Sejak di kantor, Dean terus memikirkan bagaimana cara meminta maaf dengan benar pada Jina. Dean sungguh terus memikirkan hal itu karena merasa sangat bersalah pada wanita itu. Namun, yang Dean lihat begitu sampai di rumah sangat di luar dugaan, sebab Jina yang sejak kemarin tidak bicara padanya bahkan tidak mau menatapnya, kini tersenyum saat menyambutnya pulang kerja.
Ini sangat aneh untuk Dean, hingga ia harus menyentuh dahi Jina untuk memastikan kalau wanita itu baik-baik saja. "Kau sakit?" tanya Dean.
"Terima kasih. Aku tidak menduga kalau kau akan melakukannya. Aku akan memaafkanmu kali ini." Jina masih tersenyum pada Dean, bahkan ingin memberikn sebuah pelukan, tapi Dean dengan cepat menghindar.
"Apa maksudmu?" tanya Dean yang sampai saat ini belum mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh Jina.
"Aku kira kau akan membawaku ke konser Lai, tapi ternyata kau akan membawa dia ke rumah ini. Kau memang yang terbaik!" Jina memberikan dua jempol untuk Dean.
Ini membuat Dean lebih tidak mengerti karena Jina sudah mengetahui tentang Lai di saat ia belum mengatakan apapun, bahkan pihak agensi Lai masih mengatur jadwal pria itu agar bisa datang ke sini. Semuanya masih belum pasti, jadi ia belum bicara pada Jina, tapi Jina malah sudah mengetahui semuanya.
"Dari mana kau tahu hal itu?" Dean kembali bertanya pada Jina.
"Dari Kevin. Dia bekerja di agensi Lai sekarang, jadi dia tahu," jawab Jina.
"Sial! Kenapa harus buru-buru mengatakan itu?" gumam Dean sembari berjalan menuju ke kamarnya.
"Memangnya kenapa? Kau ingin membuat kejutan?" tanya Jina yang saat ini mengikuti Dean.
"Tidak. Hanya belum pasti kapan dia akan datang."
"Dia pasti akan datang. Bagaimana mungkin Lai menolak untuk datang ke rumah mewahmu? Itu tidak mungkin." Jina terus memuji Dean.
Dean tiba-tiba berhenti melangkah, lalu menatap ke arah Jina. Dean tidak tahu harus mulai dari mana, yang Dean tahu adalah ia harus minta maaf pada Jina bahkan jika wanita itu mengatakan telah memaafkannya. "Aku minta maaf karena mendorongmu dengan keras." Pada akhirnya hanya ini yang Dean katakan pada Jina.
"Aku sudah bilang kalau sudah memaafkanmu."
"Meski kau mengatakan itu aku tetap ingin meminta maaf dengan benar. Apa rasa sakitnya masih kau rasakan? Mungkin aku perlu menelepon dokter lagi," ucap Dean.
"Tidak perlu. Kau sudah memanggil dokter untuk memeriksaku kemarin dan itu sudah cukup. Kau tidak perlu khawatir, aku dan kandunganku akan baik-baik saja. Aku pergi dulu." Jina menepuk lengan Dean, kemudian pergi.
"Untuk apa aku berpikir tentang cara meminta maaf yang benar jika sekarang dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa?" saat ini, Dean merasa telah membuang-buang waktunya karena memikirkan masalah yang bisa selesai dengan sendirinya.
••••
"Cepat berikan kunci pintu perpustakaan." Jessica sudah bertekad untuk mengeluarkan Dean dari kegelapan masa lalu dan itulah alasannya meminta kunci perpustakaan.
Dean yang tadi duduk santai dengan sebuah tab di tangannya, kini menoleh pada ibunya yang tiba-tiba saja meminta kunci perpustakaan. Sedangkan Jina yang sedang bersantai di pinggir kolam berenang juga melihat Dean dan ibunya yang sedang bicara. Jina tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi kondisi di sana terlihat tidak cukup baik.
"Untuk apa?" tanya Dean.
"Ibu hanya ingin membaca," jawab Jessica.
Dean tampak menatap ibunya selama beberapa saat, kemudian pergi untuk mengambil kunci. Tidak lama, Dean kembali dan langsung memberikan sebuah kunci pada ibunya. Jina lagi-lagi melihat hal itu dan berpikir kunci apa yang Dean berikan pada ibunya.
"Apa itu kunci perpustakaan?" gumam Jina. "Benar, dia nyonya di sini, jadi bisa meminta apapun pada Dean," ucap Jina lagi dan ia tidak lagi peduli pada ibu dan anak itu.
Setelah mendapatkan kunci dari Dean, Jessica langsung pergi ke perpustakaan, sedangkan Dean kembali duduk di tempatnya tadi. Dean sedang menikmati akhir pekan dengan membaca berita dengan ditemani kopi kesukaannya. Namun, waktu santai Dean tidak berlangsung lama, sebab Jina datang dan meminta sesuatu.
"Setelah melihat air, aku tiba-tiba ingin ikan." Jina langsung mengatakan ini pada Dean tanpa keraguan sedikitpun.
"Minta pelayan untuk memasak ikan, bukan mengadu padaku. Kau sungguh terlalu banyak bicara akhir-akhir ini. Pergilah, aku ingin sendiri." Dean merespon tanpa menatap Jina.
Jina berdecak kesal setelah melihat cara Dean merespon ucapannya. "Kita memang perlu banyak bicara. Aku bisa stres jika kau terus diam," ucap Jina lagi, tapi kali ini Dean tidak meresponnya. Ya, pria itu sudah kembali ke mode diam. Jina sangat membenci hal ini.
Jina tidak tahan dengan Dean yang seperti ini, jadi ia langsung merebut tab di tangan pria itu. Jina tahu Dean akan marah dengan hal ini, tapi kemarahannya pasti tidak akan sebesar ketika seseorang masuk ke perpustakaan pribadinya dan membaca buku yang dia benci.
"Berhentilah menggangguku!" Dean menekankan kalimatnya. Pria ini ingin merebut tabnya lagi, tapi Jina menghindar darinya.
"Aku ingin memelihara ikan, bukan makan ikan. Ayo pergi membeli ikan." Jina baru saja memperjelas apa yang ia inginkan.
Sedangkan di perpustakaan, Jessica tampak terdiam di depan sebuah pintu dengan raut wajah yang terlihat kesal. Tadinya, Jessica mengira ini akan mudah, tapi ternyata tidak. Dean memang memberikan akses untuk masuk ke perpustakaan, tapi tidak dengan akses ke sebuah ruangan kecil yang ada di sana. Jessica pergi meninggalkan perpustakaan karena percuma saja di sini. Jessica ingin kembali menemui Dean untuk meminta satu kunci lagi, tapi putranya terlihat begitu sibuk dengan Jina.
"Aku boleh ikut, kan? Aku harus memilih ikannya sendiri," ujar Jina yang saat ini masih memegang tab milik Dean.
Setelah mendengar apa yang Jina inginkan Dean berniat langsung meminta seseorang untuk pergi membeli ikan. Itu Dean lakukan agar Jina tidak semakin banyak bertingkah, tapi ternyata itu salah. Jina malah mengatakan ingin ikut keluar, sedangkan Dean tidak bisa percaya pada siapapun untuk menjaga Jina. Dean tidak ingin ada masalah lagi.
"Kalau begitu, aku akan meminta orang yang menjual ikan untuk datang ke mari, jadi kau tidak perlu pergi ke mana-mana." Melakukan hal itu bukanlah pekerjaan yang sulit untuk Dean.
Kadang, Jina benci pada kenyataan kalau Dean punya banyak uang, jadi dia bisa melakukan apapun. Padahal Jina berharap bisa keluar sebentar, lalu mendapatkan ikan yang cantik, tapi itu tidak akan pernah terjadi.
"Kau tidak mau bicara denganku dan selalu ingin mengurungku. Meski aku sudah menandatangani kontrak, tapi aku bukan tipe orang yang bisa tahan untuk selalu di rumah. Aku butuh udara segar atau aku akan stres!" Jina menekankan kalimatnya.
Akhir pekan yang buruk, pikir Dean. Setelah diberi kesempatan keluar satu kali, kini Jina menjadi semakin berani bertingkah, tapi Dean juga tidak bisa menyangkal kalau membuat Jina terhindar dari stres adalah hal penting yang harus dilakukan.
"Ayo pergi denganku." Dan pada akhirnya Dean memutuskan untuk mengajak Jina keluar karena tidak bisa mempercayakan wanita itu pada siapapun.
"Sungguh?" tanya Jina dengan penuh semangat.
Dean tidak mengatakan apapun untuk menjawab pertanyaan Jina, sebab itu juga tidak penting. Dean langsung pergi mengambil kunci mobil dan setelahnya pergi bersama Jina. Jessica yang melihat sekaligus mendengar pembicaraan Dean dan Jina tampak memikirkan sesuatu, yaitu tentang sikap Dean yang berbeda pada Jina jika dibandingkan dengan wanita lain. Apa itu hanya karena kehamilan Jina?
••••
Angin yang masuk lewat jendela mobil yang terbuka sangatlah menyegarkan untuk Jina. Karena suasana yang menyenangkan ini membuat Jina mengeluarkan kalimat yang kurang tepat untuk Dean. "Wanita yang menjadi pacar atau bahkan istrimu pasti akan sangat beruntung. Kau punya banyak uang, jadi kau bisa memberikan segalanya pada wanita itu." Inilah yang Jina katakan pada Dean.
Dean menoleh pada Jina yang benar-benar berpikir kalau uang bisa membeli kebahagiaan. Uang memang menjadi salah satu hal terpenting dalam hidup, tapi sayangnya uang tidak bisa menjamin kebahagiaannya.
"Suatu saat, kau akan memahami kalau uang tidak bisa menjamin kebahagiaanmu. Jika uang memang bisa melakukan itu, maka kau tidak ada di posisimu saat ini." Dean membalas ucapan Jina dengan kata-kata yang membuat wanjta itu bingung.
"Apa maksudmu? Apa itu ada hubungannya dengan alasanmu ingin memiliki anak dengan cara yang tidak biasa?" tanya Jina. Namun, Dean tidak merespon apa yang Jina katakan.
"Astaga, mode diam lagi?" Jina kembali bicara, sedangkan Dean tetap diam. Sudahlah, Jina tidak ingin lagi membuang-buang tenaga untuk bicara dengan orang yang sedang dalam mode diam.
Karena Dean ada dalam mode diam, maka Jina juga diam dan memilih untuk menikmati pemandangan sekaligus udara segar yang sedang ia hirup. Jina mengulurkan sedikit tangannya keluar ke jendela mobil, lalu tersenyum karena melakukan ini ternyata menyenangkan juga.
Dean menoleh pada Jina yang saat ini tersenyum karena melakukan sesuatu yang menurutnya konyol. Tapi ya sudahlah, selama Jina tidak bertingkah yang aneh-aneh, maka itu tidak akan menjadi masalah untuk Dean.
Setelah sampai di tempat untuk membeli ikan, Jina begitu sibuk memilih ikan yang akan dipelihara. Sedangkan Dean hanya mengawasi Jina saja. Beberapa kali Jina bertanya apakah ikan yang ditunjuknya cocok atau tidak untuk dipelihara dan Dean hanya berkata semua ikan yang ada di sini cocok untuk dipelihara selama Jina bertanggung jawab dengan terus merawatnya, bukan memelihara hanya karena kesenangan sesaat.
"Pastikan kau merawat ikan itu dengan benar. Aku tidak suka seseorang yang tidak bertanggungjawab pada hewan peliharaannya." Dean memperingatkan Jina setelah dia selesai memilih ikan.
"Aku mengerti. Aku juga bukan tipe orang seperti itu. Sekarang, ayo pergi makan sup dulu. Aku tahu tempat yang menjual sup terenak," ajak Jina.
"Makan di rumah saja. Ayo pulang." Dean sudah berjalan menuju ke mobilnya, tapi Jina masih belum bergerak dari tempatnya berdiri. Dean baru menyadari hal ini ketika akan membuka pintu mobil.
"Jangan kekanak-kanakan. Cepatlah masuk ke mobil," ucap Dean.
"Bahkan aku hanya ingin makan sup saja kau bilang kekanak-kanakan. Ini keinginan anakmu," balas Jina.
"Jangan membawa anakku untuk kepentingan pribadimu." Dean terlihat kesal.
"Kepentingan pribadiku katamu? Coba kau yang hamil agar tahu bagaimana rasanya!" dan Jina terlihat jauh lebih kesal dari Dean.
Dean terlihat menghela napas. Pria ini sedang berpikir, apa ini yang disebut ngidam?
••••
Ketika Dean telah memutuskan sesuatu, maka siapapun tidak akan bisa mengubahnya. Seperti itulah Dean yang dikenal oleh banyak orang, tapi demi anaknya pria ini mengubah sedikit sikapnya. Meski tadi memilih pulang dibandingkan mengajak Jina ke tempat makan favoritnya, tapi pada akhirnya pilihan Dean berubah. Dean mengantar Jina ke tempat itu, tapi mereka harus antri karena tempat makan ini memang memiliki banyak pelanggan dan tentu saja itu karena makanannya yang terkenal enak.
Bahkan setelah cukup lama mengantri, Jina harus menelan kekecewaan karena sup yang ia inginkan sudah habis dan tempat ini juga akan tutup. Dean kesal sekali mendengar hal itu, tapi menahan diri untuk tidak mengeluarkan kekesalannya karena melihat wajah kecewa Jina.
"Apa kau sangat ingin makan sup itu?" tanya Dean.
"Ya, sup iga buatan Bibi itu adalah sup terenak yang pernah aku makan," jawab Jina.
Dean langsung mendekati Bibi pemilik restoran setelah mendengar jawaban dari Jina. "Apa setelah ini Bibi ada acara?" tanya Dean. Jina pun bingung karena Dean tiba-tiba menanyakan hal itu pada Bibi pemilik restoran.
"Acara? Aku tidak punya acara khusus. Aku hanya akan pergi membeli bahan keperluan untuk berjualan besok," jawab wanita yang biasa disapa Bibi Kim itu.
"Baguslah. Kalau begitu, datanglah ke rumahku dan masakan sup itu untuk Jina. Jangan khawatir, aku akan membayar Bibi." Jina benar-benar terkejut saat mendengar kalimat ini keluar dari mulut Dean.
Dean rela melakukan apapun untuk anaknya dan hal itu membuat Jina mempertanyakan dirinya sendiri tentang apa saja yang sudah ia lakukan pada anaknya. Ia adalah seorang ibu, tapi, bagaimana bisa tidak ada rasa sayang untuk anaknya sendiri?