Masalalu Angga ( Reta)

1741 Kata
“Ta” suara berat itu terdengar menggantungkan ucapannya. “Kalau semisal kita di kasih kesempatan balik lagi ke masa lalu lo mau memperbaiki apa?” tanya laki-laki tersebut tanpa memandang wajah Reta sedikitpun. Reta diam, memandang wajah laki-laki berumur 23 tahun yang sedang duduk di sebelahnya, ia menghela nafas kasar, lalu kembali memandang tumpukan tanah dengan taburan bunga segar di atasnya. “Pengen nyenengin bunda Bang, terus gak diem aja liat ayah sia-siaiin bunda hanya karena ayah milih janda gila,” celetuk Reta dengan nada kesal saat menyebutkan “Janda Gila” tadi. Rega tertawa pelan mendengar tuturan adiknya itu, lantas menoyor pelan kepalanya dan bangkit, ”HAH!” helaan tersebut terdengar jelas. “Pulang yuk, udah sore nih! Minggu depan kita jenguk bunda, gue lagi ada urusan sama Dara sebentar lagi, mana dia udah nungguin gue,” ucapnya sebari melihat jam tangan yang melingkar di lengannya yang kokoh. Reta memutar bola matanya, “Bucin teros, eneg gue liatnya,” ucap gadis itu asal. “Mangkanya punya pacar, biar punya kesibukan lo nya,” suruh Rega dengan nada bercanda. “Ogah!” “Oh berarti Rega gak lo akuiin ya? Yaudah gue aduiin nih,” ucapnya sabari mengambil ponsel pada saku celananya, kemudian dengan cepat Reta menahan lengan Rega. “Apaan sih lo bang, gue kan cuma bercanda,” rajuk Reta dengan rasa moodnya yang langsung turun mendadak. “Lagian ya dari pada gue luntang luntung gak jelas kaya lo? Mending gue meratapi nasib dan berharap bisa balik lagi ke masa lalu buat acak-acak rumah tangga baru ayah lo,” lanjut Reta asal. “Dih! Ayah lo juga kali,” balas Rega yang tidak terima bahwa hanya dirinyalah anak dari orang bernama Fateh. “Dih! Sudi najis! Udah ah bye! Lo pergi aja gue naik grab aja,” usir Reta. “Ada ongkosnya emang?” “Baru aja lo kemarin ngasih gue jatah bulanan, mau ngasih lagi? Gak apa-apa sini! Gue tampung lumayan buat check out shoope,” ucap Reta semangat. “Boros lo!” “Kapan lagi manfaatin abang sendiri dapet kerja di BUMN setelah sekian lama kita hidup susah, kata Reta bangga. “Bener juga ya lo, sialan!” pikir Rega dengan pengakuan adeknya tersebut Rega hanya tertawa, begitupun Reta. Entah kenapa tiga tajun yang lalu setelah Ayah mereka meninggalkan keluarga kecil Reta dan membuat Ibunya sakit membuat Rega kakak laki-laki pertama bekerja keras, dengan dulunya mereka hidup pas-pasan, Rega yang pintar selalu mendapatkan beasiswa penuh selama ia sekolah Ayahnya yang tidak pernah bertanggung jawab selalu setelah mengenali dunia perselingkuhan. Alhasil Ibunya yang harus bekerja dan memenuhi kebutuhan mereka setiap harinya bahkan untuk biaya sekolah Reta, dengan Rega yang selalu melakukan kerja part time di sela-sela masa skripsinya itu cukup untuk membantu Reta untuk biaya sekolah, maka dari itu tidak heran Rega dan Reta sangat membenci ayah mereka sebagaimana beliau memang ayah kandung mereka berdua, sedikit menyebalkan jika di ingatkan kembali bahwa mereka berdua terlahir dari gen orang keturunan dajkal seperti Fateh. Setelah mereka bercanda ria akhirya langkah mereka berdua terpisah, Reta yang menunggu seseorang di halte bus tepat disebrang pemakaman umum, sedangkan Rega akan menjemput Dara karena mereka mempunyai acara sendiri. Beberapa menit Reta menunggu, orang tersebut akhirnya pun datang, ia tersenyum lebar saat gadis yang selalu ia puja menunggu kehadirannya. “Ta? Lama ga?” tanyanya senari membuka kaca Helm kesayangannya. Reta menoleh, pandangannya bertemu dengan laki-laki itu, melihat ia tersenyum lebar bibir Reta pun ikut terangkat. “Iya nih, udah dua jam gue di sini Gar, mana kepanasan lagi,” goda Reta. “Ngaco, lo aja chat gue sekitar dua puluh menit yang lalu, udah lah sini naek. Ayo kita jalan-jalan, gue mau menuhin amunisi gue sebelum tanding,” suruh Rega dengan nada semangat. Rahut wajah Reta berubah setelah Gara menuturkan perkataan itu, entah kenapa perasaan khawatirnya kembali muncul kepada laki-laki yang duduk di hadapannya. “Kali ini lo tanding dalam rangka apa Gar?” ucap Reta agak berteriak karena Gara membawa motor sedikit ngebut, sepertinya mood laki-laki ini sedang berada di tingkat terbaik hari ini. “Ya uanglah, emangnya apalagi?” jawab Gara dengan sedikit berteriak. Reta diam, gadis itu paham dengan keadaan Gara, dengan hidup kesederhanaannya, tidak seperti Reta yang hal yang ia inginkan selalu bisa dia dapatkan setelah Rega bekerja di posisi yang aman semenjak dirinya masuk ke SMA Rajawali. “Buat beli obat nyokap lo lagi?” tanya Reta memastikan. “Iya,” “Mending pake duit gue dulu, dari pada muka ganteng lo ancur lagi, gue males ngobatinnya,” “Halah! Bilang aja lo sedih liat muka ganteng gue ancur,” godanya, sengaja membuat gadis yang selalu bisa membuat nyaman dirinya itu langsung salah tingkah mendengar tuturan Gara. Reta berdecak lalu langsung mencubit perut Gara sekilas, laki-laki itu hanya tertawa pelan bahwa Reta sedang salah tingkah karenanya. “Gue bisa kok cari duit sendiri Ta, sebagaimana gue atlet tinju junior tingkat provinsi dan masih anak SMA,” jelas Gara santai “Tapi kan tetep itu beresiko banget Gar, kita gak tahu orang-orang jelek itu mafia apa bukan. Lo gak tahu kerasanya kota Jakarta sih,” ucap Reta Gemas. “Gue tahu kali Ta, kan gue lahir di sini. Udah tujuh belas tahun gue hidup di Jakarta Reta sayang,” tangan Gara langsung menarik tangan Reta agar gadis itu memeluk Gara dari belakang. “Udah deh Ta, jangan terlalu khawatir dengan keadaan gue yang kaya begini. Gue bisa jaga diri gue sendiri kok karena gue kan terlahir untung jadi panglima tempur sekaligus bodyguard Bunda dan Lo,” lanjut Gara. Mendengar hal tersebut membuat Reta lagi-lagi salah tingkah, sumpah ya Gara tuh kadang bisa semanis ini kalau lagi moodnya bagus kaya sekarang. Tapi kalau udah nyebelin itu bisa buat Reta emosi tingkat dewa rasanya, ada aja yang di lakukan kekasihnya itu di saat moodnya lagi jelek sampai-sampai Reta juga jadi ikutan ke bawa jelek moodnya. Dengan kedua tangan yang sudah memeluk erat Gara dari belakang dan angin yang terus menabrak wajahnya, gadis itu menempelkan pipinya pada pundak belakang Gara, “Gar,” panggil Reta dengan nada lembut dan Gara bisa mendengar suara tersebut. “Iya Ta, kenapa?” “Jangan kalah ya,” ucapnya dengan perasaan yang penuh dengan campur aduk. Mendengar itu Gara tersenyum, tangan kirinya menepuk paha Reta, “Pasti Ta,” . . “Taruhan hari ini bakal dapet berapa Gar?” tanya Reta dengan nada sedikit berteriak karena ruangan yang sangat berisik akibat penonton yang tidak sabar dengan pertandingan. Gara yang hanya memakai celana kolor dan membiarkan tubuhnya tidak terbalut oleh baju sehingga tubuh atletiknya terlihat jelas oleh Reta. Laki-laki itu sedang melakukan pemanasan, dengan lima menit pertandingan akan di mulai, ia seperti terlihat sangat semangat. “Dua juta setengah Ta,” jawab Gara santai. Reta menghela nafas kasar, ya walaupun nominalnya lumayan untuk sekali permainan dengan durasi waktu 7 menit tetap saja Reta khawatir dengan laki-laki yang berada di sebelahnya. “Gue pinjemin deh Gar, gue gak mau lo kenapa-kenapa nih! Mumpung masuh ada waktu lo nolak,” rengek Reta lagi, demi tuhan gadis itu sudah sangat lelah melihat Gara bertarung ilegal seperti ini selama dua tahun lebih. Awalnya Reta fine-fine aja melihat Gara seperti ini namun setelah beberapa waktu melihat Gara sering kesakitan jika beres bertandin dan memenangkan pertandingan tersebut membuat Reta khawatir lama-lama. “Gue bisa kok Ta,“ ucap Gara lembut tangan kanannya sedikit mengacak-acak rambut hitam yang ia urai, “Gue bisa berjuang buat Bunda,” Lanjutnya lagi. Tangan Gara menaikan masker wajah yang Reta sedikit turunkan tadi, pertandingan ini akan di mulai dan Reta seperti biasa harus memakai masker agar tidak banyak yang mengenalinya karena bagaimana pun ini pertandingan ilegal dan banyak di bawa umur yang berada di sini juga. Maka dari itu banyak penonton yang memakai masker bahkan topeng saat masuk ke sini, jangankan penontonnya, pemainnya aja di wajibkan memakai penutup wajah yang kaya di film-film perampokan kok. Seketat itu. Suara bel tanda memulainya pertandingan berbunyi membuat semua orang yang berada di sini kembali bersorak senang, belum lagi saat kedua pemain memasuki arena lapangan. “Good Luck Gar,” ucap Reta pelan sebagaimana ia tahu bahwa Gara gak akan bisa mendengarnya karena langkah laki-laki itu sudah jauh dari posisi tubuh Reta. Semua orang bersorak ria dan terus memanggil nama samaran Gara yang selalu di pakai untuk pertandingan Ilegal seperti ini, sebut saja King. “KING!” “KING!“ “KING!” “KING!“ Sampai pada akhirnya satu pukulan pun melayang ke arah musuh Gara. BUGH!! Melihat itu Reta sedikit meringin karena pukulan tersebut tampak kencang untuk awal pertandingan belum lagi arah pukulan itu tepat pada tulang hidung si lawan, dalam hati Reta terus berdoa agar pertandingan Gara kali ini, ia tidak di beri luka sebanyak waktu dua minggu yang lalu. Namun belum saja selesai berharap untuk Gara, ternyata tuhan tidak mengizinkan hal tersebut karena nyatanya laki-laki itu terkena pukulan oleh lawannya berkali-kali tepat di mata sebelah kiri dan rahang Gara. Reta memejamkan kedua matanya, mengalihkkan pandangannya ke arah lain karena ia tak mampu untuk melihat hal tersebut, lantas Reta melangkahkan kedua kakinya untuk pergi dari arena pertandingan. Air matanya sudah berlomba-lomba untuk keluar dari pelupuk matanya, sial! Jangan sekarang please! Karena kalau Gara tahu kalau Reta menangis lagi karena melihat Gara bertarung, itu akan membuat dirinya sedih. Jujur sebagai kekasih seorang Gara, Reta tidak ingin merepotkan atau bisa di bilang membebankan kehidupan laki-laki itu karena sejujurnya hidup Gara sudah cukup berat di banding dirinya. Dengan Gara yang sejak kecil hanya di besarkan oleh ibunya seorang, belum lagi ia tidak tahu siapa ayahnya. Dengan hidup penuh kesederhanaan bahkan terkadang kekurangan membuat Reta bersyukur awalnya karena bagaimana pun ada yang lebih berat hidupnya di banding dirinya sendiri. Dan semenjak Ibunya sakit Liver dua tahun yang lalu membuat Gara harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan ibunya bahkan setiap bulannya mengharuskan Gara membeli obat dan cuci darah, alhasil hanya dengan melakukan pertandingan ilegal seperti ini Gara bisa mendapatkan uang berkali-kali lipat dari gajih UMR kota Jakarta untuk sekali main. Reta terduduk diam di atas sofa yang berada di dalam ruangan ganti tempat Gara tadi, suara sorak sorai orang-orang di luar sana masih terdengar dan itu cukup membuat Reta sakit mendengarnya karena bagaimana pun mereka seperti meneriaki hewan yang sedang beradu di dalam lingkaran yang mereka buat. Sayup-sayup Reta mendengar bel pertandingan telah usai dan sorakan orang-orang semakin kencang saat nama samaran Gara terdengar menjadi pemenang andalan secara berturut-turut, lantas arah pandangan gadis itu jatuh ke jam dinding yang menunjukan pukul tujuh malam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN