Bagian 5

6223 Kata
Tiga jam itu berlalu dengan sangat lamban bagi Raveen. Ia baru dapat bernapas lega ketika akhirnya ia berhasil menyeret Diane secara paksa untuk segera keluar dari bangunan sederhana yang membuatnya berang. Sebenarnya bukan karena bangunan itu, tapi karena suasana hati Raveen yang sedang tidak keruan. Terutama karena Diane dan klien dokternya itu yang terus menerus membut Raveen bosan dengan pembicaraan feminism mereka. Entah itu topik mode gaun terbaru, warna kesukaan, bahkan pembicaraan yang amat membosankan itu melebar sampai ke bagian karakter dan ego laki-laki. Diane semestinya tahu bahwa ia dan Meilyn tidak pantas membahas hal itu di depan Raveen. Tapi Raveen berani bertaruh nampaknya Diane menikmati situasi yang membuat Raveen jengkel itu. Bahkan berusaha mengendalikannya dengan sangat baik. Diane mengatakan bahwa semua lelaki itu sama kerasnya. Ia mengklaim pernyataan tersebut atas nama Shimon dan berulang kali mencuri-curi pandang dengan Raveen. Tersenyum ketika merasakan wajah Raveen mulai berwarna merah padam. Terus membangkitkan topiknya walaupun sang dokter sudah beralih pada topik lain. Demi Tuhan, Raveen ingin sekali mencekik Diane dan memotong lidah tajamnya yang berani itu. Tapi Raveen tahu bahwa semua itu hanya akan jadi fantasinya saja. Dalam kurun waktu yang tidak bisa ditentukan, Raveen harus membiasakan diri dengan sikap keras kepala dan lidah tajam Diane. Ia cukup puas ketika melihat reaksi Diane yang kesal saat Raveen tidak berusaha mengunjukkan emosinya sedikitpun akan semua komentar itu. Bahkan terlihat begitu tenang seperti air. Dan sekarang mereka kembali duduk bersampingan di dalam mobil. Dengan suasana hati yang bukan hanya sekedar tidak menyenangkan, namun benar-benar tidak menyenangkan. Ketika akhirnya Diane menghentikan salam perpisahannya dengan sang dokter dari balik kaca mobil, Raveen segera menginjak pedal gas dan membawa mobil menjauh dari bencana itu. Ia tersenyum singkat lalu menghela napas. Tapi seharusnya Raveen tahu bahwa pertaruangan tidak akan pernah berakhir. “Aku tidak suka kalau kau mencampuri urusanku lagi, Detektif!” komentar ketus Diane tidak segera digubris oleh Raveen. Kemudian ia menyentak wajahnya dengan kesal. “Aku minta maaf,” kata Raveen akhirnya. Ia memutar kemudi berbelok pada pertikungan jalan. “Aku pikir masalah klienmu tidak akan pernah selesai kalau kalian terus membicarakan soal warna kesukaan,,” “Itu urusan kami!” sela Diane sambil memutar tatapan sengitnya. Ia mengacungkan jari telunjukkan ke wajah Raveen. “Kau, sebaiknya tidak melakukan hal yang sama dilain waktu atau aku akan memecatmu.” Raveen terkekeh. Diane berang. “Aku tidak bekerja untukmu, Manis.” “Ya, kau bekerja pada Sam. Tapi kau menjagaku. Aku bisa dengan mudah mengatakan pada Sam untuk mencari pengawal lain yang jauh lebih baik.” “Memangnya ada yang jauh lebih baik dari aku?” “Tentu ada,” nada suara Diane berkesan yakin dan mantap. “Pasti ada.” “Lupakan saja, Sam menyewa aku untuk menjamin keselamatanmu. Dia tidak akan menuruti kemauanmu hanya karena kau tidak suka padaku.” “Sebaiknya kau diam!” pinta Diane dengan sedikit ketus. Wanita itu berdesekap dengan kesal. “Aku lupa siapa yang memulai percakapan ini,” tidak ada komentasr sinis Diane yang menyusul, jadi Raveen melanjutkan tugasnya dengan rasa puas. “Baiklah, Miss Hampton kemana kita akan pergi sekarang?” “Kau, sebaiknya pulang dan beristirahat. Aku akan menyetir sendiri.” “Jangan bodoh. Kau tahu aku tidak akan melakukannya.” “Kalau begitu jangan banyak berkomentar dan bawa saja aku ke kedai kopi pusat di kota!” Matahari telah tenggelam dan cahaya jingga bagai kabut tebal yang mengelilingi awan mulai merekah ketika mereka sampai di kedai satu seperempat jam kemudian. Raveen berhasil menerobos kemacetan dan tiba di kedai sesuai waktu yang diminta Diane. Sebenarnya, mereka terlewat lima belas menit lamanya. Tapi Jules dan Regan mungkin bisa menolerir. Ketika Diane menghambur masuk didampingi Raveen ke dalam kafe, pandangannya menyapu sekitar. Beberapa pelanggan mulai berdatangan ndamun tidak sedikit juga yang berhamburan keluar. Tatapan Diane kemudian berhenti pada kursi yang tersedia di pojok ruangan. Jules dan Regan sedang mengobrol sambil menunggu kedatangannya disana. Kelihatannya mereka begitu asyik sampai tidak menoleh sedikitpun ketika Diane beranjak ke mejanya. Raveen mengikuti di belakang. Sesampainya di depan meja, kehadiran Diane menyita perhatian dua sahabatnya-yang sebenarnya lebih tertarik dengan kehadiran Raveen di tengah-tengah mereka. Kulit wajah Jules yang putih segera berganti merah muda ketika mengamati sosok pria dengan balutan jaket hitam dan jins longgar yang usang tengah berdiri di belakang Diane. Mengamatinya, kemudian Regan. Ekspresi Regan sama mencoloknya seperti jules. Regan memakai kaca matanya malam ini. Diane mnyadari itu ketika Regan membenahi kaca matanya yang merosot turun ketika memandangi Raveen. Dua sahabatnya mengenakan gaun dengan warna biru pucat yang sama. Gaun setinggi lutut dengan mode dan corak yang berbeda. Rambut Jules terikat menggumpal di belakang. Kerah blus yang dikenakannya menutupi lekuk leher dan bahunya yang terbuka. Sementara Regan membiarkan rambutnya terurai. Regan menyapukan wajahnya dengan riasan sedehana seperti biasa. Ketika Raveen berhasil menyita perhatian dua sahabatnya, Diane mendengus kesal. Ia berdecak masan sebelum berbalik untuk memandang Raveen yang jelas-jelas menikmati suasananya. “Sebaiknya kau menunggu di mobil,” pinta Diane sebelum memberikan kunci mobilnya kembali pada Raveen. “Aku akan kembali dalam waktu dua puluh menit.” Seyum lebar yang mengambang di wajah Raveen membuat dua sahabatnya terpana. Diane semakin jengkel dengan aura merah muda yang berada di sekitar mereka. Astaga, ia harus cepat-cepat mengusir Raveen dari kehidupannya atau lelaki itu akan merusak hari Diane. Ketika Raveen mendekat untuk berbisik, Diane bisa merasakan napas Raveen menggelitik tengkuknya. Mengirim semacam sensasi aneh yang membuat perutnya mulas. “Kau sebaiknya cepat, Manis. Jam tugasku akan berakhir beberapa saat lagi.” “Itu bagus.” Jawab Diane. “Menurutku juga begitu. Tapi aku tidak akan kembali sebelum kau sampai di apartemenmu.” “Kalau begitu selamat menunggu.” “Ingat, hanya dua puluh menit.” “Aku beranji akan kembali sebelum kau menyadarinya.”  ... Dua jam kemudian Raveen hampir meledak. Duduk diam di kursi kemudi sambil menyantap beef burger nya dengan berang. Memutar saluran radio di dalam mobil sesekali, kemudian mematikannya lagi. Lalu memutar kembali, menyesap kopinya yang sudah dingin, kemudian berpikir apa sebaiknya ia kembali ke dalam untuk menyeret Diane dari obrolan tidak bergunanya dengan dua wanita itu. Astaga, Raveen ingin berteriak, mengacak rambutnya, atau mungkin mencekik wanita itu keras-keras. Mengumpat kasar atau melakukan apapun untuk melampiaskan rasa jengkelnya. Tapi ia hanya diam, kemudian mematikan kembali saluran radio yang sebelumnya terasa sangat menyenangkan menjadi sangat menjenuhkan. Raveen kemudian memutuskan untuk memilih saluran musik, namun aluanan lembut melodrama membuatnya menekan tombol off dengan segera. Sialan. Satu-satunya orang yang bisa membuat ia gila adalah Diane. Tiba-tiba Raveen sudah tidak berselera lagi. Ia membuang beberapa gigitan terakhir burgernya ke dalam tong sampah yang berjarak tiga meter dari tempat parkir mobil. Lemparannya kemudian disusul oleh suara nyaring makanan yang jatuh ke dalam tong kosong. Kemudian Raveen menyesap kopinya. Ia meletakkan kopi itu dan memeriksa kembali arlojinya. Untuk yang kesekian kali. Pikir Raveen dengan geram. Baik, ia sudah memutuskan. Sepuluh menit lagi. Sabar. Sepuluh menit lagi Raveen akan menyeret Diane keluar dari kedai sialan itu. Diane terkikik bersama Jules dan Regan selama hampir dua jam. Pembicaraan mereka tidak lepas dari tema menggelikan tentang pria tampan yang ternyata adalah seorang Alexander Raveen-teman lama mereka di sekolah. Pria yang usianya terpaut lima tahun diatas mereka. Yang sebelumnya mereka kira sebagai montir di sebuah bengkel. Namun ketika Jules secara terang-terangan menyatakan kekagumannya atas Raveen, Diane menolak dengan mentah-mentah. Dan dengan naifnya Diane mengklaim diri bahwa Raveen sama sekali bukan tipe pria yang ia incar. Atau sekiranya begitu. Bahkan Diane sampai membanding-bandingkan Raveen dengan Maximus-mantan kekasihnya di asrama. Diane menyebutkan banyak kebaikan tentang Max dan dua temannya itu menangkap kesan lain bahwa Diane mungkin masih menyukai Max. Yah, walau tidak sepenuhnya benar setidaknya Diane berhasil menutupi fakta kalau diam-diam ia juga mengagumi Raveen. Setidaknya itu jauh lebih baik. Kemudian Diane bercerita panjang lebar tentang seluk beluk bagaimana kakaknya memutuskan untuk menyewa Raveen, tidak lupa soal surat kedua yang ia terima dari orang sinting. Disambung oleh ceritanya tentang bagaimana ia dan dokter Meilyn membuat Raveen gusar karena membicarakan perihal sifat buruk pria. Jules dan Regan semakin dibuat cekikikan. Kopi dan hidangan pembuka yang mereka pesan sudah setengah habis, namun perbincangan tentunya masih terlalu panjang. Kemudian pembicaraan itu disusul oleh cerita Jules tentang Gorge-lelaki di seminar yang berusaha mendekatinya. Lalu berlanjut pada pengalaman buruk Regan yang hampir mengencani seorang pelayan karena tidak memakai kaca mata saat melihatnya sehingga menyimpulkan kalau lelaki itu adalah Walter-pacar Regan. Lalu mereka terkikik lagi. Selama berulang kali dan kesabaran Raveen sudah habis. Lima belas menit sudah berlalu ketika Raveen berjalan masuk kembali ke dalam kedai, lalu berjalan menghampiri mereka. Pembicaraan tiga wanita itu segera beralih ketika Raveen mulai mendekat dan berdiri di depan meja. Tatapan Raveen sedingin salju, tapi Diane merasakan amarah yang membara di dalamnya. “Miss Hampton,” tegur Raveen. Jelas mengacuhkan dua orang wanita di samping Diane yang terus menatapnya dengan kagum. “Sebaiknya kau lihat arlojimu itu dan pikirkan kembali soal janji yang kau buat dua jam lima belas menit yang lalu.” Diane merona ketika Raveen menegaskan angka itu. Ia kemudian mengumpukan keberanian diri untuk menengadah dan menghadapi Raveen. “Aku sudah bilang sebaiknya kau tunggu di mobil.” “Tidak,” sergah Raveen dengan suara yang tenang. Sama sekali tidak mengunjukkan amarah dalam bentuk apapun. “Kau bilang kau akan kembali ke mobil dalam waktu dua puluh menit.” “Oh itu, aku lupa.” Lupa? Sialan. Raveen mengumpat dalam diam. Setelah ia menunggu wanita itu dan menghabiskan waktu yang membosankan di dalam mobil, dengan ringannya Diane bilang ‘lupa’? Astaga, Raveen ingin eksekusi mati di laksanakan sekarang juga. Apapun, yang membuat amarahnya reda. “Sebaiknya kau bergegas, Miss Hampton. Aku tidak punya waktu lagi.” “Kenapa kau tidak pulang saja?” “Aku tidak akan pulang sampai kau ada dalam apartemenmu.” “Kalau begitu tunggu beberapa menit lagi.” Raveen ingin mencekik Diane, tapi ia menolak hasrat membubuh itu dan memilih untuk menggeser tubuh Diane dengan kasar hingga wanita itu berpindah ke kursi yang merapat pada dinding dan membiarkan Raveen mengambil alih kursi sebelumnya. Diane mendelik ketika Raveen menghempaskan tubuhnya di kursi lalu mengambil alih pembicaraan. “Jadi, katakan padaku apa aku pernah mengenal kalian?” Jules dan Regan saling berebut kesempatan untuk menjawab pertanyaan itu. Kemudian Diane terlihat semakin gusar ketika Jules cepat-cepat memperkenalkan dirinya kemudian ditimpali oleh Regan yang bernostalgia tentang masa remaja mereka. Saat mereka mengenal Raveen sebagai teman Sam-sekaligus pemain basket yang andal. Nampaknya Raveen tidak begitu mengacuhkan mereka, tapi jelas kalau Raveen tengah berupaya membuat Diane kesal setengah mati. “Kau ingat,” kata Regan dengan atusias. “Kami pernah melihat pertandinganmu dengan Sam tiga kali.” “Oh ya?” Raveen kedengaran sama antusiasnya. “Aku pasti melupakannya. Banyak sekali pertandingan yang aku jumpai saat itu.” “Yah, sebenarnya hanya pertandingin dalam yang sederhana. Tapi satu pertandingan basket sungguhan dengan tim macan tutul. Aku ingat sekali tim basketmu keluar sebagai juara utama.” Suara Jules kemudian menyusul. “Kalian mengalahkan tim macan tutul!” matanya terbuka lebar. “Juara bertahan dan tim yang paling di takut-takuti itu. Kau dan Sam benar-benar luar biasa.” “Banyak yang membantu.” kata Raveen. Membuat Diane terkejut karena nada suaranya tidak berkesan menyombongkan diri. “Tidak,” sergah Regan. “Kalian yang mencetak skor paling banyak saat itu.” “Yah, aku pikir itu keberuntunganku saja.” “Keberuntungan tidak akan terjadi berulang kali, benar begitu, Diane?” Diane menatap Jules dengan sinis. Kemudian ia merasakan wajah Raveen yang berkedut, karena itu Diane semakin kesal. “Tidak. Sama sekali tidak. Aku pikir itu hanya kebetulan saja. Percayalah.” Jules dan Regan mengabaikan komentar sinis Diane dan kembali pada keseruan perbincangan mereka dengan Raveen. Sepuluh menit berlangsung dengan sangat membosankan kali ini untuk Diane. Ia tidak tahan untuk mengerang kemudian memutuskan bahwa ia harus segera pulang. Ketika Diane bangkit berdiri, dirinya menjadi pusat perhatian mereka. “Aku mau pulang.” Katanya dengan ketus. “Kau akan datang besok?” Regan mengingatkan Diane tentang rencana berlibur yang sudah mereka canangkan beberapa menit lalu. “Tentu saja,” Diane memutar pandangannya pada Raveen. “Aku pastikan tidak akan ada yang menghalangiku” “Itu bagus. Aku akan menghubungimu besok.” Ujar Jules. Kemudian Raveen ikut berdiri lalu mengucapkan salam perpisahan yang hangat dan tidak wajar pada dua sahabat Diane sebelum mengekor Diane keluar kedai. Raveen harus berjalan dengan lebih cepat untuk mengimbangi langkah Diane. Wanita itu masuk ke kursi penumpang segera setelah ia duduk di kursi kemudi. Kemudian Raveen menyalakan mesin dan mulai menstarter mobil. Ia memutar kemudi sebelum akhirnya menginjak pedal gas meninggalkan area parkir yang sekarang sudah dipadari oleh pengunjung kedai. Suasana jalan masih begitu ramai, namun ketika mereka sudah sampai di pertengahan jalan, semuanya nampak sepi. Raveen menikmati alunan musik pop yang mengiringi perjalanan mereka menuju apartemen, tapi sepertinya suasana hati Diane sedang kacau. Jadi, ia mematikan pemutar musiknya dan berpaling pada Diane. “Ada apa, Manis?” “Berhenti menyebutku Manis!” suara Diane sekarang lebih mirip kecaman. Raveen dengan segera memperbaiki kesalahannya. “Bagaimana dengan cantik?” “Tidak ada panggilan apapun selain Miss Hampton. Titik!” “Sepertinya kau tidak suka padaku, ya?” “Sangat tidak suka.” “Kalau begitu apa yang telah aku lakukan? Aku lihat dua temanmu itu sama sekali tidak terganggu dengan keberadaanku.” “Tentu saja karena mereka tidak sepintar aku. Mereka tidak bisa menilai sikapmu yang suka ikut campur itu dan.. menjengkelkan.” Raveen tersenyum ramah pandangannya terfokus pada jalan di tengah malam yang gelap. “Aku pikir hanya kau yang mengatakan itu.” “Benar sekali.” Lima menit berikutnya tidak ada percakapan. Diane terlalu berang sampai tidak menyadari kalau ia sudah sampai di depan apartemennya. Ia cepat-cepat turun dan berusaha keras untuk menghindari Raveen. Namun sepertinya usaha Diane terasa sia-sia karena pria itu dengan kecepatan yang sama mengimbangi langkahnya. Ia menghentikan Raveen di depan pintu suitenya. “Aku sudah sampai apartemen ku. Aku bahkan sudah ada di depan suite ku, jadi apa lagi yang kau tunggu?” “Silahkan masuk, kunci pintunya dan aku akan pergi.” Diane mempercepat pergerakannya membuka pintu suite itu kemudian berjalan masuk. Ia berhenti ketika Raveen mengukurkan kunci mobil miliknya. “Ini!” Setelah menerima kunci mobil itu, Diane mendorong pintu, namun Raveen menghalanginya. “Dengar, kau harus datang ke kantor penyelidikan untuk dimintai keterangan.” “Kapan?” “Besok pukul sebelas siang. Tapi aku akan datang untuk mengawalmu lebih pagi.” “Silahkan saja.” Diane membanting pintu di depannya. Ia mengunci pintu rapat-rapat dan bernapas lega karena akhirnya lepas dari penjagaan Raveen. Astaga pria itu membuatnya gugup. Diane harus berusaha menahan emosinya di depan Raveen. Sekarang semua jadi semakin sulit. Bagaimana Diane bisa menjalani hari-hari berikutnya dengan kehadiran Raveen? Pria itu jelas akan mengusik pikirannya. Terkutuklah Sam karena menyewa pengawal pribadi seperti Raveen. Setelah menghela napas panjang, Diane memutuskan bahwa yang ia butuhkan saat ini hanya menghempaskan tubuhnya di ranjang. Ketika Diane beranjak ke dalam kamar di suite nya, ia tidak membuang-buang waktu untuk melepas sepatunya kemudian menghempaskan tubuh dan tenggelam di balik bantalan empuk itu. Pergelangan tangannya tegores oleh sebuah benda yang kasar yang terselip di bawah bantal tidur. Diane kemudian meraba-raba hingga menemukan secarik amplop berukuran sedang disana. Rasa gelisah membuatnya duduk tegak. Merasa tidak kuasa untuk menerima teror selanjutnya, Diane sontak melempar surat itu jauh-jauh. Matanya mendelik ketakutan ketika ia mencondongkan tubuh untuk membaca sekilas tulisan hasil cetakan tebal yang tertera di depan amplop. Hanya kalimat sederhana yang berhasil membuat bulu kuduknya meremang. Untuk Diane tersayang... Respon Diane beranjak dari ranjangnya kemudian berlari menyambar telepon yang disediakan dalam apartemen. Diane bisa merasakan sekujur tubuhnya mulai bergetar. Ia mengaduk-aduk seisi laci hingga menemukan sebuah catatan buku telepon. Kemudian Diane mencari halaman yang dimaksud dengan cepat dan tergesa-gesa. Sampai ia terhenti pada nama Sam yang tecantum dalam catatan tesebut. Satu tangannya yang bebas menyeka dahinya yang berkeringat dingin sambil berusaha untuk mengendalikan nafasnya. Hasilnya sia-sia ketika tak ada jawaban yang masuk dalam deringan kelima. Tiba-tiba suara ketukan pintu membuatnya tersentak. Diane ragu-ragu meletakkan kembali gagang telepon pada tempatnya. Ia belum pernah merasakan tenggorokannya lebih kering dari sekarang. Rasanya Diane sulit bernapas. Dimana Raveen? Apa pria itu sudah pergi jauh dari apartemennya? Sial, Diane seharusnya membuat Raveen menunggu. Setidaknya sampai ia tertidur dengan nyenyak di ranjang. Tapi serakang ia harus menghadapi teror kejam dari orang sinting karena kekeras kepalaannya menolak Raveen. Ya ampun, Diane tidak pernah merasa sangat menyesal seperti saat ini. Ketukan di pintu kedua menyita perhatian Diane. Tubuhnya bergidik tak keruan. Diane mendekat sambil berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi ancaman di luar sana... Tubuhnya merapat di samping kenop pintu, kemudian Diane merunduk untuk melihat dari lubang kunci seseorang pria tengah berdiri luar sana. Tepat di depan pintunya. Pria itu mengenakan jins usang dan jaket hitam. Astaga.. Diane segera menyambar kenop pintu, memutar untuk membuka pintunya kemudian menghempaskan tubuh ke dalam dekapan Raveen. Ia menghela napasnya dengan lebih tenang sebelum bisa mengendalikan diri. Raveen bertanya-tanya apa Diane sadar akan apa yang dilakukannya sekarang? Atau wanita itu sedang mengigau? Tapi Raveen justru melingkarkan lengannya untuk membalas dekapan Diane dan membiarkan wanita itu membenamkan diri di dadanya yang bidang. “Diane?” “Oh, ternyata itu kau, syukurlah.” Akal sehat Diane kembali secepat kepergiannya. Raveen belum siap untuk mengendurkan dekapannya ketika Diane menarik diri untuk menjauh dan mulai memasang raut sok jual mahal yang dibenci Raveen-sekaligus dirindukan Raveen. Kebersamaannya dengan Diane belum sampai dua puluh empat jam, namun entah bagaimana Raveen sudah menyukai cara wanita itu bersikap. Seolah Raveen tidak begitu penting dan pada kenyataannya Diane benar-benar membutuhkan Raveen. Tapi rasanya ada yang benar-benar aneh dengan sikap Diane. Setelah hampir seharian Diane berusaha menjauhkan Raveen dari sisinya, sekarang Diane bersyukur atas kehadiran Raveen? Pastilah ada sesuatu yang terjadi. “Sebenarnya aku hanya ingin meminta nomor teleponmu yang bisa ku hubungi,” ucap Raveen ketika ia menangkap rona khawatir dalam raut wajah Diane yang hampir terasa mustahil bila mengingat bagaimana keras kepalanya wanita itu. “Aku baru ingat untuk mengatakannya.” Ia menambahkan. Diane tidak berani bertemu dengan tatapan mengintimidasi Raveen. Ia tidak ingin pria itu menangkap suasana hatinya yang benar-benar kalut setelah insiden surat yang ditemukan beberapa menit lalu. Astaga, bagaimana Diane bisa melupakan soal surat itu? Suratnya masih tegeletak di dalam sana. Diane ingin sekali meminta bantuan pada Raveen untuk menemaninya, membuka isi surat itu dan membuat Diane merasa lebih tenang karena keberadaannya. Tapi persetan, sejak kapan Diane berubah jadi pengecut yang beradu nasib hanya karena surat t***l yang dikirmimkan orang sinting. Tapi Diane sendiri meragukan pemikiran itu. Pasalnya pada surat ini, pengirim itu membuat namanya terpampang jelas. Tidak seperti dua surat sebelumya tanpa nama orang tujuan yang jelas. Kali ini benar-benar berbeda. Mungkinkah orang sinting itu sudah tahu namanya? Atau lebih buruknya mengenal Diane? Rasanya Diane mau muntah. Peralih, ia hanya merunduk. “Ada sesuatu yang mau kau katakan, Diane?” tegur Raveen. Pria itu harus membungkukkan badannya untuk bisa menatap Diane secara langsung. “Kau punya kesempatan bagus karena aku masih disini.” “Tidak,” jangankan Raveen, Diane sendiri terkejut dengan pengakuan bohong itu. Rasanya Diane ingin memotong lidah tajamnya dan melawan kehendaknya sendiri serta mencoba untuk berpikir dengan akal sehat. Tapi sepertinya keegoisan yang tinggi lebih mendominasi Diane ketimbang karakter lainnya. Diane terlalu keras kepala untuk mengakui kelemahannya di hadapan orang lain. Terutama Sam dan Raveen. Akhirnya, dengan penuh penyesalan, Diane melanjutkan, “Tidak ada apapun yang terjadi. Berikan saja kartu namamu dan aku akan menghubungimu lewat telepon di apartemen. Seandainya kau lupa ponselku sedang disita untuk bahan penyelidikan.” Raveen tanpa bicara mengeluarkan secarik kertas berbentuk bujur sangkar dari balik saku kemejanya kemudian meletakkan kartu nama itu di atas tangan Diane. Diane masih belum menatapnya. Raveen tahu sesuatu pasti telah terjadi, karena itu ia menengadah ke dalam suite. Menyapukan pandangannya ke sekitar dan tidak berhasil menemukan apapun selain suara seekor kucing yang meraung-raung di balik kandanganya. “Apa kau yakin semuanya baik-baik saja?” “Tentu saja.” “Kau tidak mau ditemani untuk beberapa jam? Aku menawarkan jam ekstra kalau kau meminta.” Diane mendelik menatap Raveen. Sikapnya sekarang membuat Raveen mampu bernapas lega karena ternyata Diane belum berubah sejak terakhir mereka bicara. “Kau pikir wanita macam apa aku?” ujar Diane dengan ketus. “Minnio dan Finggo ada bersamaku.” “Oh?” dahi Raveen mengenyit mendengar sebutan asing itu. Diane cepat cepat memperbaiki kalimatnya. “Mereka kucing peliharaanku. Tidak perlu khawatir. Aku jamin mereka lebih ganas dari pengawal macam apapun yang disewa Sam.” “Yah, dua ekor kucing jauh lebih baik. Aku akan pergi. Jangan lupa untuk menghubungiku jika sesuatu terjadi.” “Tidak akan,” Diane berdeham. “Aku usahakan.” Pandangan mereka saling bertemu sebelum akhirnya Raveen beranjak dan Diane menutup pintu di depannya. Bodoh,. Bodoh, bodoh! Makinya pada diri sendiri. Seharusnya Diane menerima tawaran Raveen untuk menemaninya selama beberapa jam kedepan. Setidaknya ia merasa jauh lebih aman atas keberadaan pria itu. Tapi Raveen bicara seolah-olah Diane benar-benar membutuhkan bantuannya-yang pada kenyataannya memang begitu-dan besikap dingin seolah kekhawatiran Diane bukanlah hal yang penting. Bagaimanapun Raveen seorang detektif, sudah seharusnya pria itu lebih peka dengan suasana. Tapi Raveen malah pergi. Tentu saja. Pria itu sudah menawarkannya jasa ekstra, kan? Dan Diane menolak. Jadi sekarang siapa yang salah? Diane mendengus frustasi. Ia membanting tubuhnya ke atas sofa, mengunci rapat-rapat matanya dan berusaha untuk menenangkan diri. Pikirannya kalut. Diane bodoh karena membiarkan teror itu menyita pikirannya. Ada begitu banyak hal yang seharusnya ia pikirkan malam ini. Tentang rencananya untuk lari pagi, lalu berangkat kuliah, menemani Regan untuk wawancara dan kasus Dokter Meilyn. Sidang akan dilaksanakan dalam kurun waktu dua minggu kedepan. Jika saja Diane belum berhasil mendapatkan informasi apapun, maka ia bisa kalah dalam sidang. Diane harus mencari informasi tentang keberadaan Shimon dan puterinya-Emma. Setelah itu Diane akan mencoba bicara secara baik-baik dengan mereka-meskipun kemungkinannya kecil. Hal yang lebih mustahil adalah mengecewakan Dokter Meilyn. Wanita itu sudah begitu baik, selain itu Diane juga mendukung peralihan hak asuh Emma setelah mendengar cerita Meilyn siang tadi. Sebelum pikirannya semakin jauh, Diane sudah tertidur di sofa.  ... Sang Murderer tersenyum memandangi bayangannya di cermin. Balutan kemeja hitam dan celana denim yang longgar membuatnya kelihatan lebih berwibawa. Atau setidaknya begitulah yang dikatakan orang. Ia kemudian meraih mantel elegan yang tergantung rapi Disana. Pakaian milik Diane.. Bahkan ia memiliki kamisol dan pakaian dalam wanita itu. Betapa mengejutkannya semua ini. Ia hanya mengantar surat dan pulang dengan pakaian elegan. Tapi ia tidak suka aroma parfum Diane yang khas dan menempel rekat di pakaian itu. Sang Murderer mengerutkan dahinya. Ia cepat-cepat melepas pakaian itu kemudian melemparnya ke dekat api di perapian. Aroma Diane masih menggantung di udara. Mengusik pikirannya dan membuat ia berang. Aroma yang begitu elegan. Aroma mawar, mungkin dipadu dengan wangi violet. Sialan. Sang Murderer memandangi matanya di cermin. Lingkaran hitam terlihat jelas pada kedua matanya. Wajahnya yang kecokelatan terbakar sinar matahari. Jelek, busuk, menjijikan. Kulit tangannya yang kasar berbanding terbalik dengan kulit Diane yang lembut dan eksotis. Ia mengerang kekesalan. Seharusnya ia bisa seperti Diane. Wajah yang anggun, mata biru dan aroma khas yang elegan. Diane Hampton pantas untuk mati. Sama seperti penghianat lainnya, Diane tidak berhak menerima syurga yang di berikan oleh Hakim Maccon Hampton dan kakaknya Samuel. Wanita itu harus menjemput ajalnya. Merasakan apa yang ia rasakan selama ini. Terbakar bertahun-tahun, tersiksa. Tapi Diane harus merasakan permainannya dulu. Ia harus memastikan kalau Diane benar-benar tersiksa. Tawa Sang Murderer membahana. Lima detik kemudian, dahinya berkerut, wajahnya ditekuk. Ia meringis di depan cermin. Mata gelapnya menyapu sekitar meja rias yang terbuat dari kayu ek. Meja itu hampir lapuk. Sudah sekian tahun lamanya. Milik sang mama tercinta. Sialan. Bukan mamanya, tapi wanita jalang murahan yang menjual dirinya sendiri. Ya,,, w************n. Itulah sebutan yang pantas untuk wanita itu. Sang Murderer menggulurkan tangannya meraih satu kotak mascara dan bedak wajah. Ia membukanya, memilik warna yang sesuai dengan rona wajahnya kemudian memoleskan sapu kecil itu ke wajahnya. Setelah itu ia mengenakan mascara berwarna hitam pekat. Sekarang semuanya sempurna. Lingkaran hitam di sekitar matanya sudah tertutup oleh riasan, dan ia tampil seanggun Diane. Sang Murderer melirik arloji yang menggantung di dinding. Jarum jam telah menunggukam pukul lima pagi. Pagi sekali. Dan ia masih terjaga. Luar biasa. Kemudian ia beranjak untuk mengenakan mantel hitamnya sebelum keluar dan mengemudikan pikap yang hampir bobrok itu menembuas kegelapan. Angin pagi terasa menyejukkan. Sama seperti suasana hatinya. Sang Murderer ingin melihat aksinya secepat mungkin. Tapi, ia perlu bersabar untuk mencapai titik klimaks dari permaian ini. Harus bersabar. Sabar.. ... Pukul delapan pagi, Diane sudah bersiap-siap. ia keluar dari kamar kecil dengan hanya mengenakan juban mandinya. Rambu gelapnya basah dan terurai tidak menentu di atas bahu. Sementara itu, Diane beranjak membuka almari untuk menemukan setelan tank top berwarna putih dan jaket olahraga yang biasa ia pakai. Diane hanya butuh waktu lima belas menit untuk berdandan dan ia sudah siap pergi ke area jogging di pusat kota. Diane menghubungi Jules dan Regan sebelumnya. Ia membuat janji akan menemui dua temannya di tempat jogging. Kemudian ia memasukkan beberapa barang yang lazim di bawa oleh wanita ke dalam tas gantung kecil. Pergerakannya terhenti ketika pandangan Diane terpaku pada surat yang masih tergeletak di bawah ranjang. Ia ragu sesaat, tapi kemudian berubah pikiran. Diane cepat-cepat meraih surat itu lalu memasukkannya ke dalam tas. Mungkin Diane tertarik untuk membacanya nanti. Mungkin. Atau jika tida, ia bisa menyingkirkan surat itu. Diane mengikat rambutnya yang sudah kering dalam satu ikatan ekor kuda, kemudian mengenakan sepatu berwarna setara dengan training putih yang ia kenakan. Setelah merasa siap, Diane beranjak keluar suite. Memastikan kalau suitenya terkunci rapat, lalu pergi ke area dimana ia memarkirkan mobil. Mobilnya melintas dengan kecepatan tinggi menuju area jogging. Sekitar lima meter jauhnya dari area jogging, Diane memarkirkan mobilnya kemudian beranjak menghampiri Jules dan Regan yang tengah berbincang-bincang tak jauh dari mobil mereka. “Maaf membuat kalian menunggu,” “Tidak masalah.” Jawab Regan, enteng. Jules tengah menyibukkan diri dengan anting dua perak yang baru saja ia beli di pusat perbelanjaan malam kemarin. Ia mengunjukkan dua anting dengan motif yang berbeda itu pada Diane dan Regan untuk dimintai mendapat. “Menurutmu, mana yang cocok untukku kenakan nanti saat wawancara?” “Keduanya cocok.” Diane jelas tidak mengacuhkannya. “Aku tahu, tapi aku tidak bisa memakai dua-duanya.” “Kalau begitu nanti akan kuputuskan. Sekarang kenapa kita tidak mengitari area ini? Aku ingin lihat bagaimana ramainya tempat ini.” Mereka berlari satu kilo meter jauhnya. Pakaian olahraga yang mereka kenakan kini sudah lembab akibat keringat. Namun entah bagaimana tiga wanita itu tetap menjaga penampilannya tetap baik. Diane berulang kali menyeka keringat pada dahinya dengan handuk keil yang melingkar di sekitar tengkuk. Jules dan Regan masih saja cekikikan setelah seorang pria tua yang memakai kaca mata hitam itu menabrak Diane secara tidak sengaja-atau lebih tepatnya memang disengaja. Diane mendesis jengah karena ulah pria tua berkulit keriput yang nampaknya suka dengan wanita-wanita muda di sekitar area jogging. Menatap tubuh para wanita itu seolah liur akan menetes di kulitnya yang keriput. Tapi Diane beruntung karena segera menghindar. Hal terakhir yang ia inginkan adalah dua orang wanita cekikian di depan Diane. Diane berhasil menghindari dua sahabatnya dengan cepat. Ia memperpanjang langkahnya sementara Jules dan Regan tertinggal beberapa meter di belakang. Ketika Diane menoleh ke belakang untuk melihat mereka, Jules menggulurkan tangannya memberi isyarat yang tidak bisa dimengerti Diane sampai tubuhnya menubruk seorang pria. Lagi. Tapi kali ini berbeda. Pria dengan setelah kemeja hitam, jaket hitam dan jins usang itu terasa familier. Ujung kepala Diane membentur dagunya. Diane bisa merasakan otot-otot di bawah wajahnya yang menekan d**a busung itu, kemudian ia menengadah. Dan Raveen sudah memandangnya dengan skeptis. Diane sontak menjauh. Rona merah padam menghiasi wajahnya. Ia menunggu sampai Jules dan Regan berdiri di sampingnya sebelum bicara, “Bagaimana kau bisa disini?” Rahang Raveen mengeras. Tatapannya membunuh. Diane dengan mudah mengartikannya sebagai amarah. Pria ini pasti sedang berusaha mengendalikan emosinya. Tapi siapa yang dapat menebak apa yang tengah diperhatikan Raveen. Tentu saja, resleting jaket Diane yang turun telah memampangkan pemandangan yang tidak pantas. Kulit kecokelatan Diane yang kencang dan basah oleh keringat. Lekuk lehernya yang menggairahkan. Raveen diam-diam memperhatikan bagaimana setetes keringat yang jatuh dari dahi yang indah itu kemudian turun melalui rahangnya, lebih turun lagi dan menghilang selama beberapa detik di leher bagian dalam lalu muncul melewati tulang lehernya, lebih turun lagi dan menghilang di balik tank top polos itu. Sial, mengapa Raveen harus memperhatikannya? Ia dengan segera membuang tatapan bernafsu itu. Meski pikirannya terusik oleh bayangan-bayangan erotis tentang tubuh Diane yang kencang dan kecokelatan, kulitnya yang mulus.. Hentikan! Pikirannya segera beralih. Dengan tangan bersedekap, Raveen merunduk untuk menatap langsung ketajaman mata biru pekat milik Diane. Kemudian Raveen berdeham. “Aku berpikir bahwa aku baru saja membuat kebijakan baru, Miss Hampton!” kata Raveen. Ia diam sebentar menunggu tanggapan Diane, lalu bicara lagi setelah tidak mendengar komentar apapun. “Mulai hari ini kau harus membicarakan semua jadwal kegiatanmu padaku dan kita akan mempertimbangkannya bersama. Aku harus tahu semua kegiatanmu sejak kau bangun sampai kau tidur,” Diane mendelik hebat, Raveen cepat-cepat memperbaiki pernyataan itu. “Kegiatan-kegiatan tertentu maksudnya.” “Apa-apaan ini?” Apa-apaan!  Setelah perjuangannya untuk sampai disini, Raveen mendapat sambutan dengan kalimat itu? Sendainya Diane tahu bagaimana Raveen harus bangun lebih awal dari biasanya hanya untuk menjamin keamanan Diane, lalu menerobos jalan yang macet dengan sedannya dan dengan sia-sia petugas apartemen mengatakan bahwa Diane baru saja pergi dengan pakaian olahraga lengkap. Mencoba menebak-nebak dimana keberadaaan Diane sebelum memutuskan bahwa tempat jogging yang ada di pusat kota adalah tebakan yang paling tepat. Dan sekarang Diane bilang apa-apaan? Keterlaluan. Sepanjang kariernya sebagai penyelidik swasta, Raveen belum pernah bertemu dengan klien sesinis ini. Mau tidak mau ia harus tetap terlihat tenang meski keinginannya untuk mencekik wanita itu kian membuncah. “Sudah ku katakan. Ini kebijakanku.” Diane menyikut lengan Jules untuk meminta pembelaan, tapi temannya itu sama sekali tidak membantu dengan senyum lebarnya dan rona tersihir yang dikenali Diane tiap kali Jules melihat lelaki tampan. Sementara Regan, menyibukkan diri dengan merogoh tas kecilnya untuk menemukan kaca mata sambil sesekali tersenyum kearah Raveen. Akhirnya Diane memutuskan kalau ia tidak butuh dua temannya untuk menghadapi pria menjengkelkan ini. Ia tidak boleh kalah dan patuh begitu saja dengan Raveen. Memangnya Raveen pikir siapa dia sampai berani mengatur Diane.. Sambil berkacak pinggang, Diane menjawab. “Tidak. Kau tidak punya hak apapun.” Raveen menyempatkan diri untuk membalas senyum dua wanita di samping Diane sebelum bicara, “Kau akan melakukannya, Miss Hampton. Sekarang aku pengawal pribadimu. Kemanapun kau pergi, aku berkewajiban untuk menjaga dan mendampingimu.” “Kalau begitu aku punya hak untuk memintamu pergi jauh dan jangan ikut campur tentang urusanku!” tantang Diane. “Silahkan saja. Tapi sebelum kau menuntut hak, silahkan penuhi dulu kewajibanmu untuk patuh terhadap peraturanku. Ini demi keamananmu, Miss Hampton. Jadi sekarang aku mau tahu apa saja jadwalmu hari ini?” Tidak ada gunanya menentang Raveen. Meski begitu Diane juga tidak akan serta merta menurutinya. Enak saja Raveen mau mengatur semua urusan Diane. Diane mungkin harus mencoba tak tik lain untuk menyingkirkan Raveen. Yah, mau tidak mau ia harus berusaha, kan? “Pertama-tama aku ingin lari satu putaran lagi.” “Lagi?” dahi Raveen berkerut dalam. Raut wajahnya masam. Ia membuat Diane senang atas reaksi itu. “Ya. Jules dan Regan akan..” “Sebaiknya aku menunggu saja,” potong Jules. Kemudian suara Regan menyusul. “Aku juga. Aku akan menunggu.” Ketika Diane menyipitkan kedua matanya pada Jules dan Regan, Raveen tidak bisa menahan seringaian puas. Ia segera berpihak pada dua wanita itu. “Yah, aku pikir aku juga bisa menunggu bersama temanmu.” Diane memelototi Raveen sambil berkacak pinggang. “Kau pengawalku, seharusnya kau menemani aku kemanapun aku pergi. Itulah yang baru saja kau katakan.” “Kata menemani dengan mendampingi adalah dua hal yang berbeda, Miss Hampton. Aku pikir tidak jadi masalah selama kau masih ada dalam pengawasanku. Lagipula kita ada di tempat yang sama. Jadi tidak perlu khawatir.” “Baik, terserah!” Diane melenggang pergi. Bahunya menyikut lengan Raveen secara disengaja ketika ia pergi melewati lelaki itu. Tapi Diane tidak akan menyangka kalau Raveen tersenyum manis di belakangnya. Ia tidak berputar sampai di tiga tikungan yang jaraknya sudah cukup jauh dari tempat semula. Berlari satu setengan kilo meter tanpa henti membuat Diane kehabisan tenaga. Keringatnya sudah bercucuran deras. Panas tubuhnya kian terasa. Sebelum berhenti, Diane memastikan kalau posisinya sudah berada jauh dari jangkauan pengelihatan tiga orang menjengkelkan itu. Setelah memastikannya, baru Diane berhenti untuk duduk di batu besar yang ada di pinggir jalur. Diane menghela napas panjang seraya mengontrol arus peradaran darah dalam tubuh. Tangannya tanpa sadar memijat tulang keringnya dari atas ke bawah. Jogging kali ini benar-benar terasa melelahkan. Tidak seperti sebelumnya, emosi Diane benar-benar terkuras. Dua menit kemudian ia teringat akan surat teror itu. Dengan pergerakan cepat, Diane merogoh surat di dalam tas kecilnya kemudian memberanikan diri untuk membuka isi surat tersebut. Satu orang pendamping, dua pendamping, tiga… berapa banyak pahlawan yang kau punya? Permainan tetap milik kita. Hanya kau dan aku, kemudian kita akan berpesta di neraka. Bulu kuduknya meremang. Diane merasakan air matanya mulai merebak. Orang sinting itu benar-benar mengintainya. Siapapun orang itu pasti sedang memperhatikan Diane. Semuanya sudah terbukti sekarang. Dia tahu bahwa Sam menyewa Raveen untuk mendampingi Diane dan sekarang apa yang tertera dalam suratnya? Permainan tetap milik kita. Apa arti dari kalimat itu? Jika memang orang sinting itu mengincarnya, dia pasti ada di sekitar Diane sekarang. Bersembunyi dan terus mengintai Diane seperti seorang mata-mata. Sungguh mengherankan jika seorang pembunuh mengintainya tanpa sebab yang jelas. Tapi Diane tidak punya cukup alasan yang kuat untuk mendukung tindakan keji seseorang hingga mengintainya seperti ini. Diane tidak memiliki masalah besar pada siapapun. Tidak selama beberapa hari terakhir. Lalu siapa yang tega melakukan teror ini? Berlama-lama duduk disana hanya akan mengundang kecurigaan Raveen dan dua temannya. Maka Diane memutuskan untuk memutar balik dan kembali ke jalur awal secepatnya. Diane meletakkan suratnya ke dalam tas dengan tergesa-gesa. Ia mungkin harus menunjukkannya pada Raveen. Tidak ada alasan untuk menutup-nutupinya lagi sekarang. Tidak ada yang tahu siapa dan apa motif pelaku teror ini. Diane juga tidak pernah tahu kapan dan dimana orang itu mengintainya. Atau lebih buruknya lagi, kapan ia akan menjadi korban pembunuhan sadis selanjutnya.. membayangkannya saja Diane suah mual. Diane berlari ketika melihat Raveen dan dua temannya tengah berbincang-bincang di tempat semula. Ia segera mendapat perhatian begitu tiba di tengah-tengah mereka. Jules dan Regan yang menyapanya lebih dulu, namun tatapan Diane terfokus pada raut wajah Raveen yang sulit di tebak. “Kau menyelesaikan satu putaranmu dengan lebih cepat rupanya?” tegur Jules. Tidak lama setelahnya, suara Regan menyusul. “Aku dan Jules sudah berencana untuk mengunjungi pameran yang diselenggarakan Ben. Kau ingat? Acaranya dimulai dua jam lagi, apa kau mau ikut?” “Aku harus pergi,” jawabannya singkat namun memperjelas penyataan Regan dan Jules barusan. “Aku akan menghubungi kalian sore ini. Aku harus memberi laporan keterangan di kantor polisi. Apa kalian keberatan?” “Oh, kalau begitu jangan lupa untuk menceritakan pada kami hasilnya. Kau akan datang untuk wawancara nanti?” “Akan ku usahakan.” Diane memberi anggukan singkat pada Raveen sebelum beranjak pergi meninggalkan dua temannya lalu menghilang dengan cepat di area parkir. Diane membiarkan Raveen duduk di kursi kemudi sementara ia masuk lewat pintu seberang. Setelah memastikan mereka dapat bicara dengan lebih nyaman, Raveen segera mengajukan pertanyaan yang sedari tadi terbesit dalam benaknya. “Katakan apa yang terjadi?!” Nampaknya Raveen bukan tipe pria yang suka bertele-tele. Namun Diane menyukai pendekatan itu untuk saat ini. Ia tidak mau repot-repot menjelaskan dan memilih untuk mengunjukkan surat itu pada Raveen. Diane memperhatikan rahang Raveen yang mulai tegang ketika membaca surat teror yang dikirim sejak semalam itu. “Sial,” pandangan Raveen beralih padanya. “Kapan kau mendapatkan surat ini?” “Aku tidak tahu kapan pengirimnya meletakkan surat itu, yang pasti aku menemukannya di suite ku malam ketika aku baru pulang. Dia menyembunyikannya di bawah bantal tidurku.” Ketika mata emas Raveen menatapnya dengan intens, Diane merasakan sensasi aneh yang menghunjam otaknya dan membuatnya merasa takut. “Jadi ini yang menyebabkan kau kelihatan khawatir sekali malam itu,” Bah, Raveen berhasil menebak ketakutannya. Inilah yang Diane waspadai-sekaligus ia benci dari Raveen. Menebak-nebak suasana hatinya seolah Raveen adalah seorang peramal hebat. Dan pada kenyataannya Diane lebih takut karena Raveen benar. “Diane! Aku tidak peduli tentang mengapa kau begitu tidak menyukai aku, tapi Demi Tuhan bersumpahlah padaku kau tidak akan menyembunyikan apa-apa lagi! Kau tau akibat dari perbuatanmu ini? Malam itu mungkin pengirimnya masih berkeliaran di sekitar apartemenmu. Kau seharusnya tidak bertindak seperti ini. Tindakanmu sama saja seperti menghalang-halangi penyelidikan.” “Ya aku tau aku salah. Puas?” Semuanya bergeming. Raveen mengalihkan wajahnya ke depan sambil mengetuk-ketukan jarinya pada setir. Tatapannya terkunci pada jalan lepas yang terpampang di luar kaca mobil. Diane merasakan kesenyapan itu membuatnya merasa terusik, kemudian ia paham maksud akan tindakan Raveen. “Baik, baik aku minta maaf.” “Bukan itu, Diane! Ujar Raveen, memutar wajahnya kembali pada Diane. “Ini bukan sekedar permintaan maaf. Aku mau kau berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama!” “Aku janji.” “Yang benar?” “Ya, ya, aku janji tidak akan menyembunyikan apapun lagi. Apa kau puas?” “Lebih baik.” Raveen menstarter mobil, ia memutar setir untuk keluar dari area parkir kemudian menginjak pedal gas. Mobil mereka melaju ke jalan lepas. “Kemana kita pergi?” “Aku akan mengantarmu ke apartemen untuk mengganti pakaian. Selain itu aku ingin tahu apa ada bukti lain yang bisa kita temukan disana.” - BAGIAN 5
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN