Cerita Pak Nyoman

2130 Kata
“Jadi gini, Mas,” ucap Pak Nyoman kepada Panji yang sedang menyeruput kopi di depannya. Raut wajah Pak Nyoman yang awalnya ramah dan hangat, berubah menjadi murung dan dingin. Panji yang mulanya ingin menenangkan kepala setelah menerima serangkaian teror, kembali merasa jika apa yang akan disampaikan oleh Pak Nyoman adalah sesuatu yang penting, sehingga ia menaruh kembali cangkir kopi ke atas meja. Panji tidak ingin melewatkan satu kalimat pun dari cerita Pak Nyoman. “Jadi benar ada yang aneh di sekolah ini ya, Pak?” telisik Panji. Mendengar pertanyaan dari Panji yang terlihat tidak tahu apa-apa tentang sekolah ini, membuat Pak Nyoman merasa bersalah. Tadinya, Pak Nyoman diberikan tugas oleh pihak Tumimbal untuk menjemput guru baru yang akan mengisi posisi kosong yang ditinggalkan oleh guru lama di sekolah ini. Saat menerima tugas itu, Pak Nyoman merasa khawatir. Ia takut, guru baru yang akan masuk ke sekolah ini tidak bisa beradaptasi dan mati konyol, seperti guru sebelumnya. Sayangnya, posisi Pak Nyoman yang hanya sebagai pegawai biasa, membuatnya tidak bisa berkomentar banyak. Pak Nyoman lebih takut jika tidak bisa mendapatkan nafkah, ia lebih mengkhawatirkan anak istri di rumah. Namun saat itu, pihak Tumimbal yang memberikan tugas kepada Pak Nyoman mengatakan jika guru baru itu adalah teman lama dari Jonathan, sehingga urusan yang berkaitan dengan sekolah ini, pasti sudah diberitahu oleh Jonathan, termasuk kenyataan mengerikan yang ada di balik Tumimbal. Mendengar kalimat itu, membuat Pak Nyoman sedikit lega, karena kekhawatirannya terhadap guru baru tersebut bisa diredam. Namun ketika melihat bagaimana Panji berlari ketakutan menuju ke gerbang sekolah, membuat Pak Nyoman menarik kembali kata-katanya. Panji tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi di sekolah ini. Di situlah Pak Nyoman merasa harus memberitahu semuanya kepada Panji, supaya ia bisa berhati-hati dalam mengambil langkah ke depan. “Mas Panji tahu kenapa tiba-tiba dipanggil ke sekolah ini? Bahkan Mas Panji hanya butuh waktu satu hari untuk dipekerjakan. Ini sekolah internasional loh, Mas. Emangnya Mas Panji ga curiga kenapa bisa diterima secepat ini?” Pak Nyoman bertanya dengan suara yang sangat pelan, bahkan ia harus mendekatkan wajah kepada Panji agar suaranya terdengar. Pak Nyoman yang merupakan pegawai lama di Tumimbal jelas tahu, jika sekolah ini dilengkapi dengan CCTV di setiap sudut yang membuat semua gerak-gerik yang ada di dalam sekolah terekam dengan sangat jelas. “Sampean kenapa bisik-bisik, Pak? Emang ada sesuatu yang salah di sekolah ini, ya?” sahut Panji yang ikut mendekatkan wajahnya ke arah Pak Nyoman. “Saya mau cerita kepada Mas Panji, tapi Mas Panji harus janji gak bakal membocorkan ini kepada orang lain. Kalau Mas Panji bocor, saya yang bakal dipecat. Saya cerita ini soalnya kasihan sama Mas Panji yang ketakutan seperti tadi.” Panji mengangguk pelan pertanda paham. Bahkan ia membiarkan kopi yang ada di depannya menjadi dingin, karena ingin mendengar cerita dari Pak Nyoman. Pak Nyoman menjatuhkan punggung ke sandaran kursi, lalu memandang Panji yang menatapnya dengan penuh penasaran. Pak Nyoman menghela nafas, ia tidak menyangka ada orang lain yang terjebak di dalam sekolah mengerikan ini. Pak Nyoman pun sama seperti orang lain, berada di sekolah ini karena terikat kontrak dan tidak bisa asal mengundurkan diri dari Tumimbal. Memang, bayaran yang didapat sejak bekerja menjadi pegawai di Tumimbal, bisa ia gunakan untuk menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Namun resiko yang harus ditanggung, sama besarnya dengan gaji yang ia dapatkan. Setelah beberapa detik saling pandang, Pak Nyoman pun mulai membuka mulutnya, mengungkap kisah mengerikan yang membuat Panji akhirnya masuk ke dalam jajaran pengajar Tumimbal. Cerita ini berlangsung tidak lama sebelum Panji masuk, mungkin sekitar satu minggu atau sepuluh hari ke belakang. Tumimbal International School adalah sekolah bertaraf internasional yang jelas memiliki formasi guru yang lengkap. Sekolah yang sudah berdiri selama belasan tahun ini, memiliki arus keluar masuk tenaga pendidik yang lambat. Artinya, hampir semua tenaga pendidik yang ada di sini dikontrak dalam jangka waktu yang panjang dan tidak bisa memutus kontrak di tengah perjalanan. Tumimbal memiliki jajaran direksi yang bertangan dingin, tidak segan untuk benar-benar memberikan denda tinggi kepada siapapun yang melanggar kontrak, tidak peduli apakah orang tersebut berasal dari keluarga kaya ataupun tidak. Tapi, hal mengerikan dari Tumimbal yang sebenarnya bukanlah kontrak ataupun jajaran direksi, melainkan cerita yang diungkap oleh Pak Nyoman. Mulanya, Tumimbal memiliki guru BK yang sudah mengajar selama beberapa tahun. Tapi, beberapa hari yang lalu, pagi hari ketika aktivitas sekolah belum dimulai, Pak Nyoman yang sedang berpatroli pagi dikejutkan dengan sesosok mayat yang menggantung di tiang bendera dengan kondisi leher terikat dan lidah menjulur. Pak Nyoman tidak berani memegang dan mengamankan mayat tersebut, khawatir ada sidik jari yang tertinggal dan menjadikan Pak Nyoman berada dalam masalah. Pak Nyoman segera mengabari Jonathan. Beberapa menit kemudian, sekolah didatangi oleh banyak orang yang mengenakan baju hazmat. Mereka membungkus mayat yang ditemukan itu dengan kantong jenazah, lalu segera pergi. Menurut Pak Nyoman, kejadian penemuan mayat seperti itu sudah cukup sering terjadi. Pak Nyoman yang pagi itu dilanda panik, membuatnya tidak sempat bertanya tentang siapa gerangan yang meninggal hari itu. Baru setelah Pak Nyoman bertanya kepada kepada Jonathan, ia mengetahui jika korban adalah guru BK yang sudah mengajar selama beberapa tahun. Kejadian seperti itu pasti akan menjadi berita utama dan mengundang kehebohan bagi banyak pihak. Jika peristiwa seperti ini terjadi di luar, pasti akan banyak wartawan yang datang meliput. Sekolah pun akan menjadi pusat perhatian. Tapi, hal itu tidak terjadi di Tumimbal. Jangankan pihak sekolah, murid-murid yang ada di sini pun tampak sudah terbiasa dengan kejadian-kejadian aneh yang ada di sekolah. Bahkan berita kematian dari seorang guru BK hanya dianggap angin lalu. Hanya butuh hitungan menit, keadaan sekolah kembali kondusif seperti biasanya. Sepeninggal guru BK yang mati mengenaskan, pihak sekolah segera mencari pengganti. Guru pengganti itu adalah, Panji. “Pak Panji Baskara, diharap segera datang ke ruang tata usaha.” Suara seorang perempuan terdengar tegas dari pengeras suara yang ada di pojok kantin. Setelah mendengar cerita dari Pak Nyoman, Panji merasa semakin lesu. Ia semakin bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi di sekolah ini. Panji juga sadar jika cerita dari Pak Nyoman sebenarnya belum berhenti sampai di sini. Masih banyak fakta yang belum terungkap, tentang apa yang dari tadi menghantuinya sejak masuk ke dalam lingkungan sekolah. Apakah sekolah ini berhantu, atau semua ini hanya imajinasinya? Hal itu masih belum terjawab. Pak Nyoman yang juga mendengar pengumuman dari ruang tata usaha pun, hanya bisa menghela nafas. Ia berpikir jika pihak sekolah mengawasi