Jina masih ingat betapa tegasnya Dean mengatakan kalau orang lain tidak boleh masuk ke perpustakaan karena itu termasuk ruang pribadinya, tapi sepertinya ada pengecualian untuk pelayan. Tentu saja, mereka perlu membersihkan ruangan itu, pikir Jina.
Semakin dilarang, semakin Jina ingin melakukan sesuatu yang dilarang itu, begitulah sifatnya. Sama seperti ketika dilarang masuk ke perpustakaan pribadi Dean, semakin dilarang, semakin ia ingin masuk ke ruangan itu, semata-mata untuk mengusir rasa bosannya. Dean tidak ada di rumah saat ini dan pintunya tidak dikunci karena pelayan sedang membersihkan ruangan itu, jadi Jina merasa ini adalah saat yang tepat untuk masuk ke ruangan itu.
"Benar, ini adalah saat yang tepat," gumam Jina. Keputusan Jina sudah bulat, yaitu ia akan masuk ke perpustakaan pribadi Dean.
Ketika Jina telah sampai di depan ruangan perpustakaan pribadi Dean dan akan membuka pintu, salah satu pelayan sudah lebih dulu membukanya dan dia terlihat membawa tempat sampah. "Kenapa Anda di sini?" tanya pelayan itu.
"Aku ingin masuk untuk membaca buku," jawab Jina.
"Tapi tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangan ini."
"Aku sudah meminta izin pada Dean dan dia mengizinkanku." Jina rasa berbohong sedikit tidak masalah.
"Baiklah. Silahkan masuk. Saya akan membuang sampah dulu." Pelayan ini pun mempersilahkan Jina masuk.
"Tunggu!" Jina menghentikan pelayan itu karena ia melihat sesuatu yang menarik.
"Kenapa buku ini dibuang? Padahal masih bagus." Jina mengambil buku yang ada di tempat sampah. "Apa ini?" dan Jina juga mengambil sobekan kertas dari sobekan buku itu.
"Kau boleh pergi sekarang." Jina menyuruh pelayan itu pergi.
Jina pun masuk ke ruangan perpustakaan itu setelah pelayan tadi pergi sembari membaca sobekan kertas di tangannya. "Satu-satunya cintaku, Dean." Itulah yang tertulis di sana.
"Menjijikkan sekali. Siapa yang menuliskan ini untuk Dean? Pasti kekasihnya. Tapi, kenapa dirobek dan dibuang?" gumam Jina dan setelahnya ia mulai membuka buku yang tadi diambil dari tempat sampah.
Buku itu berisi kisah cinta sepasang kekasih yang menjalin hubungan yang sangat manis, itulah yang Jina baca dari bab awal. Jina kurang menyukai cerita seperti ini, tapi entah kenapa ini terlihat cukup menarik di matanya ketika ia mulai membaca kata demi kata yang ada di dalam buku itu.
Waktu terus berlalu dan Jina benar-benar larut ke dalam buku itu, padahal sebelumnya ia tidak suka cerita bergenre romance. Cerita yang cukup menarik, sofa yang nyaman, dan pelayan yang membawakan s**u untuknya, itu adalah kenikmatan baru untuk Jina. kehidupan seperti ini yang Jina inginkan.
Di sisi lain, Dean baru saja kembali dari kantor dan ia tidak menemukan keberadaan Jina begitu juga dengan ibunya. Dean mulai berpikir yang tidak-tidak, tapi tidak lama setelah itu ibunya datang. Dean bertanya ibunya pergi ke mana tadi.
"Ibu baru saja bertemu dengan teman lama ibu. Apa kau mencurigai ibu melakukan sesuatu pada Jina?" Jessica menjawab sekaligus bertanya pada Dean.
"Ibu tidak suka padanya dan sekarang aku tidak melihatnya. Jadi, pikiran itu muncul begitu saja di benakku," ucap Dean.
"Nona Jina ada di perpustakaan. Nona mengatakan sudah mendapatkan izin dari Anda untuk masuk ke sana." Lalu, salah satu pelayan datang dan menjawab semua pertanyaan dalam benak Dean.
Mendengar hal itu membuat Dean langsung pergi ke perpustakaan dengan diikuti oleh ibunya. Dean benar-benar tidak mengerti kenapa Jina selalu saja bertingkah di luar aturan yang ia buat. Dean kini membuka pintu perpustakaan dengan kasar hingga membuat Jina yang sedang asik membaca buku menjadi kaget.
"Dean," gumam Jina saat melihat Dean datang dengan wajah marahnya.
"Aku tidak suka seseorang masuk ke ruangan yang aku anggap ruangan pribadiku. Aku sudah membertiahumu tentang hal itu, kan?" ujar Dean.
Jina kini berdiri di depan Dean. Jina ingin mengatakan sesuatu, tapi Dean sudah lebih dulu bicara sembari merebut buku di tangannya. "Buku ini, siapa yang memberimu izin untuk membacanya? Aku berhasil membuangnya ke tempat sampah setelah sekian lama, tapi kau malah memungutnya lagi. Kau bahkan tidak tahu betapa bencinya aku melihat buku ini." Dean bahkan kembali membuang buku itu ke tempat sampah.
"Kenapa kau membenci buku itu? Itu hanya buku yang bahkan tidak bisa menyakitimu." Jina kembali ingin mengambil buku itu, tapi Dean mendorongnya menjauh.
Dean tidak ingin mendorong Jina dengan keras, tapi pria ini menjadi tidak sadar betapa keras ia mendorong Jina karena kenangan buruk tentang buku itu kembali kuncul di benaknya. Dorongan yang terlalu kuat membuat Jina terbentur rak buku hingga membuatnya meringis kesakitan.
"Dean! Apa yang kau lakukan?" ucap Jessica. Meski tidak Menyukai Jina, tapi Jessica tidak suka melihat Dean kasar pada wanita.
Dean seketika terdiam setelah menyadari apa yang ia lakukan. Dean kini terlihat mengulurkan tangannya untuk melihat apakah Jina terluka, tapi Jina sudah melebih dulu menepis tangannya. "Jangan sentuh aku! Aku hanya duduk dan membaca buku di sini, tapi kau bersikap seolah aku mencuri sesuatu dari rumahmu. Sikapmu lebih buruk dari yang aku duga. Aku tidak mau bicara denganmu lagi!" Jina menekankan kalimatnya, lalu keluar dari ruangan itu sembari memegangi tangannya yang masih terasa sakit setelah terbentur.
"Berhenti, Jina. Lee Jina!" Dean meninggikan suaranya, tapi wanita itu tidak mau berhenti, hingga ia yang harus pergi untuk menyusulnya.
"Kenapa Dean masih menyimpan buku dari wanita itu? Apa yang ada di pikirannya?" gumam Jessica.
Dean berulang kali memanggil Jina untuk melihat kondisi tangannya, tapi wanita itu tidak pernah mau berhenti. Dean juga sudah mencoba meraih tangan Jina, tapi tangannya terus saja ditepis dengan kasar.
"Berhentilah bersikap kekanak-kanakan seperti ini." Saat Dean berkata seperti ini barulah langkah kaki Jina terhenti, bahkan Jina langsung memutar badannya untuk menatap Dean.
"Kau menyebutku kekanak-kanakan? Kau baru saja mendorongku dengan keras sampai aku kesakitan. Lalu, apa aku tidak boleh marah padamu?" tanya Jina.
"Tapi ini tidak akan terjadi jika kau tidak masuk ke sana dan membaca buku itu," ucap Dean.
"Ya, itu memang salahku dan salahku juga karena tidak tahu betapa bencinya kau pada buku itu. Aku minta maaf untuk semua itu. Tapi, memang apa kesalahan buku itu? Jika kau punya kenangan buruk tentang buku itu, maka salahkan penyebab terjadinya kenangan buruk, bukan sebaliknya. Apa yang ingin kau tunjukkan dengan membuang buku itu? Bahwa kau sudah baik-baik saja?" Jina bertanya pada Dean.
"Membuang buku itu tidak menunjukkan kalau kau sudah baik-baik saja. Orang itu masih menguasaimu. Jadi, apa gunanya membuang sebuah barang ketika kau sendiri tidak bisa melupakannya?" Jina kembali bicara pada Dean.
"Kau tidak tahu apa-apa tentangku, jadi akan lebih baik jika kau menjaga ucapanmu." Dean memperingatkan Jina dan wanita itu malah tertawa.
"Lagi-lagi kau benar. Aku memang tidak tahu betapa buruknya kenangan itu, tapi aku juga tidak ingin tahu. Aku sudah kelebihan beban, jadi aku tidak bisa menerima atau mendengar masalah lagi." Jina pergi meninggalkan Dean setelah berkata seperti ini. Memang terkesan seperti orang yang kurang empati, tapi seperti inilah Jira yang sebenarnya. Terlalu banyak masalah dalam hidupnya dan tidak ada orang yang membantunya menyelesaikan masalah itu. Dalam hidupnya adalah satu hal yang sangat Jira sesali, yaitu percaya kalau orang lain akan membuatnya bahagia.
Dean masih berdiri di tempatnya dan menatap Jina yang masuk ke kamar, lalu menutup pintu dengan kasar. "Aku sungguh tidak sengaja melakukannya." Dean terdengar bergumam. Meski Dean terlihat kesal karena ucapan Jina, rasa bersalahnya pada wanita itu jauh lebih besar. Jina memang salah, tapi reaksinya tadi juga berlebihan.
••••
Setelah pertengkaran tadi, Jina tidak lagi bicara dengan Dean. Jina yang tadinya sering bertingkah dan menjadi orang pertama yang mengajak Dean bicara, kini menjadi pendiam bahkan ketika satu meja makan dengan pria itu. Jina tetap makan tepat waktu dan melakukan apapun yang terbaik untuk anaknya, ia hanya tidak bicara dengan Dean saja.
Jina sadar kalau dirinya salah karena masuk ke perpustakaan tanpa izin dan membaca buku yang Dean ingin buang, tapi reaksi Dean itu membuatnya sangat kesal. Bagi Jina, reaksi Dean sangat berlebihan untuk masalah sekecil itu.
"Aku sudah selesai," ucap Jina, lalu pergi meninggalkan meja makan.
"Dia masih marah?" Jessica bertanya pada Dean.
"Sepertinya begitu," jawab Dean.
"Kenapa kau masih menyimpan barang pemberian wanita itu? Dean, kau harus melupakan masa lalu. Kau masih muda, jangan menyiksa dirimu seperti ini," ujar Jessica.
"Ibu, aku sungguh tidak ingin membicarakan hal itu." Dean tidak ingin membicarakan hal itu karena ia sedang memikirkan hal lain. Dean sedang berpikir bagaimana cara meminta maaf dengan benar pada Jina.
"Lalu, kenapa kau melarang Jina masuk ke perpustakaan? Ibu tidak menyukai Jina, tapi larangan itu rasanya cukup berlebihan."
"Ada sesuatu yang sangat berharga di sana. Aku hanya tidak mau orang yang tidak berkepentingan masuk ke sana, lalu tidak sengaja merusak benda itu," jawab Dean.
Jessica tampak terdiam setelah mendengar jawaban Dean. Jessica sedang menebak-nebak sesuatu yang sangat berharga yang dimaksud oleh Dean. "Jangan bilang ... gaun pengantin itu?" tanya Jessica.
"Kenapa kau masih menyimpannya? Sudah ibu bilang, singkirkan itu dari hidupmu. Dean, berhentilah tenggelam dalam masa lalumu," ucap Jessica lagi.
"Aku sudah selesai." Dean tidak ingin membahas apapun dan karena itulah sekarang ia juga pergi meninggalkan meja makan.
"Dean!" Jessica memanggil putranya, tapi tidak ada yang berubah. Dean tetap pergi seakan tidak mendengar apapun.
Jessica ingin memastikan apa yang tersimpan di perpustakaan pribadi Dean, karena itulah ia kini berjalan ke ruangan itu. Namun, pintu ruangan itu terkunci. Jessica bertanya pada pelayan ada di mana kunci ruangan itu dan mereka mengatakan kuncinya ada pada Dean. Sedangkan Dean saat ini sudah pergi ke kantor.
"Aku harus membawa Dean keluar dari awan gelap ini. Ya, aku harus melakukannya." Jessica bicara seorang diri. Selama Dean masih terjebak di dalam masa lalunya, maka dia akan terus hidup dalam kesengsaraan, dan Jessica tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.
••••
Kemarin dan tadi pagi rasa kesal sekaligus marah masih menguasai Jina. Sekarang, kemarahan dan kekesalan Jina mulai mereda, membuatnya merenung apakah kata-katanya pada Dean sudah keterlaluan. Saat ini, Jina benar-benar sadar kalau semua masalah itu terjadi karena dirinya.
"Tapi, Dean juga keterlaluan, kan? Dia tidak harus mendorongku seperti itu. Tanganku bahkan masih terasa agak sakit. Apa dia tidak berpikir kalau itu bisa melukai anaknya?" Jina sibuk bicara seorang diri.
"Tapi, kenapa aku tidak boleh masuk ke perpustakaan? Ya, itu memang ruang pribadinya, tapi dia tidak bersikap seperti itu saat aku masuk ke kamarnya." Lagi, Jina terus bicara dengan dirinya sendiri.
Saat Jina sibuk dengan pikirannya sendiri, ia dibuat kaget oleh seseorang yang membuka pintu kamarnya. Yang membuka pintu adalah ibu Dean dan tidak tahu untuk alasan apa lagi dia datang.
"Aku ingin berbicarakan sesuatu denganmu, tapi pastikan kau bicara sopan padaku," ucap Jessica.
"Ya, saya mengerti." Meski agak sedikit kesal pada ucapan ibu Dean, tapi Jina tetap bicara sopan.
"Ketika Dean melarangmu melakukan sesuatu, maka jangan lakukan hal itu. Kau hanya orang asing yang sedang mengandung anak Dean, tidak lebih dari itu, jadi pahamilah posisimu dan jangan membuat masalah." Inilah yang ingin Jessica katakan pada Jina.
Ibu Dean baru saja menunjukkan kekuasaanya. Walau sangat ingin tertawa karena mendengar hal itu, Jina tetap menahan dirinya karena ia sedang tidak ingin berdebat sekarang. Lagipula, berdebat dengan orang tua tidak dibenarkan, bukan?
"Ya, saya mengerti." Jina mengulang kalimat pertamamya agar ini cepat selesai.
"Kau terlihat seperti sedang main-main, bukan benar-benar memahami apa yang aku katakan." Jessica terang-terangan mengatakan tentang keraguannya tentang jawaban Jina.
Astaga, Jina pikir ini akan cepat berakhir, tapi ternyata tidak. Berkata tidak salah dan berkata ya juga salah. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh ibu Dean?
"Saya memahaminya, bahkan sangat memahaminya. Ekspresi wajah saya memang seperti ini, kadang membuat orang salah paham." Jina tersenyum pada Jessica.
"Baiklah. Semua ucapanmu akan aku pegang. Jangan membuat banyak drama karena aku sangat benci drama." Dan Jessica pun pergi dari kamar Jina.
"Orang tua itu benar-benar. Berapa kali dia akan bersikap seperti itu padaku?" kesal Jina. Tanpa diberitahu pun Jina sudah tahu posisinya dan ia tidak akan banyak bertingkah jika Dean tahu cara memperlakukannya dengan benar.
Ketika Jina sibuk menggumamkan kekesalannya, ia mendapat panggilan video dari Kevin. Biar Jina tebak Kevin pasti tidak tahu harus melakukan apa karena sekarang menjadi pengangguran, jadi sekarang pria itu menggangunya. Sebenarnya, Jina sedang tidak ingin mendengar ocehan Kevin, tapi karena merasa bersalah pada pria itu, jadi ia menjawab panggilan video itu.
"Ada apa?" tanya Jina setelah terhubung dengan terhubung dengan Kevin.
"Kau pasti tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Kau harus siapkan dirimu untuk mendengarkan hal ini." Raut wajah Kevin saat ini membuat Jina penasaran sekaligus kesal.
"Memangnya ada apa? Kau memang lotre? Atau kau stres karena menjadi pengangguran? Cepat katakan, ada apa?" tanya Jina penasaran.
"Kau tahu? Sekarang, aku menjadi asisten manajer Lai, idolamu! Aku mendapatkan pekerjaan itu karena manajer Lai kesulitan mengatur yang padat seorang diri." Jawaban Kevin membuat Jina terlihat sangat terkejut, tapi masih ada rasa ketidakpercayaan di matanya.
"Jangan bercanda. Aku sungguh akan menghajarmu jika kau bohong padaku," ancam Jina.
"Kau pikir, aku berani berbohong untuk hal seperti itu? Aku mulai bekerja hari ini dan kau tahu apa yang lebih mengejutkan? Orang utusan Dean datang karena ingin membawa Lai ke rumahnya. Apa dia melakukan itu untukmu?"
Jina kali ini jauh lebih terkejut setelah mendengar ucapan Kevin. Jina kira Dean akan mengajaknya ke konser Lai, tapi pria itu ingin membawa Lai ke rumah hanya untuknya. Ini membuat Jina merasa bersalah karena sudah bicara dengan keras pada Dean.