Penyakit Mental?

1904 Kata
Nalen menatap layar ponselnya, menunggu kabar Jeje untuk setiap harinya. Sebagaimana ia tahu bahwa gadis itu tidak akan menghubunginya sesudah dirinya memutuskan hubungan secara sepihak. Percayalah, Nalen masih mengharapkan hubungan mereka berdua berjalan secara baik-baik seperti dulu. Kevin yang baru saja datang ke area parkir karena tadi sempat bertemu dengan Reon, menatap laki-laki itu dengan raut wajah datar. Sebenarnya posisi Kevin di sini juga sangat membingungkan sebenarnya. Dengan dirinya yang berusaha membujuk Reon sekaligus menghibur Nalen di ambang kebimbangannya membuat Kevin mau tidak mau harus ikut campur dengan urusan para sahabatnya ini. Susah memang kalau bersikap netral di antara manusia yang sedang bucin atas percintaan mereka berdua. “Napa lagi? Wajah dari tadi di tekuk mulu?” Celetuk Kevin sebari memencet kunci mobil Reon dan membuat mobilnya berbunyi. Nalen menoleh, perhatiannya teralihkan kepada Kevin yang sudah membawa kunci mobil Reon. “Kenapa lo bawa kunci mobil si Reon?” Tanyanya seraya mengalihkan pertanyaan Kevin yang tadi mengarah kepadanya. “Dia ada urusan katanya,” Jawab Kevin yang sudah ikut nimbrung tepat di sebelah tubuh Nalen. Nalen sedikit mengerutkan keningnya, “Urusan? Urusan ap-“ Ucapannya terpotong setelah kedua sorot matanya melihat Reon dan Sisil yang sedang berjalan bersama beriringan ke arah area parkir. Kevin dan Nalen langsung saling menukar pandangan, lalu kembali melihat ke arah mereka berdua yang sudah masuk ke dalam mobil Sisil. Tunggu! Tunggu! Kenapa tiba-tiba Reon mendadak jadi akrab sama Sisil begini? “Lo liat kan Kev?” Tanya Nalen saat mobil Sisil sudah melaju pergi dari area parkir sekolahan. Kevin hanya mengangguk, dan matanya mengarah ke arah kunci mobil Reon yang sempat ia pegang, “Pantesan gue di suruh bawa mobil dia balik ke rumah. Ternyata mau modus anjir!” Nalen diam tidak menjawab, ini maksud dan tujuannya kaya gimana sih? Bukannnya Reon dari kemarin malam kekeuh pengen dirinya dekat dengan Sisil kan? Kenapa jadi tiba-tiba dia udah start duluan. Sialan memang! “Gue masih gak ngerti sama jalan pikiran Reon Kev,” Celetuk Nalen tiba-tiba membuat laki-laki itu langsung menatap ke arahnya. “Maksud lo?” Nalen menaikan kedua bahunya, “Ya lo pikir aja lah, Reon kekeuh pengen gue deket sama Sisil sampek diemin gue. Sekarang malah dia udah ngambil start duluan,” Jelasnya bingung. “Gue gak tahu dia tuh lagi rencanaiin apa sebenarnya,” Kevin belum menjawab, tapi ia menyetujui apa yang ada di dalam pikiran Nalen sekarang ini. Dengan Reon yang sedikit bertindak seperti kekanak-kanakkan, belum lagi memaksakan Sisil dan Nalen menjalani hubungan tidak jelas segimana hubungan Nalen dan Jeje belum selesai seperti yang ia pikir. Nalen membuang nafas kasar, “Gue coba ngomong sama Reon deh nanti,” Tangan kanannya menepuk bahu Nalen pelan. “Lo tenangin diri aja sambil mastiin hubungan lo sama Jeje, jangan pas lo udah deal pacaran sama Sisil di depan Reon. Eh! Pas Jeje deketin lo, lo malah luluh lagi nanti,“ Sambung Kevin yang tahu bagaimana laki-laki yang ada di sampingnya itu kalau sudah bucin ke gadis bernama Jeje terbilang sudah ke lewat batas baginya. Bener-bener sudah di luar nalar rasanya. “Bakal gue pikirin matang-matang kok,” Ucap Nalen lemas. •••••••••••••••• Masih di sini, masih di sekitar pemakaman dengan menikmati suasana remang-remang akibat malam yang akan datang. Reon dan Sisil masih berdiri di depan mobil milik gadis itu sebari menikmati pop mie hangat yang mereka beli tadi di warung yang tidak jauh dari posisi mereka berdua. Sebenarnya sih niatnya makan berat sekalian di suatu tempat, tapi saat Sisil ingat bahwa Bi Eem masak untuk dirinya untuk makan di rumah membuat ia memilih makan mie hanya untuk mengganjel perut saja karena jujur sejak di sekolah tadi ia belum makan sama sekali. Karena mager banget buat pergi ke kantin sebagaimana David sudah mengajaknya sewaktu istirahat pertama dan kedua. “Habis ini kita makan lagi di rumah gue ya, dikit aja. Gak enak sama Bi Eem kalau udah di masakin bukannya di makan,” celetuk Sisil yang sudah selesai menghabiskan pop mie rasa sotonya itu. Reon mengangguk sebari mengambil bungkus pop mie di tangan Sisil dan membuangnya di tempat sampah, “Iya, kita makan lagi,” Sisil menyipitkan kedua matanya, “Apa? Kita?” Ucapnya yang hampir tidak salah dengar dengan perkataan Reon yang tadi ia ucapkan. Reon diam beberapa detik, lantas tertawa kecil. “Iya, maksud gue. Lo sama gue gitu,” Balasnya dengan rasa malu yang sedang ia tutup rapat-rapat. Sisil menggeleng sebari membalas dengan tawaan kecilnya, gadis itu berniat untuk masuk ke dalam mobil. Namun niatnya terhalang oleh pengguna motor yang hampir menabraknya, hampir ya hampir. Sisil sedikit terkejut akan hal itu, badannya langsung membeku. Sedangkan Reon yang melihat kejadian tadi langsung berteriak. “WOY!!! BERHENTI LO!” Dan yap! Pengguna motor itu pun akhirnya berhenti, dengan rasa bersalah yang sudah menyelimuti si pengguna motor tersebut, lantas tanpa pikir panjang ia langsung memarkirkan motornya sembarangan, “Maaf kak, saya gak sengaja,” Ucapnya dengan suara gemetar. Reon yang tadi berlari kecil menghampirinya, langsung diam. Niat untuk memaki-maki kepada orang yang hampir menabrak Sisil itu ia urungkan saat tahu yang membawa motor adalah bocah SMP, dengan umur sekitar empat belas tahun. “Lampu motor saya rusak, jadi gak keliatan. Maafin saya ya kak,” Mohonnnya lagi. Reon menghela nafas panjang, rasanya mau marah saja tidak tega sebagaimana tadi sempat sedikit membahayakan Sisil juga sebenarnya. Di tambah lagi dengan melihat itikad baik si adek ini membuat Reon tidak tega juga kalau marah-marah berlebihan. Dengan niatnya yang sudah ia urungkan, ternyata hal itu tidak dapat di indahkan sama sekali karena entah kenapa Sisil tiba-tiba menarik kerah seragam orang itu. “LO GAK LIHAT ADA ORANG DI SITU HAH?!” Ucap Sisil dengan nada tinggi. Reon yang terkejut melihat perubahan mood gadis yang ia kagumi itu menatap tidak percaya. “KALAU GUE KE TABRAK TERUS MATI LO MAU TANGGUNG JAWAB?!!” Adik tersebut tubuhnya gemetar ketakutan melihat Sisil yang marah-marah dengan nada tinggi. “Sil?” Panggil Reon dengan tangan yang berniat untuk menarik gadis itu, tapi ternyata Sisil menangkisnya dengan cepat. “DIEM LO NYET?!” Bentak Sisil pada Reon. Terkejut? Oh itu jelas! Kenapa gadis itu bisa mendadak marah-marah seperti ini? “JAWAB ANJING JANGAN DIEM AJA?!” BISU LO?!!” Dengan tangan yang bersiap untuk menampar anak SMP itu, dengan cepat Reon langsung menarik tangan Sisil dan menarik tubuh gadis tersebut dengan cepat. “LEPASIN GUE!!! TUH ANAK HARUS DI KASIH PELAJARAN!“ Teriak Sisil dengn tubuh yang sudah berontak kesetanan. “LO PUNYA MULUT KAN?!” Teriak Sisil lagi ke arah adik itu. Reon sedikit kewalahan rasanya saat ia berusaha menarik tubuh Sisil ke dalam mobil, dengan sekuat tenaga Reon menarik Sisil yang berontak tidak jelas itu dengan rasa susah payah. Sampai pada akhirnya Reon berada di depan mobil, dan langsung memasukan Sisil ke jok belakang. Begitu pula di ikuti Reon, karena kalau sampai Sisil membuka pintu mobil dan berhasil, terus kelur teriak-teriak sambil marah-marah kan gak lucu juga. “Hey! Hey!” Ucap Reon yang berusaha menahan dan membuat Sisil tenang. “Lo kenapa sih Sil?” Tanya Reon bingung yang masih berusaha menahan Sisil yang sedang berontak. “TUH ANAK HARUS DI KASIH PELAJA-“ “FINE! FINE! TAPI PERLU LO MARAH-MARAH KAYA ORANG KESURUPAN GINI?” potong Reon langsung yang di balas dengan nada tinggi, dan itu berhasil membuat Sisil diam sebari mengatur nafasnya yang sudah tidak karuan. Gadis tersebut menatap Reon sinis, dengan kedua tangannya yang masih di pegang Reon dengan erat. Ia berusaha untuk melepaskan tangannnya susah payah. Namun sayang, Reon menahannya. Reon memegang tangan Sisil kencang sebari menatap gadis yang ada di sebelahnya dengan sorot mata tajam, “Kenapa diem? Udah marahnya?” Sisil diam tidak menjawab, ia masih berusaha mengatur nafasnya. Dengan pandangan yang tidak teralih dari pandangan Reon, sedangkan laki-laki itu menatap ke arah Sisil secara lamat-lamat. Memperhatikan setiap sikap yang menurutnya janggal sedari tadi. Ayolah! Reon tidak setolol atau sebego itu. Di tambah lagi ibunya seorang dokter pskiater, ia tahu mana orang yang sehat dan normal, ia juga tahu mana orang yang mentalnya terganggu. Oh satu lagi, Reon pun baru menyadari bahwa Sisil selama setahun terakhir ini sering sekali memakai hoddie panjang. Tidak, bukan sering lagi. Melainkan hampir setiap hari, bahkan untuk detik ini. Dengan rasa curiga yang sudah mencuat tinggi akhirnya Reon kembali memegang tangan Sisil kencang dan berusaha membuka lengan hoddie yang di gunakan gadis tersebut. Sadar akan hal Reon yang berniat ingin membuka lengan hoddienya, dengan sigap Sisil menolah. Tapi sayang ia gagal, karena Reon sudah membukannya dan yap! Laki-laki itu menatap ke arah luka di tangannya dengan raut wajah tidak percaya. “Lo?” Reon menggantungkan ucapannya, tangan laki-laki itu ia lemaskan dan membiarkan Sisil kembali menutup semua luka lengannya dengan Hoddie yang ia gunakan. Perubahan mood, sesak nafas yang suka terjadi tiba-tiba, mengigit kuku, melukai diri sendiri, marah yang berlebihan. Reon kembali menatap ke arah Sisil yang sudah terlihat ketakutan akibat laki-laki itu yang peka dengan situasinya “Lo gak mengidap penyakit Bipolar Disorder kan Sil?” And finally! Reon know about her secret. •••••••••• “Sudah berapa lama?“Tanya Reon tanpa menatap ke arah Sisil sedikit pun. Masih di tempat yang sama dan mereka belum beranjak pergi dari situ, mereka berdua memilih untuk sedikit menenangkan diri di sini. Sebari sedikit membahas penyakit mental yang telah di alami gadis itu. Sisil menghela nafas berat, “Setelah nyokap sama bokap gue meninggal, terus Angga mendadak berubah dan hobi nyalahin gue atas kematian mereka berdua,“ “Jadi? Hampir sekitar dua tahun lo ngalamin ini?” Tanya Reon memastikan sebari menoleh dan menatap ke arah Sisil. Sisil mengangguk pelan, “Dan Nabil yang selalu peka dan bisa mengendalikan gue di saat gue lagi kambuh,” Kepalanya ia senderkan. “Now? She’s gone,“ Lanjutnya lemah. Reon diam menatap gadis itu secara lamar-lamat dengan tatapan lembutnya. Entahlah, pikirannya saat ini sedang tidak bisa berjalan dengan baik seperti biasanya. Karena sepertinya ini benar-benar di luar dugaan Reon, bahkan dirinya pun tidak terfikirkan dengan hal ini. “David tahu?” Tanya Reon lagi. Sisil menggeleng pelan, “Belum, dan gue harap jangan sampai dia tahu hal ini. Gue gak mau ngerepotin orang sekitar kalau kambuh,” Reon berdesis, “Sil,” Panggilnya sebari membenarkan posisi duduknya. “Seberusaha lo mencoba untuk menutupi ini semua itu gak mumgkin, karena hal tersebut bisa kumat kapan saja dan gak bisa lo prediksi. Suatu saat David akan tahu di tambah ia akan andil buat bikin lo tenang kalau lo kumat di tempat umum, ya contohnya kaya tadi,“ “Lo udah berobat lagi?” “Belum juga,“ Jawab Sisil polos sebari membalas tatapan Reon. Reon menghela nafas pelan, senyumnya tertera di wajah tampannya. “Tapi obatnya masih ada?” Sisil menggeleng, “Udah empat bulan ini gue sengaja gak berobat karena malu,“ “Malunya?” Tanya Reon dengan tatapan bingung. “Ya gue malu, gue malu di kata gila sama orang-orang,” Dan Reon lagi-lagi terdiam, sebenarnya penyakit itu bukan berarti gila juga sih. Bahkan Reon juga agak bingung membedakan mana yang memang gangguan jiwa dan mana yang memang mentalnya terganggu. Akhirnya Reon hanya menarik nafas panjang, “Berobat sekarang yuk! Ke dokter yang bisa bikin lo nyaman kalau konsul,“ Ajak Reon sebari menyalakan mobil. “Hah! Siapa?” Sisil menatap pergerakan laki-laki yang ada di sebelahnya. “Nyokap gue,” Jawab Reon mantap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN