--
Soleh baru saja masuk ke dalam kamar tempat ia menginap si sebuah penginapan sederhana.
Ia baru datang dari sholat isya di masjid yang ada di dekat penginapan, dan juga baru usai menikmati makan malamnya yang benar-benar terasa tidak enak.
Bukan makanannya yang tidak enak, tapi perasaannyalah yang sedang tidak enak.
Soleh menatap ponselnya.
Rasa rindu tengah menyergap perasaannya.
Ingin sekali ia mendengar suara Cantikanya.
Ingin sekali ia menatap wajah cantik dan imut Cantika.
Ingin sekali ia tenggelam dalam tatapan mata polos Cantika.
Rasa rindu membuat hati Soleh terasa kelu. Ia merasa tidak sanggup lagi menahan kerinduannya pada Cantika.
Soleh ke luar dari kamarnya, ia mencari penjual kartu perdana untuk ponselnya.
Dengan hati berdesir dan jantung berdegup lebih cepat. Soleh mencoba menelpon nomer Cantika.
Panggilan tersambung, debaran jantungnya lebih kuat lagi.
"Assalamuallaikum!"
Deg!!
Bukan suara Cantika yang di dengarnya, tapi suara Ammanya Cantika.
"Assalamuallaikum, hallo siapa ya?"
Soleh memutuskan sambungan telponnya. Kepalanya menunduk dalam, ditariknya napas panjang.
'Hanya untuk mendengar suaranya saja, tidak bisa semudah yang aku bayangkan, hhhhh Cantika, semoga kamu baik-baik saja'
Penasaran, sekali lagi Soleh mencoba menghubungi Cantika, tapi masih tetap sama. Amma Cantika yang menjawab panggilannya.
'Kemana Cantika? Apa terjadi sesuatu padanya? Apa ini yang membuat perasaanku tidak enak sejak semalam? Ya Allah tolong jaga dia, jaga dia dari rasa sakit dan hal buruk apapun juga, aku mohon ya Allah, aamiin'
Soleh mencoba untuk memejamkan matanya, tapi tidak bisa juga. Kegelisahan begitu kuat menyergap perasaannya.
Ia kembali bangun dari berbaringnya.
Di ambil ponselnya. Coba ditelpon Raka dengan nomer ponsel yang biasanya.
"Assalamuallaikum Soleh, apa kabarmu?"
"Walaikum salam kak, aku baik, kak Raka, kak Tari, dan Cantika bagaimana kabarnya?" Tanya Soleh dengan rasa cemas dalam suaranya.
"Kami baik, tapi Cantika sedang sakit Soleh"
Deg!!
Rasanya jantung Soleh seperti berhenti berdetak. Tangannya yang memegang ponselnya sedikit bergetar.
"Soleh, jangan khawatir, dia hanya demam biasa Soleh, tapi yang lucu dia sampai mengigau minta kamu membawanya makan bakso"
"Ehmmm" Soleh hanya menggumam karena tidak tahu harus bicara apa. Ada kecemasan sekaligus kelegaan dalam hatinya saat ini.
"Semoga Cantika segera sembuh ya Kak, salam untuk kak Tari, assalamuallaikum"
"Walaikum salam"
Cepat Soleh mematikan ponselnya, karena ia merasa kehabisan kata untuk bicara.
Ia tahu kalau sejak kecil Cantika memang sering terserang demam, tapi begitu minum obat dia akan segera pulih. Tapi yang menjadi pikiran Soleh, kenapa Cantika sampai mengigau menyebut namanya.
'Apakah dia juga tengah merindukan aku, seperti aku yang saat ini sangat merindukannya. Adakah dia memikirkan aku, seperti aku yang kini tengah memikirkannya? Adakah perasaan cinta di dalam hatinya untukku? Seperti perasaan cintaku untuknya.
Astaghfirullah hal adzim...sadar Soleh, bercerminlah! Siapa dirimu, siapa dirinya. Mungkin jika kamu ikut melamar Cantika, orang tuanya akan menerimamu, karena mereka orang baik yang tidak pernah memandang kasta, harta, dan rupa. Tapi kamulah yang harus memahami dan sadar, kalau kamu tidak pantas untuk Cantika'
Soleh menarik napas panjang.
'Ya Allah..
Hamba mohon, jaga selalu ketulusan hamba dalam mencintai Cantika. Jaga hati hamba agar selalu lapang d**a atas semua yang terjadi. Hamba hanya ingin yang terbaik untuknya, biarlah rasa ini hanya hamba dan ENGKAU yang tahu ya Allah, aamiin'
--
"Cantika, bangun sayang, ayo sarapan dulu" Tari duduk di tepi ranjang Cantika. Ada nampan berisi semangkok bubur dan segelas teh hangat yang diletakannya di atas meja di samping ranjang Cantika.
"Nggak mau makan Amma" sahutnya terdengar manja.
"Kalau tidak makan bagaimana mau minum obat. Kalau tidak minum obat, bagaimana bisa cepat sembuh sayang" bujuk Tari.
"Cantika tidak lapar Amma"
"Lapar atau tidak, kamu harus makan sayang"
"Nggak mau!"
Raka masuk ke dalam kamar Cantika.
"Yuk Abba pangku" Raka meraih tubuh mungil putrinya. Meski sudah dewasa, tapi kalau lagi terserang demam, Cantika masih sama rewelnya seperti saat dia kecil dulu.
Raka memangku putrinya. Cantika memeluk leher Abbanya, wajahnya jatuh di atas bahu Raka. Terdengar isakan samarnya.
"Kenapa menangis sayang?" Tanya Raka.
"Hikss ... hikss"
"Ada apa? Cantika cerita dong sama Abba, sama Amma" bujuk Raka.
"Paman Soleh pergi Abba"
"Pamanmu pergi cuma beberapa hari sayang, dia cuma menghadiri acara pernikahan saudara sepupunya" ujar Raka.
"Paman Soleh mau tinggal di Jakarta Abba, dia mau meninggalkan kita hikss ... hikss.... "
"Tidak sayang, Paman Soleh tidak akan meninggalkan kita, tidak akan meninggalkan kampung ini. Dia menyayangi kita, mencintai kampung ini"
"Tidak Abba, Paman Soleh bilang dia akan pergi setelah Cantika menikah hikss ... hiksss"
"Kapan dia bilang begitu?"
"Sebelum dia pergi kemarin Abba, Paman Soleh ... Paman Soleh ... hikss ... hiks ... dia dapat panggilan wawancara dari perusahaan besar di Jakarta ... hikss ... hiks ... dia bilang ... huuuhuuu ... huuhuu.... " isakan Cantika menjadi tangisan.
"Paman Soleh bilang apa sayang?" Tanya Tari tidak sabar.
"Dia ... dia, akan menikah setelah Cantika menikah, dia bilang, dia ingin pergi dari sini dan membangun keluarganya sendiri, huuuuhuuu ... kalau Paman Soleh pergi, siapa yang membantu Abba menjaga Cantika Abba, siapa yang membawakan dompet Cantika yang ketinggalan, siapa yang.... "
"Sudah, Cantika jangan menangis lagi ya, nanti biar Abba yang bicara pada Paman Soleh, oke" ujar Raka, sedang Tari hanya diam saja, seakan ada yang tengah dipikirkannya.
"Heum"
"Sekarang Cantika makan, disuapi Amma ya, Abba mau telpon Paman Solehmu dulu"
"Heum"
Raka menurunkan Cantika dari atas pangkuannya.
Lalu ia melangkah ke luar dari kamar putrinya.
"Makan ya sayang"
"Sedikit saja ya Amma"
"Iya, ehmmm sayang"
"Ya Amma"
"Cantika sayang sama Paman Soleh"
"Iya Amma"
"Sayang bagaimana?"
"Sayang bagaimana itu apa Amma?"
"Enghh ... Cantika rindu tidak kalau Paman Soleh tidak ada?"
"Rindu, tapi sekarang Cantika lagi marah sama Paman Soleh"
"Kenapa marah?"
"Paman Soleh pakai rahasia mau pergi, coba kalau Cantika tidak lihat surat itu, pasti belum tahu kalau Paman Soleh mau meninggalkan kita, Paman Soleh keterlaluan! Ingin pergi diam-diam. Paman Soleh tidak sayang sama Cantika lagi Amma, jadi Paman Soleh ingin pergi ... hikss ... hikss ... Cantika marah sama Paman Soleh. Cantika tidak mau bertemu Paman Soleh lagi!"
"Kalau begitu biar saja ya Paman Soleh tidak usah pulang lagi ke sini, biar nanti Amma suruh Abba untuk mengirimkan barang-barang Paman Soleh ke Jawa, Cantika tidak mau bertemu Paman Soleh lagi, iya kan! Nah Cantika makan sendiri dulu ya, Amma mau beritahu Abba biar Paman Soleh tidak usah kembali ke sini lagi!" Tari menyerahkan mangkok bubur ke tangan Cantika. Lalu ia ke luar meninggalkan Cantika yang ternganga mulutnya demi mendengar ucapan Ammanya.
***BERSAMBUNG***