mereka melalui kamera pengawas. Mungkin saat ini, nasib Pak Nyoman berada di ujung tanduk hanya karena berbincang dengan Panji. Melihat Pak Nyoman yang gelisah, membuat Panji sedikit menyungging bibir. Ia tahu, sesuatu yang baru saja ia dengar adalah berita berbahaya yang disembunyikan oleh pihak Tumimbal. “Tenang saja, Pak, saya gak akan sembarangan ngomong. Saya juga gak mau sampean kena masalah. Cerita ini, cukup kita aja yang tahu. Sebenernya masih banyak yang pengen saya tanyakan ke sampean, tapi nanti aja, deh. Saya udah dipanggil,” ucap Panji mencoba menenangkan Pak Nyoman. “Te-terima kasih banyak, Mas Panji, saya tahu Mas Panji orangnya bisa dipercaya,” sahut Pak Nyoman sambil mengangguk pelan. Pak Nyoman merasa memiliki teman seperjuangan sekarang, setidaknya Panji bisa mengerti keadaannya, begitu pikir Pak Nyoman. Panji pun beranjak, ia berjalan santai menyusuri koridor menuju ke ruang tata usaha. Lagi, Panji merasa diawasi oleh sosok-sosok asing yang menghuni sekolah ini. Mata Panji tidak berani menoleh ke kanan dan kiri, khawatir ia melihat sesuatu yang menyeramkan seperti penampakan yang terjadi di ruang kepala sekolah. Namun sial, meskipun Panji menatap lurus ke depan, ia masih menemui sesuatu yang di luar nalar. Bayangan hitam berkali-kali lewat di sepanjang koridor. Panji berusaha mengabaikan bayangan itu, namun jantungnya masih saja berdegup kencang. Apakah ini tandanya Panji jatuh cinta dengan bayangan mengerikan itu? Ah tentu saja tidak. Degupan kencang itu tidak lain karena Panji merasa ketakutan. Apalagi ia berjalan menyusuri koridor seorang diri. Jika ada sesuatu yang menakutinya, tidak akan ada orang yang akan menyelamatkan dirinya. Tapi aneh, lagi-lagi aneh. Hanya kata aneh lah yang bisa mewakili perasaan Panji saat ini. Aneh, karena koridor yang ia lewati terasa sangat sepi, padahal ada kelas di kanan dan kirinya. Bagaimana mungkin sekolah sebesar dan sebagus ini tidak memiliki murid yang banyak? Akhirnya Panji memberanikan diri menoleh ke kanan, ke arah salah satu kelas yang terlihat sepi. Kosong, benar-benar kosong. Kelas yang ada di sepanjang lorong ini benar-benar kosong. Panji merogoh kantong celana, hendak mengambil ponsel untuk melihat jam. Tapi berkali-kali Panji memeriksa, ia tidak bisa menemukan ponselnya di manapun. Apa mungkin Panji meninggalkan ponsel di koper? “Tunggu, gimana nasib koperku?” gerutu Panji. Ia baru ingat jika kopernya masih ada di bagasi mobil, karena saat masuk ia sudah langsung disambut oleh Jonathan. “Ah, ceroboh banget sih, dasar Panji!” gerutunya mengutuk diri sendiri. Dengan kesal, akhirnya ia melanjutkan melangkah menuju ke ruang tata usaha. Hingga tiba-tiba… “Pak Panji!” “Ah!” Panji kembali dikejutkan dengan suara lembut perempuan yang memanggil namanya. Panji sontak menoleh ke belakang, di mana suara itu berasal. “Kenapa hari ini aku sering banget dikagetin, sih?!” seru Panji. Melihat tingkah konyol dari pria setengah matang itu, membuat Yuni yang berdiri di belakangnya terkekeh. Ia tidak menyangka jika guru baru di sekolahnya ternyata memiliki tingkah yang random. “E-eh, Yuni. Ada apa, Yun? Ngagetin aja,” ucap Panji dengan nada lembut. Sebagai seorang guru, Panji sadar betul jika ia memang harus menjaga citra dan gaya berbicaranya di depan para murid. Guru BK memang dikenal sebagai guru yang tidak mudah akrab dengan murid-murid, atau lebih tepat jika disebut guru yang mengerikan. Bagaimana tidak, guru BK selalu hobi mencukur rambut siswa, memberikan hukuman kepada siswa yang nakal, dan suka membubarkan kerumunan siswa yang bolos saat jam pelajaran. Bukan hal aneh jika guru BK menjadi musuh abadi dari siswa nakal. Tapi Panji ingin memperbaiki citra buruk itu dengan menjadi lebih dekat dengan para siswa. Tidak hanya di sekolah barunya ini, di sekolah lama pun, Panji dikenal dekat dengan para murid. Bukan hanya murid penurut yang pintar, Panji juga dikenal dekat dengan murid-murid yang nakal, karena ia tahu bagaimana cara menghadapi siswa-siswa nakal itu tanpa membuat mereka takut kepadanya. “Ini, Pak.” Yuni menyodorkan ponsel di tangannya kepada Panji dengan senyum manis yang mampu melelehkan gunung es yang ada di dalam hati Panji. Dengan tatapan heran, Panji mengambil ponsel di tangan Yuni. “Terima kasih, Yun,” ucap Panji sambil memberikan senyum yang sedikit dipaksakan. Bagaimana tidak, meski Panji memang kadang pelupa, tetapi ia tidak pernah teledor ketika membawa barang-barang. Panji selalu ingat di mana ia menaruh ponsel, kunci, dan barang-barang penting lainnya. Makanya ketika mencari ponsel, Panji merogoh kantong depan sebelah kiri di mana ia selalu menaruh ponselnya. Baru ketika tidak bisa menemukan ponsel, ia berpikir bahwa ponselnya tertinggal di dalam koper. Tapi ketika dipikir lagi, hal itu sepertinya sangat tidak mungkin. Karena Panji tidak pernah menaruh ponsel di koper. Tapi, bagaimana bisa ponsel miliknya tiba-tiba ada di tangan Yuni? Panji mencoba menjernihkan pikiran, menganggap ia teledor menjatuhkan ponsel dan Yuni menemukannya. Atau mungkin ponselnya tertinggal di ruang kepala sekolah? Entahlah. Panji masih mencoba berpikir positif. “Tadi Bapak jatuhin ponsel pas kita jalan di koridor, hehe. Lain kali hati-hati, Pak,” sahut Yuni sambil tersenyum dan menyelonong pergi. “Yun, tunggu!” Panji mencoba menghentikan langkah Yuni. Yuni berhenti dan berbalik, “iya, Pak, ada apa?” “Anterin Bapak ke ruang tata usaha, ya?” bujuk Panji. Ia merasa lebih tenang jika ada orang lain yang menemaninya menyusuri koridor menyeramkan ini. Berjalan sendirian membuat rasa takutnya semakin menjadi-jadi. Yuni pun hanya mengangkat bahu sambil tersenyum, lalu ia merentangkan tangan, mempersilakan Panji berjalan. Di dalam pikirannya, Panji masih belum bisa percaya jika ponsel miliknya jatuh. Panji sangat berhati-hati dalam menjaga barang-barang. Seumur hidupnya, ia tidak pernah menjatuhkan ponsel dari saku. Panji melirik Yuni yang berjalan di sampingnya dengan tatapan curiga, tetapi ia tidak berani berbicara langsung karena akan menjadi fitnah ketika ia tidak bisa membuktikan tuduhannya. Di tengah perjalanan, Yuni tiba-tiba menyeletuk, “saya lihat Bapak tadi ketakutan. Bapak takut sama hantu, ya?” “Ha? Takut? Hantu? Ga usah konyol deh, Yun. Mana ada hantu siang-siang gini,” sahut Panji ringan sambil terkekeh. “Sekolah ini berhantu loh, Pak. Apa yang bapak lihat dari tadi itu, aku juga lihat. Bahkan yang ada di ruang kepala sekolah, aku juga lihat. Bukan hanya Bapak, tapi semua orang di sekolah ini juga lihat,” terang Yuni. Mendengar apa yang Yuni katakan, membuat jantung Panji seketika terasa berhenti. Ternyata, anggapannya memang benar. Apa yang ia lihat, bukan hanya khayalan semata. Langkah Panji terasa semakin berat ketika menyusuri koridor, seakan ada sesuatu yang menahan kakinya, menarik agar Panji tetap berada di koridor. Panji melihat jam yang ada di ponselnya, “masih jam 11,” ucap Panji pelan. Tapi, ketika Panji melihat ponsel, ia memikirkan sesuatu yang lain. Kemunculan Yuni sambil membawa ponsel miliknya, masih terasa aneh untuk Panji. Apakah omongan Yuni bisa dipercaya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN