Rigel tersenyum mengamati layar ponselnya yang sedang memutar pesan video dari anak buahnya. Rigel puas dengan hasil perintahnya. Mengusir Shoera dari kontrakan. Rigel mengirim sejumlah uang untuk pemilik rumah supaya mengusir Shoera dari rumah tiga petak itu.
Dalam rekaman video, Shoera menyeret koper berjalan di atas trotoar.
'Aku ada rencana untukmu.' benak Rigel dengan senyum iblis di wajah rupawan nya. Menit kemudian senyum jahatnya sirna, menampilkan kerutan tebal di dahi ketika bola mata tajamnya menangkap benda dalam dekapan Shoera.
Rigel menghentikan video lalu memperbesar gambar untuk memperjelas gambar.
"Bubu?"
Benda dalam dekapan Shoera, boneka beruang yang mereka namai Bubu saat pacaran dulu. Benda itu mengingatkan Rigel pada masa lalu mereka, lima tahun yang lalu.
"Shoera." Panggil Rigel berlari kecil menghampiri Shoera.
Pemilik nama berbalik dengan raut kecut, bibirnya mencebik membentuk bibir bebek. Sudah tiga jam ia berdiri di pintu gerbang pasar malam, menunggu Rigel menemuinya.
"Maaf, aku sangat terlambat ya?" Rigel meminta maaf atas keterlambatannya.
"Tiga jam," jawab Shoera lirih, menunduk malas.
Rigel mengembuskan nafas lelahnya, meraih kedua tangan Shoera dan menggenggamnya. "Opa memintaku menemuinya di rumah sakit dan aku tidak bisa mengabaikannya." katanya.
Shoera menghela nafas, mendengar alasan kekasihnya. Ia mengangkat kepalanya yang tertunduk melihat Rigel memohon lewat matanya.
"Maafkan aku, umm? Aku janji, untuk lain kali akan lebih mengutamakanmu." bujuk Rigel.
"Setidaknya kabari kalau datang terlambat dan ... aku tidak mau kau mengabaikan keluargamu demi mengutamakan aku." ucap Shoera melepas tangannya dari genggaman Rigel.
"Ponselku ditahan Mami."
"Itu sebabnya kau tidak mengangkat panggilanku?"
Rigel mengangguk kecil, dalam perjalanan menuju rumah sakit, ponsel Rigel berdering, ia tersenyum manis melihat nama kekasihnya pada layar ponsel. Rigel berniat mengangkatnya. Namun, tangan Kalani begitu cepat merebut benda itu dan menahannya.
Shoera menghela lagi. "Baiklah, aku tidak akan mempermasalahkan ini lagi."
"Jadi aku dimaafkan?"
Shoera mengangguk membuat lelaki itu tersenyum bahagia, dan tanpa malu Rigel cekatan mendaratkan kecupan di pipi Shoera.
"El …," Shoera merona memengangi bekas ciuman Rigel.
"Ayo kesana." ajak Rigel menarik tangan Shoera menuju stand makanan.
"Bagaimana keadaan Opamu?" tanya Shoera.
"Udah baikan, hanya saja dia harus duduk di kursi roda. Aku tidak mau membahas tentang mereka. Ayo kita habiskan waktu yang tersisa sebelum tempat ini ditutup." Rigel merangkul bahu Shoera. "Kau mau roti itu?" tanya Rigel menunjuk stand penjual roti john.
"Boleh, kebetulan aku lapar, El."
Rigel mengusap kepala Shoera lembut, mendekati penjual roti. "Pesan dua pak, sekalian minumnya jus orange." pesan Rigel pada penjual.
"Baik, silahkan duduk dan tunggu sebentar ya."
Rigel membawa Shoera duduk di bangku dekat stand, memperhatikan wajah imut Shoera.
"Opa ingin aku kerja di perusahaan setelah selesai kuliah." kata Rigel memulai obrolan mereka.
"Umm … itu bagus, kan?" tanya Shoera berhati-hati.
"Bagus, tapi taruhannya cita-cita aku Shoera." kata Rigel membawa ibu jarinya mengelus pipi kekasihnya.
"Kau bisa menjalankan keduanya,"
Rigel menghela panjang."Mereka menginginkan aku fokus bekerja disana." kata Rigel dengan raut sedih.
Rigel bercita-cita ingin menjadi desainer perhiasan, tetapi keluarga tidak mendukung. Mereka menginginkan Rigel mengambil alih perusahaan Seem yang bergerak dalam bisnis manufaktur.
"Lalu apa keputusanmu?"
"Entahlah, aku belum buat pilihan."
Roti dan minuman yang mereka pesan akhirnya datang dan meletakkan di meja kecil.
"Awas masih panas," ucap Rigel ketika Shoera hendak melahap roti lapis berisi telur, daging dan saus yang terlihat begitu menggoda lidah.
Shoera terkekeh seraya meniup roti miliknya."Kita jalan kesana." ajak Rigel setelah membayar pesanan mereka. Ia membawa Shoera menuju lapangan khusus permainan.
Seraya berjalan Shoera melahap rotinya, mulutnya benar-benar penuh membuatnya tampak lucu hingga Rigel tertawa. Mengusap sudut bibir Shoera yang bersaus.
"Kau sangat lapar rupanya." kata Rigel."pelan-pelan nanti keselek, kalau masih kurang ini untukmu." tambahnya menunjukkan roti miliknya yang belum tersentuh olehnya.
Shoera menelan isi mulutnya," makan saja. Ini cukup." ucapnya, menyedot orange jus.
Keduanya melangkah mendekati mesin capit boneka. "El, kau mau main?" tanya Shoera di depan mesin capit boneka.
"Aku dengar mesin ini sudah di setting. Seberapa banyak pun koin kita masukkan tetap akan gagal." Kata Rigel.
"Serius? Tapi dia kenapa bisa dapat?" Shoera menunjuk pemuda di samping mereka. Rigel mengerutkan keningnya, melihat boneka cantik di pelukan pacar pemuda itu.
"Mau coba?" tanya Rigel, merasa tertantang. Shoera mengangguk, lalu melahap rotinya.
"Tunggu disini, aku belikan koinnya." ucap Rigel memberikan rotinya pada Shoera kemudian Rigel berlari kecil menuju loket tiket.
"Seratus ribu." Pesan Rigel, menyerahkan satu pecahan uang seratus ribu.
"Ini koinnya dan terima kasih."
Rigel membawa koin menghampiri Shoera di mesin permainan itu.
"Mau boneka yang mana?" tanya Rigel
"Beruang."
"Beruang?"
"Umm,"
"Oke,"
Rigel menggerakkan penjepit pada boneka beruang berwarna pink muda. Boneka itu berhasil dicapit tapi, saat memindahkan ke kotak pengambilan, boneka terjatuh.
"Aaah …." Shoera mengeluh.
"Kita coba lagi sampai dapat." Rigel mengulanginya, berkali-kali sampai koin yang ia beli habis.
"Seperti kataku mesin ini sudah di setting." ucapnya melihat Shoera yang memasang wajah malas.
"Kita beli aja ya bonekanya."
"Maunya boneka itu, El." Shoera mencebikkan bibirnya.
"Umm, baiklah. Aku beli koinnya lagi." Rigel berlari membeli koin.
Shoera menghabiskan jus dan rotinya lalu membuang sampahnya ke tong. Ia terkejut melihat Rigel kembali dengan sekantong koin.
"El?"
"Aku penasaran, kita harus dapatkan semua boneka dalam mesin ini." kata Rigel.
"Aku maunya boneka itu.” Shoera menunjuk boneka beruang dalam kotak mesin. “tapi, kalau nggak dapat, tidak apa-apa, El. Tidak perlu beli koin sebanyak ini."
"Tidak apa-apa. Hanya lima ratus ribu." kata Rigel mengejutkan Shoera.
"Astaga El. Kau berlebihan."
"Tidak apa-apa, Shoera. Aku sangat penasaran dan malam ini boneka itu harus berada dalam pelukanmu." ucap Rigel bersemangat. Ia memasukkan koin ke dalam mesin, Mulai menggerakkan benda itu untuk mengambil boneka. Shoera berdecak lalu ia mulai menyemangati Rigel tapi, lagi-lagi boneka itu terjatuh.
Shoera melihat sekitarnya, tempat itu sudah mulai sepi dan koin Rigel juga sudah berkurang banyak. Tetapi, semangat pria itu masih berkobar.
Rigel mengeluarkan koin sebanyak lima keping dari kantong. Koin terakhir, ia mendesah.
"Sudah lupakan saja. Aku percaya kalau mesin ini sudah disetting." kata Shoera memeluk Rigel.
"Kita coba sekali lagi, kalau gak dapat aku beli mesinnya." Shoera terbahak.
Rigel memasukkan koin ke mesin, ia berdoa dalam hati supaya bisa menyenangkan hati kekasihnya, kemudian menggerakkan benda pencapit. Boneka diangkat dan dengan cekatan dipindahkan pada kotak.
"Oh ya ampun berhasil!" teriak Rigel mengepal tangan di udara.
Shoera memeluknya bahagia, beberapa pengunjung yang tersisa di sana melihat ke arah mereka yang tampak bahagia, seolah mendapatkan hadiah besar.
Rigel mengeluarkan boneka dari kotak dan menyerahkan pada Shoera.
"Kau harus merawatnya. Ini sangat mahal. Lima ratus ribu." kata Rige, ia merangkul bahu Shoera berjalan meninggalkan mesin itu.
"Tapi, El. Ah … kenapa begitu bodoh sih, uang sebanyak itu ..." keluh Shoera. Ia tidak rela kekasihnya menghabiskan koin sebanyak itu. Tidak sebanding dengan harga boneka yang mungkin hanya lima belas ribu rupiah jika di beli di toko boneka. Shoera menyesal menginginkan benda itu.
"Aku sudah bilang jangan lihat harganya, tapi perjuanganku mendapatkannya." kata Rigel lagi.
"Baiklah, aku akan menjaganya seperti menjaga cintaku padamu, El."
"Ooh ...manisnya pacarku. Harus dong."
"Aku akan memeluk boneka ini di setiap malamku dan menganggap boneka ini kamu,"
Rigel tertawa, ia berhenti melangkah lalu meraih kedua bahu Shoera untuk menghadapnya.
"Terima kasih. Aku mencintaimu, Shoera." ucap Rigel mengelus pipi Shoera dengan ibu jarinya.
"Kau mau beri nama apa?" tanya Shoera, menjauhkan sedikit kepalanya ketika Rigel nyaris mencium bibirnya.
Rigel terpejam, menahan senyum, gagal mendapatkan bibir Shoera.
"Umm, Bubu."
Kening Shoera berkerut," Bubu?"
"Iya, kita beri namanya Bubu."
"Baiklah, namanya lucu." Shoera memeluk bonekanya. "mulai sekarang namamu Bubu, kau temanku dan aku akan menjagamu sampai kekasihku ini benar-benar menjadi milikku seutuhnya." kata Shoera pada boneka beruang lembut itu.
"Cium aku," bisik Rigel.
"El, malu ada orang."
"Cepatlah," Rigel memajukan bibirnya yang lembab.
Shoera melihat sekitarnya, tempat itu mulai sepi dengan cepat ia mendaratkan kecupan di bibir Rigel.Dengan cepat pula Rigel menahan tengkuk Shoera agar tidak melepas ciumannya. Shoera membeliak, lalu dengan perlahan memejamkan mata ketika kekasihnya itu memanjakannya dengan ciuman yang lembut.
Suara bel menyadarkan Rigel dari lamunannya. Dahinya berkerut melihat kearah pintu. Rigel meletakkan ponsel di atas meja lalu bangun dari duduknya. Melangkah menuju pintu untuk membukanya.
"Elsa?"
***
Shoera mengamati kartu nama Rigel di tangannya. Nama pria yang pernah diukir di hatinya. Pria itu dalam sekejap hadir dan membuatnya semakin banyak masalah. Akan tetapi, pria itu juga yang memudahkan dirinya mendapatkan biaya pengobatan Sky walau dengan cara yang menjijikkan.
"Shoera," Panggil Azura menghampiri Shoera yang tengah duduk di bangku taman belakang rumah sakit. Azura heran melihat koper milik Shoera.
"Kau sudah datang?" Shoera tersenyum dengan paksa lalu memasukkan kembali kartu nama Rigel ke dalam tas nya.
"Apa yang terjadi?" tanya azura duduk di samping Shoera.
Shoera menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, ia terisak hingga tubuhnya bergetar.
"Shoera," Azura mengelus pundak temannya itu.
"Apa yang terjadi denganku Azura? Kenapa hidupku benar-benar sial? Apa yang salah dengan hidupku? Aku kehilangan ibuku, Sky sakit, aku kehilangan pekerjaan, nama baikku hancur dan malam ini …aku, a-aku harus diusir dari kontrakan." Keluhannya pada Azura, air matanya mengalir deras di pipinya.
"Tap-tapi, kenapa kau diusir dari kontrakan? Apa kontrakan mu menunggak?" tanya Azura seraya menepuk-nepuk pundak Shoera.
"Aku sudah membayarnya bulan ini,"
"Lalu kenapa?"
"Entahlah, pemiliknya bilang kontrakan itu sudah dijual. Dan harus di kosongkan."
"Astaga, mana bisa begitu. Kau bisa saja melaporkannya ke polisi."kata Azura dengan nada kesal.
"Aku bingung, pikiranku tidak berjalan dengan benar." ucap Shoera terisak.
Azura berdecak, "Sky mencarimu. Kau terlalu lama menghilang. Pergilah temui dia. Kopermu biar aku yang urus." ucap Azura.
"Jangan, terima kasih Azura. Aku akan membawa koper ini ke ruang rawat Sky. Untuk sementara waktu aku akan menginap disini sampai dapat kontrakan baru." ucap Shoera, menyeka air di matanya.
"Baiklah, aku bantu cari kontrakan. Cepat hapus air matamu dan temui Sky." ujar Azura membantu Shoera berdiri dari duduknya kemudian mereka meninggalkan tempat itu.
***
Sky menyunggingkan senyum dari bibir keringnya.
"Hei, sayang. Kau bangun?" Shoera menggenggam tangan Sky.
"Setiap Sky membuka mata, aku tidak menemukanmu disini." kata Sky.
"Maafkan aku sayang, aku harus bekerja." bohong Shoera mengelus kening Sky dengan sayang.
"Aku bosan disini, kapan kita pulang ke rumah?" tanya Sky.
"Sampai Sky sehat."
"Aku harus sekolah,"
"Nanti setelah Sky benar-benar sehat dan dokter mengizinkan kita pulang." ucap Shoera, ia mendekatkan tubuhnya untuk mencium pipi Sky.
"Baiklah, nyalakan televisinya." ucap Sky si anak Tk itu.
Shoera meraih remot tv lalu menghidupkan televisi. "kau mau menonton apa?"
"Kartun Spongebob."
"Malam begini apa masih ada?" tanya Shoera mencari-cari channel yang menayangkan kartun.
"Kalau begitu apa Sky bisa pinjam ponsel? Disana pasti ada." kata Sky.
"Tiga puluh menit, oke?" Shoera mematikan televisi.
"Setuju."
"Nonton atau main game?"
"Main game,"
Shoera membantu Sky duduk kemudian menyetel sandaran Bed.
Sky bersandar, menerima ponsel dari tangan Shoera lalu memainkan game kesukaannya disana. Shoera memperhatikan wajah pria kecil itu, penuh harap penyakit yang diderita putranya lekas pulih.
***
Ketukan pintu menarik perhatian Rigel dari kesibukannya di depan layar laptopnya. Tanpa dijawab si pengetuk masuk dan membawakan berkas untuk ditandatangani Rigel.
"Data Berlian mentah dari negara Afrika. Barangnya akan dikirim setelah mereka mendapatkan tanda tanganmu." kata Aro meletakkan berkas di atas meja Rigel.
Rigel memeriksa berkas itu dengan detail sebelum menggoreskan tanda tangannya disana.
"Kirimkan email, supaya benda itu segera dikirim." kata Rigel, menyerahkan dokumen yang baru saja ditandatanganinya.
Aro mengambil dokumen, ia berjalan hendak keluar ruangan Rigel.
"Kau sudah dapat info tentang anak itu?" tanya Rigel.
"Namanya Sky, dia putra Shoera."
"Shoera sudah menikah?"
"Iya, dia menikah dengan teman kuliahnya."
Kedua tangan Rigel terkepal erat di bawa meja kerjanya. Wajahnya yang tenang berubah pias.
"Baiklah, kau bisa pergi." ucap Rigel.
"Putranya menderita leukimia. Itulah sebabnya dia tidur denganmu." ujar Aro. Rigel merespon dengan senyum sinis.
"Kau ingin apa darinya hingga mengusirnya dari kontrakan itu?" tanya Aro penasaran.
"Membalas pengkhianatannya."
"Dia punya alasan pergi, Rigel."
"Aku berjuang untuk mendapatkan restu menikahinya. Dan dengan mudahnya dia menyerah. Wanita itu penipu, dia membawa uang ibuku pergi." sahut Rigel dengan nada kesal.
Aro menelan ludah melihat amarah Rigel. "Lalu apa selanjutnya?"
"Pergilah, aku sendiri yang akan menghukumnya."
Aro mengangguk, tanpa mengatakan apapun dia meninggalkan ruangan itu.
***
Shoera mendorong kursi roda Sky menuju taman belakang rumah sakit. Tempat pasien Leukemia berjemur dan menghirup udara pagi hari.
"Hei, Sky." seorang wanita menyapanya. Wanita itu juga sedang menjaga putrinya yang sedang sakit seperti Sky.
"Pagi Tante." Balas Sky dari kursi rodanya.
"Pagi Nyonya Shoera." sapa ibu gadis kecil itu.
"Pagi, Nyonya. Hey cantik. Sedang berjemur?" tanya Shoera pada putri seusia Sky yag tengah duduk di bangku panjang di taman itu.
"Iya, tante." Balas gadis kecil, tersenyum menunjukkan sederet giginya putih.
"Sayang, kau duduk bersamanya?" tanya Shoera pada Sky.
"Baiklah," Shoera membantu Sky berpindah dari kursi roda menuju bangku taman.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Shoera pada ibu gadis kecil.
Wanita itu menarik nafas panjang, "berharap ada mujizat." lirihnya, matanya mendung melihat putrinya yang sedang berbicara dengan Sky. Gadis kecil itu mengenakan hoodie menutupi kepalanya yang botak.
"Bagaimana dengan Sky?" tanyanya.
"Terapi pertamanya membuat tubuhnya kering. Tapi dia sangat bersemangat untuk sembuh." Lirih Shoera. Ia melihat putranya berbincang dengan gadis kecil itu.
"Mereka terlalu muda untuk merasakan penyiksaan ini," gumam ibu gadis itu.
Shoera mengangguk, menatap sepasang anak yang sedang menjalani kehidupan berat dan berjuang demi bisa bertahan di dunia ini.
Ponsel Shoera berdering di dalam saku celananya, ia sedikit terkejut dari lamunannya. Azura menelponnya.
"Aku titip sebentar," kata Shoera.
"Oh, baiklah." Shoera berjalan menjauh lalu mengangkat panggilan Azura.
"Zura?"sapanya. "Sungguh?" tanyanya dengan raut tidak percaya. "baiklah, aku akan kesana." Shoera menutup teleponnya. Ia menelan salivanya.
'Untuk apa dia kemari?' Gumamnya dalam hati, melihat ke arah Sky yang tengah bergurau dengan gadis kecil di bangku taman.