5. Sudah Dewasa

1197 Kata
"Regis! Saatnya makan malam!" teriak Rosaline dari lantai bawah. Tap … tap … tap …. Regis menuruni anak tangga dengan satu tangannya masuk saku celana. Tujuh belas tahun telah berlalu sejak kelahirannya kembali sebagai manusia. Kini ia telah tumbuh dewasa dengan rupa yang sempurna. Tingginya mencapai 185 cm dengan berat badan 70 kg. Wajahnya tampan tanpa celah dengan kulit putih pucat. Sorot matanya tajam dengan ekspresi wajah yang dingin. Tak heran, meski memiliki wajah rupawan bak dewa Yunani, namun ia tak pernah menjalin kasih layaknya usia remaja manusia pada umumnya. Banyak yang mengejarnya juga menyukainya diam-diam, namun karena sikapnya yang dingin pada semua orang, tak ada yang berani mendekat. Pernah satu ketika ia mematahkan tangan seorang gadis yang dengan agresif berusaha memeluknya. Menarik kursi, Regis duduk di antara kedua orang tuanya. Sepiring nasi dengan kari telah ibunya siapkan untuknya. "Makanlah, Sayang," perintah sang ibu dengan senyum sumringah yang merekah di bibirnya. Tak ada satu hari pun Regis melihat kedua orang tuanya menunjukkan raut kesedihan. Selama ini kedua orang tuanya seolah menjadi pasangan yang sempurna dengan selalu tertawa. Namun sayang, apa yang kedua orang tuanya lakukan tak menurun padanya. "Bagaimana sekolahmu hari ini?" tanya Damien. Meski tahu sifat Regis yang irit bicara namun ia tak pernah berhenti mengajaknya bercengkrama. "Seperti biasa," jawab Regis singkat. "Besok sudah mulai liburan musim panas, kan? Apa kau punya rencana?" tanya Rosaline sembari menuang air putih ke gelas sang suami. "Tidak ada." "Sungguh? Bagaimana jika ikut ayah dan ibu berkunjung ke kampung halaman kakek dan nenekku?" tawar Rosaline penuh semangat. Meski sikap Regis tak pernah menunjukkan semangat atau gairah lebih saat diajak ke suatu tempat, ibunya tak pernah menyerah mengajak Regis berbicara. "Hn." Ketiganya mulai makan malam dengan hening, namun sesekali ibu Regis akan membuka percakapan dengan sang suami. Sementara Regis, seperti biasa ia hanya diam. Kalaupun menjawab, hanya sepatah dua patah kata, itupun dengan suara berat dan terdengar dingin. "Aku selesai." Regis bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan kedua orang tuanya. Tak ada yang berbeda sejak Regis mulai bisa makan sendiri. Setelah makan, ia akan kembi ke kamar tanpa mengatakan sesuatu kecuali, "aku selesai." "Sayang, aku tidak mengerti, kenapa Regis bisa sedingin itu. Bukankah kita sudah memberinya banyak cinta? Tapi kenapa ia tetap sekeras batu?" seru Rosaline yang mengungkapkan isi hatinya. Ada kalanya ia merasa lelah dengan setiap usaha yang ia lakukan agar Regis bisa bersikap sedikit lebih ceria. Damien yang sebelumnya hanya terdiam selama beberapa saat, menatap Rosaline dengan pandangan sulit diartikan. "Aku jadi bertanya-tanya, apa dia anakku?" Seketika Rosaline menoleh menatap sang suami. "Apa maksudmu?" "Kau lihat sendiri bagaimana sifatnya, tidak ada yang melekat dari kita. Apa kau pernah melakukan kesalahan?" tanya Damien namun sarat akan nada cibiran dan sindiran. Rosaline menatap suaminya itu selama beberapa saat. Ia mencoba tetap bersikap dan berpikir positif. "Apa maksudmu, Sayang? Jangan bicara yang tidak-tidak," ucapnya dengan tangan sedikit bergetar. Jujur saja ia tahu, dan itu sangat melukai hatinya. "Siapa? Siapa ayahnya?!" Plak! Rosaline mendaratkan tamparan keras pada suami yang telah menikahinya sembilan belas tahun yang lalu. Hatinya teriris mendengar ucapannya. Bagaimana bisa suaminya mengatakan demikian? Ia segera berlari meninggalkan ruang makan. Meninggalkan Damien yang hanya memegangi pipinya yang memerah. Brak! Damien menggebrak meja dengan keras. Nafasnya tersengal dengan dadanya yang naik turun. Sudah sangat lama ia berpikir jika istrinya bermain dengan pria lain. Regis sangat berbeda jauh dengannya. Anaknya itu seperti memiliki kelainan. Sejak kecil Regis tak pernah tertawa, tak pernah mau bermain dengannya juga dengan anak-anak lain. Ia pikir mungkin Regis anak pria lain dan mewarisi sifat ayah kandungnya. Namun melihat reaksi sang istri, ia merasa amat bersalah. Jika Regis memang anaknya, kenapa Regis memiliki sifat bertolak belakang? Setidaknya, harusnya ada satu sifat yang menurun darinya. Keesokan paginya, sesuai yang dikatakan kedua orang tua Regis semalam, mereka tengah bersiap pergi ke Kyoto, Jepang. Regis mengamati kedua orang tuanya yang tampak berbeda. Tidak ada keceriaan yang terpancar dari mereka seperti hafi biasa. Ini pertama kalinya ia melihat hal itu dan ia menyadari ada yang tidak beres di sini. Namun ia memilih mengabaikannya. Ia lebih memikirkan apa yang akan ia lakukan setelah ini. Pasalnya, tujuannya kali ini bisa ia gunakan mencari jalan ke duania iblis. Selama ini ia terus mencari cara dan menemukan satu cara yang bisa ia gunakan. *** "Regis, bangun, Sayang, kita sudah sampai." Rosaline membangunkan Regis yang tertidur. Meski apa yang suaminya katakan semalam begitu melukai hati, namun tak mengurangi kasih sayangnya pada Regis. Mereka kini telah sampai di tempat tujuan. Ragis menegakkan punggungnya dan melihat keluar jendela mobil. Saat ini ia telah berada di depan sebuah rumah tradisional Jepang. Ini pertama kalinya ia berkunjung ke sana. Ia turun dari mobil kemudian mengikuti kedua orng tuanya yang berjalan lebih dulu. Lagi-lagi ia mendapati hal yang berbeda. Kedua orang tuanya berjalan berjauhan bahkan ia yakin, mereka tak saling berbicara sejak pergi dari rumah. "Selamat datang." Seorang wanita tua menyambut ketiganya dengan ramah. Rambutnya sudah dipenuhi uban dimana rambutnya tercepol satu dengan rapi. Wajahnya penuh keriput dengan punggungnya yang membungkuk. "Selamat siang, Siho-baasan," balas Rosaline yang memeluk wanita tua yang ia panggil Siho. "Akhirnya, setelah sekian lama Tuan dan Nyonya datang," suara serak wanita tua itu tak membuat Regis ingin melihat. "Bagaimana keadaan rumah?" tanya Damien hanya untuk berbasa-basi. Ini kali pertama ia berkunjung setelah bertahun-tahun lamanya sejak kematian kedua orang tua angkatnya "Saya menjaganya semampu saya, Tuan," jawab Siho dengan kekehan kecil yang menunjukkan deretan giginya yang tinggal beberapa. "Regis, kenalkan, ini nenek Siho. Asisten rumah mendiang kakek dan nenekmu," seru Rosaline agar Regis memperkenalkan diri. Regis yang sebelumnya hanya berdiri di belakang kedua orang tuanya akhirnya menunjukkan batang hidungnya. Namun tetap saja, ia menunjukkan wajah tanpa ekspresi. Mata wanita tua itu membulat kala melihat mata Regis. Bahkan tubuhnya bergetar hingga nyaris saja ia jatuh terduduk ke lantai. "Siho-baasan, ada apa?" tanya Rosaline yang kaget melihat ekspresi Siho. "Ah, ti-- tidak apa-apa. Apa ini tuan muda Regis putra anda?" tanya Siho dengan suara seraknya terdengar bergetar. "Iya. Tapi dia memang seperti ini, tidak banyak bicara." Siho terlihat menelan ludah susah payah. Sementara Regis yang melihatnya hanya menatapnya datar. Damien yang melihat ekspresi Siho seketika berubah saat melihat Regis merasa curiga. Sepertinya ada sesuatu, batinnya. "Baiklah, Tuan, Nyonya, saya sudah membersihkan kamar tuan dan nyonya, juga kamar tuan muda Regis." "Terima kasih, Siho-baasan." Regis berjalan mengikuti kedua orang tuanya dan melewati Siho yang seperti tak berani menatapnya. Dan saat Regis telah menghilang di balik lorong, keringat dingin meluncur dari pelipis Siho. "Istirahatlah, Sayang. Jika sudah saatnya makan malam, ibu akan memanggilmu." "Hn." Regis menggeser pintu dan memasuki kamarnya. Kamar yang tampak hening bahkan terlihat dingin dan luas. Meletakkan tas punggungnya ke lantai, kemudian membuka pintu geser yang mengarah pada halaman belakang Mension. Rumah ini memang lebih tepat disebut Mension saking besarnya. Ia baru tahu jika kedua orang tuanya merupakan keturunan orang Jepang. Selama ini ia tidak peduli pada apapun meski menyangkut keluarganya sendiri. Karena yang ia pedulikan hanya tujuan utamanya membalas dendam. Pandangannya mengedar ke segala arah. Halaman belakang mensiion ini sangatlah luas. Mungkin bisa mendirikan sebuah bangunan baru yang besar. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah rerimbunan kehijauan, dan itu seperti sebuah hutan di balik tembok pagar. Hawa dingin tiba-tiba merasukinya saat ia seolah tertarik pada hutan yang tampak gelap dari kejauhan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN