raveen terarah pada jalan raya dan Diane secara bergilir.
“Apa kau selalu ingin ikut campur urusan orang lain?”
“Oh oh, maaf. Aku tidak menyebutnya begitu, tapi seandainya kau lupa kau klienku sekarang. Aku yang menyelidiki kasusmu, jadi wajar saja jika aku ingin tahu.”
“Bagaimana jika aku tidak mau mengatakannya?”
“Aku bisa melakukan apapun untuk mendapat informasi apapun.”
Diane menggelengkan kepalanya menatap pria itu. Wajahnya yang terlihat kusut menjadi hiburan tersendiri untuk Raveen. Pria itu baru berhenti tertawa ketika Diane mengepalkan tangannya sambil melayangkan pelototan sengit yang masih diingat Raveen sejak lima belas tahun lamanya. Wanita itu masih sama seperti dulu. Pikir Raveen.
“Dokter Meilyn adalah klien pertamaku,” tegas Diane. Ucapannya tidak mendapat respon besar dari Raveen tapi Diane cukup mengerti bahwa pria itu tengah berusaha menyikmak informasinya dengan baik. “Ini adalah pengalaman pertamaku sebagai seorang pengacara. Aku sudah lama sekali mengambil universitas hukum dan sekarang aku sedang mencoba mempraktekannya.”
“Jadi kau tertarik juga dengan hukum?”
“Sekiranya begitu.”
“Kupikir Diane yang cantik ini tertarik dengan sejarah.” Diane terpaku ketika Raveen memberi isyarat kedipan mata yang menggoda sesekali. Ia harus berusaha keras untuk mengabaikan pesona lelaki itu.
Menelan liurnya, Diane menjawab, “Dulu ya, tapi sekarang aku lebih tertarik pada hukum. Aku ingin jadi pengacara yang andal.”
“Menarik sekali, Miss Hampton. Kau tahu menjadi pengacara adalah tanggung jawab yang besar,”
“Ya tentu saja. Aku tahu.”
“Kau harus melakukan segala cara untuk memenangkan pengadilan dan kau harus mengambil jalan yang benar tentunya.”
“Tentu, detektif. Aku sudah berencana menjadi pengacara yang baik.”
Raveen menatap Diane. “Kalau begitu jangan kecewakan klien pertamamu.” Senyum manis mengambang di wajahnya. Hampir membuat Diane membatu karena terkesima.
“Ya, terima kasih.”
Lima menit berikutnya tejadi kekosongan. Jalan nampak ramai juga padat. Beberapa kendaraan memutar jalur segera sebelum menghadapi kemacetan arus lalu lintas. Perkotaan nampaknya selalu mengalami ganguan pada hari-hari sibuk seperti saat ini. Kebanyakan dari penduduk lokal adalah mereka yang harus bekerja di pagi hari dan pulang di sore hari. Kemacetan yang seperti ini acap kali di jumpai. Diane mulai membiasakan diri akan hal itu. Tapi Raveen sepertinya bukan tipikal pria yang mau menunggu. Ketika pria itu sudah ada pada titik jenuhnya, ia menegur Diane.
“Jam berapa kau harus tiba disana?”
“Pukul sebelas.”
Raveen menarik jaket dari pergelangannya kemudian memeriksa arloji yang menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit. “Apa kau lapar? Kita bisa mengunjungi tempat-tempat makan lebih dulu setelah itu aku akan mencari jalan pintas.”
“Kedengarannya menarik.”
Segera setelah Diane memberi jawaban, Raveen memutar haluan kemudi. Mobil mereka masuk ke jalur utama berbelok pada dua tikungan sebelum memasuki area toko-toko yang sudah diramaikan oleh pengunjung. Raveen mencari-cari toko makanan dimana mereka bisa singgah barang lima belas menit untuk sarapan. Tapi sepertinya dari ketika toko yang sudah ia lewati hampir seluruh kursinya telah dipadati oleh para pembeli. Jadi Raveen memutuskan untuk mencari rencana lain. Ia meminta Diane menunggu di mobil selama beberapa menit. Raveen segera kembali dalam lima menit dengan dua bungkusan dan dua kopi hangat dalam kemasan yang baru saja dibeli. Kemudian, ia mengemudikan sedannya menuju sebuah taman kota.
Jaraknya tidak terlalu jauh, namun tidak juga dekat. Tidak ramai tidak juga sepi. Taman kota itu tidak nampak seperti taman sewajarnya. Terdapat di tengah-tengah pusat keramaian kota membuat taman yang hampir tak berpengunjung itu menjadi sorot setiap pengendara yang melewatinya. Raveen menghentikan sedannya dan parkir di sembarang tempat. Tidak ada garis parkir di sekitar taman dan mungkin kondisi itu memang wajar bila dilihat dari pengunjungnya yang sangat terbatas. Raveen kemudian membimbing Diane untuk turun dari sedan. Mereka memasuki area taman bersamaan dengan bungkusan makan yang mereka beli pada toko-toko makanan itu. Diane memilih bangku yang cukup panjang di pinggiran taman. Pemandangan taman cukup indah dari sisi manapun. Entah bagaimana Raveen bisa menemukan tempat yang menarik seperti ini.
“Kau tidak mau aku gelar tikar?” tawaran Raveen kali ini mendapat senyum kecut yang menurutnya tetap terlihat seksi.
“Kita tidak sedang berpiknik, detektif. Jangan terlalu menarik perhatian orang lain. Aku tidak suka.”
“Yah, sebenarnya bangku ini juga lumayan.” Ketika Raveen menjatuhkan tubuhnya di bangku pilihan itu, Diane tidak bisa menahan senyum kagumnya. Ia cepat-cepat beralih ketika Raveen menatapnya dengan skeptis. “Aku akan makan duluan seandainya kau masih ingin berdiri disana dan tersenyum-senyum seperti orang tidak waras.”
Wajah Diane merona. Ia menggertakkan giginya sebelum bergabung dengan Raveen. Namun Diane harus memastikan bahwa wajahnya benar-benar tidak berwarna merah muda. Astaga, ia benci sekali warna itu. Setidaknya Diane tidak boleh terlihat seperti orang i***t di hadapan Raveen. Tidak sekarang. Ketika Raveen dengan serius melahap daging asapnya, Diane mendekat.
“Hei, detektif! Katakan padaku bagaimana caranya?!”
Retorik itu membuat Raveen berpaling. Perhatian yang sebelumkan ia berikan penuh pada santapan mereka, kini beralih pada Diane. Raveen tersenyum. Ia mengangkat batangan sumpit di hadapan Diane. Dahinya berkerut heran.
“Kau hanya perlu menggunakan sumpitnya seperti ini,”
“Bukan!” Mendengus frustasi, Diane duduk bergabung di samping Raveen. “Bukan itu. Maksudku, bagaimana kau bisa tahu apa yang kupikirkan?”
Raveen terkekeh. Satu-satunya hal yang paling menghibur adalah wajah merona Diane. Raveen senang sekali membuat wanita ini kesal. Ia harus mengakui ada sisi aneh yang entah bagaimana dikagumi Raveen ketika amarah Diane tersukut dalam wajah anggunnya. Raveen mengagumi Diane sebagaimana caranya menggumi tingkah konyol wanita itu sejak dulu.
“Kenapa kau menanyakan itu?”
Diane menganggkat bahu dengan tidak acuh. “Hanya aneh saja bila ada seseorang yang menebak-nebak suasana hatimu dan kau tidak bisa mengelak dari faktanya.”
“Itulah kau Diane,” ketika Raveen tersenyum, rahang pada wajahnya yang sekeras baja mengunjukkan lesung pipi semanis madu. Diane mengagumi lesung pipi pria ini sejak dulu, dan sekarang Raveen telihat jauh lebih tampan. Sikapnya yang tertutup dan dingin memang tidak pernah berubah, karena itulah Diane penasaran. Dengan pendekatan ini Diane telah tahu satu hal bahwa di balik sikap tertutupnya, Raveen adalah pria yang hangat dan mungkin.. menyenangkan.
“Kau mudah sekali ditebak,” kata Raveen. Ia melanjutkan pergerakannya yang terhenti untuk menikmati santapan lezat itu. Sementara Diane bersngut-sungut, Raveen hanya tersenyum menikmati pemandangan dan tentunya suasana hati Diane yang semakin memburuk. Demi apapun, Diane berani bersumpah kalau Raveen adalah satu-satunya pria yang senang atas penderitaannya.
“Jadi apa kau sudah lapar atau kau ingin aku menghabisi makanan ini untukmu?”
“Aku sudah tidak lapar,” sanggah Diane segera ketika ia membalikkan tubuhnya. Pandangannya lurus ke depan, menyapu sekitar taman yang hanya dipenuhi oleh satu atau dua orang pengunjung. Taman itu nampak indah. Terdapat dua pohon besar di ujung pagar pembatas sementara rumput hijau tumbuh di sekitar tanah yang subur. Jalur batu yang melintang dilalui oleh beberapa pengunjung. Disisi kiri tedapat sebuh parit yang hampir kering. Sementara parit itu semakin tidak terlihat karena ditumbuhi oleh tanaman rambat disekitarnya. Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Lima menit kemudian, Raveen sudah menghabiskan jatah makan mereka. Setelah itu, mereka segera melanjutkan perjalanan menuju kediaman Dokter Meilyn.
Bangunan yang menjadi kediaman dokter Meilyn itu nampak seperti bangunan bangunan tua yang unik. Pekarangan kecil mengelilingi bangunan sederhana dengan warna cat dinding yang mencolok dan agak kelihatan kusam. Gentingnya bisa dibilang sudah tidak layak dan butuh perbaikan dalam waktu dekat. Diane bisa menduga hanya butuh satu serangan petir untuk meluluh lantahkan genting-genting yang sudah tua itu. Pekarangannya, meski tidak begitu luas, nampak sangat kacau dan tidak terawat. Beberapa tumbuhan jalar dan tanaman dalam pot sudah hampir layu. Kalau bukan kerena bulir-bulir salju yang turun sejak semalam, mungkin semau tanaman itu akan mati kekeringan. Terdapat tumpukan balok kayu di tepi pekarangan sementara di sisi lainnya terdapat timbunan daun-daun kering yang sudah lama tidak disingkirkan. Daun-daun itu semestinya segera dibakar sebelum bertebaran kembali hingga menyampahi halaman rumah. Gumpalan tanah kecil di tepi pekarangan berwarna pekat dan basah. Seperti baru saja digali. Ada dua patung hias kuno berukuran kecil yang menjadi palang pintu bangunan tersebut. Dua kursi kayu yang hampir lapuk di teras dan sebuah hiasan dinding yang berbentuk kurcaci-kurcaci kecil bergantungan di sekitar pintu. Setidaknya itulah yang dilihat Diane.
Bangunan ini tidak bisa dibilang wajar bila mengingat siapa orang yang menempatinya. Raveen memarkirkan mobilnya di samping bangunan itu kemudian turun menyusul Diane. Wanita itu beberapa langkah lebih depan darinya. Raveen memasukkan tangannya ke dalam saku jaket selagi ia mengamati bangunan tua sederhana yang hampir rapuh dan tidak layak itu. Tiba-tiba pandangan skeptisnya terarah pada Diane. Diane membiarkan Raveen berjalan mendahuluinya ketika pria itu melangkah masuk menuju teras. Raveen berbalik untuk menatap Diane. Tubuhnya waspada.
“Kau yakin ini rumah klienmu itu?”
“Aku yakin sekali. Dia menyebutkan alamat yang sama selama berulang kali.” Jawab Diane, meski tahu bahwa ia harus berbohong pada Raveen juga dirinya sendiri atas kenyataan bahwa Diane meragukan semua itu. Tapi Diane tentu tidak akan mau membuat dirinya sendiri terlihat bodoh di hadapan pria menjengkelkan dan seperti Raveen. Jadi, Diane melangkah maju untuk mengetuk pintu. Tapi tangan Raveen mencengkram pergelangannya. Secepat pergerakannya, Diane melayangkan pelototan sengit ketika Raveen mengambil posisi untuk berdiri lebih depan darinya kemudian mengambil alih untuk mengetuk pintu kayu itu.
“Apa yang kau lakukan?” bisik Diane dari belakang punggung Raveen. Tingginya hanya mencapai pundak Raveen.
“Berjaga-jaga.”
“Apa kau selalu melakukan ini?”
“Melakukan apa?” Raveen mengernyitkan darinya. Kedua matanya menyipit.
“Ini,” tegas Diane. “Bersikap berlebihan? Setidaknya tanganku masih berfungsi untuk mengetuk pintu rumah.”
“Kau tidak tahu apa yang ada di balik pintu kayu ini, Manis. Boleh jadi ada monster yang siap untuk melahapmu.” Ketika Raveen mengerling dengan tajam sambil mengulas senyum paling manis, Diane memutar mata. Selera humor Raveen yang aneh itu ternyata belum berubah.
“Jangan marah begitu, Manis..”
“Miss Hampton!” Diane mengingatkan sambil mendelik. Tatapannya menghunjam Raveen.
“Baik, Miss Hampton.” Raveen tertawa kecil. Jelas menikmati suasana panas yang melingkupi Diane. Kurang dari tiga puluh detik, seorang wanita tua kurus yang tingginya tidak lebih dari seratus enam puluh senti mengintip dari balik pintu kayu. Wanita itu menatap Raveen dengan pandangan skeptis. Wajahnya berubah muram. Rambut yang berwarna abu-abu itu tersingkap di balik pintu yang perlahan menggeser hingga terbuka lebar. Mata wanita itu cekung. Korneanya berwarna biru laut. Mengingatkan Raveen tentang pemandangan yang sejuk dan damai di tepi pantai dalam nuansa biru muda. Kulitnya yang putih sudah keriput. Terdapat tiga garis di sekitar mata dan dibawah kulit wajah yang mulai mengendur. Wanita ini mungkin terlalu sering tersenyum, pikir Raveen. Usianya bisa diperkirakan sekitar empat puluh tahun keatas. Pakaiannya ditutupi oleh celemek berwarna merah marus. Membungkus tubuhnya yang kecil dan pendek dalam balutan baju pelayan.
“Ada yang bisa ku bantu?” suara wanita tua itu bergetar sehingga membuat dugaan baru bagi Raveen kalau ia mungkin salah memperkirakan soal usia. Mungkin wanita ini berusia sekitar enam puluhan. Bisa dipastikan dugaan kali ini benar. Diane kemudian dengan susah payah mengintip dari bahu Raveen. Diane harus berjinjit untuk melakukannya. Ketika Raveen merasa bahwa tidak ada situasi yang harus diwaspadakan, ia menyingkir untuk memberi Diane kesempatan.
Begitu tubuh Raveen beranjak darinya, Diane segera megambil alih pembicaraan. “Apa benar ini kediaman Dokter Meilyn.”
“Seperti yang kau katakan,” wanita itu mengalihkan pandangannya pada Diane dan Raveen secara bergiliran. “Siapa kalian?”
“Aku Diane Hampton. Aku pengacara yang disewa oleh Dokter Meilyn. Kami sudah membuat perjanjian untuk bertemu sebelumnya.”
Wanita tua itu mengangguk. Tatapannya kemudian berhenti pada Raveen. “Ya tentu saja, kau Diane. Dan kalau aku tidak salah liat kau membawa seorang pria bersamamu?”
Diane beringsut untuk memperkenalkan Raveen. “Oh dia, Raveen. Hanya,,”
“Asisten pribadinya.” Sela Raveen dengan cepat. Ia jelas tidak peduli ketika Diane memutar tatapannya yang menjanjikan cercaan.
Yah, sebetulnya Diane ingin menyebut Raveen sebagai teman. Tapi mungkin julukan itu masih terlalu akrab untuk ukuran pengawal pribadi yang menyebalkan dan suka ikut campur dalam masalah orang lain. Jika dipikir-pikir asisten juga tidak berarti baik. Jadi, apa bedanya?
Wanita itu kemudian mengangguk setuju sebelum membuka pintu masuk lebih lebar bagi mereka. Ia mempersilahkan Raveen dan Diane untuk masuk kemudian menutup pintu di belakang mereka. Tampilan dalam bangunan tua itu ternyata jauh dari bayangan Diane. Peralatannya begitu klasik. Wangi khas kayu ek menggantung di udara. Hampir semua hiasan dinding tebuat dari bahan kayu yang unik. Ruangan depannya dipenuhi oleh hiasan di berbagai sudut. Diane bisa menaksirkan kalau di ruang lainpun tidak kalah hebohnya dengan ruang depan. Perabotan besar mendominasi ruangan. Terdaoat sekurangnya tiga sofa empuk yang membentuk pola huruf U mengitari sebuah meja kayu. Tedapat lemari kayu yang dipenuhi oleh buku-buku kecokelatan dan hampir sama usangnya dengan perabotan lain. Dipojok ruangan tedapat rak dengan panjang sekurangnya satu setengah meter untuk menyimpah sepatu-sepatu, sementara di sudut lain terpampang lukisan-lukisan dinding yang berbau aliran fauvisme. Aliran pada abad ke-20 yang dikenali Diane. Lukisan itu benar-benar eksotis dan pastinya sangat sulit didapatkan. Diane berani bertaruh kalau Dokter Meilyn pasti bersedia mengeluarkan uang yang jumlahnya cukup besar untuk mendapatkan lukisan antik tersebut. Bukan hanya lukisan antik dan barang-barang klasik yang menarik perhatian, sebuah tirai yang terajut dengan nuansa emaspun membuat Diane terkesima. Belum pernah sepanjang hidupnya ia menjumpai bangunan tua yang begitu unik dan menyimpan semua barang-barang indah itu. Diane benar-benar dibuat iri dengan selera seni sang dokte yang bisa dibilang cukup berkelas.
“Apa keberatan kalau kalian menunggu?” suara wanita tua itu segera mengalihkan perhatian Diane. Demikian Raveen yang masih saja mengekor di belakangnya serta bersikap waspada.
“Nona Meilyn sedang pergi untuk menemui salah seorang pasiennya,” kata sang pelayan. “Dia pergi kurang dari tiga jam yang lalu. Dia mengatakan bahwa pertemuannya ini tidak begitu lama dan aku yakin dia akan segera kembali.” Ia menambahkan.
Diane mengangguk pelan. Kelihatan ragu sebelum mendapat anggukan singkat dari Raveen. “Tentu saja. Kami akan menunggu.”
“Kalau begitu silahkan duduk dan biarkan aku menyiapkan minum untuk kalian. Aku punya beberapa persediaan kopi dan teh..”
“Teh juga boleh.” Diane menjawab sambil melangkah mendahului Raveen dan menghempaskan tubuhnya di sofa empuk berwarna merah menyala. Sofa itu nampak lebih elegan dengan motif rumit yang dibentuk. Bahkan sofanya telihat aling mencolok dari sekian banyak barang-barang dalam ruangan. Diane bersungut-sungut heran tentang bagaimana ruangan ini dapat telihat begitu rapi dengan begitu banyak barang-barang di sekitarnya. Tap Diane juga tidak menyukai semua itu. Udara menjadi semakin pengap dan panas di dalam ruangan.
Diane melihat wanita tua itu mengangguk sebelum lenggang ke dapur. Raveen segera bergabung untuk duduk di sofa yang jaraknya dekat dengan dinding sehingga ia bisa mengamati seisi ruangan dalam posisi tersebut. Ketika mereka saling bertemu pandang, Raveen mengernyitkan dahinya.
“Ada masalah, Miss Hampton?”
“Tidak,” jawab Diane, terdengat sedikit ketus. Wanita itu cepat-cepat mengalihkan pandangannya dari wajah tanpam Raveen yang semakin memikat dalam keadaan seperti ini. “Sama sekali tidak.”
Ketika Raveen berdecak masam, Diane memutar pandangannya kembali pada pria yang duduk di seberang itu. Tak begitu jauh juga tidak begitu dekat darinya.
“Kenapa aku merasa kau kelihatan sangat gugup, Miss Hampton?”
“Aku tidak gugup?”
“Oh, ya?”
Diane membenci Raveen. Terutama benci pada semua retorik menyebalkan itu dan fakta bahwa Raveen benar. Anehnya, kenapa pria itu begitu mudah membaca setiap pergantian emosi dalam raut wajah Diane. Patilah Raveen sudah dilatih dalam hal-hal semacam itu. Kecuali jika Raveen benar-benar cenayang. Jadi, mengelak bukanlah tindakan yang cerdas. Diane dengan cepat memuutuskan setiap tindakannya sendiri. Ia mencondongkan tubuhnya dengan tatapan tajam, kemudian menggerakan bibirnya dengan cara-yang tanpa ia sadari-begitu sensual hingga membuat Raveen harus berusaha menelan kembali liurnya.
“Ini kasus pertamaku, Detektif. Aku akan menghadapi klien pertamaku! Wajar saja kalau aku gugup.”
“Yah,, aku mengerti” tukas Raveen. Dua tangannya bertopang pada lutut dengan cara yang jantan. “Sebenarnya, Manis. Kau tidak perlu menghawatirkan apa kinerjamu akan memuaskan atau tidak. Anggap saja semua ini sebagai bahan pembelajaran dan evaluasi untukmu.”
“Apa aku perlu membawa alat pemukul setiap kali aku pergi bersamamu? Apa aku perlu memukulmu setiap kali kau lupa untuk menyingkirkan sebutanmu itu? Harus berapa kali ku katakan, panggil aku Miss Hampton! Jangan membuat aku membahas ini lagi, Detektif. Kau jelas-jelas ada dalam masalah besar.”
“Aku minta maaf, Miss Hampton.” Raveen tidak bisa menahan senyum lebarnya ketika ia memberi israyat kedipan mata pada Diane hingga membuat wanita itu merona. “Tapi aku tidak pernah bohong soal itu.”
Diane belum sempat berkomentar ketika pelayan itu hadir di tengah pembicaraan mereka dengan sebuah nampan yang berisi dua cangkir teh. Pelayan itu dengan cepat menyingkir ke dalam ruangan untuk menyelesaikan tugas rumahnya. Tepat setelah kepergian sang pelayan, Raveen bergerak maju dan menghempaskan tubuhnya di samping Diane. Ia meraih satu tangan wanita itu kemudian menahannya dengan cepat ketika Diane berusaha menarik tangannya kembali.
“Aku tahu penawar yang ampuh untuk meredakan rasa gugup seseorang. Kau hanya perlu mengepalkan tanganmu kuat-kuat,” Satu tangan Raveen yang bebas membimbing telapan tangan Diane untuk tertutup. Dalam beberapa detik, Diane ragu tapi kemudian ia menurut. Ketika tangannya mulai terkepal, Raveen memijat bagian pergelangan di tangan Diane dan mencari-cari denyut nadi yang berdetak disana. Setelah menemukannya, Raveen menekan dunyut itu selama lima detik dengan pergerakan yang membuat Diane harus meringis menahan rasa sakit. Kemudian Raveen menepuk telapak tangannya yang tekepal dengan begitu keras hingga terbuka. Ketika Raveen melepasnya, Diane mendesis. Ia menghusap pergelangannya yang memerah. “Aduh... pengobatan macam apa itu?”
“Katakan apa kau sudah merasa lebih baik?” Raveen mengacuhkan pernyataan Diane untuk mendapat jawaban atas pengobatan anehnya.
Sementara itu Diane bersusah payah untuk memahami perasaan lega yang mulai melingkupinya. Menggantikna rasa khawatir yang sedari tadi terus bertengger. Diane mengakui bahwa pegobatan yang sedikit menyakitkan itu memang tebukti ampuh.
“Aku sudah lebih baik sekarang,” katanya. Ia berhenti menghusap pergelangan tangannya lalu menatap Raveen. “Dari mana kau mendapat pengobatan semacam itu?”
“Hanya pengobatan kuno,” ucapan Raveen berkesan enteng. “Kau akan menjumpainya di abad ke lima belas. Beberapa klan di Skotlandia mempercayai pengobatan itu mampu mengusir perasaan resah. Mereka menyebutnya mengusir roh usil yang bertengger dalam jiwa seseorang. Cara yang klasik untuk mengusir ke khawatiranmu. Rasa sakitnya membantu meluapkan emosimu yang berkecamuk. Hanya ilmu sederhana saja.”
Meski jawaban itu tekesan tidak acuh, namun Raveen berhasil membuat Diane terkesima. Diane bergumam pada dirinya sendiri bahwa ia telah melupakan sisi Raveen yang misterius dan begitu suka dengan sejarah kuno. Sudah lama sekali dan sekarang ingatan Diane akan buku kumpulan sejarah kuno yang pernah ia temukan dalam ransel Raveen kembali terulang dalam benaknya. Diane jadi penasaran. Ia memutar tubuhnya hingga berhadap-hdapan dengan Raveen.
“Jadi kau cukup tahu banyak tentang pengobatan kuno, ya?”
“Sedikit,” Raveen menganggkat bahu. “Hanya beberapa saja dan yang tadi salah satunya.”
“Aku pikir kau tahu lebih banyak dari itu.”
Tiba-tiba antusiasme Diane membuat Raveen tertarik. “Kenapa kau begitu peduli? Kau suka dengan sejarah?”
“Aku sempat mengambil mata kuliah sejarah sebelum akhirnya aku memutuskan untuk beralih ke hukum. Aku cukup tertarik dengan sejarah Inggris kuno dan aku pikir aku terlalu kanak-kanak sampai nekat mengambil mata kuliah sejarah hanya karena ingin tahu dongeng-dongeng itu.”
Ketika Raveen tersenyum, Diane hampir meleleh. Wangi parfum Raveen yang khas menyeruak dalam indera penciumannya dan membangkitkan antusiasme yang tidak seharusnya.
“Sejarah itu bukan dongeng, Manis.”
“Aku tahu. Tapi aneh saja kalau aku meneruskan jurusan itu. Aku benar-benar tidak punya tujuan yang jelas dalam sejarah.”
“Itu wajar. Hampir semua orang mengatakan hal yang sama.” Jawab Raveen. Tatapannya terpaut pada wajah anggun Diane. Raveen tidak bisa mengalihkannya sedikitpun, terutama ketika wanita itu terlihat begitu antusias. Astaga, Diane semakin cantik saja.
“Dan bagaimana denganmu? Kau menyukai sejarah, kan?”
Pembicaraan mereka belum berlanjut ketika Diane dan Raveen mendengar suara pintu kayu yang berdecit di belakang mereka. Raveen yakin betul kalau pintu itu pasti beum dipolesi minyak hingga mengeluarkan suara yang teramat bising. Pintu kayu yang sama yang mereka lewati ketika masuk ke dalam ruangan itu menampakkan sosok wanita ramping dengan tinggi kurang dari seratus tujuh puluh senti, berkulit putih dan berambut cokelat keemasan dibalut oleh pakaian denim berwarna putih dan mantel berwarna krem yang lembut. Wanita itu kemudian melenggang masuk ke dalam ruangan dan berhenti untuk menyampirkan mantelnya ke tiang besi setinggi dua meter di samping pintu masuk. Pandangannya segera berlaih pada Diane dan Raveen yang masih duduk di sofa. Di saat yang bersamaan, Diane cepat-cepat menjauhkan dirinya dari Raveen. Ia berdiri untuk menerima sambutan hangat Mrs. Meilyn.
“Diane?!” Meilyn bertolak pinggang dan menyeret dirinya mendekat hingga jatuh dalam dekapan akrab Diane. Ia melirih Raveen sesekali dari balik bahu wanita itu. Cepat-cepat Meilyn melepaskan dekapannya untuk meminta penjelasan rinci. “Kejutan macam apa ini? Kau seharusnya datang sehari yang lalu.”
“Aku berharap aku bisa, tapi kemarin aku mengalami sedikit masalah jadi kepergianku ditunda. Aku minta maaf sekali karena tidak bisa menghubungimu. Ponselku di tahan oleh Sam selama beberapa hari, jadi aku datang kesini selagi ada kesempatan.”
“Jadi apa yang sudah aku lewatkan? Kedengarannya sangat serius.”
“Hanya masalah biasa, percayalah.” Nada suara Diane menegaskan seolah tidak terjadi hal-hal besar apapun yang terjadi. Wanita itu menjawab seakan lupa bahwa pembunuh kejam di luar sana sedang berusaha mengintainya. Raveen tidak bicara apapun dan mmemilih keputusan paling bijak untuk diam. Tapi semua terjadi seperti yang ia duga.
“Aku yakin aku ingin mendengar ceritanya,” pinta Meilyn dengan sedikit mendesak Diane. Diane mengenal dokter Meilyn dan tahu bahwa wanita itu bukan tipe wanita yang mudah menyerah. Sebagai karib baik papanya, Dokter Meilyn bisa dibilang sudah begitu dekat dengan Diane sejak kecil. Saat ibunya meninggal tujuh belas tahun silam, Dokter Meilyn sudah seperti pengganti ibu bagi Diane. Tiap kali ia punya masalah, ia akan lari dan mengadu pada Meilyn jauh sebelum membiacarakan masalahnya pada keluarga sendiri. Hanya Dokter Meilyn yang benar-benar mengerti perasaan Diane. Atau sekiranya begitulah yang Diane tahu. Akhirnya dengan paksaan kecil, Diane pasrah dan memutuskan untuk menceritakan setiap detailnya, tapi ia membuat kesepakatan.
“Aku akan menceritakannya, tapi setelah aku bicara denganmu, Ma’am. Aku datang kesini untuk membicarakan kasusmu.”
“Oh ya, tentu saja,” Meilyn menyeringai lebar. Pandangannya beralih pada Raveen. “Dan kau membawa seorang pria bersamamu?”
“Dia Detektif Alex. Sekaligus pengawal pribadiku.” Tegas Diane, meruntuhkan semua prasangka Meilyn akan Raveen. Sementara Meilyn menyipitkan kedua matanya dengan heran, Raveen memberi senyuman hangat sebagai salam perkenalan.
“Oh-oh? Kupikir dia ini kekasihmu mengingat bagaimana asyiknya kalian saling bicara beberapa menit yang lalu,” Diane merunduk, Raveen berdeham. Tapi Diane tidak mau kalah. Ia dengan cepat menyanggah pernyataan tersebut.
“Tidak. Dia hanya seorang pengawal pribadi.” Tegas Diane dengan suara yang lebih mantap.
“Jadi sepertinya masalahmu itu cukup besar sampai melibatkan seorang detektif untuk menjadi pengawalmu, nak? Aku jadi penasaran,,”
“Nanti,” potong Diane sekaligus mengingatkan Meilyn untuk kembali pada topik mereka sebelum ini. “Setelah aku bicara tentang kasusmu. Akan aku ceritakan.”
“Janji?”
“Aku berjanji.”
Meilyn maju selangkah untuk menjabat tangan Raveen dan menyuguhkan senyuman yang sama hangatnya. Wajah Meilyn tampak bercerah dan tidak wajar jika mengingat kembali usianya yang menginjak paruh baya. Wanita itu terlihat sepuluh tahun lebih muda dengan kulit wajahnya yang kencang dan kesimbangan berat badan yang terjaga. Sang dokter pasti berusaha keras untuk menjaga pola hidup sehatnya sampai sekarang. Raveen sudah menduga ketika ia menerima salam hangat itu.
“Aku yakin Diane sudah mengatakan tentang aku padamu,..”
“Alex. Panggil saja Alex.”
Ketika sang dokter tertawa, suasana mencekam jadi terasa hangat. “Ya ampun, Tuan rumah macam apa aku ini? Aku pikir Mrs. Lina sudah menyambut kalian dengan ramah.”
Diane diam sebentar kemudian menyadari bahwa Mrs. Lina yang dimaksud oleh Meilyn adalah wanita tua yang baru saja membawakan mereka teh. Lalu Diane tersenyum. “Tentu saja.”
Sambil menarik pergelangan tangan Diane sang dokter berceloteh masuk ke dalam ruang makannya. Raveen baru menyusul ketika Diane memberi anggukkan singkat.
“Mari, Nak. Biar aku periksa apa yang ada di lemari persediaanku. Apa kau lapar? Kita bisa bicara sambil minum teh. Ajak teman priamu itu, Nak. Aku akan meminta Mrs. Lina untuk membawakan seteko teh hangat yang baru.”
“Terima kasih, Ma’am. Aku akan senang sekali.”
Seperti dugaan Diane, ruang lainnya di dekor sama persis seperti ruang-ruangan lain. Hiasan interior unik yang menggantung dimana-mana mampu menarik perhatian siapapun yang datang berkunjung-kecuali Raveen. Melihat bagaimana pria itu bersikap datar seolah-olah suasana rumah yang seperti ini sudah biasa. Namun, tatapan Raveen melayang ke berbagai sudut ruangan dan terhenti pada kursi kayu yang mengitari sebuh meja berbentuk lingkaran. Raveen memilih kursi yang berseberangan dengan Diane kemudian duduk disana. Sementara Meilyn sibuk dengan peralatan rumah tangganya, Raveen hanya menyimak pembicaraan mereka.
“Sudah berapa lama kau tinggal disini?” tanya Diane sambil menuang secangkir teh panas yang baru saja disediakan Meilyn untuk mereka. Sesekali ia bertemu pandang dengan Raveen kemudian melempar kesan ketus ketika Diane mendorong tekonya pada Raveen.
“Sebenarnya aku baru saja tiba disini sejak sepekan yang lalu,” aku Meilyn tanpa ragu-ragu. Ia beranjak menuju konter untuk meletakkan beberapa potong kue pada piring besar dan mengambil buah-buahan segar di lemari pendingin. “Kau tahu, nak, rumah ini sebelumnya rumah yang ditempati oleh adik bungsuku, William.”
Diane samar-samar mengingat nama itu. William adalah adik bungsu Meilyn yang telah meninggal sejak dua tahun lalu akibat kecanduan obat. Kalau dipikir-pikir William masih terlalu muda untuk menjemput ajalnya. Diane sudah mempelajari berkas keluarga mereka. Usia William sekitar dua puluh lima tahun. William sempat mengambil mata kuliah di tempat yang sama dengan Diane. Sebelumnya, Diane mengenal William sebagai pria baik-baik yang mencintai seni. Sudah terbukti dari dekor rumahnya. Tapi dibalik itu, William dikenal sebagai mahasiswa yang misterius dan menutup diri. Kemudian kabar meninggalnya William mengejutkan seisi kampus. William yang dikenal memiliki teman klub motor ugal-ugalan itu mati karena kecanduan obat-obatan. Sebenarnya Diane masih merancu dengan informasi itu, tapi Diane tidak begitu antusias untuk mengetahuinya lebih lanjut. Meski ia menduga bahwa pasti ada hal lain yang disembunyikan tentang kematian William.
Meilyn sangat terpuruk atas berita kematian itu. Meilyn memang sudah bertahun-tahun tidak tinggal bersama adik bungsunya. Orang tua William sudah meninggal sejak mereka masih kecil, kakak perempuannya sibuk dengan pekerjaan sebagai dokter spesialis sementara kakak lelakinya-Shimon menyibukkan diri dengan urusan uutang judinya yang menggunung. William tidak punya waktu untuk berelas kasih dengan kedua saudaranya. Mungkin hal itu pula yang menyebabkan Willam lepas kendali dan memilih untuk memakai obat-obatan untuk mengakhiri hidupnya.
Jadi, sekarang Diane tahu bahwa Dokter Meilyn sengaja pindah ke kota ini karena kasus keponakannya yang menghilang bersama Shimon entah kemana. Dokter Meilyn pasti tidak ingin kematian yang sama terulang kembali dalam keluarganya. Dokter Meilyn sangat menyayangi keponakannya itu.
“Ya, kelihatan wajar.” Komentar Diane ketika Meilyn bergabung disisi kursi yang lebih dekat dengannya sambil meletakkan satu nampan penuh makanan yang disediakan.
Seolah dapat menebak perntanyaan yang tersirat dalam raut wajah Diane, sang dokter berkata, “Kau pasti bingung, ya? Rumah ini memang sudah tidak dirawat sejak adikku William meninggal. Sudah lama sekali dan sepekan ini aku sibuk sekali sampai tidak punya waktu luang untuk membenahi barang-barang. William sangat suka mengoleksi sampah-sampah yang menurutnya antik.”
“Sebenarnya aku suka dengan dekorasinya.”
Dokter Meilyn tertawa. “Oh, Nak. Aku tidak sependapat denganmu. Menurutku rumahnya benar-benar tidak terawat. Dia tidak membiasan hidup sehat ditengah barang-barang antik ini. Tapi aku pikir akan jauh lebih baik kalau aku tidak merusaknya. Hanya semua ini yang ditinggalkan oleh William. Lagipula aku tidak akan menetap terlalu lama. Setidaknya sampai kasus keponakanku selesai.”
“Omong-omong soal kasusmu, aku punya banyak sekali pertanyaan yang harus kau jawab. Tapi sebelum itu aku ingin kau menceritakan bagaimana semua ini bisa terjadi.”
“Sederhana sekali, Nak. Adikku, kau tahu, Shimon sudah lama sekali menjudi. Dia sepertinya sudah tidak waras lagi sejak isterinya pergi bersama laki-laki lain. Jadi Shimon bermain kartu di sebuah klub. Hampir setiap malam aku rasa. Dan entah bagaimana utang-utangnya itu sudah membumbung tinggi. Shimon sudah menjual rumah dan semua barang-barang berharga miliknya. Aku sempat berdebat dengannya karena keputusan itu. Aku meminjamkan dia dana untuk membangun rumah yang baru, dan memulai hidupnya dengan anaknya kembali. Tapi ternyata aku tidak menganal Shimon dengan cukup baik. Dia memanfaatkan uang itu untuk melakukan kesalahan yang sama. Utangnya kembali membumbung dan setelah itu dia pergi jauh meninggalkan kota bersama Emma-puterinya. Dia meneleponku kemudian mengatakan kalau dia sedang berusaha menghindari para penagih utang. Aku tidak tahu kemana tepatnya Shimon membawa Emma pergi, tapi yang pasti dia berniat akan menjual Emma seandainya aku tidak memberi sejumlah uang yang cukup besar padanya. Kau tahu, Nak. Uang tidak akan jadi masalah besar bagiku selama itu menyangkut keponakanku yang malang. Tapi aku tidak punya tabungan sebesar itu untuk menutupi semua utang-utangnya. Shimon memang sudah benar-benar gila. Aku khawatir dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjual Emma.”
Diane menyikmak dengan penuh perhatian. Sesekali mencatat hal-hal yang penting dan merekam semua penjelasan Meilyn dalam otaknya. “Kapan Shimon menghubungimu?”
“Kurang dari tiga hari yang lalu.”
“Jadi dia membawa Emma bersamanya. Apa kau tahu bagaimana Shimon memperlakukan puterinya?”
“Dia kasar sekali, Nak,” suara Meilyn terdengar jauh lebih mantap. Wanita itu menegaskan perlakukan adiknya dengan sangat tegas. “Isabelle isterinya meninggalkan Shimon dan Emma sejak tiga tahun lalu. Awalnya sikap dan perlakuan Shimon terhadap Emma masih bisa ditolerir. Aku pernah mendengarnya bicara kasar di hadapan Emma, tapi aku pikir dia sedang berusaha menasehati puterinya yang hampir remaja itu, tapi kemudian aku melihatnya memukuli Emma dengan cara yang tidak pantas dilakukan oleh seorang ayah, dan Shimon menyebut itu pantas untuk sikap Emma yang keterlaluan. Tapi aku sangat mengenal keponakanku, Nak. Emma bukan anak yang nakal. Dia hanya suka bermain-main, dan Shimon mengaggap kelakuan Emma tidak pantas. Emma pernah pulang larut dari berkunjung ke rumah sahabat lamanya, dan Shimon memukuli gadis itu habis-habisan. Aku pernah mencoba membawa Emma pergi untuk tinggal bersamaku, tapi kemudian Shimon datang untuk mengambil Emma dan menyebut-nyebut soal status dan haknya sebagai ayah. Dia bilang aku hanya bibinya dan dia jauh lebih berhak atas Emma.”
Diane mengerutkan wajahnya dengan haru. Ketika Meilyn menceritakan kejadian itu dengan genangan air mata yang hampir merebak, Diane meletakkan satu tangannya di atas punggung tangan Meilyn. Satu tangan Diane mencoba menggenggam Meilyn sambil berusaha untuk menguatkannya. Tapi kemudian dokter Meilyn menangis. Diane tidak kuasa untuk menahan isaknya juga.
“Aku sangat menyayangi Emma, Nak,” kata dokter Meilyn di tengah isaknya. “Isabelle tidak pernah memperlakukannya dengan baik. Begitu juga Shimon. Emma sangat kurang perhatian dari kedua orang tuanya. Kau tahu? Aku pernah memberinya sebuah hadiah kecil yang sempat ku beli di toko. Hanya sebuah beneka mainan dan dia dangat senang dengan hadiah itu. Dia mengatakan bahwa dia belum pernah dapat hadiah yang seperti itu,” tangis Meilyn pecah disusul oleh Diane yang terisak pelan. Tanpa sadar genangan air mata sudah membasahi wajahnya.
Raveen yang sedari tadi duduk diam sambil melipat kedua tangannya di atas meja, diam-diam memperhatikan mereka dengan pandangan skeptis. Pria itu menyipitkan kedua matanya ketika suara isak tangis memenuhi ruangan. Meraih teko yang ada di depannya, Raveen menuang secangkir teh. Kemudian ia menangkat cangkir itu untuk menyesapnya. Padangannya terfokus pada Diane kemudian beralih pada sang dokter dengan tajam. Ia terus memandang dua wanita yang saling mengkasihani diri mereka dari balik cangkirnya.
Tanpa sadar genggaman Diane sudah sekencang isak tangisnya. Satu tangannya yang bebas meluncur di punggung sang dokter. Diane menggerakan telapak tangannya yang terbuka di atas punggung Meilyn dengan maksud menenangkannya. Ia menggumamkan sesuatu yang sulit untuk di dengar Raveen. “Aku mengerti perasaanmu.”
Sementara itu, dokter Meilyn masih saja menyebut nama Emma berulang kali dalam isaknya seolah-olah ia sedang berkabung. Pertunjukan melodrama membuat Raveen bosan setengan mati. Pikirannya kalut tidak keruan. Setiap kali suara isak tangis itu menggantung di udara, Raveen hanya mendesis. Pertunjukkan seperti ini sama sekali tidak diperlukan dalam kasus sang dokter. Raveen bertanya-tanya apa dua wanita itu berpikir kalau tangis bisa menyelesaikan semuanya. Tapi bukankah itu yang selalu dilakukan oleh para wanita? Menangisi nasib mereka? Astaga, Raveen membenci adegan yang dramatis ini. Rasa kesalnya kemudian berubah menjadi perasaan muak yang berlebihan. Kemudian, Raveen meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja dengan kasar hingga meimbulkan bunyi bedebum yang kuat. Jujur saja ia sengaja melakukan itu. Usahanya manis terasa ketika pandangan Diane dan Meilyn sontak teralih dan isak tangis memuakkan itu berhenti. Tapi Raveen harus menggigit jari ketika Diane melanjutkan tangisnya kemudian disusul oleh tangis yang lebih berat dokter Meilyn.
“Sial, sial, sial!” Raveen menggumamkan sesuatu yang nyaris di dengar oleh Diane. Ketika wanita itu melayangkan pelototan sengit padanya, ia menyeringai lebar. Kemudian ajang tangis-menangisi kembali berlangsung. Lagi. Dengan lebih keras dari yang sebelumnya. Raveen sempat berpikir bahwa ia ingin muntah.
Pertunjukan membosankan itu berakhir lima belas menit kemudian. Raveen menarik keliman jaket dan kemejanya. Memeriksa arloji untuk kali yang ketiga. Ia kemudian bersyukur karena akhirnya pertunjukkan selesai dalam kurun waktu lima belas menit.
“Maaf, Nak. Aku selalu seperti ini kalau membicarakan keponakanku yang malang itu.”
Diane tersenyum lebar. Dua tangannya menggenggam satu tangan Meilyn. “Tidak apa-apa,” katanya. “Itu hal yang wajar. Kalau aku jadi kau aku mungkin merasakan hal yang sama. Walaupun aku belum penah bertemu dengannya, aku yakin Emma anak yang baik.”
“Sebenarnya dia juga manis,” setelah lima belas menit menangis, senyum dokter Meilyn kembali merekah. “Kau pasti sangat menyukainya begitu kau melihatnya.”
“Aku yakin aku akan langsung menyukainya. Apa dia suka pita merah?”
“Tidak sebenarnya dia suka warna ungu.”
“Sayang sekali. Aku pikir aku bisa memberinya pita kesayanganku di rumah. Tapi sebenarnya ungu juga boleh. Aku punya beberapa boneka kecil berwarna ungu. Bonekanya masih terawat dengan baik.”
“Aku yakin Emma akan menyukainya.”
Diane menegakkan tubuhnya, kegirangan. “Aku akan membungkuskan semua itu untuknya besok. Aku ingin kau memberinya kalau dia sudah kembali.”
Ruapanya Diane tidak pandai memilih penggunaan kalimat yang sesuai dengan kondisi. Wajah sang dokter kembali murung setelah mendengar pernyataan terakhir itu. Raveen mendesah kesal. Bahunya merosot turun.
“Tapi, Diane..” kata Meilyn. Pandangannya lesuh terarah pada Diane yang mulai bersungut-sungut. “Aku tidak tahu kapan Emma akan kembali. Ya Tuhan, boleh jadi Shimon benar-benar menjualnya untuk jadi pelayan,” ketika suara Meilyn mulai bergetar, wajah Diane berubah kusut. “Apa yang akan kulakukan seandainya itu terjadi, Nak? Aku tidak bisa membiarkan keponakanku dijual. Ya ampun aku bukan bibi yang baik. Dia masih terlalu kecil untuk diperlakukan seperti itu..”
Tangis mereka pecah. Selama sesaat Raveen merasa kalau ruangan begitu sesak dan sempit. Ia jadi sulit bernapas, sulit untuk berpikir dengan lebih baik dan muak. Tubuhnya merosot pada sandaran kursi. Ia menarik kembali keliman jaketnya dan melihat arloji. Lima menit kemudian, kesabaran Raveen sudah habis. Telapak tangannya mendarat dengan keras di atas meja. Suara bedebum yang ia timbulkan untuk kedua kalinya kembali menyita perhatian Diane dan Meilyn.
“Sebenarnya aku ingin mengingatkan kalian kalau ada masalah lain yang jauh lebih penting untuk kalian bicarakan. Kasus Shimon contohnya. Kalian seharusnya membicarakan rencana apa saja yang akan kalian jalankan untuk memenangkan pengadilan, atau mungkin apa saja yang bisa kalian lakukan untuk menemukan keberadaan Shimon dan keponakanmu yang malang, atau hal apapun yang jauh lebih berguna ketimbang menangisinya..”
Diane menatap Raveen dengan skeptis. Raveen dibuat ciut karenanya. Tiga detik kemudian, Diane membuka mulut untuk angkat bicara, “Apa aku lupa menyebutkan kalau sebaiknya kau tidak ikut campur terhadap urusanku?”
“Kau mengatakannya dengan sangat jelas,” jawab Raveen. Pandangannya berlaih pada Meilyn. Ia melihat wanita itu tersenyum sambil meremas tangan Diane dengan lembut.
“Tidak apa-apa, Nak. Pacarmu ada benarnya juga..”
“Dia bukan pacarku!” seru Diane dengan cepat dan ketus. Dahinya berkerut dalam. Sementara itu, Raveen tersenyum kecil. Ini baru pertunjukkan yang menarik.
“Oh, aku lupa. Tentu saja. Alex benar sekali. Seharusnya kita membicarakan soal strategi.”
Hasrat terpendam Diane untuk memaki lelaki itu kian membumbung. Disaat yang sama ia beralih dengan sinis pada Raveen untuk. Menatap lelaki itu dengan tatapan mengancam yang menjanjikan maut.
“Sebenarnya,” ujar Diane di tengah tatapan mengintimidasi versinya yang baru. “Aku sudah merencanakan strategi tanpa harus diingatkan oleh Detektif Alex. Aku tahu apa yang bisa aku lakukan dan aku akan senang sekali jika seseorang tidak mencoba mengejanya seolah-olah aku ini tidak bisa apa-apa.”
Suasana yang semakin tegang itu bisa dirasakan oleh dokter Meilyn yang dengan cepat mencairkan suasana. Tawanya memenuhi ruangan. Diane menganggap kalau sikapnya terhadap Raveen terlalu blak-blakan di depan Meilyn. Seharusnya ia tidak memperlihatkan rasa tidak suka itu. Ia hanya akan membuat Meilyn curiga.
“Kenapa kalian tidak mencicipi kue buatanku?”
Diane cepat-cepat meraih sepotong kue lalu memasukkannya ke dalam mulut. Sorot tajamnya tidak beralih dari Raveen. Semantara Raveen mengambil potongan kue paling pinggir lalu menghabiskannya dengan cepat. Ia tersenyum pada Meilyn.
“Kue buatanmu ini lezat sekali, Ma’am.”
Dokter Meilyn tersenyum atas pujian itu. “Aku gemar sekali membuat kue-kue seperti itu. Beberapa orang mengatakan hal yang sama.”
“Tentu saja. Ini memang benar-benar lezat.” Aku Raveen. Ketika tatapannya bertemu pandang dengan Diane, ia tersenyum kecut. Raveen cepat-cepat menambahkan, “Tapi seseorang sepertinya punya pendapat lain. Bukan begitu, Diane?”
Diane hampir tersedak. Dokter Meilyn menawarkan secangkir teh padanya dan dengan cepat Diane menyesap teh itu. Ia baru bicara ketia tenggorokannya merasa lebih baik. “Aku pikir kue nya sangat lezat.”
“Tapi kulihat kau memelotot saat memakannya.”
“Aku tidak melotot!” sergah Diane dengan ketus. Tubuhnya dicondongkan ke depan dan raut wajahnya menentang Raveen dengan keras.
“Nah, sekarang kau melakukannya.” aku Raveen agak sedikit jengah ketika mengatakannya, namun ia juga sedang berusaha untuk menahan pekikan keras. Disaat yang bersamaan, Diane menyadari betapa bodoh tingkahnya. Jadi ia berpaling dari Raveen sambil menegakkan tubuhnya. Meski begitu, diam-diam Diane masih menggerutu.
Meilyn tidak bisa menahan tawanya melihat sikap dua orang aneh yang berdebat itu. Namun, ia lebih memilih untuk tidak mempersalahkannya. “Diane, kau sudah berjanji padaku akan menceritakan masalahmu.”
“Aku ingat.”
Dalam beberapa menit Diane menceritakan semua detailnya. Ia diingatkan oleh Raveen sesekali jika ada kejadian yang terlewat dan pria itu membuat Diane jengkel. Ketika Meilyn menyerahkan seluruh perhatiannya pada cerita itu, Diane berpikir kalau mungkin Meilyn akan banyak berkomentar. Dan benar saja.
“Ya ampun, Nak. Kau jelas tidak tahu masalah apa yang sedang kau hadapi ini.”
“Aku tahu. Semua orang mengatakan hal yang sama padaku.”
“Tidak. Maksudku, ancaman itu jelas bukan ancaman sembarangan. Kau harus berhati-hati, Nak.”
“Aku tidak tahu apa yang membuat aku harus berhati-hati. Sam membuat aku kesal. Dia selalu melebih-lebihkan semuanya.”
“Jelas jika dia bersikap seperti itu,” pengakuan Meilyn membuat Raveen puas. “Mungkin aku akan melakukan hal yang sama jika aku jadi Samuel. Kau tidak bisa selamanya bersikap tidak acuh. Kau harus waspada. Aku yakin detektif Alex bisa menjamin keamananmu dengan baik.”
“Tentu saja,” Diane mengerlingkan tatapannya pada Raveen sambil mendengus.
“Kapan papamu kembali dari tugasnya itu?”
Perubahan topik yang dibawa Meilyn tidak membuat Diane terkejut. Ia menjawabnya dengan acuh tak acuh. “Kurang dari sebulan lagi.”
“Aku harap dia tahu semua ini.”
“Tidak,” sergan Diane. “Papa tidak akan tahu apapun. Aku mohon kau jangan memberitahunya, ya? Kau tahu, aku tidak ingin papa khawatir.”
“Kau tidak ingin papamu khawatir atau kau khawatir akan diseret kembali ke rumah?”
Raut wajah memelas Diane segera berubah. “Sebenarnya keduanya. Tapi.. demi apapun, berjanjilah kau tidak akan mengatakan apapun padanya.”
“Aku tidak akan mengatakan apa-apa, Nak. Tapi aku tidak jamin bisa tutup mulut jika dia mendesakku.”
“Terima kasih.”
-
BAGIAN 4