7. Tentang Gustavo dan Nada

1960 Kata
Tentang Nada dan Gustavo Matahari mulai muncul dari peraduannya. Embun pagi masih terasa sejuk. Semilir angin pagi masih terasa dingin. Meski begitu semua nampak asri dan indah. Nada sudah sampai di kaki bukit desa Moregestte. Ia sangat menikmati ke indahan pagi ini. Melihat matahari yang mulai merangkak naik dari tempat asalnya. Sungguh kuasa Tuhan yang menggerakan semua benda di bumi ini. Tidak ada selain Tuhan yang mampu menggerakannya. Sunggu besar kuasa Nya. "Kita akan mulai dari mana?" pertanyaan itu membuat Nada terkejut. Soalnya tadi Nada sedang memejamkan matanya. Sambil menghirup sejuknya udara pagi hari. "Ampun deh. Pangeran bikin kaget saja. Aku kira setan. Habisnya muncul begitu saja tanpa aba aba. Sejak kapan pangeran di situ?" Nada malah bertanya balik. "Yeh! Malah mengira aku setan. Aku itu terlalu ganteng di bilang setan. Pantas juga di sebut sebagai dewa," ceplosnya dengan percaya diri. "Hah? Dewa? Ada dewa macam seperti ini? Dunia akan hancur mempunyai dewa angkuh dan menyebalkan macam anda pangeran" tukas Nada. "Apa? Hancur. Kamu merasa tidak pantas aku sebagai dewa. Kalau aku ini benar benar dewa bagaimana?" ups! Pangeran Gustavo menepuk keningnya. Jangan sampai identitasnya terbongkar karena terpancing pembicaraan dengan Nada. Nada malah tertawa geli. "Di dunia ini mana ada dewa pangeran. Yang ada hanya raja, ratu, pangeran, putri dan rakyatnya. Memangnya ini dunia dongeng. Terus kalau ada dewa. Ada juga peri dan kerajaan langit. Sungguh kamu percaya soal itu? Apa anda sudah gila pangeran?Haha," Pangeran Gustavo sebagai anak dewa langit sedikit tersingung dengan ucapan Nada. Tidak tau apa yang ada di hadapannya sekarang itu pangeran langit. Anak dari raja atau dewa langit Neptune. Begitu ringannya Nada menyebut kerajaan langit tidak ada. Bercandanya keterlaluan. "Percayalah. Kerajaan langit itu ada. Dewa dan pangeran langit itu juga ada. Bahkan peri dan penyihir itu ada Nada. Kenapa kamu tidak percaya?" pangeran Gustavo harus ekstra hati hati dalam memilih kata. Jangan sampai ia keceplosan membongkar identitas yang selama ini ia jaga. Bisa bisa kekuatannya akan hilang dalam beberapa hari. Dan itu akan membuatnya menjadi manusia lemah yang tidak berguna. "Haha anda begitu bodoh pangeran. Kita memang hidup di zaman kerajaan. Bukan berarti kita hidup di negeri dongeng. Semua itu hanya imaji anda. Kalau anda mengaku sebagai dewa. Berarti aku ini seorang putri pemimpi. Hahahaa," lagi lagi Nada tidak mempercayai ucapan pangeran Gustavo. "Lihatlah Nada. Suatu saat kamu akan percaya ucapanku," "Ya sudah sudah. Sekarang kita bahas saja. Benda pusaka apa yang sebenarnya anda cari pangeran? Sampai sampai anda relakan tanah kami yang akan di gusur demi sebuah benda pusaka itu," tanya Nada penasaran. Pangeran Gustavo menepati janjinya untuk mengembalikan warga desa Moregestte. Kemarin setelah pertemuan dengannya. Perdana menteri Thohato mengurus semua. Sampai ia sendiri yah menyerahkan sertifikat hak milik atas nama bunda Rahma untuk panti asuhan Hana Hikari. Sorenya desa di sekitar kaki bukit mulai ramai. Mereka berbondong bondong memasuki tempat tinggal yang sempat mereka tinggali. Untung saja bagunan rumah mereka belum rata dengan tanah. Syukurlah pangeran Gustavo menepati janjinya. Ini saatnya Nada menepati janjinya juga, untuk membantu pangeran menemukan benda pusaka itu. "Aku tidak begitu jelas dengan bendanya. Yang pasti benda itu adalah sebuah permata biru. Tapi bukan sembarang permata biru. Aku bisa merasakan perbedaannya dengan memegangnya," ya, dengan memegangnya pangeran Gustavo langsung tau. Permata biru itu jatuh dari langit. Raja Neptune sengaja menjatuhkannya agar menguji kegigihan Orion anaknya. Hanya saja sebagai manusia ia tidak dapat cepat menemukannya. Sudah dua puluh tahun Gustavo menyamar sebagai manusia. Kalau saja sebagai Orion. Mungkin saja ia akan menemukannya begitu cepat. "Bukankah pangeran memiliki dua pertambamgan batu permata? Kenapa tidak cari kesana saja?" saran Nada. "Sudah semua aku jelajahi. Tapi tidak ada tanda tanda benda pusaka itu," sahut pangeran Gustavo. "Aku jadi penasaran. Apakah benda pusaka itu sangat mahal harganya? Hingga membuat anda seperti kebakaran jenggot saat tau benda itu hilang?" sindiri Nada. "Bukan sekedar mahal Nada. Tapi bagaikan nyawa yang sangat berarti bagiku," Perkataan pangeran Gustavo bagai menohok dirinya. Nada langsung terdiam. Jadi ini alasan pangeran berubah. Mungkin saja benda pusaka itu peninggalan ke dua orang tuanya. Pasalnya benda itu sangat berarti sampai di samakan dengan nyawa. "Baiklah. Kita akan mulai mencarinya. Kita akan mulai dari sini lalu berjalan menuju selatan," ajak Nada. "Kenapa harus ke selatan?" "Hanya feelingku saja," Nada nyengir kuda sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Ya sudah. Ayo! Matahari sudah mulai tinggi. Giliran kamu yang menepati janji untuk membantuku," "Iya iya," dengan malas Nada mulai berjalan menuju arah selatan desa Moregestte. Ini akan menjadi perjalanan panjang. Jika mudah, mungkin saja pangeran Gustavo tidak akan meminta bantuannya. Semoga saja benda pusaka itu segera di temukan. Nada tidak mau lama lama bedekatan dengan pangeran Gustavo. Apalagi jika kedekatannya dengan pangeran Gustavo terlihat oleh warga. Bisa bisa ada yang melaporkannya pada bunda Rahma. Bisa menjadi malapetaka untuk Nada. Mereka berdua mulai berjalan menyusuri setiap rumah rumah yang berdepetan di sebelah selatan desa Moregestte. Ternyata pangeran Gustavo belum pernah ke daerah ini. Sekalipun belum pernah ia jamah. Saking sibuknya mencari permata biru. Ia sampai lupa pada rakyatnya. Tapi memang apa perduli pangeran Gustavo pada rakyatnya. Toh setelah ia mendapatkan permata biru. Ia akan kembali menjadi Orion, anak dari sang dewa langit. "Sudah lama kamu tinggal di panti asuhan Hana Hikari?" tanya pangeran Gustavo setelah saling berdiam dalam menempuh perjalanan. "Ya bisa di bilang lama. Aku dari lahir di sana. Dulu kata bunda. Aku di temukan di tepi sungai. Beruntungnya aku masih hidup meski air sungai mengalir deras membasahi tubuh mungilku waktu itu. Anda bisa bayangkan. Dulu aku di masukan ke dalam peti. Kemudian di hanyutkan. Aku di temukan dalam kondisi kedinginan," lirih Nada. Tanpa basa basi ia menceritakan tentang dirinya di masa lalu pada pangeran Gustavo. "Maaf, pertanyaan aku membuat kamu sedih ya?" tanya pangeran Gustavo sedikit hati hati. "Pangeran tenang saja. Itu sudah menjadi nasibku kok. Aku percaya. Ada alasan mengapa orang tuaku sampai tega menghanyutkan aku di sungai. Entah memang membenci kehadiran aku sebagai anaknya. Atau memang ada alasan lain. Yang jelas mereka mempunyai alasan yang cukup kiat untuk membuang aku," Kisah tentang Nada begitu menyentuh hati sang pangeran. Gadis yang terlihat seperti kuat ini, ternyata mempunyai titik lemah yang mengiris hati. "Kalau anda pangeran? Orang tua anda kemana?" sekarang giliran Nada yang mulai kepo. "Ibuku meninggal saat melahirkan aku. Sedangkan ayah mempunyai kerajaan di negeri lain. Setelah aku mendapatkan benda pusaka ini. Mungkin aku akan kembali ke negeriku. Dan akan menggeser posisi ayah," jangan sampai Nada mengira negeri lain itu. Negeri langit. Karena memang dari tadi Nada tidak percaya adanya kerajaan langit. "Kalau memang ayah pangeran seorang raja. Lalu kenapa pangeran susah susah menjadi seorang pangeran di desa kecil Moregestte ini?" "Aku sangat suka tantangan. Aku ingin merasakan bagaimana berjuang menjadi seorang pangeran dengan jerih payahku sendiri. Akhirnya setelah aku temukan dua tambang emas dan permata di desa ini. Itu cukup membuat aku meraih kedudukan sebagai pangeran di desa ini," ujar pangeran Gustavo sedikit sombong. "Kenapa pangeran pilih desa? Kenapa engga negeri lain saja yang lebih terkenal. Seperti negeri kerajaan Zdellagozhtte. Kayanya di sana menyimpan harta lebih banyak. Pangeran bisa sangat banyak memiliki permata biru," sindir Nada. "Bukan harta yang aku cari. Sudah aku bilang. Ini bukan sembarang permata. Permata ini sangat berarti bagi aku," ketusnya. Pangeran Gustavo merasa di rendahkan. Harta sudah cukup ia nikmati saat masih di kerajaan langit sana. Ia tidak mau menikmati harta lagi di dunia. Ia hanya perlu menjalankan misi yang di berikan ayahnya. Gustavo hanya ingin kembali menjadi Orion. "Coba lihat. Ada penjual permata di sana. Siapa tau permata biru yang di maksud pangeran ada di sana," Nada mengalihkan pembicaraan dengan menunjuk pedagang permata. Nada mulai sedikit tidak nyaman dengan percakapannya. Nada dan Gustavo menghampiri sang pedagang. "Pak, saya cari permata biru apa ada?" tanya Nada pada pedagang itu. "Keluarkan saja semua permata birunya," terusnya. Dengan penuh semangat si bapak itu mengeluarkan semua permata berwarna biru. Berharap agar daganganya kali ini laku banyak. "Oke pangeran silahkan melihat lihat," Nada mempersilahkan pangeran Gustavo melihat lihat permata itu. Pangeran Gustavo langsung memegang satu persatu permata itu. Hampir semua ia pegang. Namun tidak ada satupun dari permata itu yang menjadi benda yang selama ini ia cari Nada memberikan isyarat pada pangeran Gustavo. Apakah ada permata biru yang ia cari? Pangeran Gustavo menggeleng. "Tidak ada," Mendengar ucapan pangeran. Ada gurat kekecewaan di wajah bapak penjual itu. "Maaf yah pak. Ternyata pangeran belum tertarik dengan permata yang bapak jual," sesal Nada. "Ya sudah tidak apa apa Nona," ujarnya sambil tersenyum samar. Mereka melanjutkan perjalananya lagi. "Nada, lebih baik jika di depan orang-orang panggil saja aku Gustavo. Biar mereka tidak sungkan melihat aku sebagai pangeran. Anggap saja aku ini temanmu," saran Pangeran Gustavo. "Oke boleh," "Loh kenapa kamu langsung setuju?" "Kan anda yang meminta. Bukan aku. Lagian aku yakin kok usia kita tidak terpaut jauh," ujar Nada dengan percaya diri. Kata siapa Nada. Pangeran Gustavo Orion itu, usianya ratusan tahun. Kamu pasti akan terkejut jika tau hal ini. "Kamu ini yah tidak takut pada siapapun. Yah kecuali bunda Rahma. Iya kan?" "Kalau aku engga salah. Kenapa harus takut. Aku bukannya takut sama bunda Rahma. Tapi aku mengormatinya sebagai orang tua yang telah membesarkan aku dengan jerih payahnya. Pangeran Orion," tukasnya. "Hei aku ini Gustavo!" "Oh ya? Engga pantes juga sih di panggil Orion. Ayah kamu pasti penggemar rasi bintang Orion yah. Tapi aku lebih suka Virgo," bukan penggemar lagi Nada. Memang pangeran Gustavo ini adalah Orion. Rasi bintang Orion. Sang pemanah. "Kamu mengerti juga soal perbintanga?" Nada mengangguk. "Aku pernah membaca buku tentang perbintangan di perpustakaan kota. Yah sedikitnya aku paham tentang perbintangan," "Kenapa kamu tidak suka Orion?" tanya pangeran Gustavo penasaran. "Dia anak dewa yang hebat sih. Banyak ke ahliannya. Sayangnya dia telalu sombong. Sampe Apollo mengutus Scorpio untuk membunuhnya," terang Nada. "Kamu tau soal itu juga?" Pangeran Gustavo merasa heran. Kok bisa kisahnya tertulis dalam sebuah buku? "Taulah. Oh iya bener juga. Orion itu sama sombongnya seperti anda pangeran. Pantas saja sifat anda tidak jauh berbeda dengan Orion. Ahhaha," Nada terkekeh. "Katanya tidak percaya tentang kerajaan langit. Tapi kamu malah tau tentang rasi bintang," Nada tersenyum, "Walapun aku engga percaya. Bukan berarti aku bodoh. Aku senang mencari ilmu. Ilmu yang sudah ada maupun yang baru. Ilmu tertulis maupu ilmu alam," "Makanya kamu cepat belajar menyembuhkan orang kan? Karena terlalu sering melihat bunda Rahma menolong orang," puji pangeran Gustavo. Nada menepuk keningnya. "Oh iya aku sampai lupa. Gimana luka tikaman di perut anda? Apa masih terasa sakit?" Pangeran Gustavo mundur beberapa langkah. Mungkin Nada respek akan membuka bajunya untuk melihat luka di perutnya. Untung saja pangeran Gustavo bisa menghindar. Ia tidak mau sampai Nada tau. Kalau lukanya sembuh tanpa bekas. Jelas sembuh tanpa bekas. Itu semua karena kekuatan langitnya. Kalau tanaman herbal saja. Mungkin akan lama sekali pulihnya. "Sudah baik baik saja kok. Berkat kamu dan bunda Rahma lukaku lebih baik," "Beneran engga kerasa sakit? Padahal lukanya baru tiga harian. Tapi kok pangeran bisa jalan dengan tegap tanpa rasa sakit?" Nada mulai curiga. "Aku ini pangeran yang kuat Nada. Luka segini saja mah kecil buat aku," mulai deh sombongnya keluar. "Ya ya ya. Pangeran sombong!" "Apa yang aku harus sombongkan? Memang pada kenyataannya aku ini kuat dan ganteng," ujarnya. "Eh ternyata bukan sombong aja. Percaya diri tingkat tinggi pula. Ya sudah jangan ajak aku bicara lagi. Lebih baik kita fokus cari permata biru. Ini malah curhat curhatan," Nada mulai dongkol. Suasanapun kembali menjadi hening. Hari ini memang tentang Nada dan Gustavo. Meski Nada sering di buat kesal oleh pangeran Gustavo. Tapi ia tetap menemani pangeran Gustavo mencari benda pusaka itu. Setidaknya sekarang sifat pangeran Gustavo lebih mencair. Tidak dingin seperti biasanya. Ia bisa melihat senyum di wajah pangeran Gustavo. Nampaknya pangeran Gustavo sangat bersemangat untuk menemukan benda pusaka itu. Semoga saja bisa cepat bertemu. Dan semoga juga ia tidak ketahuan oleh bunda Rahma karena telah membantu pangeran Gustavo. Ia tidak mau misinya bersama pangeran terhenti karena mendapatkan amukan sang bunda. Mereka terus menyisir jalan desa Moregestte ke arah selatan. Namun waktu bergulir begitu cepat. Sampai sampai tak terasa. Senja mulai menapakan wajahnya. Itu artinya pencarian hari ini harus berakhir. Tak apa hari ini tak berhasil. Semoga saja besok ada petunjuk yang lebih berarti untuk menemukan permata biru itu. Ya, benar ini akan menjadi perjalanan panjanh bagi pangeran Gustavo dan Nada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN