Suara burung gagak menjadi penghantar sore Regis yang tengah menikmati senja dari kamarnya. Sejak sampai mansion, ia hanya berdiam diri di kamar dengan tak berhenti mengamati hutan yang tampak gelap dari kejauhan.
Sementara di ruangan lain, ayah Regis tampak berbicara dengan nenek Siho. Wanita tua itu duduk bersimpuh dengan Damien yang juga duduk di hadapannya.
"Kenapa saat melihat Regis kau tampak terkejut?" tanya Damien tanpa berbasa-basi. Ia curiga jika Siho mengetahui sesuatu. Mungkin karena Regis mirip dengan ayah kandungnya, bis saja.
"Maaf, Tuan. Saya hanya tak mengira tuan muda Regis sudah sebesar ini. Rasanya baru kemarin nyonya melahirkan di bulan purnama merah," jawab Siho dengan setengah menunduk.
"Sungguh? Bukan karena kau menyembunyikan sesuatu?" pungkas Damien menuduh.
Siho hanya diam dan tak berani mengangkat kepala. Sampai saat Damien hendak kembali bersuara, sosok Regis yang berdiri di ambang pintu menghentikannya.
"Regis, apa yang kau lakukan di sini?"
"Hanya berjalan-jalan," jawab Regis singkat. Ia juga merasa ada yang Siho sembunyikan dan memilih mencari tahu. Dan langkah kakinya berhasil menemukan nenek tua itu bersama ayahnya.
"Tumben sekali, biasanya kau tidak peduli dengan dunia luar juga keadaan sekitar," ujar Damien sarat akan nada cibiran juga sindiran.
Regis mengabaikan ucapan ayahnya dan memilih memasuki ruangan saat melihat banyaknya buku yang berjajar rapi dalam rak. Diamatinya banyaknya buku itu yang semuanya terlihat seperti buku kuno.
Siho menelan ludah susah payah dengan keringat mulai menetes melewati pelipis.
Sementara melihat Regis yang justru berada di sana, Damien segera bangkit berdiri dan melihat apa yang hendak Regis lakukan. Ia tahu, sejak kecil Regis memang tertarik dengan hal-hal berbau sejarah kuno.
Regis mengambil sebuah buku yang tampak usang dengan sampul yang hampir koyak. Dibukanya buku yang telah berdebu itu dan tampak tertarik saat membaca kalimat pertama di lembar pertama buku.
"Regis, ada yang ingin ayah tanyakan," ujar Damien. Baginya Regis sudah dewasa, ia pasti akan mengatakan yang sebenarnya.
Regis setengah menoleh. "Hn."
"Apa selama ini ibumu menyembunyikan sesuatu?" tanya Damien namun dengan nada suara menuduh.
Mendengar pertanyaan sekaligus tuduhan ayahnya, Regis hanya menatapnya dengan ekspresi datar.
"Harusnya kau mewarisi setidaknya satu dari sifat ayahmu ini, atau juga ibumu. Tapi kenapa kau sama sekali tak menunjukkan apapun?!" Akhirnya Damien mengutarakan apa yang ia pendam selama ini.
Tap!
Regis menutup bukunya dengan kasar. "Aku anakmu." Hanya kata itu yang terlontar dari mulutnya. Ia tahu apa yang tengah dipikirkan sang ayah. Ia tidak tahu pasti apakah ini kekuatannya atau hanya sekedar perasaannya saja. Ia seolah dapat membaca pikiran ayahnya.
"Ka-- kau …."
"Jika ayah curiga pada ibu, kenapa baru sekarang? Kau tahu aku anakmu, jangan membuat alasan agar kau bisa menyalahkan ibu. Kau hanya kecewa aku tak menjadi seperti yang kau mau," ucap Regis tetap dengan ekspresi wajahnya yang datar dimana suaranya terdengar dingin dan menusuk.
Damien terdiam, seolah Regis telah berhasil menelanjanginya hanya dengan ucapan.
Regis kembali pada rak buku dan terlihat mengambil beberapa buku yang membuatnya tertarik. Kemudian dengan membawa beberapa buku dalam dekapan, ia pergi meninggalkan ruangan.
"Tuan …." Siho menghampiri Damien yang terlihat terpukul atas apa yang Regis katakan.
Sementara Damien sendiri hanya bisa memegangi dadanya yang terasa sesak. Ia tidak tahu, kenapa sejak dulu ia seolah tak bisa melawan Regis. Ia tidak ingin memukulnya, hanya saja, saat ia hendak memberi Regis wejangan atau nasehat, ia justru yang dibungkam olehnya.
Regis membawa buku-buku itu ke dalam kamarnya. Sepertinya ia menangkap sesuatu yang menarik dari salah satu buku.
"Regis, saatnya makan malam." Rosaline mengetuk pintu dan meminta Regis makan malam. Namun karena tak mendapat jawaban, ia akhirnya memutuskan membuka pintu dan memasuki kamar. "Regis, makan malam dulu, Sayang."
"Aku tidak lapar," jawab Regis tanpa menoleh.
Rosaline hanya menghela nafas berat. Jika Regis sudah mengatakan tidak, maka ia tidak akan. Dan percuma jika ia memaksa karena Regis akan tetap pada pilihannya. Ia memilih mendekat dan melihat apa yang tengah Regis lakukan. Ia tidak akan menyerah memberi Regis dengan perhatian. Siapa tahu Regis akan luluh dan membungkam mulut Damien. "Regis, apa yang kau baca?" Rosaline memperhatikan buku di tangan Regis dengan alis menyatu. Itu sebuah buku tulisan kuno yang ia sendiri tidak mengerti arti dari tulisan-tulisan itu.
"Hanya buku," jawab Regis singkat tanpa berniat mengalihkan bukunya dari perhatian sang ibu.
"Ini tulisan apa? Ibu tidak bisa membacanya."
"Maaf."
Bukanya menjawab, Regis justru menutup bukunya dan mengatakan maaf membuat Rosaline terkejut mendengarnya.
"Maaf? Apa maksudmu, Sayang?"
"Karena aku tidak bisa seperti yang kalian inginkan hingga ayah menuduh ibu yang tidak-tidak." Untuk kali pertama Regis berbicara terdiri dari cukup banyak kata.
Rosaline yang sebelumnya membungkuk melihat buku, kini menegakkan punggungnya. "Apa yang kau bicarakan, Regis? Apa ayahmu mengatakan sesuatu? Seperti apapun dirimu, ibu tetap menyayangimu. Kau memiliki hati sendiri dan keinginan sendiri. Orang lain tak berhak menuntutmu untuk menjadi seperti yang mereka mau," ujarnya dengan mengusap kepala Regis.
Regis hanya diam, bukan karena semua kasih sayang kedua orang tuanya tak tersampaikan, ia sangat menerimanya. Hanya saja, seperti inilah dirinya. Ia yang dingin setelah apa yang terjadi di masa sebelumnya. Karena satu-satunya tujuannya adalah kembali ke dunia iblis dna membalas kakaknya.
Puk!
Ini kali pertama seumur hidupnya Regis memeluk sang ibu. Ia tidak tahu kenapa, yang ia tahu, ia hanya ingin memeluk ibunya. Karena ia dapat merasa bahwa sebentar lagi tujuannya akan terlaksana.
"Regis, katakan pada ibu, sebenarnya ada apa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Rosaline tanpa melepas pelukan. Ia seorang ibu dan tahu saat Regis terlihat tidak baik-baik saja. Namun Regis tetap hanya diam dan tak menjawab.
Tanpa keduanya ketahui, Damien berdiri di balik pintu dan melihat apa yang terjadi. Setetes keringat terlihat membasahi pelipis kemudian ia memutuskan pergi dengan tangannya yang terkepal di kedua sisi tubuhnya.
"Saya tidak tahu, tapi saya merasa ada yang aneh dengan tuan muda Regis. Hawa kehidupannya tidak seperti hawa kehidupan manusia, meski saya yakin, tuan muda Regis memanglah seorang manusia."
Kata-kata Siho sebelumnya terus terngiang di pikiran Damien. Siho memiliki kemampuan menganalisa hawa keberadaan iblis. Kemampuan keluarga yang turun-temurun ia warisi dari leluhurnya. Siho mengatakan jika Regis memang anak kandungnya, hanya saja, ada hal yang tak dapat dijelaskan dengan logika. Dan Siho mengatakan hal itu kemungkinan karena Regis merupakan reinkarnasi dari seseorang di kehidupan sebelumnya. Tapi melihat hawa kehidupannya yang berbeda, satu-satunya kesimpulan yang dapat ia ambil adalah Regis merupakan reinkarnasi dari seorang iblis. Karena hanya dengan melihat mata Regis, ia seolah melihat mata semerah darah yang penuh rasa dendam.
Brak!
Kepalan tangan Damien memukul dinding kayu dengan keras. Sepertinya, sifat dan sikap Regis yang berbeda jauh dengannya ada hubungannya dengan apa yang Siho jelaskan. Kalau begitu, apa yang harus ia lakukan?