Panji Protes

1747 Kata
"Bu, bisa Ibu jelaskan apa ini?" "Ada apa, Pak Panji? Kenapa Bapak datang ke kantor tata usaha sambil marah-marah? Apa kita melakukan kesalahan?" Wanita paruh baya yang merupakan staf tata usaha tampak bingung dengan tingkah Panji yang tiba-tiba datang ke kantor tata usaha dan menggebrak meja sambil menatap marah kepada staf tata usaha yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. "Apa kebohongan yang kalian sembunyikan dari saya, ha? Jawab!" Panji meninggikan suara, membuat semua orang yang ada di kantor tata usaha menoleh ke arahnya dengan heran. "Pak Panji, apa maksud Bapak? Kebohongan apa?" Staf tata usaha sepertinya masih belum tahu jika Panji mulai menyadari tentang sesuatu yang disembunyikan pihak Tumimbal darinya. Wanita paruh baya itu masih menganggap Panji sebagai orang polos yang tidak tahu apa-apa. "Anak anggota dewan yang terlibat kriminal, anak pemimpin perusahaan BUMN yang bermasalah, anak konglomerat yang ngebunuh orang, apa-apaan itu semua, ha? Kenapa sekolah ini malah menerima siswa dengan kasus berat seperti itu? Apa kalian gak kasihan sama murid-murid yang lain?" Panji menyerocos tidak bisa dibendung. Staf tata usaha yang sedang duduk di depannya, hanya bisa diam dan tidak bisa berkata apa-apa. Sebenarnya, staf tata usaha itu tidak takut kepada Panji, ia hanya merasa tidak memiliki kewenangan untuk berkata apapun kepada guru BK baru tersebut. Maka dari itu, staf tata usaha hanya bisa mengelak dari pertanyaan yang diajukan oleh Panji. Tapi, diam-diam staf tata usaha itu meminta bantuan. Ia membuka grup yang berisi orang-orang penting Tumimbal dan memberitahu bahwa Panji sedang mengamuk di ruang tata usaha. Meski memang jaringan seluler tidak tersedia di Tumimbal, tetapi para staf penting masih bisa mengakses internet melalui jaringan kabel dan hanya bisa diakses dari komputer tertentu. Tidak lama kemudian, bukan petugas keamanan atau kedisiplinan yang datang ke kantor tata usaha, melainkan Jonathan langsung yang datang menemui Panji di sana. "Pak Panji, kenapa Bapak membuat onar di sini?" ucap Jonathan dengan wajah geram yang tampak ditahan. Ia tidak ingin meledakkan emosi di depan para staf yang bekerja di sana. Tetapi, meski masih tertahan, para staf yang ada di dalam ruangan tata usaha sudah menunduk ketakutan. Kedatangan Jonathan tentu saja membuat Panji tertegun. Ia terkejut, tiba-tiba kepala sekolah Tumimbal muncul di belakangnya. Sontak, Panji langsung menghampiri Jonathan dan mencengkram lehernya, lalu mendorong Jonathan hingga menabrak tembok, membuat Jonathan mengaduh kesakitan. "Apa yang sebenernya sampean rencanakan buat aku, Mas? Ha?! Jawab, Mas!" bentak Panji. Mendapat tekanan yang begitu besar dari Panji, tidak membuat Jonathan menjadi gentar. Pria bermata sipit itu masih bisa bersikap tenang dan memandang Panji dengan tatapan tegas, tidak terlihat ada rasa takut di matanya. "Sampean ini ngomong apa sih, Panji?" jawab Jonathan tenang. "Mas, udah lah, dari awal aku masuk ke sini semua emang udah gak beres!" Mata Panji semakin melotot menatap Jonathan, amarah yang tidak terbendung, terlihat jelas dari sikap yang ditunjukkannya. Melihat Panji termakan emosi di depannya, tidak membuat Jonathan ikut tersulut amarah. Kepala sekolah Tumimbal itu justru mengajak Panji berbicara dengan tenang. "Gimana kalau kita ngobrol di ruanganku aja? Gak enak kalau marah-marah di depan umum kayak gini …," sahut Jonathan dengan nada bicara yang sangat tenang. Saat ini, pemandangan yang terlihat benar-benar kontras. Jonathan yang tampak berwibawa dan berkelas, berbanding terbalik dengan Panji yang tampak kampungan dan pemarah. Padahal, orang-orang yang ada di dalam ruangan tata usaha tidak tahu, jika Panji hanya akan marah jika ada sesuatu yang menurutnya sangat tidak bisa ditoleransi. Sejak mendapat surat kontrak kerja dari Tumimbal, Panji sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres karena surat itu sudah dibubuhi tanda tangan di atas materai, padahal Panji tidak pernah menandatanganinya. Perlahan, Panji melepaskan cengkramannya dari leher Jonathan. "Jika memang itu yang sampean mau, Mas, ayo! Aku gak takut sama sampean!" ucap Panji tegas dengan tatapan benci kepada Jonathan. Dengan tenang, Jonathan membetulkan kerah baju yang berantakan akibat ulah Panji dan menjawab, "oke, aku tunggu di ruanganku, Panji." Lalu Jonathan beranjak dari ruang tata usaha, melangkah dengan elegan meninggalkan para staf yang menatapnya dengan kagum. Jonathan memang panutan bagi semua staf dan murid di Tumimbal. Selain karena memiliki paras yang tampan, Jonathan juga dikenal cerdas dan memiliki tata krama yang baik, sehingga membuat banyak orang segan terhadapnya. Selain itu, Jonathan adalah satu-satunya orang yang bisa dengan bebas keluar masuk Tumimbal tanpa harus menunggu surat perintah. Berbeda dengan Pak Nyoman yang hanya bisa meninggalkan Tumimbal ketika menerima perintah dari atasan. Selain itu, Jonathan memiliki koneksi kepada orang-orang penting di negara ini, membuatnya selain disegani, juga ditakuti. Banyak orang yang tidak ingin bermasalah dengan Jonathan, karena takut akan terlibat kasus besar nantinya. Panji pun mengikuti langkah Jonathan dengan amarah yang masih terkumpul di kepala dan kepalan tangan. Selepas Panji meninggalkan ruang tata usaha, semua orang yang ada di ruangan itu saling tatap dan menghela nafas, termasuk wanita paruh baya yang sebelumnya menghadapi Panji. Mereka semua akhirnya bisa meregangkan kaki, setelah beberapa saat menahan gemetar karena Panji menanyakan sesuatu yang benar-benar tidak ingin mereka ungkap. Baik itu Pak Nyoman, maupun para staf Tumimbal yang lain, mereka semua memiliki kewajiban yang sama, yaitu menjaga mulut mereka agar tidak membocorkan informasi rahasia tentang sekolah internasional tersebut kepada orang luar. Hanya Jonathan lah satu-satunya orang yang berhak mengungkap rahasia Tumimbal kepada orang lain, karena Jonathan memiliki kewenangan dan jabatan yang tinggi. Dan hingga saat ini pun, Panji masih dianggap orang luar oleh Tumimbal karena sejak pertama kali masuk, ia memang sengaja dijebak. Sesampainya di ruang kepala sekolah, Panji dipersilakan masuk. Jonathan mengunci pintu dari dalam, agar tidak ada orang yang mengganggu perbincangannya dengan Panji. "Dikunci, Mas? Ada apa nih?" tanya Panji curiga sambil melirik tajam ke arah Jonathan. Tanpa menjawab pertanyaan Panji, Jonathan hanya tersenyum lalu duduk di mejanya. Ia menatap Panji yang masih mematung di tengah ruangan, tatapannya seakan benar-benar sedang meremehkan Panji. Jonathan menarik nafas panjang, lalu menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi ia duduki. "Sekarang, ayo ngobrol, Panji, apa yang pengen sampean tahu tentang sekolah ini? Baru dua hari sampean masuk, tapi kayaknya sampean udah tahu terlalu banyak tentang Tumimbal, ya?" kata Jonathan sambil terkekeh, membuat Panji yang sudah dikuasai amarah, semakin tersulut karena merasa direndahkan. Panji seketika langsung berjalan cepat ke arah Jonathan, berdiri di depan meja kerja Jonathan, lalu dengan sigap ia mencengkram kerah baju kepala sekolah Tumimbal tersebut dengan tangan kanan seperti yang ia lakukan di ruang tata usaha. Mata Panji melotot merah, giginya gemeretak, dan tangan kirinya bersiap untuk memukul. Panji yang tampak tegang dan penuh emosi, berbanding terbalik dengan Jonathan yang terlihat tenang seakan bisa mengendalikan semuanya. “Sampean yakin mau pukul aku? Ha? Pukul sini, Panji! Pukul sini!” Jonathan mendekatkan wajah ke arah Panji, lalu ia menunjuk-nunjuk pipi menggunakan telunjuk, membuat Panji merasa semakin dilecehkan. Panji mengepalkan tangan semakin rapat, lalu ia angkat tinggi-tinggi kepalan tangannya hendak melayangkan pukulan. Sedikit lagi, hanya tinggal sedikit lagi Panji akan mengayunkan tinju kepada Jonathan. Andai saja, andai Panji tidak memiliki pengendalian emosi yang baik, ia pasti sudah membuat keputusan yang salah dengan memukul kencang wajah Jonathan. Tetapi beruntung, Panji berhasil menahan diri dan tidak melanjutkan niatnya. Ia sadar jika Jonathan hanya memancing. Jika seseorang tidak memiliki rencana yang disembunyikan, ia tidak akan menyerahkan tubuhnya untuk dipukul orang lain. Keberanian Jonathan berhasil menggembalikan logika Panji yang sempat hilang karena kalap saat menyadari semua kepalsuan yang ada di Tumimbal. Panji menarik nafas kesal, lalu dengan kasar melepaskan cengkraman pada leher Jonathan. “Pilihan yang bagus, Panji, kalau sampean mukul aku, sampean bakal kena masalah, karena bekinganku lumayan keras, hahaha,” celetuk Jonathan sambil membetulkan kerah baju. “Kita kan bisa ngobrolin ini semua baik-baik, iya toh?” Jonathan menatap nakal ke arah Panji, dengan senyum sinis yang mampu membuat siapapun yang melihatnya semakin marah. “Baik-baik? Kalau sampean pengen ngomong baik-baik, pasti udah sampean lakuin dari awal, Mas!” bentak Panji sambil menggebrak meja, lalu melempar punggungnya ke sandaran kursi yang ada di depan meja kerja Jonathan. “Kalau aku ngomong sejak awal ya sampean gak bakal mau lah, Panji … saya juga bukan orang bego.” “Kalau udah tahu kayak gitu, kenapa sampean masih maksa masukin aku ke sini, Mas? Ini udah gak bener, melanggar hukum!” Panji mengalihkan wajah dari Jonathan, terlihat jika ia benar-benar kesal dan ingin memukul wajah Jonathan. “Soalnya sampean orang paling kompeten yang aku kenal, Panji! Kamu yang zaman sekolah dulu terkenal playboy dan bandel, tiba-tiba masuk kuliah jurusan bimbingan dan konseling, yang dalam prakteknya pasti gak jauh-jauh dari anak nakal. Seakan, anak nakal itu udah jadi passion sampean, Panji … Lagipula, sampean di Banyuwangi gak bakal berkembang! Di sini, sampean kita gaji dua puluh juta rupiah dalam satu bulan, kita bayar, langsung masuk ke rekening sampean. Kurang apa lagi sih? Duit? ada. Karir? Jelas.” Jonathan mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahu dengan telapak tangan menghadap ke atas, sambil memutar-mutar kursi yang ia duduki. “Tapi, Mas … ayolah! Ini sekolah udah aneh banget! Aku yang gak boleh keluar seenaknya, gak bisa pakai HP, belum lagi ada kriminal yang berkeliaran di sekolah! Mas, sampean gak kasihan sama anak-anak lain? Tega sampean jadiin mereka satu kelas sama anak-anak kriminal? Aku udah lihat sendiri, Mas, gimana anak-anak saling rundung tanpa dicegah oleh pihak sekolah. Sampean pasti juga udah dapet laporan tentang tindakan Lia yang seenaknya buka baju di ruang BK. Kasihan anak-anak yang lain, Mas! Aku gak masalah wes sama kontrak sepihak kemarin … tapi, anak-anak gimana, Mas? Masa depan bangsa loh mereka itu…,” terang Panji memprotes fakta yang ia temui. Dalam kasus ini, peran Panji sebagai guru pendamping para siswa sangat dibutuhkan. Sebagai guru BK, sudah menjadi kewajiban Panji untuk menjamin seluruh siswa dapat belajar dengan nyaman. Mendengar betapa polosnya Panji menilai Tumimbal, membuat Jonathan semakin terkekeh. Ia berusaha sekuat tenaga menahan tawa yang hampir meledak, karena wajah Panji yang memelas bertolak belakang dengan apa yang ia tampilkan sewaktu baru masuk ke ruang kepala sekolah. “Tuh kan … aku salut sama sampean yang bisa tahu informasi sedetail itu di hari kedua mengajar. Tapi, sampean masih gak tahu apa-apa tentang Tumimbal dan malah mau bertindak sok jadi pahlawan? Sampean itu konyol, Panji!” Jonathan bergeleng-geleng sambil memegang kepala yang mulai terasa pening karena kepolosan Panji. “Aku tahu, Mas, aku emang gak tahu apa-apa! Makanya, aku pengen minta penjelasan sampean! Aku merasa ditipu dan dipermainkan sama sampean!” Emosi Panji terlihat kembali meningkat. “Ya udah, demi sampean, aku bakal ceritain semua tentang Tumimbal. Dari awal, tanpa ada yang ditutup-tutupi.” Perbincangan pun bergulir di mana Panji mendengar dengan seksama cerita yang disampaikan Jonathan tentang Tumimbal. Tapi, fakta-fakta yang Jonathan sampaikan, membuat Panji bergeleng-geleng tidak percaya, jika sekolah yang menjadi tempatnya mengajar saat ini semengejutkan itu.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN