Keliling Sekolah

1725 Kata
“Tok… tok… tok…” Suara ketukan pintu membuyarkan suasana tegang yang terjadi di antara Panji dan Jonathan. “Masuk!” seru Jonathan yang agak terkejut, karena ia tidak mengira bahwa ada yang akan menganggu waktu pribadinya dengan Panji. “Permisi.” Suara seorang murid perempuan yang masuk sambil membuka pintu. Suasana horor yang sedari tadi menyelimuti ruangan kepala sekolah, tiba-tiba lenyap. Panji pun merasa bingung, udara berat yang ia rasakan sejak memasuki ruangan ini tidak terasa lagi. Apakah yang ia lihat sejak tadi memang bukan seesuatu yang nyata? Apakah semua itu hanya ada di dalam imajinasinya karena merasa deg-degan memasuki sekolah internasional yang berada sangat jauh dari kampung halaman? Gadis yang baru saja memasuki ruang kepala sekolah, melangkah perlahan mendekat ke arah Panji dan Jonathan. Gadis itu tersenyum manis, membuat jantung Panji berdebar tidak menentu. Rambut panjang sepunggung yang tergerai rapi, mampu mengalihkan perhatian dan rasa takut yang sejak tadi hinggap di pikiran Panji. Mata Panji terbuka lebar menyaksikan kecantikan yang tiada tara dari murid yang saat ini berdiri di sampingnya. Tidak salah jika sekolah ini adalah sekolah internasional, murid-murid yang ada di sekolah ini pun memiliki kualitas kecantikan yang internasional. “Permisi, Pak Jo, saya diminta untuk memberikan dokumen ini oleh staf tata usaha.” Panji meleleh mendengar suara lembut dari gadis muda yang ada di sampingnya. Rasanya, seperti mendengar suara bidadari yang menghangatkan dan menyegarkan di satu waktu. Panji harus sekuat tenaga menyembunyikan rasa tertarik yang ada di hatinya, ia tidak ingin citranya sebagai guru rusak di sekolah baru ini, karena sangat tidak sopan jika ada guru yang jatuh hati kepada anak didiknya sendiri. Tapi, kecantikan dari murid yang saat ini sedang berbincang dengan Jonathan memang tidak bisa diragukan lagi. Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, benar-benar cocok apabila bersanding dengan Panji. “Pak Panji… Pak Panji…” “E-eh, iya?” Panji rupanya tengah melamun, membayangkan dirinya sedang bersanding dan melakukan sesuatu yang menyenangkan dengan murid perempuan tersebut. Sayangnya, Jonathan justru membuyarkan khayalan panji, mengembalikannya ke dunia nyata. “Murid kita akan mengantar Bapak berkeliling sekolah ini, semoga Pak Panji betah mengajar di Tumimbal.” Jonathan mengulurkan tangan, mengajak Panji bersalaman. Senyum di wajah Jonathan, membuat Panji semakin merasa direndahkan. Ia tidak akan lupa dengan bagaimana cara licik dari Tumimbal dan Jonathan untuk membuat perjanjian dengannya. Namun sayang, saat ini ia tidak bisa melawan. Dengan senyum yang juga dipalsukan, Panji menyambut uluran tangan Jonathan. Tanpa berkata apapun lagi, akhirnya Panji meninggalkan ruang kepala sekolah yang terasa menyeramkan itu. Murid yang berdiri di samping panji membungkuk sopan kepada Jonathan, kemudian berbalik meninggalkan ruangan kepala sekolah. Ia akhirnya memimpin jalan, sedangkan Panji mengikutinya dari belakang. Keluar dari ruang kepala sekolah, Otak nakal Panji langsung bekerja. Panji memang memiliki maksud tersendiri kenapa ia berjalan di belakang gadis yang menemaninya berkeliling sekolah. Jika Panji berjalan beriringan, maka ia tidak akan bisa melihat pemandangan bagian belakang gadis yang tampak menggoda itu. Dengan senyum nakal yang sekuat tenaga berusaha Panji sembunyikan, matanya tidak lepas dari gerak gerik tubuh bagian belakang gadis tersebut. Namun sesaat kemudian, Panji sadar jika apa yang ada di dalam pikirannya bukanlah sesuatu yang pantas dilakukan oleh tenaga pendidik sepertinya. Sebagai seorang guru, Panji harus menjaga nama baik profesi dan martabatnya sebagai pengajar. Ia tidak boleh bersikap seenaknya kepada para murid, apalagi memikirkan sesuatu yang nakal. Tapi tidak bisa dipungkiri, kecantikan dan keindahan tubuh murid yang berjalan di depannya itu, sangat sulit untuk ditolak. Untuk menjaga mata dan khayalan liarnya, akhirnya Panji sedikit mempercepat langkah kakinya, agar bisa berjalan beriringan dengan gadis tersebut. “Namamu siapa?” tanya Panji berbasa basi. Meski ia memang harus menjaga nama baik, tapi tidak ada salahnya untuk lebih mengenal murid-muridnya secara pribadi. Sesuai apa yang ia pelajari di masa kuliah, kedekatan pribadi antara guru dan murid adalah sesuatu yang sangat baik dilakukan, karena akan membuat jarak antara guru dan murid semakin dekat, sehingga murid-murid akan lebih nyaman berada di dekat guru. “Yuni, Pak,” jawab gadis itu sambil menunduk sopan. Suaranya yang lembut, sikapnya yang sopan, membuat Panji berpikir jika gadis itu sangat cocok dijadikan istri. Memang, otak buaya Panji selalu berjalan di manapun ia berada. Bahkan dalam situasi yang tidak tepat sekalipun, otak buaya Panji masih tetap berfungsi normal. “Kamu kelas berapa, Yun?” sahut Panji. “Saya ada di tingkat akhir, Pak,” jawab Yuni dengan nada yang masih terdengar sopan. Panji dan Yuni pun berjalan mengelilingi gedung sekolah. Yuni menunjukkan semua fasilitas yang ada di sekolah ini kepada Panji. Mulai dari ruang kelas, laboratorium, ruang olahraga, hingga kantin dan asrama. Panji tidak bisa memungkiri jika ia merasa sangat kagum dengan fasilitas yang ada di sekolah ini. Tidak salah memang jika Tumimbal adalah sekolah internasional, karena sekolah ini memiliki fasilitas yang lengkap, besar, dan bersih. Tidak lama berselang, bel berbunyi nyaring. “Sa-saya kembali ke kelas dulu, Pak,” ucap Yuni terbata. Tanpa menunggu jawaban dari Panji, gadis itu segera berlari secepat mungkin. Panji masih terpaku di koridor tempat ia berada sekarang, ia menangkap gelagat aneh dari Yuni. Ketika bel berbunyi, tiba-tiba saja Yuni menjadi gugup. Tatapan mata Yuni tidak bisa berbohong jika ia sedang ketakutan. Bahkan ketika berpamitan dengannya, sangat terdengar jelas jika ucapan Yuni tiba-tiba terbata, berbeda jika dibandingkan ketika ia mempersembahkan fasilitas-fasilitas di sekolah ini yang terdengar sangat lancar, seakan Yuni sudah terbiasa bertemu dengan orang baru. Panji pun berjalan sambil melamun, memikirkan keanehan-keanehan yang ia tangkap sejak memasuki sekolah ini. Panji melihat ke sekeliling, memperhatikan setiap sudut sekolah yang akan menjadi tempatnya mengajar mulai hari ini. Namun baru saja ia tersadar dari lamunan, Panji sudah merasa diawasi. Ya, saat ini Panji sedang tidak sendirian. Ada banyak bayangan hitam yang melihat Panji dari sudut-sudut ruangan. Bayangan hitam itu tampak lapar, seakan ingin memangsa Panji yang terlihat seperti mangsa empuk untuk mereka. Bayangan-bayangan itu bergerak perlahan, mendekat ke arah Panji. Beberapa dari bayangan itu bahkan meneteskan air liur yang beraroma busuk. Aroma itu tercium hingga ke hidung Panji, membuat pria 26 tahun itu seketika berlari. Panji tahu, sesuatu yang aneh dari sekolah ini bukan hanya ada di dalam pikirannya. Panji berlari menyusuri koridor yang sepi, hingga tiba di bagian depan sekolah, tepat di samping pos keamanan. Panji pun terengah-engah. Ia tidak mengira, jantungnya akan dipermainkan sedemikian rupa di dalam sekolah aneh ini. Meski Tumimbal memang terlihat bagus dan lengkap, namun Panji berpikir jika sekolah ini memiliki sisi lain yang tidak diungkapkan kepadanya. Atau belum? Mungkin memang belum saatnya Panji mengetahui sesuatu tentang sekolah ini, mengingat ini baru hari pertama ia memasuki tumimbal. “Mas!” “Ah!” Panji berteriak kencang ketika tiba-tiba bahunya ditepuk oleh seseorang. Panji bahkan sampai melompat karena terkejut, lalu memasang kuda-kuda siap perang sambil berbalik menghadap ke belakang, tepat di mana pria paruh baya yang mengantarnya dari Kuta ke Tumimbal sedang berdiri dan menatap Panji dengan heran. “Mas Panji kenapa? Kok seperti orang yang dikejar setan gitu?” tanya pria paruh baya itu heran. “Ah anu, enggak apa apa, Pak! Saya cuma…” Panji bingung harus menjawab bagaimana. Jika ia berkata yang sejujurnya, Panji takut hal itu akan menyinggung orang-orang yang ada di Tumimbal, karena Panji akan diangap sebagai orang yang kurang ajar, berkata jika tempat yang saat ini menjadi mata pencarian banyak orang tersebut berhantu. Tapi jika Panji berkata bohong, ketakutan yang tampak di wajahnya sangat tidak bisa dibohongi. Melihat Panji yang bingung, membuat pria paruh baya itu tersenyum kepadanya. “Mas Panji kelihatannya tegang banget, ya? Gimana kalo kita ngopi aja, Mas?” ajak pria paruh baya tersebut. “Wah boleh tuh, Pak,” jawab Panji berpura-pura antusias. Sebenarnya saat ini Panji sedang malas untuk ngopi, karena ia masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Tapi setelah berpikir lagi, sepertinya tidak ada salahnya jika ia menerima tawaran dari pria paruh baya tersebut. Karena bagaimanapun, pria itu sudah berbaik hati menawarinya ngopi, bahkan menjemput Panji ke Kuta. Panji merasa hutang budi kepada pria tersebut, sehingga Panji merasa sungkan jika harus menolak ajakannya. “Nanti biar aku yang bayarin, ah, hitung-hitung ucapan terima kasih,” batin Panji. Pria paruh baya itu pun akhirnya mengajak Panji ke kantin. Setibanya di kantin, lagi-lagi Panji merasa aneh dengan apa yang ia lihat. Untuk ukuran tempat sebesar Tumimbal, suasana kantin terasa terlalu sepi. Bukan hanya sekadar sepi, tetapi hawa di kantin ini terasa mengerikan. Bahkan saat Panji duduk di salah satu kursi ketika pria yang mengenakan seragam sopir itu sedang memesan kopi, bulu kuduk Panji beberapa kali berdiri. Panji bahkan harus melihat ke belakang berkali-kali, karena ia merasa sedang diawasi. Namun ketika ia menoleh, tidak ada apapun di belakangnya. Meski begitu, perasaan tidak aman yang hinggap di pikirannya, tidak kunjung pergi, membuat Panji semakin gelisah. “Mas Panji ini kenapa?” “Ah, Pak, sampean ngagetin aja!” Panji mengelus dadanya, ia benar-benar kacau. “Mas Panji dari tadi itu aneh, ya? Ada apa, Mas? Sini nak e cerita sama Bapak.” “Eh, iya, Pak. Anu, saya enggak apa apa kok, Pak. Tapi… aduh gimana ya? Bingung saya mau mulai cerita dari mana.” Tidak lama setelah itu, seorang wanita paruh baya menghampiri mereka sambil membawa nampan berisi dua cangkir kopi. Dengan senyum ramah, wanita itu meletakkan kopi yang ia bawa di hadapan Panji dan pria di depannya. “Minum dulu, Mas, biar gak tegang,” ucap Pria itu sambil menyodorkan kopi kepada Panji. Tanpa basa-basi, Panji segera mengambil dan menyeruput kopi di hadapannya. Ia berharap, kopi tersebut bisa membuat Panji menjadi sedikit lebih tenang. “Saya tahu loh Mas Panji dari tadi itu kenapa, tapi saya sengaja diam, Mas. Tapi pas tak lihat-lihat lagi, rasanya kok kasihan, Mas Panji dari tadi gelisah gitu,” ucap pria paruh baya di depan Panji dengan nada rendah, seakan ia benar-benar peduli kepada Panji. “Aduh, kok jadi kaku gini, ya? Hahaha… Oh iya, Mas, Mas Panji belum kenalan sama saya, ya? Nama saya Nyoman, Mas, warga asli sekitar sini, saya udah kerja di sini selama 10 tahun, Mas,” terangnya. “Salam kenal, Pak Nyoman, saya Panji.” Panji mengangguk pelan. “udah kenal dari tadi saya, Mas, hehehe,” jawab Pak Nyoman dengan senyum khasnya yang hangat. “Jadi sampean punya cerita apa, Pak?” Panji menelisik, ia benar-benar ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi. Jika ia bisa mendapatkan informasi dari orang dari pihak Tumimbal tanpa diminta, maka itu akan menjadi keuntungan bagi Panji karena ia tidak harus merusak citra dirinya dan citra Tumimbal. “Jadi gini, Mas…”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN